Hikayat Dunia

Kita hanya pengumpul remah-remah | Dari khazanah yang pernah ada | Kita tak lebih hanya penjaga | Dari warisan yang telah terkecai ||

Pontianak Singgah Palembang

Daripada terus berpusing-pusing di atas Negeri Pontianak, yang itu tentu akan menghabiskan bahan bakar, maka lebih baik pesawat singgah dahulu ke bandar udara terdekat. Sesuai pemberitahuan dari awak pesawat, bandar udara terdekat adalah Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Negeri Palembang.

Mudék ke Ulu

Pasangan dari kate “ulu” ielah “mudék”. Kate “mudék” beakar kate dari kate “udék”. Udék bemakne "sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber)", "daerah di ulu sungai", juga’ bemakne "kampong halaman (tempat beasal-muasal)".

Soal Nama Negeri Kita

Belakangan ini kiranya ramai yang berpendapat ini dan itu mengenai asal usul dan makna nama "pontianak" kaitannya dengan Negeri Pontianak. Tapi apakah semua yang didedahkan itu betul-betul dipahami oleh masyarakat Pontianak?

Kampong Timbalan Raje Beserta Para Pemukanya [Bagian-3]

Selain banyak menguasai berbagai bidang keilmuan, beliau juga banyak memegang peran dalam kehidupan kemasyarakatan. H.M. Kasim Mohan yang merupakan anak sulong (tertua) dari pasangan Muhammad Buraa'i dan Ruqayyah ini merupakan seorang Pejuang di masanya.

Musik Motivasi Setahun Silam

“Satu Kursi untuk Seniman”, begitu tagline kampanyenya. Tekadnya untuk memajukan Kalbar lewat industri kreatif tentu patut diapresiasi. Melalui industri kreatif diharapkannya dapat menjadi jembatan menjulangkan budaya yang memayungi Kalimantan Barat.

Sultan Pontianak; Umara' dan 'Ulama

Kegemilangan Negeri Pontianak salah satunya diasbabkan kepemimpinan para Sultan-nya yang arif dan bijaksana. Sultan-Sultan Pontianak selama masa bertahtanya rata-rata memiliki dua peranan, yaitu berperan sebagai umara', sekaligus berperan sebagai 'ulama.

Puisi Buya Hamka untuk Muhammad Natsir

Kepada Saudaraku M. Natsir | Meskipun bersilang keris di leher | Berkilat pedang di hadapan matamu | Namun yang benar kau sebut juga benar ||

Rabu, 31 Desember 2014

Pelatéhan Éhwal Melayu dan Milad CBMKB ke-4 Taon


Berikot ini merupekan rangkaian kegiatan nyemarak’kan Milad CBMKB ke-4 Taon

{1} Pelatéhan Éhwal Melayu

* Waktu : Juma’at, 19 Rabi’ul Awwal 1436 H / 9 Januari 2015 M, jam pukol 7.30 (lepas Sembayang ‘Ise) – 11.30 malam WNP (Waktu Negeri Pontianak)

* Tempat : Di Aula SMP BP Haruniyah, Tanjong Raye I, Jalan Haji Abu Na’im, Kampong Tambelan, Negeri Pontianak, Borneo Barat


/ Pensyarah /

# Donny Iswara [Pentadbir Sejarah Kalimantan Barat] :
- Sejarah dan Tamaddon Bangse Melayu
- Kedaulatan Budaye dan Kedaulatan Politik


# Hanafi Mohan [Pentadbir Cinte Bahase Melayu KALBAR (CBMKB)] :
- Budaye Melayu Sebagai Kekuatan Bangse
- Bahase dan Sastera Melayu
- Nulés Kampong Halaman Sorang dengan Care Pandang Budak Melayu


# Hendry Avenus [Bujang Pontianak 2004 & Bujang Kalbar-FBBK 2005] dan Yusni [Pegiat Tanjak & Kerajénan Tangan Melayu] :
Khazanah Pakaian Melayu


Pendaftaran melaluék SMS dituju ke salah satu Nomor Kontak yang ade di akhér kiréman ini, dengan format SMS: Kode Pendaftaran, Name Lengkap, Jenés Kelamén, Bangse, Bahase Ibu', Umor, Alamat. Contoh: PEM, Siti Nurhaliza, Puan-puan, Melayu, Melayu Pontianak, 21, Negeri Pontianak. Atau: PEM, Ahmad Jaéz, Laki-laki, Melayu, Melayu Sintang, 23, Negeri Sintang.

= - = - = - = - = - = - =

{2} Milad CBMKB ke-4 Taon, dengan tajok “Memartabatkan Bahase Melayu

* Waktu : Sabtu, 20 Rabi’ul Awwal 1436 H / 10 Januari 2015 M, jam pukol 7.30 (lepas Sembayang ‘Ise) – 11.30 malam WNP (Waktu Negeri Pontianak)

* Tempat : Di Aula SMP BP Haruniyah, Tanjong Raye I, Jalan Haji Abu Na’im, Kampong Tambelan, Negeri Pontianak, Borneo Barat


/ Acare /

# Pendedahan Éhwal Budaye dan 'Adat Isti'adat Melayu, Ubong-Kaétnye dengan Islam (Oleh: Al-Ustadz Burhansyah H.M. Yunus Mohan, S.Ag., M.Pd/Ketue Yayasan Pesantren Haruniyah)

# Dirangkai dengan : Orasi Budaye, Pembacean Sajak, Syair Melayu, Panton, Peluncoran Logo CBMKB, serte beberape petunjok'an Seni Budaye Melayu

= - = - = - = - = - = - =

Bagi yang beminat nak ngikot serte "Pelatéhan Éhwal Melayu dan Milad CBMKB ke-4 Taon", untuk informasi lebéh lengkapnye silekan dapat ngubongék Penyelenggare melaluék: Syahrani Zainuddin (082148021820), Iswansyah Mohan (085391905511), Dony Oesman (085386551622), Badarudin Mohan (081345433077), Donny Iswara (08125768852), atau boléh ga’ melaluék Grup Facebook “Cinte Bahase Melayu KALBAR (CBMKB)

= - = - = - = - = - = - =

Tabék

Pentadbir CBMKB



= Milad CBMKB ke-4 Taon =
(4 Shafar 1432 H / 9 Januari 2011 M – 9 Januari 2015 M)



Sumber: Dokumen Grup Facebook “Cinte Bahase Melayu KALBAR (CBMKB)

Sumber gambar: Gambar Sampul Grup Facebook "Cinte Bahase Melayu KALBAR (CBMKB)"



Minggu, 28 Desember 2014

Pontianak Bunda Khatulistiwa


Kapuas-Landak itu nadimu
Dijuluki Bumi Khatulistiwa
Tanah Bertuah Negeri Pontianak
Martabatkan Rumah yang Damai

Pontianak Bunda Khatulistiwa
Sentiasa masyhur zaman berzaman
Kutubnya para 'alim nan wara'
Selalu terjaga oleh do'a nan karamah

Pontianak zamrud berkilauan
Bertatah gemilang intan kencana
Berjodoh dengan dua sungai
Juga Garis Lintang Nol Darjah

Nishbahkan namamu Al-Funtiani
Julangkan marwah negeri ini
Engkaulah jurai zuriat Al-Funtiani
Masyhurlah martabat negeri ini

Pontianak Bunda Khatulistiwa
Buminya disengat surya-mentari
Pontianak Bunda Khatulistiwa
Tempat lahir dan membesar diri



Hanafi Mohan
Sabtu-Ahad, 6 Rabi’ul Awwal 1436 Hijriyyah,
bertepatan dengan 27-28 Desember 2014 Miladiyyah




* Sajak ini terinspirasi dari Lagu bertajuk “Mashri Ummi Al-Dunya” yang dinyanyikan oleh Jannat

** Sumber foto ilustrasi: dikompilasi dari foto hasil bidikan Yusni Nahkoda, foto koleksi Abdi Nurkamil Mawardi, foto koleksi Laman Blog Pontianak Tourism, dan foto koleksi Laman Blog Arus Deras.

