Hikayat Dunia

Kita hanya pengumpul remah-remah | Dari khazanah yang pernah ada | Kita tak lebih hanya penjaga | Dari warisan yang telah terkecai ||

Pontianak Singgah Palembang

Daripada terus berpusing-pusing di atas Negeri Pontianak, yang itu tentu akan menghabiskan bahan bakar, maka lebih baik pesawat singgah dahulu ke bandar udara terdekat. Sesuai pemberitahuan dari awak pesawat, bandar udara terdekat adalah Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Negeri Palembang.

Mudék ke Ulu

Pasangan dari kate “ulu” ielah “mudék”. Kate “mudék” beakar kate dari kate “udék”. Udék bemakne "sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber)", "daerah di ulu sungai", juga’ bemakne "kampong halaman (tempat beasal-muasal)".

Soal Nama Negeri Kita

Belakangan ini kiranya ramai yang berpendapat ini dan itu mengenai asal usul dan makna nama "pontianak" kaitannya dengan Negeri Pontianak. Tapi apakah semua yang didedahkan itu betul-betul dipahami oleh masyarakat Pontianak?

Kampong Timbalan Raje Beserta Para Pemukanya [Bagian-3]

Selain banyak menguasai berbagai bidang keilmuan, beliau juga banyak memegang peran dalam kehidupan kemasyarakatan. H.M. Kasim Mohan yang merupakan anak sulong (tertua) dari pasangan Muhammad Buraa'i dan Ruqayyah ini merupakan seorang Pejuang di masanya.

Musik Motivasi Setahun Silam

“Satu Kursi untuk Seniman”, begitu tagline kampanyenya. Tekadnya untuk memajukan Kalbar lewat industri kreatif tentu patut diapresiasi. Melalui industri kreatif diharapkannya dapat menjadi jembatan menjulangkan budaya yang memayungi Kalimantan Barat.

Sultan Pontianak; Umara' dan 'Ulama

Kegemilangan Negeri Pontianak salah satunya diasbabkan kepemimpinan para Sultan-nya yang arif dan bijaksana. Sultan-Sultan Pontianak selama masa bertahtanya rata-rata memiliki dua peranan, yaitu berperan sebagai umara', sekaligus berperan sebagai 'ulama.

Puisi Buya Hamka untuk Muhammad Natsir

Kepada Saudaraku M. Natsir | Meskipun bersilang keris di leher | Berkilat pedang di hadapan matamu | Namun yang benar kau sebut juga benar ||

Selasa, 23 Agustus 2016

Bahasa Melayu Terpaksa Mengalah


Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional di Indonesia, sering pula disebut Bahasa Indonesia; walau dalam sejarahnya tidak ada ragam bahasa yang bernama Bahasa Indonesia, tetapi Bahasa Melayu yang nyatanya dimasuki oleh kosakata dari bahasa asing dan bahasa daerah di luar Melayu, itulah kini yang disebut Bahasa Indonesia. Namun pengucapan kata demi kata dalam Bahasa Indonesia sekarang sudah berada di luar kaidah Bahasa Melayu itu sendiri.

Saat ini bahasa yang disebut Bahasa Indonesia tersebut semakin terasa berkembang, namun serasa terlalu bebas dan sulit membedakan yang mana bahasa pasar serta yang mana pula bahasa resmi. Televisi mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan berbahasa yang lebih banyak perencah Jawa, Sunda, dan lainnya. Orang Melayu di Sumatera atau di Borneo dipaksakan harus mafhum mengalah atas perkembangan berbahasa di luar kaidah berbahasa Melayu.

Saat Pemerintahan Orde Baru misalnya, yang memaksa pemakaian kata "Desa". Terpaksalah wilayah-wilayah yang berada di luar Pulau Jawa mengubah "Kampung" menjadi "Desa". Pada semua negeri-negeri Melayu mengenal kampung, bukan desa. Demikian juga kata "Lurah" yang dalam Bahasa Melayu bermakna tanah rendah di antara gunung; lembah; alur atau lekuk memanjang pada papan, dan lain- lain; akhirnya dijadikan pengganti untuk Penghulu Kampung, Ketua Kampung, atau Kepala Kampung. Di Sumatera Timur, hingga kini tak mengenal RT/RW seperti halnya di Pulau Jawa. Hingga tak ada Pak RT seperti ceritera sandiwara televisi soal perkampungan di Jawa.

