Jumat, 11 September 2015

Raja Haji Melawat Pontianak


Alkisah maka tersebut perkataan Pangeran Syarif Abdurrahman bin Sayyid Asy-Syarif Husain Al-Qadri. Syahadan adalah Pangeran Syarif Abdurrahman itu bundanya orang Matan. Adapun ia mendapat gelaran Pangeran itu di dalam negeri Banjar tatkala ia beristerikan anak saudara Sultan Banjar yang bernama Ratu Syahar Banun. Syahdan adapun Pangeran Syarif Abdurrahman itu sudah memang ia beristerikan puteri Opu Daeng Menambon yang bergelar Pangeran Emas Seri Negara. Adalah puterinya yang jadi isteri Pangeran Syarif Abdurrahman itu bernama Utin Candramidi.

Sebermula kata sahibul hikayat ada pada suatu masa Pangeran Syarif Abdurrahman Al-Qadri pergi ke Negeri Sanggau maka hendak mudik melakukan perniagaannya. Maka ditahan oleh Panembahan sanggau tiada di berinya mudik ke sekadau. Maka Pangeran Syarif Abdurrahman Al-Qadri keras juga hendak mudik maka jadilah perbantahan dengan Panembahan Sanggau itu. Maka dibedilnya perahu-perahu Pangeran Syarif Abdurrahman Al-Qadri. Maka Pangeran Abdurrahman Al-Qadri membalas pula. Maka menjadi perang besarlah berbedil-bedilan dengan meriam dan lela azamatlah bunyinya serta sorak tempiknya. Syahdan adalah kelengkapan Pangeran Syarif Abdurrahman besar kecil ada empat puluh buah. Maka kira-kira tujuh hari perang itu maka tewaslah Pangeran Syarif Abdurrahman, lalu undur balik ke Pontianak, maka membuatlah perahu besar. Maka kira-kira lapan bulan bersiap-siap itu, maka Pangeran Syarif Abdurrahman minta bantu ke Riau.

Syahdan apabila Raja Haji Engku Kelana mendengar khabar surat dari Pontianak itu, maka ia pun bersiaplah di dalam negeri Selangor. Tiada berapa hari sampailah ia ke negeri Muntuk. Maka gemparlah negeri Palembang mengatakan Engku Kelana Raja Haji ada di Muntuk. Maka khawatirlah Sultan Palembang yang amat sangat kalau-kalau ia masuk ke Palembang. Maka musyawarahlah Sultan Palembang itu dengan segala menteri-menterinya. Maka sembah segala menteri-menterinya, `Baik kita periksa dahulu jangan kita menyangka-nyangka yang tiada baik dahulu.`

Syahdan maka Sultan Palembang pun menyuruh satu menterinya memeriksa Raja Haji. Maka jawab Raja Haji, "Kita ini hendak pergi ke Mempawah, ziarah ke makam Tuan Besar Mempawah, serta hendak ke Pontianak." Syahdan setelah suruhan Sultan mendengar titah Raja Haji itu, maka ia pun balik mempersembahkan kepada Sultannya. Maka menyuruh pula Sultan Palembang satu kerangkanya membawa wang dan harta, serta makan-makanan pada angkatan kelengkapan Raja Haji itu. Maka Raja Haji pun bertitah kepada suruhan itu katanya, `Kita kirim salam takzim kepada saudara kita Sultan Palembang itu dan kita menerima kasih kepadanya yang amat banyak tiadalah kita masuk kedalam Palembang lagi, karena kita hendak segera berlayar sekadarkan singgah mengambil air dan kayu jua di Muntuk ini, jangan lah saudara kita kecil-kecil hati akan kita.` Syahdan setelah suruhan itu mendengar perkataan Raja Haji itu maka ia pun bermohonlah masuk ke Palembang. Maka lalu dipersembahkannya kepada Sultan segala pesan-pesan Raja Haji itu. Maka Sultan Palembang pun terlalunya sukanya mendengar segala pesan-pesan Raja Haji Engku Kelana itu.