Selasa, 16 Desember 2014

#Bedabol Éhwal Bahase

Video ini merupakan percakapan dua orang Budak Pontianak yang sedang merantau di Tanah Betawi. Dalam Bahasa Melayu Pontianak, percakapan yang seperti ini biasanya disebut "bedabol". Secara harfiah, makna dari "bedabol" yaitu percakapan/perbincangan tanpa tema yang spesifik. Perbincangan mengenai suatu hal terkadang sambung menyambung kait mengait dengan hal-hal yang lainnya. Karena itu pula, "bedabol" biasanya tak kenal waktu, dengan durasi perbincangan yang kadang begitu lama. Jika mulai berbincang lepas 'Isya, boleh jadi perbincangan tersebut usai ketika menjelang Shubuh. Tiap video #bedabol ini menggunakan istilah "pasal" (Pasal 1, Pasal 2, dan seterusnya) lengkap dengan tajuk masing-masing pasal yang dimaksud. Bedabol kali ini merupakan bedabol pasal 1. Tajuk yang diperbincangkan yaitu mengenai Bahasa Melayu Pontianak dan kait mengaitnya. Selamat menyaksikan.

Kamis, 27 November 2014

Hikayat Dunia


Fana dan mawjud tukar berganti
Begitu pula tamaddun,
timbul lalu tenggelam,
berdiri kemudian rubuh,
hidup dan akhirnya mati

Berapa sudah yang pernah ada
Lalu kini entah di mana
Mungkin pula telah sirna

Kita hanya pengumpul remah-remah
Dari khazanah yang pernah ada
Kita tak lebih hanya penjaga
Dari warisan yang telah terkecai

Akan tiba masa menjelang
Tika khazanah kembali terhimpun
Juga warisan sentiasa terjaga
Niscaya tamaddun tegak berdiri



Hanafi Mohan,
Rabu 26 November 2014,
dalam Bis dari Ciputat menuju Bogor





** Tajuk Puisi diadaptasi dari tajuk Lagu "Hikayat El Deniy" yang dipopulerkan oleh Nancy Ajram

*** Sumber gambar ilustrasi: Laman Website nfvf.co.za

Senin, 24 November 2014

Titah Sultan Pontianak-VIII

Kesultanan Pontianak, satu nama yang tak asing tentunya, tak terkecuali bagi para pemerhati dan peminat sejarah lambang negara. Darinya kita mengenal Sultan Hamid II, Sultan Pontianak ke-VII yang merupakan tokoh federalis, Kepala Negara Borneo Barat, dan Ketua BFO (Bijeenkomst Voor Federaal Overleg/Perhimpunan Musyawarah Federal,). Beliau salah seorang tokoh yang mengantarkan keberhasilan pelaksanaan Konferansi Meja Bundar (KMB), hingga terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS). Sultan Hamid II juga dikenal sebagai Perancang Lambang Negara, yang kemudian sejarah dirinya terus menerus dinistakan oleh negara ini.

Setelah kemangkatan Sultan Hamid II (Lahir di Negeri Pontianak pada 12 Juli 1913. Ditabalkan menjadi Sultan Pontianak pada 29 Oktober 1945. Wafat di Jakarta pada 30 Maret 1978. Dimakamkan di Negeri Pontianak, tepatnya di Pemakaman Batu Layang/Pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak), tahta Kesultanan Pontianak sempat terjadi kekosongan. Sungguhpun begitu, kerabat Istana Kadriah Kesultanan Pontianak terus menjaga adat tradisi dan warisan Kesultanan Pontianak. Hingga pada tahun 2004 ditabalkanlah Syarif Abubakar Alkadrie sebagai Sultan Pontianak ke-VIII. Hingga kini, Seri Paduka Duli Yang Maha Mulia Tuanku Sultan Syarif Abubakar Alkadrie lah yang bersemayam di atas tahta kerajaan di dalam Negeri Pontianak. Semoga Allah sentiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada Paduka Sultan, hingga tetap selalu dapat memayungi Negeri Pontianak dengan segenap kebijaklaksanaannya. Nikmat iman, umur, dan kesehatan semoga sentiasa mengiringi setiap jejak langkah Tuanku Sultan. Taufik dan hidayah-Nya juga semoga selalu tercurahkan dalam setiap titah Baginda Sultan.



TITAH 
Sultan Syarif Abubakar Alkadrie


Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Mengucapkan Puji dan Sujud ke Hadhirat Allaah Subhaanahu wa Ta’ala, Tuhan bagi Seru Sekalian ‘Alam, karena kepada-Nya kita kembalikan segala urusan dari dunia hingga akhirat. Semoga dengan Ridha-Nya, kita semua digolongkan menjadi orang-orang yang beruntung. Mengatur pula Shalaawat serta Salam untuk memperoleh Berkat dan Syafaa’at kepada junjungan kaum muslimin, Baginda Sayyidina Muhammad Rasulullaah Shallallaahu ‘Alayhi wa Sallam, sahabatnya, dan seluruh keturunannya Ahlil Bayti Ajma’in.


Amma Ba’du

Setelah mempelajari situasi dan kondisi yang berkembang di Kesultanan Pontianak beberapa waktu yang lalu. Dengan ini menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Menyikapi pemberitaan adanya penerus kesultanan yang dimuat pertama kali di Harian Pontianak Post tanggal 3 November 2014 dengan menetapkan atas nama Syarif Toto Alkadrie bin Syarif Thaha Alkadrie sebagai Sultan yang ke-X menggantikan saya dengan alasan telah terjadi kekosongan jabatan selama beberapa tahun di Kesultanan Pontianak, maka saya menyatakan bahwa hal itu tidak benar.

2. Saya dinobatkan sebagai Sultan Pontianak adalah sesuai dengan Ketetapan No. 154 tahun 1971 tanggal 28 Desember 1971 dan No. 118/1978 tanggal 11 Juli 1978 yang dikeluarkan oleh Mahkamah Syari’ah/Pengadilan Agama Pontianak, bahwa saya adalah pewaris yang akan melanjutkan tahta kesultanan menggantikan Allahyarham Sultan Syarif Hamid II Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, disandarkan kepada Hukum Fara’id Syari’at Islam yang berlaku. Titah penobatan juga diberikan oleh Ibunda Ratu Perbu Wijaya pada Tahun 2004.

3. Berdasarkan ketetapan Fara’id sesuai hukum Syari’at Islam inilah saya melanjutkan Tahta sepeninggal Allahyarham Sultan Syarif Muhammad Alkadrie datuk saya lalu Sultan Syarif Hamid II Alkadrie pamanda saya, Sultan yang ke-VI dan ke-VII, sebagai pewaris tahta kesultanan yang ke-VIII. Bukan disandarkan pada latar belakang zitiryo hyogikai (dewan kerajaan) bentukan balatentara jepang yang telah secara empiris bahwa balatentara jepang itu terbukti membunuh seluruh keluarga besar saya pada masa pendudukannya di Kalimantan Barat.

4. Telah terjadi kesepakatan antara gahara laki-laki pewaris Allahyarham Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, yakni saya sendiri Syarif Abubakar Alkadrie bin Syarif Mahmud Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad Alkadrie; Syarif Yusuf Alkadrie bin Syarif Usman Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad Alkadrie; dan Syarif Abdullah Alkadrie bin Syarif Abdul Muthalib Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad Alkadrie untuk menjaga adat istiadat tradisi Kesultanan Pontianak. Takdir Allah menjemput kedua abangnda saya menghadap-Nya sehingga tersisa saya sendiri. Bahwa kesepakatan itu tidaklah untuk menempatkan orang lain lagi sebagai pewaris tahta kesultanan, maka dengan ini saya menegaskan, keterangan yang dimuat di Harian Pontianak Post itu tidak benar.

5. Bahwa tidak benar adanya rapat keluarga besar di Istana Kadriah Kesultanan Pontianak untuk mengangkat/mengukuhkan Sultan Pontianak yang baru sebagai pengganti saya.


Bismillaahirrahmaanirrahiim

Saya yang berada di atas Tahta Kesultanan Pontianak, Sultan Syarif Abubakar Alkadrie bin Syarif Mahmud Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, Sultan Pontianak ke-VIII menyerukan dan menyampaikan TITAH:

Atas Asma’ Allaah Subhaanahu wa Ta’ala dan Muhammad Rasuulullaah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam, kepada seluruh keluarga besar Alkadrie yang berada di dalam wilayah Negeri Pontianak dan sekitarnya maupun di perantauan, seluruh pencinta dan pemerhati Kesultanan Pontianak, marilah kita berfikir jernih, bermusyawarah dan bermufakat menyandarkan segala pemikiran kepada Al-Qur’an dan Sunnah, merapatkan barisan dan berjabatan tangan di dalam tali ikatan ukhuwah yang penuh dengan semangat kebersamaan, perdamaian, kasih sayang, dan kekeluargaan. Menegakkan dan tunduk pada hukum syari’at sebenar-benarnya dari dunia hingga ke akhirat.

Alhamdulillaahi Rabbil ‘Aalamiin.