Ada kata Timpuk, Amburadul, Bocah, Gede, Cowok, Cewek, untuk menyebut Lontar/Lempar, Centang Perenang, Kanak-Kanak, Besar, Lelaki, Perempuan, dan masih banyak kata dalam bahasa bukan Melayu yang diucapkan latah oleh Orang Melayu buatan baharu. Memang beratus-ratus kata bukan Bahasa Melayu dihidangkan setiap hari di televisi. Dan kepintaran Orang Melayu tiada banding, karena Orang Melayu mampu memahami juga apa-apa yang dicakapkan kotak bersuara itu. Namun nyatanya laksana tua nyanyok, Orang Melayu turut latah pula memakai kata-kata tersebut dan melesapkan kata-kata Melayu milik datok moyangnya.

Akibat pengaruh media yang tak terbendung lagi, anak-anak belia di Sumatera, Kepulauan Riau, ataupun Borneo misalnya, sekarang ini sangat gemar bercakap macam orang Betawi atau Sunda. Padahal mereka sebenarnya belum pun pernah menginjakkan kaki ke Pulau Jawa. Hingga apa-apa yang diucapkan terasa lucu dan membuat saya mengerenyam kepala serasa berkelemumur sebesar tungku. Kata "Dong" yang maknanya kira-kira "Lah" turut diucapkan bersama-sama dengan kata "Deh" dan "Sih", untung saja kata "Sekolah" tidak menjadi "Sekodong", kata "Belah" tak diucapkan "Bedong. Lagi- lagi Bahasa Melayu terpaksa mengalah.

Akhir-akhir ini ada juga yang menggembirakan, yaitu stasiun-stasiun TV di Jakarta ada juga yang mengembalikan beberapa kata Melayu lama menjadi kata yang sering diucapkan. Sebut saja misalkan kata "Galau" yang dalam Bahasa Melayu bermakna bising, kalut, bergelora perasaan. Ada pula kata "Begal" yang dalam Bahasa Melayu bermakna penyamun. Membegal maknanya adalah menyamun, merampas (di jalan). Pembegalan maknanya adalah penyamunan atau perampasan. #*#


** Penulis: Tengku Muhar Omtatok (Pentadbir Pusat Kajian Puak Melayu)


Minggu, 21 Agustus 2016

Menjulangkan Bahasa Ibu Kita


Budaya (termasuk juga bahasa) adalah hasil kreatif dari bangsa pemiliknya. Persentuhan dan saling pengaruh mempengaruhi dengan budaya lainnya tentu tak dapat pula dipungkiri. Semakin terbuka suatu bangsa, maka semakin kompleks lah persentuhan budaya yang terjadi di dalam masyarakatnya. Budaya dan juga bahasa akan bertahan di masyarakat pemiliknya, tinggal kemudian keberlangsungannya sebagai budaya dan bahasa kaum apakah akan tetap tegak berdiri di tengah hantaman badai besar yang bertopengkan nasionalisme dan modernisme.

Berdasarkan penelitian-penelitian ter-muta-akhir, ternyata kini tak sedikit bahasa-bahasa kaum di Kepulauan Melayu ini yang terancam punah karena semakin kuatnya cengkeraman Bahasa Nasional, cengkeraman yang mendominasi dan memangsa bahasa ibu-nya sendiri. Bahkan ada juga beberapa kasus kekerasan oleh tentara nasional terhadap orang perorangan di negara ini karena orang tersebut tidak fasih berbahasa nasional.

Sudah jamak diketahui bahwa Bahasa Melayu merupakan lingua franca di Kepulauan Melayu ini, bahasa yang kemudian diklaim sebagai Bahasa Indonesia (bahasa persatuan, bahasa nasional di republik ini). Bahasa Nasional tersebut kini semakin hari semakin jauh meninggalkan kaidah dan kearifan Bahasa Melayu. Karena apa? Mungkin salah satu sebabnya karena Bahasa Nasional tersebut sudah melupakan identitas sejatinya, bahkan telah dengan sembarangan mengubah-ubah nama yang sejati dari bahasa tersebut (dengan sembarangan diubah menjadi bernama “Bahasa Indonesia”, padahal sejatinya bernama “Bahasa Melayu”, itulah salah satu upaya melupakan dan menenggelamkan identitas aslinya). Untungnya penutur asli Bahasa Melayu hingga kini masih bertahan (di negerinya masing-masing ataupun di negeri rantau) dengan berbagai macam ragam dialeknya.

