Hikayat Dunia

Kita hanya pengumpul remah-remah | Dari khazanah yang pernah ada | Kita tak lebih hanya penjaga | Dari warisan yang telah terkecai ||

Pontianak Singgah Palembang

Daripada terus berpusing-pusing di atas Negeri Pontianak, yang itu tentu akan menghabiskan bahan bakar, maka lebih baik pesawat singgah dahulu ke bandar udara terdekat. Sesuai pemberitahuan dari awak pesawat, bandar udara terdekat adalah Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Negeri Palembang.

Mudék ke Ulu

Pasangan dari kate “ulu” ielah “mudék”. Kate “mudék” beakar kate dari kate “udék”. Udék bemakne "sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber)", "daerah di ulu sungai", juga’ bemakne "kampong halaman (tempat beasal-muasal)".

Soal Nama Negeri Kita

Belakangan ini kiranya ramai yang berpendapat ini dan itu mengenai asal usul dan makna nama "pontianak" kaitannya dengan Negeri Pontianak. Tapi apakah semua yang didedahkan itu betul-betul dipahami oleh masyarakat Pontianak?

Kampong Timbalan Raje Beserta Para Pemukanya [Bagian-3]

Selain banyak menguasai berbagai bidang keilmuan, beliau juga banyak memegang peran dalam kehidupan kemasyarakatan. H.M. Kasim Mohan yang merupakan anak sulong (tertua) dari pasangan Muhammad Buraa'i dan Ruqayyah ini merupakan seorang Pejuang di masanya.

Musik Motivasi Setahun Silam

“Satu Kursi untuk Seniman”, begitu tagline kampanyenya. Tekadnya untuk memajukan Kalbar lewat industri kreatif tentu patut diapresiasi. Melalui industri kreatif diharapkannya dapat menjadi jembatan menjulangkan budaya yang memayungi Kalimantan Barat.

Sultan Pontianak; Umara' dan 'Ulama

Kegemilangan Negeri Pontianak salah satunya diasbabkan kepemimpinan para Sultan-nya yang arif dan bijaksana. Sultan-Sultan Pontianak selama masa bertahtanya rata-rata memiliki dua peranan, yaitu berperan sebagai umara', sekaligus berperan sebagai 'ulama.

Puisi Buya Hamka untuk Muhammad Natsir

Kepada Saudaraku M. Natsir | Meskipun bersilang keris di leher | Berkilat pedang di hadapan matamu | Namun yang benar kau sebut juga benar ||

Kamis, 29 November 2012

Negeri di ‘Azam Cita



Suatu kala,
di Hujung Tanah,
daulat mewujud,
marwah terjulang,
Negeri-Negerinya pun makmur dan masyhur

Luas menghampar daratan dan air yang melimpah,
bak untaian zamrud tersusun indah
Kencana dan intan berpinar di persada buminya
Budaya nan elok naungi penghuninya yang bertamaddun gemilang
Mengundang mata hendak menyinggah
Semesta penjuru hendak mendulang
Yang datang bersih hatinya,
namun tak sedikit pula yang beri'tikad serupa penyamun

Duhai Negeri penyejuk hati,
tak lekang sinar dari perut bumimu
Amuk prahara seperti tak ada habisnya di dataran Benuamu,
tapi tetaplah kau Tanah Leluhur junjungan beta

Duhai Tanah yang terberkahi,
engkau pilahlah yang durhaka
Hempaskan ke perutmu!

Damai sentausa yang kami damba,
di atas junjung daulat Negeri-Negerimu
Beribu sungai mengular di perutmu
Berjuta nyawa bergantung padamu

Selaksa harap bersimaharaja di singgasana cita
Tiadalah 'kan sirna hingga zaman berzaman,
walau onak dan duri di kiri dan kanan

Takkan maujud apa-apa yang diharap,
jika Putera Negeri terlupa asalnya diri,
lelap oleh kebohongan penguasa

Negeri yang di’azam laksana permata nila
Kilaunya gilang gemilang
Cemerlang di tiap sudut Benua
Cita yang takkan punah ranah,
hingga bila-bilapun masanya
Walau Tanah Leluhur tercalar kuasa gelap