Demikian Titah ini saya serukan. Semoga Allaah Subhaanahu wa Ta’ala memberikan hikmah dan keridhaan-Nya bagi kita semua, dan menempatkan kita di yawmil akhir bersama golongan orang-orang yang Allaah Subhaanahu wa Ta’ala berikan anugerah kesempurnaan, serta memperoleh syafaa’at Rasuulullaah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Aamiin.


Pontianak, 25 Muharram 1436 Hijriyyah,
bertepatan dengan 18 November 2014 Miladiyyah



SULTAN SYARIF ABUBAKAR ALKADRIE
BIN SYARIF MAHMUD ALKADRIE 
BIN SULTAN SYARIF MUHAMMAD ALKADRIE

SULTAN PONTIANAK KE-VIII


Dengan dinyatakannya titah dari Seri Paduka Duli Yang Maha Mulia Tuanku Sultan Syarif Abubakar Alkadrie yang bersemayam di atas tahta kerajaan di dalam Negeri Pontianak, maka jelaslah adanya bagi rakyat Negeri Pontianak akan segala macam duduk persoalan berkenaan dengan negeri yang Darussalam ini. Kiranya tak ada lagi keraguan akan apa-apa yang menimpa Negeri Pontianak dahulu hingga ke masa kini. Hanya berharap, Negeri Pontianak ‘kan selalu gilang gemilang, hingga menjulanglah marwah negeri yang terberkahi ini.

Daulat Tuanku Sultan.


Sabtu, 15 November 2014

Syair Pontianak Dilanggar Jepon


Dai nippon itu amat celaka
Laksana iblis ahli neraka
Sultan dan rakyat dihabisinya
Bersama dengan putera mahkota

Aduhai nippon dan sekutunya
Membentuk majelis nistakan budaya
Binasalah adat istiadat negara
Oleh perbuatan campur tangannya

Jasad korbannya belum dipurna
Terbiar di bumi dan di sungainya
Bahkan bertambah korban nyawa
Dai nippon kian menyampuri gahara

Syukur selamat seorang putera
Cerdas dan kaséh elok rupanya
Pulanglah dia menerusi tahta
Bersama hati nan penuh duka

Aduhai putera bijaklaksana
Banyak membantu sanak saudara
Dibantunya juga negara jirannya
Ikhlas berbuat itulah akhlaqnya

Namun tak sudah namanya bala
Baginda dizhalimi tiada terkira
Terpisahlah dari anak keluarga
Segala rakyat kembali duka

Aduhai Tuanku demikian sabarnya
Tahan derita tiada terkira
Sanak dihasut pula rakyatnya
Turut membenci dan memfitnahnya

Kepada Allah yang dijunjungnya
Diserahkannya taqdir atas dirinya
Segala budi nan dibuatnya
Ditujukan demi peroleh ridha-Nya

Tak mungkin hikayat 'kan selamanya
Berpihak pada zhalim celaka
Dengan azimat iman dan taqwa
Semoga Allah kembalikan haknya

Inilah kisah Serambi Madinah
Petiklah di dalamnya segala hikmah
Teramat utama tegakkan syari'ah
Meskipun badai datang membelah

Khattul istiwa gelar negerinya
Kini dikuasai oleh tetangganya
Berpecah belah suku-bangsanya
Sebab ditinggalkan oleh khalifahnya

Semoga Allah beri petunjuk
Menjadikan kita hamba yang khusyuk
Mendapat hikmah ilmu nan teruk
Sampai masanya bumi memeluk


*** Syair ditulis oleh: Donny Iswara

Rabu, 22 Oktober 2014

Nampak Seri Akar Tak Jejak


Apa yang tampak di permukaan belumlah tentu sesuai adanya. Banyak yang mengada-ada, tapi tak sesuai kenyataan. Jauh panggang daripada api. Doktrin ini itu hanyalah igauan belaka. Kalikan nol, sehingga semua pengelabuan tetap menjadi kelabu, bahkan semakin tampak gelapnya. Yang bertopeng akan semakin tampak wajah sejatinya. Rupanya bermanis-manis muka, masam kecut yang sebenar-benarnya.

Lembaran-lembaran pohon salasilah telah terdedah. Mana gelap mana terang tentu semakin nyata. Kuasa nan puaka sudah tak dapat lagi mengelak dan berkilah. Percuma berterus-terusan menutup rapat-rapat segala macam ragam dusta.

Khilaf hanya boleh sekali, bukan berkali-kali. Jika ianya sentiasa berulang, bukan khilaf namanya, melainkan kesengajaan untuk menindas. Dan itu adalah penjajahan. Kami para zuriat yang diinisiasi dengan Tombak Benderang pada setiap fase kehidupan takkan diam berpangku tangan. Bungkam sama saja bersetuju dengan penindasan yang ditimpakan ke atas negeri kami yang berdaulat.

Sungguh kami sadar sesadar-sadarnya, bahwa tiada daya upaya yang kami punya. Tapi cukuplah segala tunjuk ajar dari para tetua, yang darinya memancar cahaya gemilang tamaddun, ‘kan menjadi pemanggil semangat jiwa. Dan pengorbanan jiwa serta raga para pemangku negeri kami tentu juga menjadi pemandu jalan menuju benderang di sana.

Tiada ‘kan pernah sama sekali kami berpegang kepada yang “nampak seri akar tak jejak”, karena telah nyata rupa kamuflase Negara Puaka. Telah tumpas punah ranah tebiat “mengelakkan hantu terpeluk ke bangkai”. Tentu takkan pernah ingin “lepas dari mulut harimau, lalu masuk ke mulut buaya”.

Kekuatan jiwa kami ialah adat resam yang memang telah mengisi relung diri. Begitupun kecintaan kepada negeri tanah kelahiran sudah sebati dengan diri kami, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup dan kehidupan kami. Karena kami telah mawjud menjadi askar setia, melanjutkan perjuangan para Setie Lile Pahlawan, yang mengabdikan segenap hidupnya berkhidmat sebagai Timbalan Raje. *#*



Hanafi Mohan
Medio Oktober 2014



Sumber gambar ilustrasi: http://pixabay.com/ dan http://nurillahiyahmunggaran.blogspot.com/

Minggu, 19 Oktober 2014

Daghat atau Ulu, Bukan Pedalaman


Kami di Borneo tak pernah mengenal istilah "pedalaman" dan juga "orang pedalaman" ataupun "suku pedalaman" atau "orang terasing" atau "suku terasing". Di dalam kosakata kami hanya ada istilah: ulu (hulu), ilé' (hilir), laot (laut), daghat (darat), Orang Laot, Orang Darat, Orang Ulu. [HM/03122011]

Kamis, 16 Oktober 2014

Ketika di Haribaan


Jikalau persada bersimpuh
di haribaan waktu,
entah pagi entah petang,
atau siang apalagi malam
Sujud qalbu di hadapan taqdir

Masihkah hamba 'kan sentiasa
bersimbah arona jingga,
atau keribang,
mungkin pula dadu

Ke setiap jengkal buana
Hanyalah sehelai sepinggang

Sudahlah hamba faham
akan erti cahaya mata
Terus berpinar
walau apapun racau dunia

Di sempadan langit dan bumi
Jingga telah pun tenggelam
Lalu hadir keribang
diliputi arona dadu


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hanafi Mohan
Sabtu, 2 Dzulhijjah 1435 Hijriyyah,
bertepatan dengan 27 September 2014 Miladiyyah

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -



Catatan:
- simbah = dibasahkan dengan cara agak menghentak/agak kuat
- arona = warna
- jingga = warna kuning kemerah-merahan (oranye)
- keribang = warna merah tua bercampur biru (ungu/violet)
- dadu = warna merah muda (pink)
- erti = arti
- sempadan = batas




** Sumber gambar ilustrasi: wallfoy.com


Senin, 07 Juli 2014

Melawat ke Pintu Kote

Istana Qadriyah tampak dari rumah kerabat Kesultanan Pontianak
Juru Foto: Yusni Nahkoda
Pagi Ahad 18 Mei 2014, Kota Khatulistiwa sedang cerah. Sisa-sisa selepas Pemilu Legislatif 2014 sudah tak tampak. Masyarakat kembali seperti biasa kehidupannya. Sesekali terdengar juga bincang ringan mengenai Pemilu Legislatif tempo hari. Juga Pemilihan Presiden yang tak lama lagi dijelang.

Kampong Tambelan masih seperti beberapa bulan lalu, hanya ada perubahan sedikit. Rumah peninggalan almarhum ayah yang sedang direhab (atau lebih tepatnya dirombak), juga surau yang dulu beliau bangun yang sama lagi direhab, mungkin itu yang lebih terlihat. Kampong Tambelan yang tak sama lagi seperti dulu, lebih dikarenakan para tetuanya sudah ramai yang wafat. Selebihnya masihlah seperti biasa, masyarakat Melayu-nya yang selalu membuat rindu.