Sungguh pun begitu, di masing-masing negeri Melayu juga tak luput dari kekhawatiran akan keberlangsungan Bahasa Melayu-nya di tiap-tiap negerinya. Apa pasal? Tentu begitu banyak pula penyebabnya: media massa, tren (mode), pergaulan, bahkan juga sistem pendidikan, yang kesemuanya itu dibayang-bayangi oleh Puaka Globalisasi, ditakut-takuti oleh Hantu Modernisasi, dihembus-hembusi oleh Angin Surga Nasionalisme. Mungkin tak sedikit kini orang-orang Melayu yang sudah malu berbahasa Melayu, apalagi berbahasa Melayu dialek negeri kampong halamannya.

Bagi para puteranya yang sadar akan kenyataan ini, sudah semestinya bergandengan tangan seiring sejalan menghalau anasir-anasir gelap berwujud monster itu, raksasa-raksasa buas nan beringas yang akan menginjak-injak dan memusnahkan bahasa ibunya, bahasa negeri tanah kelahirannya, bahasa kampong halamannya, yang dengan keagungan bahasa ibunya itulah dirinya tumbuh dan dibesarkan menjadi putera-puteri negerinya.

Orang-orang Melayu sekarang merasa maju dengan berbahasa seperti di televisi, atau berbahasa seperti pendatang dari luar negeri kampong halamannya. Boleh jadi semua itu dimusababkan karena orang-orang Melayu sangat terbuka dengan orang-orang luar yang dianggap lebih maju. Mereka tak sadar bahwa yang dari luar itu bakal pelan-pelan memangsa seni, budaya, adat, dan bahasa kampong halamannya sendiri. Dan hingga kini orang-orang Melayu kebanyakan masih tak sadar-sadar lagi.

Ada cerita seorang kawan yang berasal dari salah satu negeri di Borneo Barat. Suatu waktu ia ke satu kota yang tak jauh dari kotanya, yang masyarakat kota tersebut juga berkomunikasi menggunakan Dialek Bahasa Melayu yang sama seperti di kotanya. Selama di kota tersebut, ia pun berbahasa Melayu dengan Dialek Bahasa Melayu yang biasa dipergunakannya berkomunikasi di kampong halamannya sendiri. Tapi ada perasaan agak aneh ketika itu, ia merasa diperlakukan macam orang dari planet lain.

Menurut kawan itu, di kota yang dikunjunginya tersebut kini orang-orangnya sudah agak kacau balau dalam hal berbahasa Melayu. Sejauh yang diamatinya, di tempat-tempat formal atau di hadapan umum, orang-orang Melayu di kota tersebut kini lebih sering mengamalkan Bahasa Melayu Baku (yang kini lebih sering disebut bahasa indonesia), lebih tepatnya seperti bahasanya orang-orang di pusat kekuasaan negara ini (alias Jakarta). Kadang ia merasa geli mendengarnya, karena begitu nampak logatnya, kebetulan ia juga pernah bertahun-tahun merantau. Logat yang dimaksud yaitu campur-gaul, macam orang yang tak punya jati diri dalam berbahasa.

Samalah halnya macam budak-budak Melayu di kampong halaman saya yang suka labe-labe alias lagak-lagak bercakap macam orang-orang di Jakarta. Rasanya ingin tertawa mendengarnya. Berhawa juga bercakap-cakap macam orang-orang di Jakarta, tapi logat dan aksen Melayu-nya tetap tak dapat ditutup-tutupinya. Bagi budak-budak Melayu yang berasal dari kampong halaman saya yang pernah merantau ke Jakarta, yang setiap harinya di Jakarta ia bercakap-cakap menggunakan bahasanya orang Jakarta tentu dapat tau bahwa bahasa yang dicakapkan oleh budak-budak dari kampong halaman saya yang suka labe-labe bercakap macam orang-orang di Jakarta itu sungguh bunyinya aneh.