Putera Negeri pun kini jadi melalar tak berkesudahan
Menjerit menuntut Haq dan Daulat
Demi tegakkan Marwah di Bumi yang mengalir seribu sungai
Memartabatkan Tanah berhutan lebat nan menghijau


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Puisi oleh Hanafi Mohan dan Syach Ranie

Tanah Betawi dan Negeri Pontianak
20 - 28 November 2012

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


Sumber Gambar: Salah satu gambar karya Imam Muhsinin dalam Album "For Borneo R@y@" pada Page FB "Borneo Raya Design"

Puisi ini sebelumnya merupakan Tweet pada Linimasa Akun Twitter @hanafimohan dan @syachranie_ dengan HashTag #NegeriDiAzamCita

Puisi ini dimuat kembali pada Laman "Arus Deras" / http://www.hanafimohan.com/

Puisi ini didedikasikan untuk Benua Borneo

Kamis, 15 November 2012

Mim Lam Ya



- Mim -

Kami...
Butiran pasir...
Dihempas diterjang ombak badai
Terserak ke serata samudera
Bertabur-biar di persada dunia


- Lam -

Umpama butiran pasir
Kami...
menjelma pantai
di tepi lautan
Alahai berjuta pesona
Menjadi gerbang
pintu gemilang peradaban


- Ya -

Lah pasir
bertebaran segenap penjuru
Lah pantai
kilau berkilau sepanjang tepian
Lah pulau
tempat labuhnya insan
Lah benua
di sini seminya cita tamaddun
Lah laut
zaman berzaman daulat bahari
Lah samudera
arungi hingga semesta bumi


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hanafi Mohan
Tanah Betawi, 28 Dzulhijjah 1433 Hijriyah - 1 Muharram 1434 Hijriyah /
13 - 15 November 2012 Miladiyah

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


Sumber Foto: http://www.matatita.com/

Puisi ini sebelumnya telah dimuat secara terpisah tiga hari berturut-turut pada Update Status FB Hanafi Mohan, yaitu pada hari Selasa 13 November 2012, Rabu 14 November 2012, dan Kamis 15 Desember 2012.

Puisi ini dimuat kembali pada Laman Blog "Arus Deras"

Rabu, 19 September 2012

Sultan Hamid II, Federalisme, dan Cita yang Dibenam





Negeri-negeri di Kepulauan Melayu ini adalah negeri-negeri yang tegak berdaulat berdiri sendiri, bahkan ketika era 1945-an. Perjumpaan masing-masing negeri dengan bangsa-bangsa Eropa tentunya juga memiliki dinamikanya tersendiri. Tak selamanya perjumpaan masing-masing negeri tersebut berupa negeri yang dijajah dengan negeri yang menjajah. Bahkan tak sedikit negeri-negeri tersebut yang menjalin persahabatan dan atau persekutuan dengan berbagai negeri-negeri Eropa. Tak sedikit pula hubungan tiap-tiap negeri tersebut dengan negeri-negeri Eropa tak lebih berupa hubungan dagang.

Perspektif kini yang menyatakan bahwa Belanda menjajah negeri-negeri di Kepulauan Melayu ini kiranya patut ditelaah kembali. Mengapa demikian? Tak adil kiranya menggunakan perspektif kini untuk membaca kejadian masa silam. Jika menurut perspektif kini bahwa peristiwa masa silam itu (hubungan masing-masing negeri dengan Belanda) sebagai suatu bentuk penjajahan, maka belumlah tentu yang terjadi pada masa itu berupa penjajahan. Nyatanya negeri-negeri yang dimaksud itu hingga era 1945-an masih tegak berdiri sebagai negeri-negeri yang berdaulat. Dan negeri-negeri berdaulat inilah yang kemudian bersama-sama dengan Negara Republik Indonesia (NRI) membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), termasuk juga negeri-negeri berdaulat di Borneo Barat (yang tergabung dalam Federasi Kalimantan Barat/Daerah Istimewa Kalimantan Barat) yang dipimpin oleh Sultan Hamid II (Sultan Pontianak ke-VII) sebagai Kepala Negara Borneo Barat.