Bersama seorang sahabat, pagi Ahad ini berencana melawat ke Istana Qadriyah, tempat yang pernah menjadi pusat daulat Negeri Pontianak. Lagi-lagi, rindulah yang menguatkan kaki menuju tempat singgasana Kesultanan Pontianak itu berada. Waktu memang tak tersedia terlalu luang, mengingat sore Ahad ini sudah harus terbang balik ke Tanah Betawi.

Sepanjang Jalan Tanjung Raya I adalah tempat-tempat kenangan diri pernah teruntai. Maka perjalanan menuju Istana Qadriyah kali ini juga merupakan perjalanan menelusuri nostalgia.

Istana Qadriyah Kesultanan Pontianak (tampak dari depan)
Juru Foto: Yusni Nahkoda

Waktu memang tak terkurung, melainkan ia bergerak sesuai dengan hukum sejarah. Walaupun ia tak lumpuh, tapi hingga kini ia membisu. Generasi kini hanya merasakan dampak sejarah, sedangkan fakta sebenarnya semakin hari semakin buram.

Dan negeri ini yang dahulunya berdaulat, kini tak lebih bagai negeri tak bertuan, atau lebih tampak sebagai negeri yang dikuasai oleh kaum asing. Tak ada yang berubah sejak bertahun-tahun silam, kecuali hanya secuil, bahkan kini semakin tak menentu. Hancur luluh lantak marwahnya, bertabur biaran lintang pukang putera-puteri negerinya.

Berjualan (pakaian dan sebagainya) di dekat plang nama Istana Qadriyah
Juru Foto: Dony Oesman

Detik-detik melewati ruas Jalan Tanjung Raya I adalah masa-masa yang penuh remuk redam. Nostalgia yang bertumpuk-tumpuk dengan sejarah kehancuran negeri ini yang mengharu-biru.

Setelahnya, melewati pula simpang tiga perjumpaan Jalan Tanjung Raya I, jalan menuju Istana Qadriyah (yang tepat berada di Kampong Dalam), dan jalan menuju Kampong Bugés-Kampong Arab-Kampong Tanjong Ilé'. Karena hendak menuju ke Istana Qadriyah, maka ke arah kiri lah kendaraan bergerak. Puing-puing kehancuran itu semakin berjejal-jejal.

Dari arah darat, menuju ke Istana Qadriyah berarti menuju ke arah laot. Begitulah arah mata angin yang kami kenal (ulu, ilé', darat, dan laot). Mesjéd Jami' Sultan Syarif 'Abdurrahman Al-Qadri (Mesjéd Jami’ Kesultanan Pontianak) pas berada di tepi Sungai Kapuas, tak jauh dari simpang tiga perjumpaan Sungai Kapuas dan Sungai Landak (kami biasa menyebutnya Tanjong Besiku). Senentang dengan Mesjéd Jami' terdapatlah Istana Qadriyah.

Pintu Kote (tampak banyak kendaraan yang sedang diparkirkan)
Juru Foto: Dony Oesman

Jika Mesjéd Jami' tepat berada di tepi Sungai Kapuas, maka tidak demikian dengan Istana Qadriyah. Dari tepi Sungai Kapuas di sekitar Tanjong Besiku dapat dilihat secara jelas bangunan Mesjéd Jami' yang khas itu. Dari Mesjéd Jami', berjalan sedikit ke arah ulu barulah kita dapat menjumpai Istana Qadriyah. Untuk menuju ke Istana Qadriyah, kita harus melewati dulu benteng istana berupa gerbang. Masyarakat Pontianak biasa menyebut benteng istana ini dengan sebutan Gerbang Kote atau Pintu Kote. Dari sinilah sebenarnya isi tulisan ini bermula.

Di sekitar Pintu Kote kini lebih tampak seperti pasar (dan memanglah pasar yang tak tentu rudu bentuknya). Sudah tak tampak lagi kalau di situ dahulunya adalah pusat daulat Negeri Pontianak. Entah bagaimana lagi menggambarkan betapa sebaknya hati memandang semua itu.

Dahulu ketika masih sering melintas di sekitar Pintu Kote ini memanglah suasananya sudah seperti itu, ramai, apalagi memang ada pasar dan kedai-kedai yang berhampiran di dekatnya. Tapi kini suasana yang tampak itu semakin kacau balau tak tentu rupa.

Berjualan pakaian di dekat Tugu Peringatan
Juru Foto: Dony Oesman

Tugu Peringatan, demikianlah kami biasa menyebutnya. Didirikannya tugu itu merupakan tapak ingatan rakyat Negeri Pontianak, tanda kasih sayang rakyat terhadap sultannya. Tugu yang berada di dekat Pintu Kote tersebut dibangun untuk memperingati 40 tahun masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad Al-Qadri (Sultan Pontianak ke-VI). Tapi kini apa pula macamnya yang terjadi dengan bangunan Tugu Peringatan tersebut? Lihatlah, orang-orang yang entah dari mana datangnya itu, orang-orang yang tak punya adab dan tak punya adat itu dengan semau hatinya menggantung-gantungkan barang dagangannya tepat di Tugu Peringatan yang dimaksud. Pemandangan tak sedap tersebut sungguh menyayat-nyayat hati, bagai dihiris sembilu, kemudian luka itu disiram cuka.

Pengunjung yang sedang berfoto-foto di Balairung Istana Qadriyah
Juru Foto: Yusni Nahkoda

Lihatlah pula pemandangan lainnya yang tak kalah memilukan. Motor dan mobil yang seenaknya saja dilintangkan oleh para pengemudinya di sepanjang jalan dekat Pintu Kote, bahkan ada yang sampai meletakkan kendaraannya pas di laman Istana Qadriyah di dekat tangga naik ke istana. Belum lagi pakaian orang-orang entah dari mana itu yang berkunjung masuk ke Istana Qadriyah, yang pakaiannya itu seperti pakaian orang-orang yang tak punya adat serta tak punya adab. Belum lagi perangai orang-orang tersebut di dalam Istana Qadriyah, poto sana poto sini, bergerak ke sana bergerak ke sini, entah apa pula yang ada di dalam isi kepala mereka itu. Tak tau kah mereka bahwa tempat yang ditijak-tijaknya itu adalah tempat para sultan kami suatu kala dahulu memangku Negeri Pontianak dengan segenap daulat, marwah, dan martabat, hingga tamaddun negeri kami menjulang puncak kegemilangannya.

Daulat Negeri Pontianak ini memang telah runtuh berkeping-keping. Dan kini keruntuhan itu semakin bersimaharajalela, seakan-akan sudah tak ada lagi sesiapapun yang kuasa menegakkannya. Tak terkecuali juga Kerabat Kesultanan Pontianak pun satu persatu tak ada lagi yang punya daya upaya melakukannya.

Istana Qadriyah tampak dari laman
Juru Foto: Yusni Nahkoda

Istana-istana Kesultanan Melayu sepatutnyalah mendapat perhatian lebih dari semua elemen masyarakat. Bukanlah seperti selama ini dibiarkan terlantar. Dahulu istana-istana Kesultanan Melayu tersebut adalah pusat kedaulatan dan peradaban. Namun kini ibarat kata pepatah "Hidup segan, mati tak mau".

Kita tak ingin istana-istana tersebut hanya menjadi semacam tempat kunjungan bersejarah, setelah itu kemudian dilupakan, dimasukkan ke dalam kotak barang antik. Istana-istana tersebut bukanlah tempat kunjungan wisata, bukan pula museum barang-barang antik, melainkan ia adalah pusat kedaulatan dan peradaban suatu negeri.

Tiang Bendera di depan Istana Qadriyah
Juru Foto: Yusni Nahkoda
Setelah perjalanan menelusuri nostalgia, diri pun kembali lagi ke Tanah Betawi, meninggalkan Negeri Pontianak, menyisakan cerita yang tak berujung batas. Hanya berharap, di suatu masa dapat kembali ke tanah kelahiran, melanjutkan perjuangan generasi terdahulu yang terkandaskan. Pada saatnya nanti, akan tiba daulat kembali dijelang, demi menjulangkan tamaddun negeri yang gilang-gemilang. Sebagaimana dahulu Bendera Negeri Pontianak dengan gagahnya berkibar di laman Istana Qadriyah. Demikian pula dahulu Meriam Stimbol tak hanya menjadi pajangan belaka di muka tangga istana. [#*#]


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hanafi Mohan
Tanah Betawi, Juni 2014
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


Juru Foto: Yusni Nahkoda dan Dony Oesman


Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Laman Web "Pontianakite"


Selasa, 17 Juni 2014

Arus Deras: Ihwal Arus Deras

Arus Deras: Ihwal Arus Deras: Laman Blog " Arus Deras " hadir dengan mengusung filosofi Air, Sungai, dan Laut. Adalah suara yang menyeruak dari kejengahan akan ...