Demikianlah adanya kenyataan berbahasa di hampir merata negeri-negeri Melayu kini. Upaya terkecil yang mungkin dapat dilakukan kini adalah kembali mendedahkan bahasa kita, bahasa ibu kita, bahasa nan agung yang hingga kini masihlah menjadi lingua franca di Kepulauan Melayu ini. Dan takkan pernah lelah-lelahnya kita melaungkan bahasa ibu kita ini. Kita dilahirkan serta dibesarkan di bawah naungan bahasa yang masyhur nan bertamaddun ini, maka kita pulalah yang akan berterus-terusan menjaga dan menjulangkannya. #*#


Hanafi Mohan
Tanah Betawi, Mei 2015


Jumat, 19 Agustus 2016

Sultan Syarif Yusuf Al-Qadri nan Belia dan Wara'


Mengetahui mengenai ihwal tanah kelahirannya tentu menjadi suatu kepatutan bagi putera-puteri yang terlahir di negeri tersebut. Karena itu, menela’ahnya merupakan keniscayaan bagi sang putera negeri, tak terkecuali bagi putera-puteri Negeri Pontianak.

Sebagaimana kita mafhumi bersama, alas identitas Negeri Pontianak adalah bermula ketika dicacakkannya pondasi Masjid Jami’ Sultan Syarif ‘Abdurrahman Al-Qadri. Beberapa tahun kemudian barulah Pangeran Syarif ‘Abdurrahman Nur ‘Alam ditabalkan menjadi sultan pertama di Kesultanan Pontianak yang memangku kepemimpinan dan kedaulatan Negeri Pontianak hinggalah ke jurai zuriatnya. Kemudian Sultan Pontianak juga membangun Istana Qadriyah sebagai tempat bertahta di atas singgasananya.

Menarik dicermati, bahwa tonggak kedaulatan Negeri Pontianak yang paling mula-mula bukanlah berupa dimensi kekuasaan duniawi, melainkan penguatan dimensi mental spiritual yang lebih dikedepankan. Dan seperti itulah adanya yang mengemuka di Negeri Pontianak hingga saat ini.

Putera-puteri Negeri Pontianak patut berterima kasih kepada pendiri negeri ini, karena melaluinya kita dapat memetik ibrah yang begitu berharga, yaitu bagaimana sepatutnya menjalani kehidupan di dunia nan fana ini. Kealiman, kewara’an, dan kebijaksanaan Sang Pemangku Negeri Pontianak tentu telah pula tersiar ke mana-mana hingga ke berbagai negeri rantau. Seorang Pemangku Negeri Pontianak yang kiranya patut diingat akan kepemimpinannya yaitu Sultan Pontianak ke-V. Saat usia belia, Paduka Tuanku telah ditabalkan menjadi sultan, dan beliaupun mangkat ketika umurnya belumlah terlalu senja. Selama masa pemerintahannya yang kurang lebih 23 tahun, telah begitu banyak pencapaian kemajuan Negeri Pontianak yang beliau ukir.

Seri Paduka Duli Yang Maha Mulia Tuanku Sultan Syarif Yusuf Al-Qadri yang bersemayam di atas tahta kerajaan di dalam Negeri Pontianak, beliau ditabalkan menjadi Sultan Pontianak ke-V pada usia 22 tahun (lahir tahun 1850, dan ditabalkan pada tahun 1872). Beliau mengemban amanah tampuk pemerintahan selama 23 tahun (mangkat pada usia 45 tahun, yaitu pada tanggal 15 Maret 1895).

Ayahanda dari Sultan Syarif Yusuf Al-Qadri adalah Sultan Pontianak ke-IV, yaitu Sultan Syarif Hamid I Al-Qadri ibnu Sultan Syarif ‘Utsman Al-Qadri. Sedangkan ibunda daripada Sultan Syarif Yusuf Al-Qadri adalah Syarifah Fathimah Al-Qadri binti Sultan Syarif Qasim Al-Qadri. Dengan demikian, Sultan Syarif Yusuf Al-Qadri merupakan cucu dari dua orang Sultan Pontianak. Jadi boleh dikatakan bahwa Sultan Syarif Yusuf Al-Qadri merupakan figur persatuan Kerabat Kesultanan Pontianak yang sempat beberapa masa sedikit terpecah setelah ditabalkannya Sultan Syarif ‘Utsman Al-Qadri sebagai Sultan Pontianak ke-III menggantikan abangnya sendiri, yaitu Sultan Syarif Qasim Al-Qadri (Sultan Pontianak ke-II).