Syahdan maka apabila Raja Haji telah menerima pemberian dari Sultan Palembang itu, serta telah bermuat air dan kayu, maka ia pun berlayarlah ke Mempawah. Maka apabila tiba ke Mempawah maka disambutlah oleh Pangeran Adi Wijaya, iaitu Gusti Jameril, putera Paduka Ayahanda Baginda Opu Daeng Menambon bersama-samalah bersalam-salaman dan bertangis-tangisan, sebab baharu berjumpa-jumpaan dengan sanak saudaranya. Maka Raji Haji pun berangkatlah ziarah kepada makam Tuan Besar Mempawah [1]. Kemudian maka diperjamulah oleh paduka kakanda baginda itu Panembahan betapa adat raja-raja baharu bertemu saudara bersaudara.

Kemudian apabila sudah jumapa-jumpaan itu, maka Raja Haji pun bermohonlah hendak ke Pontianak hendak berjumpa paduka kekanda Utin Candera Midi, iaitu Puteri Opu Daeng Manambun yang jadi isteri Pangeran Syarif Abdurrahman Al-Qadri. Maka berangkatlah Raja Haji itu ke Pontianak. Maka apabila tiba ke Pontianak, dipermuliakanlah oleh Pangeran Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri serta di perjumpakannya dengan istrinya Utin Candera Midi. Maka apabila berjumpa keduanya maka bertangis-tangisanlah sebab baharu berjumpa dengan sanak sauidara yang jauh-jauh.

Kemudian maka diberilah oleh Pangeran Syarif 'Abdurrahman itu akan Raja Haji itu sebuah istana. Maka naiklah Raja Haji itu ke Istana itu serta membawa anak gundiknya serta dengan joget tandaknya. Maka berkasih-kasihanlah Pangeran Syarif 'Abdurrahman dengan Raja Haji itu seperti orang bersaudara betul, serta tiadalah kalinya Pangeran Syarif 'Abdurrahman itu pergi berangkat berangkat ke istana Raja Haji laki isteri bermain-main joget Jambi. Maka sangatlah sukanya Utin Candera Midi itu akan permainan paduka adinda baginda itu kerana tiada ada di dalam Mempawah dan Pontianak joget yang demikian itu, hanyalah joget Jawa sahaja yang ada. Demikian lagi Raja Haji pun demikian tiada juga kalinya tia-tiap hari berjumpa dengan Pangeran Syarif 'Abdurrahman itu bergurau bersenda bersuka-sukaan.

Syahadan kata sahibul hikayat maka tiada berapa lamanya maka Pangeran Syarif 'Abdurrahman pun berkhabar kepada Raja Haji hal-ehwal bergaduh dengan Panembahan Sanggau itu, "Sudah lebih delapan bulan orang Pontianak tiada boleh berniaga ke Sengkadau lagi. Adapun sebab berhenti perang sebab lagi bersiap-siap berbuat kelengkapan perang kerana dahulu dicuba berperang maka tewaslah saya sebab kelengkapan tiada dengan sepertinya, lagi pula orang-orang saya pun tiada yang bersungguh mau bersusah-susah itu." Syahadan apabila Raja Haji mendengar khabar Pangeran Syarif 'Abdurrahman itu maka jawabnya, "Apalah lagi kita panjang-panjangkan lagi marilah kita langgar semula."

Setelah Pangeran Syarif 'Abdurrahman mendengar kata Raja Haji itu maka lalu berkerah menyiapkan segala kelengkapannya dan Raja Haji bersiap juga segala kelengkapan yang dibawanya dari Riau itu. Maka apabila sudah mustaid maka Pangeran Syarif 'Abdurrahman serta Raja Haji pun mudiklah ke Negeri Sanggau itu dengan dua buah kapal dan satu keci dan dua puluh delapan buah penjajab. Maka apabila sampai di Tayan maka orang-orang Sanggau pun sudah sedia menanti angkatan yang datang itu. Maka Raja Haji pun menyuruh langgar kubu Tayan itu kepada orang Riau dan orang-orang Pontianak. Maka berperanglah kira-kira dua hari lalu disuruhnya amuk kubu-kubu itu. Maka diamuklah oleh Bugis ada dua hari kubu Tayan pun alahlah, sebab banyak panglima-panglimanya mati. Maka bertaburanlah orang-orang Sanggau itu membawa dirinya ke sana ke mari.