Sabtu, 17 Mei 2014

Syair Menjulang Pantun


Bismillah itu ayat permulaan
Assalamu’alaykum hamba sampaikan
Kepada hadhirin hadhirat sekalian
Tuan dan Puan marilah dengarkan

Sastera Melayu khazanah bangsa
Budaya dan bahasa patut dijaga
Supaya jangan punah binasa
Sentiasa gemilang serta berjaya

Bahasa kita penuhlah hikmah
Untuk sampaikan ilmu dan kauniyah
Bertentu tuju meluruskan aqidah
Hinggalah insan berakhlaqul karimah

Tersebutlah sastera tradisi Melayu
Selalu masyhur tiada ‘kan layu
Maknanya dalam menyentuh qalbu
Berisi petuah sudahlah tentu

Sastera tersebut Pantun namanya
Khazanah Melayu puak berbudaya
Penanda kaum beradat berbangsa
Kaum yang tentu elok berbahasa

Pantun itu empat lah baris
Dua bagian ia berlapis
Dua lariknya ibarat penapis
Dua kemudian isi penghabis

Pantun tersusun sungguh rapinya
Pertama disebut pembayang namanya
Lalu kedua isilah adanya
Taut bertaut indah dirangkainya

Dalam berpantun haruslah pandai
Patutlah pacak dalam merangkai
Kata bermakna lagi teruntai
Cerminannya jiwa yang telah terungkai

Sastera Pantun indah bahasanya
Warisan budaya kaum berbangsa
Beradat resam sarat untaiannya
Nasihat ajaran makna risalahnya

Menyampaikan pantun berpada-pada
Menjaga hati sanak saudara
Pesan dilafazh sampai ke jiwa
Sentiasa diingat bilapun masa

Adapun pantun bermacam ragamnya
Sesuai maksud ‘kan disampaikannya
Bahasa itu jiwanya bangsa
Untaian pantun khazanah budaya

Demikian Syair telah dimadah
Menjulang Pantun khathamlah sudah
Semoga majelis dilimpah berkah
Wa billahi tawfiq wal hidayah [#@#]



Hanafi Mohan
Ditulis di Tanah Betawi,
25 Jumadil Akhir – 1 Rajjab 1435 Hijriyyah/
26 April – 1 Mei 2014 Miladiyyah



** Syair ini ditulis dalam Bahasa Melayu

*** Khusus dipersembahkan dalam rangka Milad Grup Facebook “Berpantun dalam Celoteh (BDC)” yang ke-1 tahun. Diselenggarakan di Negeri Pontianak, hari Khamis, tarikh 15 haribulan Rajjab sanat 1435 Hijriyyah, bertepatan dengan tarikh 15 haribulan Mei sanat 2014 Miladiyyah.



Sumber gambar ilustrasi: http://fcendvsyudesign.blogspot.com/


Syair ini dimuat di Laman Blog "Arus Deras"

Senin, 12 Mei 2014

Menulis dalam Bahasa Melayu


"Saudara bangsa apa?" Jika ada yang bertanya macam itu kepada saya, maka dengan tegas akan saya jawab, tanpa sedikitpun keraguan dan tanpa menyisakan sejengkalpun ruang kosong kebimbangan, bahwa "Saya Bangsa Melayu."

Tersebab saya ini Bangsa Melayu, yang lahir dan besar di Negeri Pontianak, di Borneo Barat adanya, Pulau Borneo yang berada di gugusan Kepulauan Melayu, maka sudah sepatutnya jika menulis saya lebih mengedepankan berbahasa Melayu. Iya, saya selalu menulis di dalam Bahasa Melayu, karena itulah bahasa ibunda saya, bahasa kaum saya, bahasa bangsa saya. Hanya dengan Bahasa Melayu saya bisa menyampaikan pikiran-pikiran yang mawjud di kepala. Ketika menulis pun saya lebih mengutamakan menggali kata-kata yang ada di khazanah Bahasa Melayu sendiri, tulisan dalam bentuk apapun itu. Sesekali saya sempatkan pula menulis dalam Bahasa Melayu Loghat Pontianak misalkan, yang dari situlah salah satu sumber penggalian kata-kata di dalam khazanah Bahasa Melayu seperti yang termaksud.

Bukan hanya dari segi kata-kata, penggalian khazanah Bahasa Melayu juga saya lakukan dalam hal gaya bahasa, yang dari gaya bahasa itulah sebagai salah satu pembeda antara penutur Bahasa Melayu dengan yang selainnya. Jiwa Bahasa Melayu tiada lain tiada bukan berada di masyarakat penuturnya itu sendiri. Kedegilan berbahasa Melayu yang dilakukan oleh yang selain penutur Bahasa Melayu sudah seharusnya ditumpas punah ranahkan. Begitu juga halnya dengan pengelabuan jati diri Bahasa Melayu sudah sepatutnya pula dibidas, hingga benderanglah adanya mana emas mana tembaga, yang mana berlian intan permata yang mana pula batu biasa.

Menulis dalam Bahasa Melayu adalah sebagian dari jiwa saya. Sepenggal kehidupan ini kiranya telah larut di dalamnya. Di tengah-tengah masyarakatnya yang egaliter saya lahir dan dibesarkan. Segala macam tunjuk ajar, nasihat, sastera, begitu pula adat resam budaya telah serap dan resap dalam diri ini semenjak belia. Tantangan terberat saya adalah ketika mau tak mau harus berpisah dari masyarakatnya yang bertamaddun itu. Berpisah untuk sementara waktu, walaupun diri ini tak pernah tau bila lagi masa ‘kan perjumpakan hamba yang fana ini dengan negeri kelahirannya.

Delapan belas tahun, itulah angka usia terakhir saya menimba berbagai pengalaman hidup yang begitu berharga di negeri serta di tengah-tengah masyarakatnya. Setelahnya, ruang dan waktu berbicara lain. Empat belas tahun lamanya hingga kini, ruang dan waktu memisahkan. Tapi sungguhpun begitu, delapan belas tahun sejak lahir hingga remaja, itulah masa-masa yang menentukan bagi saya, masa-masa yang begitu berharga, yang segala macam hal ihwal di dalamnya takkan dengan mudahnya hilang dan menyusut dari semesta minda dan jiwa. Delapan belas tahun itulah yang telah memberikan pengajaran dan membentuk jati diri ini sebagai Budak Melayu dari Negeri Pontianak adanya. Dan jati diri itu kiranya takkan pernah luntur sedikitpun dari kedirian ini.

Alur kehidupan yang sedemikian rupa secara alamiah telah membentuk pemahaman kebahasaan Melayu saya. Hingga pada usia delapan belas tahun itulah saya berterus-terusan bercakap-cakap dalam Bahasa Melayu Pontianak. Untuk selanjutnya Bahasa Melayu Pontianak terkunci di lisan saya, dan tersimpan rapi dalam kamus kebahasaan saya, sehingga tetap terjaga keasliannya. Interaksi dengan berbagai macam ragam puak dan kaum di Tanah Betawi telah cukup membantu saya dalam hal memilah-milah serta mengetahui yang mana-mana dari kata-kata dan tata bahasa dalam percakapan keseharian itu yang masih merupakan asli Bahasa Melayu. Dengan demikian pula (karena mengetahui yang mana yang asli Bahasa Melayu dan yang mana yang bukan asli Bahasa Melayu), makanya lisan dan semesta Bahasa Melayu saya tetap terjaga keasliannya dari pengaruh-pengaruh luar Bahasa Melayu.

Beberapa tahun silam, bahasa tulisan saya pernah agak terpengaruh oleh bahasa-bahasa dan tata bahasa yang tidak asli Bahasa Melayu (walaupun lisan Bahasa Melayu Pontianak saya tetap terjaga keasliannya). Belakangan setelah menapaki jalan yang berpusing-pusing, setelah terkelupasnya lapisan-lapisan identitas semu, sehingga benderanglah cahaya identitas sejati, maka sedikit demi sedikit susunan bahasa tulisan saya mengalami perbaikan dan perubahan menuju kesejatian Bahasa Melayu. Kalau lisan Melayu Pontianak saya jangan ditanyakan lagi, sudah pasti semakin mengental keasliannya. Dan memang dari Bahasa Melayu Pontianak lah yang merupakan salah satu sumber penggalian kemurnian Bahasa Melayu yang selama ini telah saya lakukan.