Pada masa aneksasi tentara pendudukan fasis Jepang, Borneo Barat kehilangan satu generasi para pemimpinnya. Peristiwa Pembantaian Mandor yang terjadi ketika itu meluluh-lantakkan negeri-negeri berdaulat di kawasan Borneo Barat. Bukannya sedikit yang menjadi korban pembantaian tersebut, melainkan jumlahnya beribu-ribu orang (diperkirakan jumlah korban pembantaian tersebut mencapai angka 21.037 orang, bahkan bisa jadi jumlahnya lebih daripada itu). Para Sultan/Raja/Panembahan, petinggi/pejabat kesultanan/kerajaan, bangsawan, tokoh/pemuka masyarakat, cerdik cendekia, dan tak sedikit pula rakyat/masyarakat Borneo Barat yang menjadi korban kebengisan fasis Jepang kala itu.

Setelah terusirnya Jepang dari Tanah Borneo Barat oleh Tentara Sekutu, kesultanan-kesultanan/kerajaan-kerajaan yang ada di Borneo Barat kembali menata negerinya masing-masing. Kesultanan-kesultanan/kerajaan-kerajaan di Borneo Barat kala itu kemudian mengangkat zuriat Sultan/Raja/Panembahan yang selamat dari pembantaian Jepang untuk ditabalkan menjadi Sultan/Raja/Panembahan baru yang berdaulat memangku negerinya masing-masing.

Federasi Borneo Barat kemudian menjadi buah dari kearifan masing-masing negeri demi mengangkat marwah negeri-negeri berdaulat di Borneo Barat. Seiring berubahnya zaman, Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) yang digagas dan didirikan oleh para Sultan/Raja/Panembahan di kawasan Borneo Barat kemudian tergabung di Bijeenkomst Voor Federaal Overleg  (BFO) atau Perhimpunan Musyawarah Federal, yang kemudian bersama-sama dengan Negara Republik Indonesia (NRI) mendirikan Republik Indonesia Serikat (RIS).

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. RIS hanya berumur sepenggalahan jalan. Negeri-negeri pengusung federalisme satu persatu digabungkan secara paksa ke dalam Negara Republik Indonesia (NRI) yang sebelumnya kedudukan NRI sejajar dengan negeri-negeri lainnya yang tergabung di bawah Republik Indonesia Serikat (RIS). Bukan hanya itu, para tokoh pengusung federalisme pun satu persatu disisihkan, bahkan beberapa tokohnya dinistakan dan dijerat dengan tuduhan makar, pemberontak, pengkhianat bangsa. Padahal semua tuduhan itu “jauh panggang daripada api”. Walhasil, Sultan Hamid II sebagai Ketua BFO kemudian dijerat dan dihukum dengan tuduhan “makar”, tuduhan yang di mahkamah pengadilan tak terbukti satu pun, tapi Sultan Hamid II tetap dihukum penjara dengan tuduhan atas perbuatan yang tak pernah dilakukannya. Patutlah kita berucap, bahwa inilah negara zalim, yang semena-mena menghukum seorang Sultan yang berdaulat atas tuduhan perbuatan yang tak pernah dilakukannya.

Terbentuknya suatu negara tentu tak terlepas dari peran para pendirinya. Dan itu bukan hanya seorang dua orang, bukan hanya sepihak dua pihak, bukan hanya segolongan dua golongan, melainkan melibatkan banyak orang, banyak pihak, dan banyak golongan. Negara ini merangkumi wilayah yang sangat luas (bahkan setara dengan luasnya gabungan wilayah dari Eropa Barat hingga Asia Tengah). Efektifitas pengelolaan wilayah yang sangat luas ini hanya bisa dilakukan dalam bingkai negara federal (bukanlah negara kesatuan/unitarism).

Sedari awal Sultan Hamid II bersama BFO yang dipimpinnya telah mencitakan federalisme bagi negara Republik Indonesia Serikat yang digagas dan didirikan ketika itu. Sultan Hamid II adalah figur yang konsisten, seiya sekata ucapan dan perbuatan. Walau raganya mesti dikurung di dalam penjara, namun apa yang telah menjadi sikapnya takkan pernah ditariknya kembali, serta tidak juga mengemis-ngemis harapkan pengampunan.