Menarik pula dicermati bahwa Sultan Syarif Yusuf Al-Qadri juga mewarisi darah kebangsawanan dari beberapa kerajaan di Borneo, Sumatera, dan Sulawesi, selain juga mewarisi darah Arab Bani ‘Alawiyyin dari Negeri Hadhramaut sebagai nashab lurus ke atas daripada Kesultanan Pontianak. Sejauh yang dapat ditelusuri, di dalam tubuhnya mengalir darah Arab Bani ‘Alawiyyin Negeri Hadhramaut, Kerajaan Matan-Tanjungpura, Kerajaan Mempawah, Kerajaan Luwu, dan Kerajaan Baturijal Inderagiri. Selain daripada itu, di dalam silsilah kekerabatan Kesultanan Pontianak juga mengalir darah Kesultanan Banjar. Dan pada jalur yang ke bawahnya lagi juga ada mengalir darah dari Negeri Brunei Darussalam. Kalau mau disusur-galuri lagi lebih lanjut, tentu masih begitu banyak pula kaitan kekerabatan Kesultanan Pontianak dengan negeri-negeri lainnya di Kepulauan Melayu ini, sebut saja di antaranya yaitu Negeri Siak Seri Inderapura, Negeri Kubu, Negeri Riau-Johor-Lingga-Pahang, Negeri Selangor, dan beberapa yang lainnya.

Ditarik lurus dari garis laki-laki (daripada ayahandanya), Sultan Syarif Yusuf Al-Qadri merupakan keturunan ke-4 daripada Al-Habib Husain Al-Qadri (Tuan Besar Mempawah yang berasal dari Kota Tarim-Negeri Hadhramaut/kini masuk wilayah Negara Yaman). Jika ditarik dari garis perempuan (daripada ibundanya), Sultan Syarif Yusuf Al-Qadri merupakan keturunan ke-4 daripada Opu Daeng Menambon (Raja Mempawah yang berasal dari Kerajaan Luwu, Sulawesi), keturunan ke-5 daripada Sultan Muhammad Zainuddin (Sultan Matan), keturunan ke-6 daripada Panembahan Senggaok (Raja Mempawah Lama/Senggaok), dan keturunan ke-7 daripada Raja Qahar (Raja Baturijal Inderagiri, Sumatera).

Sultan Syarif Yusuf Al-Qadri dikenal sebagai sultan yang paling banyak mengkhidmatkan dirinya dalam ihwal syi'ar Islam. Tuanku Sultan dikenang sebagai pemangku negeri yang sangat kuat berpegang pada syari'ah Islam. Seri Paduka Tuanku sangat terkenal di antara raja-raja yang ada di Bumi Borneo Barat, bahkan dikenal kemasyhurannya hingga ke luar negeri, yaitu sebagai sultan dari sebuah kerajaan Islam. Tuanku juga banyak melakukan perdagangan dengan Singapura.

Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Yusuf Al-Qadri, ramai berdatangan orang-orang Bugis dari Pulau Sulawesi ke Negeri Pontianak. Mereka rata-rata berpencaharian dari bertani, berkebun kelapa, serta menjadi nelayan di Sungai Kakap. Orang-orang Bugis ini juga ramai yang bermukim di dekat lingkungan Istana Kesultanan Pontianak, juga ramai yang bermukim di Jongkat dan Peniti.

Ketika era pemerintahannya ini pula ramai berdatangan orang-orang dari berbagai negeri di Kepulauan Melayu ini ke Negeri Pontianak. Para pedagang dan pelaut berdatangan ke Pelabuhan Pontianak. Sebagian dari pelaut dan pedagang itu ada juga yang meminta izin mendirikan pemukiman baru dan membuka hutan.

Sebagaimana sisi sosial kemasyarakatan, budaya, ekonomi, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur yang bergerak maju, begitu pula pada sisi penegakan hukum. Pada masa pemerintahan Tuanku Sultan, Mahkamah Syari’ah begitu berperan penting di dalam Negeri Pontianak. Keberadaannya sebagai lembaga tempat mencari keadilan yang berlandaskan Hukum Islam sungguh begitu terasa di tengah-tengah masyarakat. Bahkan tak jarang Tuanku Sultan yang langsung bertindak sebagai hakim dalam hal memutuskan berbagai macam sengketa hukum di tengah-tengah rakyat yang dicintainya dan mencintainya, dan tentu pula memutuskan perkara-perkara tersebut dengan segenap kebijaksanaan dan keadilan sesuai dengan kapasitasnya sebagai umara’ pemangku negeri sekaligus ‘ulama.