Diakui atau tidak, Bahasa Melayu yang merupakan bahasa perhubungan dan bahasa persatuan di Kepulauan Melayu ini semakin hari semakin tercelaru oleh tindakan-tindakan barbar sebagian penggunanya yang bukan penutur asli Bahasa Melayu. Celakanya tindakan barbar tersebut juga diikuti oleh sebagian penutur asli Bahasa Melayu. Lebih celakanya lagi para penutur asli Bahasa Melayu seakan-akan menjadi asing dengan bahasa puaknya ini. Tersebab itu pula, penggalian dan pendedahan kesejatian Bahasa Melayu patut berterus-terusan dilaungkan. Kita tentunya tak ingin generasi Melayu kini dan akan datang semakin terjauhkan dari kesejatian bahasa ibundanya ini. Tugas ini terbebankan di masing-masing pundak kita yang mengaku sebagai Budak Melayu. Menjadi dosa kita generasi kini jika mendiamkan saja tindakan perusakan terhadap bahasa kaum kita ini. Para perusak Bahasa Melayu tersebut tentu akan berterus-terusan pula melakukan tindakan barbar dimaksud, karena sememangnya mereka tak punya tanggungjawab moral dalam hal menjaga kesejatian bahasa bangsa kita ini, bahasanya Bangsa Melayu adanya.

Jihad dalam ihwal menjaga kesejatian Bahasa Melayu ini adalah tugas masing-masing kita Budak Melayu. Dan saya Budak Melayu yang hingga kini masihlah kental jati diri Bangsa Melayu di diri dan kedirian ini akan berterus-terusan menulis dalam Bahasa Melayu. Tiada lain tiada bukan, karena saya terlalu cinta kepada bangsa saya ini (Bangsa Melayu), termasuk juga terhadap bahasa bangsa ini (Bahasa Melayu).

Mari bersama-sama kita membiasakan diri menulis dalam Bahasa Melayu, yaitu menulis dalam Bahasa Melayu yang sejati. Salam takzim. Tabék. [HM]


* * * Catatan ini ditulis di dalam Bahasa Melayu

~ Tanah Betawi, Awal April hingga Pertengahan Mei 2014 ~


Sumber gambar ilustrasi: Laman Web "British Library"

Tulisan ini dimuat di Laman Blog "Arus Deras"


Sabtu, 29 Maret 2014

Bornéo Barat yang Istiméwe


BORNEO BARAT merupekan suatu wilayah yang istiméwe, gitu' ga' ngan negeri-negerinye dan segenap rakyatnye/masyarakatnye. Temasok di antare keistimewean itu adelah karene Borneo Barat merupekan salah satu wilayah di Kepulauan Melayu ni yang punye banyak kerajean/kesultanan yang hingge kini kerajean-kerajean/kesultanan-kesultanan tesebot maseh mawjod di atas dunie ini (di antarenye ade juga’ yang dah tak ade agék). Keberadean kerajean-kerajean/kesultanan-kesultanan itu juga’ bejejak pade ramainye jurai keturonan kerajean-kerajean/kesultanan-kesultanan yang dimaksod. Jurai keturonan kerajean-kerajean/kesultanan-kesultanan di Borneo Barat ni nyebar merate di bebagai negeri di Borneo Barat, bahkan tak sikit ga’ yang nyebar ke bebagai negeri laénnye di luar wilayah Bornéo Barat.

Tak payah kalau kite nak tau siape-siape ja’ jurai keturonan bangsawan kerajean-kerajean/kesultanan-kesultanan di Borneo Barat ni, tingok ja’ pade namenye yang name depannye merupekan gelar kebangsawanan yang dimaksod (khusus kerabat Kesultanan Pontianak dan Kerajean Kubu, selaén ade gelar kebangsawanannye pade name depannye, juga’ ade name keluarge/fam pade name name belakangnye: Al-Qadri/Al-Qadrie dan Alaiydrus/Al-Idrus).

Setelah Sultan Hamid II difitnah, didakwe, diukom, dan dipenjare oleh negare antah berantah yang pekak badak bin pekak beruang ni, negeri-negeri di Borneo Barat pon memasok’ék mase-mase yang gelap buta’. Oleh penguase negare baru yang zhalém ni (melaluék kaki tangannye yang bebelinatan dan betépék'an dose), méntal rakyat/masyarakat Borneo Barat ditekan sedemikian rupe sehingge selalu berade dalam ketetekanan.

Dalam keadean tetekan itu, sesiapepon takde yang berani negak’kan kepala’, kecuali hanye segelintér orang segelintér kaom yang merupekan kaki tangan penguase pusat yang pandai nyerupe dan nyusop, nyembunyi’kan wajah bedosenye, lalu menampak'kan tampangnye yang seakan-akan manusie baék-baék, ciri khas manusie munafiq.

Rakyat negeri jadi merane, gitu’ ga’ halnye dengan para bangsawan kaom kerabat kerajean/kesultanan. Bahkan dalam hal nuléskan namenye, bangsawan kaom kerabat kerajean/kesultanan haros pandai-pandai nyembunyi’kan identitas supaye tadak dianggap sebagai feodalis. Misalkan bangsawan kaom kerabat Kesultanan Pontianak dan Kerajean Kubu beserte jurai keturonanye nuléskan name depan “Syarif” disingkat menjadi “Sy” ja’, gitu’ ga’ “Syarifah” disingkat menjadi “Syf” ja’ (gitu’ ga’ dengan jurai keturonan Ahlul Bait laénnye yang selaén bangsawan kaom kerabat Kesultanan Pontianak dan Kerajean Kubu). Bahkan ade ga’ yang sampai ngilangkan name depan “Syarif” dan “Syarifah” tu. Gitu’ ga’ dengan name belakang “Al-Qadri”/“Al-Qadrie” kemudian diobah menjadi tak telalu nampak éjean Arab-nye menjadi “Al-Kadri”/“Al-Kadrie”/“Alkadri”/“Alkadrie” ja’, bahkan ramai ga’ yang hanye disingkat menjadi “Alk” ja’.

Sebagaimane yang nimpa’ bangsawan kaom kerabat Kesultanan Pontianak dan Kerajean Kubu beserte jurai keturonannye, gitu’ ga’ halnye yang nimpa’ bangsawan kaom kerabat kesultanan-kesultanan/kerajean-kerajean laénnye di Bumi Borneo Barat beserte segenap jurai keturonannye. Misalkan, name depan “Gusti” disingkat menjadi “Gst” ja’, name depan “Radén” disingkat menjadi “Rd” ja’. Ape hal jadi macam itu? Tentunye ade pihak-pihak tetentu yang mberé’kan tekanan méntal sedemikian rupe, bahkan menakot-nakot’ék secare fisik, sehingge para kaom bangsawan berade dalam téror méntal yang bekepanjangan.

Name tu merupekan identitas, gitu’ ga’ gelar kebangsawanan dan name keluarge/fam yang melekat pade name seseorang tu juga’ merupekan identitas. Takde satu pihak manepon yang boléh melarang-larang seseorang atau suatu kaom dalam hal pengasi’an name serte melekatkan gelar kebangsawanan dan name keluarge/fam pade namenye. Hanye negare fasis ja’ yang biasenye betebé’at macam ini ni (melarang name diri’ yang merupekan salah satu penunjok identitas kebangsean seseorang pade suatu kaom/bangse, bahkan sampai-sampai name sejati dari suatu kaom/bangse pon dilarang digunekan, padehal name kaom/bangse yang dimaksod tu merupekan identitas sejati dari kaom/bangse tesebot, kemudian haros digantikan dengan name yang laén yang sesuai dengan keingénan Pusat Kekuasean).