Beliau lahir, besar, dan dididik di lingkungan Istana Qadriyah Kesultanan Pontianak, di tengah-tengah para bangsawan dan ulama, di bawah naungan adat resam budaya Melayu yang gemilang. Kecintaannya pada negeri tumpah darahnya tentu bukanlah kecintaan biasa, apalagi ia adalah seorang sultan. Rakyat di negeri-negeri yang didirikan oleh para leluhurnya tentu lebih dicintainya di atas segalanya. Hanya orang-orang gila kuasa yang begitu sampai hati dan semena-menanya menuduh sultan yang dicintai rakyatnya ini sebagai pengkhianat bangsa. Kesediaannya bersama-sama dengan para Sultan/Raja/Panembahan di Tanah Borneo Barat untuk bergabung di bawah naungan Republik Indonesia Serikat adalah bukti dari sekian banyak bukti bahwa ia sangat mencintai rakyat dan negerinya. Di benaknya terdalam tentunya tak ingin lagi ada nyawa-nyawa tak bersalah bergelimpangan mati meragan pasca hilangnya satu generasi korban pembantaian balatentara Jepang (Peristiwa Pembantaian Mandor).

Sebagaimana diketahui khalayak, akhirnya cita-cita Negara Federal pun dibenamkan, tak layak hidup di negara ini, bahkan di antara para tokoh pengusungnya pun difitnah, dinistakan, disisihkan dari kehidupan kenegaraan, hingga dipenjara dengan tuduhan yang tak terbukti satupun jua. Sebagai seorang federalis sejati yang karena dosanya mengusung gagasan Negara Federal, Sultan Hamid II kemudian diganjari hukuman 10 tahun penjara (dipotong masa tahanan 3 tahun). Sementara tuduhan melakukan perbuatan makar yang ditimpakan kepadanya sungguh tak terbukti di hadapan mahkamah pengadilan. Setelah menjalani masa hukuman penjara selama sepuluh tahun, pada tahun 1958, Sultan Hamid II dikeluarkan dari penjara. Selang beberapa lama menghirup udara bebas, pada Maret 1962 ia kembali ditangkap. Fitnah dan tuduhan yang ditimpakan kepadanya yaitu konspirasi untuk melakukan tindakan subversif terhadap negara. Kali ini dirinya ditangkap dan dihukum penjara tanpa adanya proses pengadilan. Begitulah nasib Sang Perancang Lambang Negara Republik Indonesia Serikat “Elang Rajawali-Garuda Pancasila”. Kiranya begitulah perjalanan hidup tokoh yang begitu berperan aktif pada Konferensi Meja Bundar/KMB (Ronde Tafel Conferentie).

Sosok pejuang dan pemimpin yang visioner tentu sangat patut dinisbahkan kepadanya. Tak hanya memikirkan suatu konsep kenegaraan yang pada zamannya dianggap paling relevan oleh sebagian pihak, melainkan gagasannya yaitu berupa konsep fundamental yang jauh ke depan. Ia bercita-cita menyejahterakan rakyatnya di Borneo Barat yang kuat, mandiri, serta sejahtera dalam bernegara. Di hati putera-puteri Borneo Barat, namanya selalu hidup hingga bilapun masanya, walau sejarah terus menerus menistakannya. Di memori kolektif anak negeri yang berpikiran sehat, namanya akan senantiasa harum semerbak, walaupun kuasa kegelapan membenamkannya.

Dengan mengusung cita-cita mulia tersebut, segenap jiwa dan raga telah diabdikan oleh Sultan Hamid II kepada negerinya tercinta. Karena cita-citanya yang mulia itu pula dirinya kemudian dinistakan oleh negara kesatuan ini. Perjuangan yang telah dirintis oleh Sultan Hamid II kiranya akan terus bergaung di persada Tanah Borneo Barat. Gema dari cita-cita mulianya hingga kini tak redup sedikitpun di hati dan pikiran putera-puteri Borneo Barat. [~]


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hanafi Mohan

Ditulis di Tanah Betawi dan di Negeri Pontianak – Borneo Barat pada Ramadhan - Syawwal 1433 Hijriyah / Agustus 2012 Miladiyah. 

Tulisan ini khusus ditulis untuk diikutkan pada Lomba Menulis Ilmiah Tingkat Regional Kalimantan Barat, dengan tema: "Sultan Hamid II di Mataku", dan berhasil meraih Juara Ketiga (Kategori Umum) pada perlombaan yang dimaksud.
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


Sumber Gambar: http://ansharidimyati.blogspot.com/


Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di: http://morkes-effendi.com/


Tulisan ini dimuat kembali di Laman Arus Deras dengan penyuntingan di beberapa bagian tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan. 