Pontianak sebagai negeri yang darussalam tentunya tak terbangun dengan sendirinya. Negeri yang darussalam itu dapat terwujud salah satunya karena visi pendiri negeri serta para sultannya dari tiap generasi masa pemerintahan. Jasa para pemangku Negeri Pontianak ini tentunya takkan pernah kita lupakan. Perjuangan mereka demi menegakkan Negeri Pontianak sebagai negeri yang bermarwah dan bermartabat patut diapresiasi oleh putera-puteri Bumi Khatulistiwa Bertuah ini. Dan gerak Negeri Pontianak yang lebih maju lagi ke hadapan tentunya juga bersesuaian dengan cita-cita para pemangku negeri yang bersinggasana di Istana Qadriyah ini. Perjuangan yang lebih besar lagi tertanggung pada masing-masing pundak putera-puteri Negeri Pontianak, sehingga negeri ini terus bisa berjaya kini hingga ke masa hadapan, sebagaimana yang telah di’azamkan para pemangku negeri yang kita cintai ini. [#*#]


Hanafi Mohan
Negeri Pontianak & Tanah Betawi
Januari-Juli 2014



** Tulisan ini sebelumnya dimuat di Rubrik Opini, Surat Kabar Pontianak Post, Sabtu 12 Juli 2014.


Selasa, 09 Agustus 2016

Dindéng Tecontang-Conténg


Pagi itu Deraman Kumar agak telat berangkat kerje. Naék tambang oplét merupekan kebiasean sehari-harinya kini. Sepanjang jalan menuju ke tempat kerjenye, bebagai macam ragam pemandangan sentiase melintas di depan matenye.

Jalor pejalan kaki yang tak befungsi sebagaimane rencane awal, tong sampah tepi jalan yang indah menawan harom semerbak. Jalan padat merayap senike-nike penoh sesak motor, oto, dan kengkawannye. Bunyi klakson yang merdu memekakkan telinge. Pemandu motor dan oto serte sejenésnye tu yang betindak semao’ ati, seakan-akan jalan raye tu punye emak bapak datok nénék moyangnye. Dan dindéng tecontang-conténg sepanjang jalan, yang tiap gorésannye adelah karya terindah pade abad ini, yang dilukis dengan kedalaman cite dan rase. Pelukisnye tentu boléhlah kite kasi’ gelar paléng masyhor abad ini, yaitu “Kaom Perosak”.

Teténgok dindéng tecontang-conténg camtu, teringat pulak Deraman ngan kisah
satu pélam arahan Allahyarham P. Ramlee yang betajok “Ali Baba Bujang Lapok”. Yang kena’ conténg oleh kumpolan penyamon itulah die romah Ali Baba yang rencanenye nak dijadikan tempat tujuan tindakan jenayah penyamonan.


Awak tentu maséh ingat ngan tebiat P. Ramlee yang belakon sebagai Chief Abu Hasan (Ketue Kumpolan Penyamon), S. Samsudin (Sudén) yang belakon sebagai Kasém Baba, Aziz Satar (Si Ajés) yang belakon sebagai Ali Baba, Apék dan Marjinah, dan sebagainye dalam pélam tesebot.

Kalau dalam pélam Ali Baba Bujang Lapok, yang tukang contang-conténg romah orang tu adelah kumpolan penyamon, apeke mungkin yang tukang contang-conténg di kote kediaman Deraman Kumar kini kumpolan penyamon ga’? Atau macam yang disebotkan tang atas nun, bahawe betollah kirenye mereke tukang contang-conténg tu adelah sebangse kaom perosak. Entahlah.

Deraman cuman dapat merucai dan belétér lam atinye ja’, sambél harap-harap secepatnye dapat jejak ke tempat kerjenye. Ape pasal? Kerane Deraman mang dah tadak kuat ndengar bunyi klakson tepekék jerét tepekék kaong di tengah jalan raye yang padat merayap, ditambah dengan udare sekitar yang pengap, panas, sesak dengan jerebu asap senapot motor, oto, terak, bas, pékap, dan saudare marenye.


[HM/Tanah Betawi, 9 Ogos 2016]