Dan satu yang haros tetap dikedepankan, bagi bangsawan kaom kerabat kerajean-kerajean/kesultanan-kesultanan di Borneo Barat beserte jurai keturonanye sepatotnye mempunyei derajat akhlaq, derajat keimanan, serte derajat keilmuan yang menjulang puncak. Dengan demikian, identitas negeri dan bangse yang melekat pade namenye tu sepadan dengan kualitas diri’nye, sebagaimane derajat/kualitas istiméwe para pemangku’ negeri-negeri bedaulat di Borneo Barat ni di mase silam. Dengan demikian, sehingge keistiméwean yang dimaksod tetap bejejak dan betapak hingge hari ini di negeri-negeri tanah kelahéran kite, negeri-negeri yang kite junjong serte kite cintei besame-same. Takde laén dan takde bukan ape-ape sebabnye tu, karene sejatinye Borneo Barat semémangnye istiméwe. Borneo Barat yang istiméwe, itulah yang ‘kan selalu menjadi alu-aluan kite besame. [HM]


~ Tanah Betawi, Penghujong Marét 2014 ~


* Catatan ini ditulés lam Bahase Melayu Loghat Pontianak

** Sumber gambar ilustrasi: Album FB Hanafi Mohan


Dimuat di Laman Blog "Arus Deras"

Jumat, 21 Maret 2014

Ihwal Inspirasi


Inspirasi itu tak mudah mendapatkannya. Kadang ia datang tiba-tiba, lalu pergi menghilang seketika. Terkadang juga ia sudah ada di dalam genggaman, entah mengapa lalu tiba-tiba lenyap sirna entah ke mana tak tau rimbanya.

Pada dogma itu logika berputar-putar, karena jalannya buntu, sehingga sentiasa berjumpa dengan jalan yang dimaksud (jalan buntu). Begitu pula inspirasi, jika buntu ia, lalu berputar-putarlah ia karena tak menemukan jalan keluar. Oleh karena kebuntuan itu, maka lesatkanlah ia melewati garis/keluar dari garis, out of box.

Logika yang berputar-putar alias berbelit-belit biasanya diidap oleh sesiapapun yang tak mau keluar dari zona aman mindanya. Bahkan dalam hal bernegara, logika berbelit-belit adalah penyakit akut yang mendera hampir setiap kepala, dari penguasa, cerdik cendekia, hingga rakyat jelata.

Sebagaimana logika yang lurus itu lahir dari kepala yang bersih, maka begitu pula inspirasi yang jernih itu hadir dari perenungan yang mendalam. Ketika menulis, dari perenungan yang mendalam, kemudian terpancarlah inspirasi nan jernih, yang huruf per huruf, kata per kata, kalimat per kalimat, setiap jengkal isi tulisan itu dirangkai dengan segenap penghayatan. Bahkan tak jarang si penulis larut di dalam tulisannya itu, karena itulah pancaran jiwanya yang membuahkan pemikiran, lalu mewujud rangkaian tulisan.

Bermula dari inspirasi, bermuara ke tulisan, sesederhana atau sekompleks apapun ia-nya. Sulit kiranya karya-karya itu mawjud tanpa bermula dari suatu inspirasi. Tinggal selanjutnya daya kreatif lah yang mengolah inspirasi itu menjadi sesuatu yang bermakna. Inspirasi dan kreativitas berpadu-padan dengan semesta wawasan, lalu bertelingkah dengan realita kehidupan, sehingga tersurat dan tersirat pesan yang membumi. Tulisan yang awalnya merupakan dialog antara si penulis dengan minda dan jiwanya, kemudian juga berdialog dengan pembacanya.

Inspirasi itu sejatinya lalu-lalang dengan bebas di alam sekitar kita/alam maya. Kita tak perlu menangkapnya sebagaimana polisi menangkap penjahat, atau tak sepatutnya pula kita mengurungnya sebagaimana hewan yang dikurung di dalam sangkar. Kita hanya perlu mendekatinya, bahkan kalau bisa menjemputnya, lalu bersahabat dengannya, mengajaknya bercengkerama, lalu mengkreasikan dialog-dialog itu pada karya. Dan inspirasi akan sentiasa pada kesejatiannya sebagai makhluk yang bebas, sebagaimana setiap makhluk tak ingin dikekang dan dijajah oleh otoritas apapun, kecuali hanya mengabdikan hidupnya kepada kebenaran. [HM]


~ Tanah Betawi, Medio Maret 2014 ~


Sumber gambar ilustrasi: http://indragede.blogspot.com/


Tulisan ini dimuat di Laman Blog "Arus Deras"

Selasa, 11 Maret 2014

Mudék ke Ulu


Di alam dunie ni, segale macam ragam makhlok tu bepasang-pasangan serte belawan-lawanan, tak tekecuali uga’ kate-kate. Dalam masyarakat Melayu, untok nunjokkan arah tu ade “ulu” yang belawanan ngan “ilé’”, kemudian ade ga’ “darat” nang belawanan ngan “laot”.

Satu kate yang nak kite tela’ah yaitu kate “ulu”. Kate ini (ulu) punye banyak makne, yang bise bemakne “muasal aléran sungai”, kemudian turonan dari makne tesebot yaitu “muasal segale sesuatu”, “kepala’”, “pangkal”. Di dalam Bahase Melayu juga’ dikenal kate “penghulu”, “ngulu’kan”, “ulu piso’”, “ulu parang”, “ulu ati”, “Orang Ulu” (selaén itu ade juga’ dikenal kate “Orang Darat” dan “Orang Laot”), “kulu/ke ulu” sebagai lawan kate dari “kilé’/ke ilé’”, dan beberape yang laénnye.

Pasangan dari kate “ulu” ielah “mudék”. Kate “mudék” beakar kate dari kate “udék”. Udék bemakne "sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber)", "daerah di ulu sungai", juga’ bemakne "kampong halaman (tempat beasal-muasal)". Mudék bemakne "pegi ke udék", juga’ bemakne "balék ke kampong halaman". Ketike disebotkan “mudék”, make pasangan katenye yang serasi tak laén tak bukan adelah “ulu”. Mudék ke ulu.

Dua’ kate ini ("ulu" dan "udék") pade banyak sisi merupekan kate yang bemakne same dan sejajar. Pebédean dua’ kate tesebot lebéh pade beberape kate turonannye ja’, yang mane dua’ kate ini (beserte kate-kate turonannye) digunekan dalam kalimat dengan maksod dan keadean yang bebede pula’ tentunye.

Begitu’lah khazanah bahase kite, yang kirenye takde abés-abésnye bile digali’. Karene itulah pula’, sepatotnye kite toksah besikap telalu nggampangkan khazanah bahase yang sekaye Bahase Melayu ni. Sepatotnye kite nempatkan hal-éhwal bahase ni pade tempatnye yang patot ga’. Dengan gitu’ make akan tetap tejage dan terawat dengan baék lah tentunye khazanah Bangse Melayu ni. Dengan demikian semuge kite sentiase tak'kan pernah lupa’ untok mudék ke ulu, walaupon hanye sesekali. [HM, Tanah Betawi, 3 – 11 Maret 2014 Miladiyyah]


*Ditulés lam Bahase Melayu Loghat Pontianak

**Sumber poto ilustrasi: http://www.antarafoto.com/


Tulésan ini dimuat tang Laman Blog "Arus Deras"

Jumat, 07 Maret 2014

Pesanggrahan, 12 Tengah Hari


Hari ini adalah hari ke-tiga awal masa perkuliahan semester genap tahun akademik 2013/2014. Ciputat berdetak terus dengan segala aktivitas warganya. Pada awal masa perkuliahan ini, Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentunya tak seperti hari-hari biasa pada liburan semester. Jalan Pesanggrahan yang biasanya pada saat liburan agak sepi, kini kembali normal. Seperti apakah normalnya Jalan Pesanggrahan? Coba saja keluar pada saat istirahat makan tengah hari (makan siang), sekitar jam 12 hingga jam 1 tengah hari.

Jalan Pesanggrahan adalah jalan di samping Kampus 1 UIN Jakarta, yang merupakan jalan pemukiman. Di jalan ini ramai masyarakat dan mahasiswa yang bermukim. Di masa-masa aktif perkuliahan, Jalan Pesanggrahan ini sungguhlah padat. Puncak kepadatannya yaitu ketika istirahat makan siang. Mahasiswa, Pegawai UIN Jakarta, dan entah siapa-siapa lagi penuh berjejal-jejal memenuhi badan jalan demi memenuhi hajat kampong tengah yang harus segera diisi, juga hajat-hajat lainnya (memfoto-kopi, menulis tugas di rental komputer, mencari data di warung internet, dan sebagainya, dan sebagainya). Dari para pejalan kaki, motor, mobil, semuanya tumpah ruah di satu jalan ini. Belum lagi ditambah dengan para penjual makanan dan minuman, pengamen, pengemis, dan sebagainya yang juga berkepentingan di jalan yang sangat ramai ini.

Cuaca Tanah Betawi pada saat tengah hari ini sangatlah cerah, walaupun mentari tak terlalu benderang sinarnya. Sungguh pun begitu, panas khas Tanah Betawi jangan ditanyakan lagi bagaimana menyengatnya, panas yang bercampur dengan polusi, panas yang mengendap, panas yang anginnya pun terasa panas. Bulir-bulir peluh sudahlah pasti bereaksi, angin pun enggan untuk berhembus. Kalaupun ada angin yang berhembus, ya itu tadi, angin yang lebih banyak unsur panasnya dibandingkan unsur sejuknya. Angin yang kering.