Kamis, 26 Juli 2012

Negeri Pontianak dan Ihwal Namanya


Sedikit hendak meluruskan mengenai sejarah berdirinya Negeri Pontianak, pasal penamaan negerinya, dan beberapa hal-ihwal lainnya yang bersangkut paut dengan hal tersebut.

* * *

Ketika mendengar nama "Pontianak", maka yang berkelebat di pikiran orang yang mendengarnya itu adalah "hantu". Begitu juga ketika mendengar nama "Negeri Pontianak", maka yang berkelebat di pikiran masing-masing orang bahwa itu adalah Negeri Hantu (sesuai dengan namanya, bahwa di dalam Bahasa Melayu, Pontianak itu artinya adalah Hantu).

Okelah, dari hal inilah kita akan menyusur-galuri mengenai ihwal yang dimaksud itu.

Selat Malaka dan Selat Karimata adalah perlaluan pedagang. Karena merupakan tempat perlaluan pedagang, maka tak sedikit juga Perompak (Bajak Laut) yang berkeliaran di kedua selat yang merupakan alur perlaluan Bangsa Melayu yang Bangsa Pelaut itu. 

Negeri Pontianak itu berada tak jauh dari Selat Malaka dan Selat Karimata. Negeri Pontianak adalah Negeri yang didirikan pas di persimpangan pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak (Simpang Tiga Kapuas-Landak). Satu yang juga mesti diketahui, bahwa sebelum dijadikan pemukiman oleh Pangéran Syarif 'Abdurrahman Nur Alam (kemudian dikenal dengan nama Sultan Syarif 'Abdurrahman Al-Qadrie), sebenarnya tempat yang kemudian masyhur dikenal sebagai Negeri Pontianak itu sudah ada penduduknya. Syarat berdirinya suatu Negara/Negeri antara lain yaitu adanya wilayah kekuasaan dan adanya rakyat. Tak mungkin kiranya tempat tersebut bisa didirikan suatu Negeri/Kesultanan kalau semisalkan di tempat tersebut tak ada penduduknya.

Dan nama "Pontianak" itupun sudah ada sebelum Pangeran Syarif 'Abdurrahman Nur Alam beserta rombongannya sampai ke tempat tersebut. Jadi, yang menamakan tempat tersebut sebagai "Pontianak" bukanlah Pangeran Syarif 'Abdurrahman Nur Alam (bukanlah dinamakan "Pontianak" setelah Pangeran Syarif 'Abdurrahman Nur Alam sampai ke tempat tersebut), melainkan penduduk di sekitar tempat tersebut (penduduk di sekitar Sungai Kapuas dan Sungai Landak) memanglah sudah mengenali tempat yang dimaksud sebagai pulau yang bernama "Pulau Pontianak" itu jauh hari sebelum kedatangan Pangeran Syarif 'Abdurrahman Al-Qadrie beserta rombongannya ke tempat tersebut (Pulau Pontianak).

Coba perhatikan Peta (Map), bahwa Pontianak Timur itu (tempat awal berdirinya Kesultanan Pontianak) adalah sebuah Pulau yang dikelilingi oleh Sungai Kapuas, Sungai Landak, dan Sungai Ambawang.

“Pontianak” di dalam Bahasa Melayu maknanya adalah “Hantu”. Penduduk di sekitarnya itu menamainya sebagai “Pulau Pontianak” karena tempat tersebut sering dijadikan sebagai tempat bersembunyi oleh Para Perompak dan Bajak Laut.

Jadi, kalau kita tengok riwayat berdirinya Negeri Pontianak, bahwa Hantu yang diusir dan diperangi itu maksudnya adalah Bajak Laut dan Perompak itulah. Hantu yang dimaksud itu (hantu yang diusir itu) adalah Para Perompak dan Bajak Laut yang bersembunyi di Pulau tersebut (di Pulau Pontianak). Karena itu sangatlah keliru kalau ada yang mengatakan bahwa Hantu yang dimaksud tersebut adalah Hantu yang makhluk halus itu. 

Jadi, kata "Hantu" dalam hal ini adalah sebagai Metafora untuk Bajak Laut dan Perompak yang bersembunyi di Pulau Pontianak tersebut.