Syahadan maka Raja Haji memudikkan segala kelengkapannya masuk ke dalam Sanggau itu. Maka apabila sampai di Kayu Tunu berjumpa pula dengan satu kubu yang besar serta beberapa banyak orang-orangnya. Maka berhentilah angkatan itu di situ bermusyawarah. Maka Raja Haji pun mengaturlah ikatan perang itu dengan ditentukannya yang akan jadi panglima kanan dan kiri serta mengaturkan melanggar perangnya serta semboyannya yang di dalam perangnya itu. Setelah teguhlah ikatan perangnya itu, pada dua puluh enam haribulan Muharram sanat 1192 maka memulailah perang.

Maka berperanglah segala kelengkapan itu melanggar kubu orang Sanggau itu. Maka berbedil-bedilanlah antara kedua pihak dengan meriam dan lela rentakanya gemuruhlah bunyi bahananya. Maka tiada juga berketewasan sebelah menyebelah. Syahadan rapatlah segala penjajab-penjajab itu kepada kubunya maka naiklah segala Bugis-Bugis mengamuk kubu-kubu itu. Maka beramuklah di dalam kubu itu berbedilkan senapang dan pemburasnya dan bertikamlah lembingnya dan bertitikkan kelewang pedangnya dan bertikamkan kerisnya berkejar-kejaran dan berhambat-hambatan ke sana ke mari. Maka seketika lagi tewaslah orang-orang Sanggau itu. Maka pecahlah perangnya bertaburanlah larinya kerana panglima-panglimanya banyak mati. Maka dapatlah kubu itu oleh Bugis. Maka alahlah Negeri Sanggau itu pada sebelas haribulan Safar sanat 1192.

Syahadan maka kedua raja itupun mudiklah ke Negeri Sanggau tempat kerajaannya, maka berhentilah kira-kira dua belas hari. Kemudian raja kedua itupun hilirlah, maka berhenti di Pulau Simpang Labi. Maka Raja Haji membuatlah satu benteng di Pulau Simpang Labi itu serta ditaruhnya enam meriam serta diberinya nama pulau itu Jam Jambu Basrah/Jambu Basrah/Jambu-Jambu Taberah. Setelah itu maka kedua raja itupun berbaliklah ke Pontianak dengan segala kelengkapannya itu. Maka tetaplah segala raja-raja itu di Pontianak bersuka-sukaan makan minum saudara bersaudara ipar beripar serta segala menterinya.

Syahadan kata sahibul hikayat maka tiada berapa lamanya, maka Raja Haji pun muafakat dengan segala orang tua-tua yang di dalam Pontianak hendak mengangkat Pangeran Syarif 'Abdurrahman menjadi Sultan di dalam Negeri Pontianak. Maka sembah segala orang tua-tua itu, "Mana-mana sahaja titah duli tuanku."

Syahadan setelah Raja Haji muafakat itu maka Raja Haji pun memulai bekerja serta menyediakan alat perkakas raja berlantik dan bertabal sebagaimana aturan adat istiadat pihak sebelah Johor, demikianlah diperbuatnya melainkan bertambah sahaja adatnya Bugis seperti mengaruk-aruk, iaitu adat Bugis. Setelah mustaid sekalian alat perkakas bertabal itu, maka pada ketika hari yang baik, maka Raja Haji pun mengumpulkan segala orang besar-besar dan raja-raja dan orang-orang negeri berkumpullah segala raja-raja itu. Maka Raja Haji pun memakailah dan memakaikan Pangeran Syarif 'Abdurrahman itu dengan pakaian berlantik. Setelah selesailah daripada itu, maka baharulah diturunkan ke balairung serta dengan jawatan semberabnya seperti pedang dan keris panjang dan puan dan kipas dan ketur dan lain-lainnya, serta orang perempuan membawa kain dukungnya enam belas orang, dan membawa dian berkelopak pun enam belas juga. Kemudian baharulah dinaikkannya Pangeran Syarif 'Abdurrahman itu di atas singgahsana kerajaan, kemudian berdirilah dua orang bentara pada kanan kirinya memegang tongkat berkepala emas.

Syahadan apabila selesai bersaf-saf dan beratur segala jawatan itu maka berdirilah Raja Haji di hadapan singgahsana kerajaan serta mengunus halamangnya berteriaklah ia dengan nyaring suaranya dengan katanya, "Barang tahu kiranya segala raja-raja dan orang-orang besar bahawa sungguhnya kami mengangkat akan Pangeran Syarif 'Abdurrahman ini menjadi raja di dalam Negeri Pontianak dengan segala takluk daerahnya. Adalah bergelar Sultan Syarif 'Abdurrahman Nur 'Alam Karar dan tetap di atas kerajaannya di dalam negeri ini turun atas anak cucunya." Syahadan maka menjawablah segala orang-orang itu, "Daulat, bertambah-tambah daulat!" Kemudian baharu dipukulkan nobat. Maka sekalian orang-orang pun menjunjung dulilah.