Riuh rendah suara tentulah pula tak terkira, belum lagi ditambah dengan raungan para pengamen dengan berbagai macam ragam jenis musik. Yang begitu berkesan dari musik yang dipersembahkan oleh satu pengamen kali ini adalah lagu era ’80-an - ’90-an. Lamat-lamat terdengar seperti suaranya biduanita yang bernama Dian Piesesha. Dan memang suara Dian Piesesha adanya yang terdengar itu. Si Pengamen cukup sambil membawa seperangkat Tape Kaset, lalu menyetel perangkat audio itu keras-keras, sambil satu persatu menyinggahi kedai-kedai makan yang dipenuhi oleh orang-orang yang sedang kelaparan.

Lagu-lagunya Dian Piesesha ini telah mampu membawa suasana nostalgia ke masa-masa bertahun-tahun silam. Tapi tetap saja suara merdu Dian Piesesha tak mampu mengusir panas yang menyengat di tengah hari ini. Dan Jalan Pesanggrahan tetap tegar dengan suasananya yang ramai berjejal-jejal yang dilengkapi dengan suara yang riuh rendah tak terkira. [HM, Tanah Betawi, 5-6 Maret 2014]


* Sumber foto ilustrasi: Fans Page "Jl. Pesanggrahan Samping UIN Ciputat"


** Tulisan ini dimuat di Laman Blog "Arus Deras"

Selasa, 25 Februari 2014

Budak-Budak Tepi Laot


Ade yang tau sampan ndak? Haaa, sampan ni merupekan pemaénan kamé'-kamé' budak-budak Tepi Laot/Tepi Sungai waktu keci'-keci' lok. Kalau jeman kamé' maséh keci' lok, di kampong kamé' nun dah takde naro' Kebon Getah, paléng-palénglah tinggal ade Pokok Getah sepokok dua' pokok ja’. Biasenye Buah Getah tu kamé'-kamé' ambé', lalu kamé'-kamé' jadikan Buah Guli untok Maén Guli.

Jeman kamé' keci' lok, di kampong kamé' nun maséh ade naro' utan. Isi' lam utan tu antare laén yang kame' ingat yaitu: bemban, buloh keropok, buah nasi'-nasi', pokok getah, ubi kayu’, cengkodok, pucok buas-buas, ubi rambat/ubi jalar, pokok sagu', rumpot miang/rumpot miyang, pokok rengas, pokok asam, keladi serawak, pokok mengkudu, pokok pisang (ade pisang singepor, ade pisang masak ijau, ade pisang nipah, ade ga’ pisang kipas), pokok kelapa', keladi birah, pokok nangka', pokok jambu' tukal, pokok gelimbing buloh/belimbing buloh, pokok nangka’ belande, pokok jambu’ bol, pokok kedondong, pokok cempedak, pokoknye banyaklah kalau nak disebotkan satu pesatu.

Dalam utan lok tu kamé'-kamé' biasenye maén perang-perangan, maén sumpit-sumpit, dan beberape pemaénan yang laénnye. Keluar tak keluar dari lam utan tu, badan pon terase gatal alias miang/miyang, lalulah bekisai, biaselah tekena' rumpot miang. Kadang ga' badan ni calar-balar, bilor, dan luka' kena' tumbok batang pokok, mao'pon tecucok pokok dan rumpot yang beduri'-duri'. Kalau muke ni jangan ditanya'kan agé’, lumos dah pastilah dah tu. Takde laén tempat yang dituju abés itu tu, langsunglah nuju ke laot, melabor lam sungai/lam aé’, berendam besimbor limbor besimbah baoh sampailah njejak Nggeréb. Naék tak naék, badan pon dah basah liyos, begitu’ pon mate dah mérah cekong raong.

Tapi tunggu lok, naék mandi’… naék mandi’ mang, tapi kalau nak masok romah ramailah yang mundor maju. Ape pasal? Tak berani naék ke romah, takot kena' sembat/simbat alias kena' pelasah alias kena’ belanat alias kena’ pepah pakai ulu penyapu. Tapi Emak ngan Bapak kamé' tadak pandai pula' tu nak nyimbat-nyimbat dan melasah-melasah, paléng-palénglah kena' litérkan/létérkan ja' sikit, dah itu kena' suroh cepat-cepat pegi ke Langgar/Surau, sualnye tu biasenye kamé' dapat tugas ari-ari di Surau/Langgar dekat romah, langganan jadi Tukang Bang/Tukang Azan. Tabé'at budak-budak tang kampong kamé' kalau dah di Surau/Langgar tu lalulah berebot-rebot nak tepekék kaong nak nunjokkan suarenye pakai mikropon surau tu. Di antarenye tu ramailah yang suarenye tu acam kumbang nebok tiang. Kalau dah balék dari Surau/Langgar, lalulah kena' suroh Belajar Ngaji pula', biasenye tu nderas bacean-bacean yang udah-udah.

Kamé’ nak nyambong sikit lok pasal besemangat pegi ke Surau/Langgar. Budak-budak kalau dah berade tang Surau/Langgar tu selaén berebot-rebot nak tepekék kaong tepekék jerét Bang Nggeréb, kadang biasenye agendenye tu nak menggile tang Surau, serte juga’ nak ngacau dan ngurat budak-budak puan-puan. Mang yang sedap tu pas dah mase bulan puase, jadi rajén Sembayang Terawéh ngan Sembayang Suboh ke Surau/Langgar gare-gare ade yang nak ditemuék (siape agé’ kalau bukan karene ade yang nak diurat).

Dolok tu tiap suboh Bulan Puase ramailah budak-budak mude belie lalu-lalang tang atas gertak, tang témbok (orang-orang tempat kamé’ biasenye nyebot Jalan Raye tu Témbok), tang atas Jembatan Tol (orang-orang tempat kamé’ biasenye nyebot Jembatan Kapuas/Jembatan Kapuas 1 tu Jembatan Tol), bekumpol tang depan Korém/depan Kantor Walikote Pontianak, bekumpol tang sekitar kawasan Mesjéd Jami' Sultan Syarif ‘Abdurrahman Al-Qadrie (Mesjéd Jami’ Kesultanan Pontianak), cék-cék-nye ték Sepot lah katenye tu. Kalau tengah ari-nye sepi lalu, orang-orang betale mbesa'kan tai' mate. Tapi jangan cube-cube pas nak ujong-ujong Bulan Puase, di pasar tentulah ramai manusie, sampai-sampai nak neloskan kaki ja' payah. Kalau kamé' tengah ari-nye suke berendam lam aé'. Naék tak naék, aos pon jadi ilang. Kalau sekarang-sekarang ni tak payah-payah pakai berendam lam aé' segale, pegi ja' ke pasar sana', dapat secawan dua' cawan És Shanghai jadilah untok sekedar nahankan larat, sehingge dapat nyampaikan puase njejak waktu Buke. ###

[Hanafi Mohan | Tanah Betawi, 11-14 Februari 2014]


* Tulésan ini saye tulés dalam Bahase Melayu Dialék Pontianak/Bahasa Melayu Dialek Pontianak dengan Metoda SPK (Sebar Pancing Komén). Sesiape yang nak tau cammane pula' tu Metoda SPK yang dimaksod, nanté'lah boléh saye jelaskan éhwalnye tu.

** Sumber Poto/Gambar ilustrasinye ni saye lupa' dari mane dapatnye, sualnye dah lumayan lama' saye simpan di komputer saye ketike Googling pade tanggal 12 April 2012. Salahnye saye waktu itu tu Link aslinye tu tadak saye catat/simpan. Saye bemohon kalau kebetolan ade si yang punye poto ni teténgok postingan saye ni untok segere ngasi' tau melaluék koméntar di postingan ini, sekalian dengan Link asli-nye di mane saudare pernah memposting poto yang dimaksod. Yang pasti saye ngucapkan banyak-banyak ma'kaséh kepade saudare yang dah memoto kampong saye ni (Kampong Tambelan, Tambelan Sampét/Tambelan Sampit, Pontianak Timor/Pontianak Timur) yang saye pekirekan poto ini dipoto sekitar taon '80-an akhér atau taon '90-an awal hingge taon '90-an petengahan, yang mase-mase itu merupekan mase-mase ketike saye maséh keci' atau maséh besekolah SD.


Tulésan ini dimuat tang Laman Blog "Arus Deras"