Ketika didirikan kesultanan di Pulau Pontianak, maka dinisbahkanklah (dilekatkanlah) nama asal dari Pulau tersebut sebagai nama Kesultanan yang baru didirikan itu. Sehingga dinamailah tempat tersebut sebagai Negeri/Kesultanan Pontianak.

Setelah didirikannya Kesultanan Pontianak di Pulau Pontianak, maka berdatanganlah orang-orang dari berbagai Negeri di Kepulauan Melayu ini (dari wilayah Borneo yang lain, Sumatera, Semenanjung Tanah Melayu/Malaysia Barat, Bugis/Sulawesi, dan sebagainya). Mereka berdatangan ke Negeri Pontianak antara lain untuk berdagang, menuntut ilmu, mensyi'arkan Islam, bermukim, menetap, dan ada juga yang mengabdikan diri ke Kesultanan Pontianak.

Kesultanan Pontianak didirikan dengan ber'azaskan Islam, dengan niatan menjadikan Negeri tersebut sebagai tempat untuk mensyi'arkan Islam yang berpayungkan Adat Resam Budaya Melayu sebagai Payung Budayanya. Dengan niatan tersebut diharapkan akan gilang-gemilanglah Syi'ar Islam di Kepulauan Melayu ini, di bawah naungan Payung Budaya Melayu. Sultan Syarif 'Abdurrahman Al-Qadrie yang mendirikan Kesultanan Pontianak itu selain sebagai Umara', beliau juga merupakan seorang Ulama'. Ayah beliau (Al-Habib Husain Al-Qadrie Tuan Besar Negeri Mempawah) merupakan seorang Ulama' termasyhur di Bumi Borneo ketika itu, bahkan namanya juga termasyhur di Kepulauan Melayu ini, masyhur sebagai Ulama' yang pernah menjadi Mufti/Qadhi di Kesultanan Matan dan di Kerajaan Mempawah (dua kesultanan/kerajaan ini juga berada di kawasan Borneo Barat).

Dengan mencermati landasan-landasan awal berdirinya Negeri Pontianak ini, maka kecillah kemungkinan Kesultanan Pontianak didirikan di atas puing-puing khurafat dan takhayyul. 

Cerita-cerita mengenai pengusiran Hantu "yang makhluk halus" itu hanyalah Legenda Rakyat belaka yang turun temurun diceritakan dari mulut ke mulut. Karena cerita yang dimaksud itu Legenda belaka, maka itu tak bisa dijadikan sebagai rujukan/sumber sejarah yang Primer nan Valid, kecuali hanya bisa dijadikan sebagai sumber sekunder (hanya layak dijadikan sebagai pembanding dan pelengkap data). Tapi walaupun pengusiran Hantu yang makhluk halus itu adalah Legenda, tapi tetap saja ada ajaran moral di dalamnya. Dengan Legenda tersebut, para Leluhur Negeri Pontianak ingin mengajarkan suatu yang Rasional dalam hal mengusir makhluk halus, yaitu mengusir makhluk halus itu bukanlah dengan cara dibacakan mantera-mantera dan jampi-jampi, bahkan tidak pula' dengan membacakan Ayat Suci Al-Qur'an misalkan, melainkan cara mengusir makhluk halus yaitu dengan cara membuat riuh tempat yang dimaksud itu, misalkan dengan membunyikan dan menembakkan Meriam. Kemudian Tradisi membunyikan meriam tesebut hingga kini masih kekal di Negeri Pontianak pada setiap Bulan Ramadhan, dan yang paling meriahnya ketika Malam Lebaran 'Aidil Fithri.

Tapi sayangnya pesan moral di balik Legenda tersebut tak dapat ditangkap oleh rakyat Negeri Pontianak dengan betul nan benar. Malahan Legenda tersebut kemudian menjadi suatu rujukan (sumber) sejarah hingga kini. [~]


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hanafi Mohan
Tanah Betawi, Ahad, 8 hari bulan Juli tahun 2012 Miladiyah
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


Sumber Gambar: http://gambar.mitrasites.com/


Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat sebagai Status Facebook Hanafi Mohan yang ditulis dalam Bahase Melayu Logat Pontianak.