Syahadan apabila selesailah daripada pekerjaan lantik berlantik itu, maka Raja Haji pun membuatkan satu kota perdalamannya. Adapun kayu itu, iaitu kayu Kota Sanggau yang dipindahkannya ke Pontianak. Kemudian diaturkannya segala orang besar-besarnya dengan gelarannya dan pangkatnya dan pekerjaannya dan diaturkannya pula adat di dalam istana dan balai. Maka sekalian adat-adat itu seperti adat Negeri Riau jua adanya.

Syahadan kata ahli'l-tawarikh adalah kira-kira enam belas bulan Raja Haji itu di dalam Pontianak dengan bersuka-sukaan dengan Sultan Syarif 'Abdurrahman dua laki isteri dengan permainan tiap-tiap hari.

Syahadan maka tiba-tiba datanglah suruhan dari Riau menyilakan Raja Haji balik ke Riau kerana Yang Dipertuan Muda Dahing Kambuja gering sangat. Syahadan setelah Raja Haji mendengar khabar suruhan itu maka ia pun minta dirilah kepada Sultan Syarif 'Abdurrahman laki isteri hendak balik ke Riau. Maka Sultan Syarif 'Abdurrahman laki isteri pun berkemaslah menyiapkan perbekalan paduka kekanda itu. Syahadan di dalam hal itu datanglah pula sekali lagi suruhan dari Riau mengatakan paduka kekanda baginda Yang Dipertuan Muda Dahing Kambuja telah mangkat serta Raja Haji dan Sultan Syarif 'Abdurrahman laki isteri mendengar surat dari Riau itu maka ketiganya pun menangislah yang amat sangat. Maka Syarif 'Abdurrahman pun mengumpulkan segala tuan sayyid dan haji-haji dan lebai-lebai berkumpul ke dalam, tahlil dan membaca Qur'an dihadiahkan pahalanya kepada roh almarhum paduka kekanda baginda itu Yang Dipertuan Muda Dahing Kambuja dan beberapa pula ia mengeluarkan sedekah dan kenduri betapa adat orang kematian sanak saudaranya adanya.

Syahadan adapun Raja Haji maka bersiaplah ia akan berlayar. Maka apabila sampai waktunya maka berangkatlah Raja Haji keluar dari Pontianak. Maka Syarif 'Abdurrahman laki isteri pun mengantar hingga ke Kuala Pontianak.

Adapun Raja Haji lalulah berlayar ke sebelah barat menuju Negeri Riau. Maka apabila hampir dengan hutan Riau maka lalulah ia menuju Negeri Pahang. Maka tiada berapa hari maka sampailah ke Kuala Pahang. Syahadan maka Bendahara Tun Abdul Majid pun keluarlah mengalu-alukan Raja Haji itu datang. Maka apabila berjumpa bersalam-salamanlah keduanya, maka lalu dibawa oleh Datuk Bendahara akan Raja Haji itu mudik ke Negeri Pahang lalu diberinya istana sekali. Maka naiklah Raja Haji itu diam di darat sekaliannya.

Syahadan apabila tetaplah Raja Haji itu di dalam Negeri Pahang, maka Datuk Bendahara pun melantik Raja Haji itu betapa adat istiadat melantik Yang Dipertuan Muda. Maka menjadilah Raja Haji itu Yang Dipertuan Muda di dalam Negeri Riau dan Johor dengan segala takluk daerahnya sebab menerima pesaka paduka ayahandanya adanya. [~;~]



Catatan:
[1] Tuan Besar Mempawah yang dimaksud adalah Habib Husain, yaitu ayah dari pendiri Negeri Pontianak dan Sultan Pertama Pontianak (Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri).


Sumber: Kitab “Tuhfat Al-Nafis”, Bahagian Dua, Sub-Bahagian 27 (dengan tajuk “Raja Haji Melawat Pontianak”), hal. 189-195, Penulis: Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, Editor: Virginia Matheson, Penerbit: Fajar Bakti, Sdn. Bhd, Selangor, 1982


0 ulasan:

Posting Komentar