Tulisan ini dimuat kembali di Laman Blog "Arus Deras" yang ditulis dalam Bahasa Melayu Standard (Bahasa Melayu Resmi) dengan penyuntingan di beberapa bagian tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan.


Jumat, 15 Juni 2012

Aura dan Landmark Negeri Pontianak




Di manakah aura Negeri Pontianak bisa dirasakan?
Di mana pula landmark Negeri Pontianak bisa dilihat?


Setiap kali balik liburan ke Pontianak, kiranya tak pernah puas-puasnya mereguk indahnya tanah kelahiran. Kalau sekarang-sekarang balik ke Pontianak tak pernah bisa lama, paling-paling hanya sekitar seminggu (pas Lebaran). Kalau Liburan biasa paling paling sekitar tiga hari. Masa kuliah dulu biasanya balik ke Pontianak sampai berminggu-minggu, bahkan pernah sampai berbulan-bulan; dari Lebaran Idul Fitri, Idul Adha, sampai Hari 'Asyura.

Dulu (masa kuliah), balik ke Pontianak pakai Kapal, lama perjalanan 36 jam. Pernah juga beberapa kali naik Kapal Express, lama perjalanan 11 jam. Kalau sekarang, sejam pun udah sampai ke Pontianak. Yang lamanya itu (berjam-jam) malahan perjalanan menuju ke Bandara, plus nunggu pesawat berangkat.

Perjalanan melalui Laut dan melalui Udara ke Pontianak ada ceritanya sendiri-sendiri, plus suka dukanya. Pernah suatu ketika balik ke Pontianak pakai kapal (Bulan Puasa pula'), nunggu di Pelabuhan Tanjung Priok bahkan hampir 24 jam (sehari-semalam). Pas kapal udah mau masuk ke Muara Sungai Kapuas, lain lagi ceritanya. Air sungai lagi surut lah, nunggu antrian di Pelabuhan Pontianak lah, dan sebagainya. Kalau udah macam ini, kapal pun jadi tertunda berlabuh. Mestinya jam 6 pagi udah merapat di Pelabuhan, tapi karena hal tersebut, kadang sore baru merapat.

Setiap perjalanan balik ke Pontianak, ada nuansa berbeda-beda. Yang pasti berdebar-debar. Bahkan sejak di Jakarta di perjalanan menuju Pelabuhan ataupun Bandara. Kalau pakai Kapal, maka puncak keindahan perjalanan menuju Pontianak yaitu ketika kapal memasuki Muara Sungai Kapuas. Bagai ada aura yang menariknya. Perjalanan Kapal menyusuri Kapuas itu terasa bagai menapaktilasi Perjalanan Pangeran Syarif 'Abdurrahman Nur Alam ketika mendirikan Negeri Pontianak. Aura tersebut terasa semakin kuat ketika melewati Makam Batu Layang, kemudian Tugu Khatulistiwa. Dan mungkin memang ada sesuatu di sana yang memanggil-manggil.



Aura apakah itu? Aura Kasih kah? Iya, betul, Aura Kasih, tapi bukan Aura Kasih yang selebritis tu, melainkan Aura Kasih Sayang dari Ibu yang melahirkan kita (Ibu Kandung) dan Ibu Pertiwi Tanah Kelahiran kita. Aura Kasih Sayang itulah yang selalu memanggil-manggil seorang Anak Negeri untuk kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwinya (khusus bagi yang merantau). Sejauh manapun seorang Anak Negeri terpelesat meninggalkan Negerinya, pastilah dia akan kembali menunaikan semua janjinya, yaitu janjinya untuk mengabdikan dirinya demi Negeri Tanah Kelahiran yang dicintainya dengan segenap jiwa dan raganya.

Sebelum sampai ke Pontianak, kadang macam-macam udah disusun rencana mau ke sana ke mari. Tapi kalau udah berada di Pontianak nyatanya tak ke mana-mana juga. Karena cukuplah Sungai Kapuas dengan suasananya yang damai sentausa dan belaian lembut hembusan anginnya yang sejukkan jiwa Anak Negeri yang lama berkelana. Sungai Kapuas punya arti tersendiri bagi budak-budak tepian sungai yang panjang nan lebar itu, karena di sungai itulah laman bermain mereka. Budak-budak tepian Sungai Kapuas menghabiskan sebagian besar waktunya di sungai itu: mandi, bermain, mencari ikan, berkayuh sampan, bahkan mencari nafkah.

Sungai Kapuas dan Sungai Landak adalah Landmark Kota Pontianak, sekaligus Urat Nadi kota yang dikenal sebagai "Negeri Seribu Parit" itu. Di sepanjang Sungai Kapuas dan Landak, berbagai macam aktivitas masyarakat tumpah di situ: mandi, nyuci, cari ikan, bahkan... *orang Pontianak pasti tau*. Sungai Kapuas dan Landak juga termasuk Sungai Tersibuk di Dunia. Kapal-kapal besar dan kecil lalu-lalang di kedua sungai ini. Di tepian Sungai Kapuas, desauan anginnya menepis panas terik mentari Bumi Khatulistiwa, menghadirkan kilasan-kilasan nostalgia terindah. [~]


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hanafi Mohan
Tanah Betawi, 10-12 April 2012
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


Catatan ini sebelumnya pernah dimuat di: http://chirpstory.com/


Sumber Gambar:

- http://www.skyscrapercity.com/

- Koleksi Bang Mufizar Ilyas pada Album "KARIMATA n BORNEO..."


Catatan ini dimuat kembali di: http://www.hanafimohan.com/

Kamis, 05 April 2012

Seloka Rindu Dendam Khatulistiwa Negeri



Tika menderu rindu dendam
Padamu wahai Khatulistiwa Negeri
Tempat teruntai kenangan silam
Ranah bersemayam tembuni diri

Padamu wahai Khatulistiwa Negeri
Tanah tumpah darah zaman berzaman
Ranah bersemayam tembuni diri
Selalu menjadi idam-idaman

Tanah tumpah darah zaman berzaman
Bumi pertiwi indah nan permai
Selalu menjadi idam-idaman
Negeri leluhur aman dan damai

Bumi pertiwi indah nan permai
Untaian Zamrud Bumi Khatulistiwa
Negeri leluhur aman dan damai
Rakyatnya santun ramah bersahaja

Untaian Zamrud Bumi Khatulistiwa
Berpendar kencana intan permata
Rakyatnya santun ramah bersahaja
Alamnya indah selaksa pesona

Berpendar kencana intan permata
Negeri yang diberkahi dan kaya
Alamnya indah selaksa pesona
Seribu sungai mengalir di dalamnya

Negeri yang diberkahi dan kaya
Tamaddunnya agung tinggi menjulang
Seribu sungai mengalir di dalamnya
Urat nadi Negeri-Negeri yang gemilang

Tamaddunnya agung tinggi menjulang
Takkanlah lekang ditelan zaman
Urat nadi Negeri-Negeri yang gemilang
Pemimpinnya adil sungguh budiman [~]


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Seloka oleh: Hanafi Mohan dan Syahrani Zainuddin

Jakarta - Pontianak, Medio Maret 2012
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


Seloka ini sebelumnya telah dimuat di: http://chirpstory.com/li/5839

Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi Bang Nizar Kauzar

Seloka ini dimuat kembali di: Laman "Arus Deras" http://hanafimohan.blogspot.com/ (dengan penyuntingan di beberapa bagian tanpa mengubah maksud dan isi tulisan secara keseluruhan)

Rabu, 07 Maret 2012

Deru Deram


Hening,
Tak sangka tak duga tak kira
Mengalir arus darilah hulu
Deras, kadangkala lambat
Pelan gelayuti masa
Syahdu menghantami persada

Cekam,
Nyanyi lirih meruap-ruap
Gelegak senandung irama Nazam
Ghazal bersahut-sahutan dengan rentak Marwas
Bercakap-cakap mengurai zaman
Tika belia sejadi-jadi
Tawa riang tak rasa beban

Deru deram,
Gelumbang pasang menghantam-hantam
Sebongkah karang pun berderai-derai
Mengharu biru laman di tepi jalan
Alah diterjang pawana taufan
Geletar bibir tulang tertanggal

Remuk redam,
Tertujah kelewang murka dari belakang
Tersunjam-sunjam kalam jasad
Hingga padamlah cahaya yang selama ini berpinar

Hilang,
Di tengah hari, di tengah malam
Musnah ditelan badai [~]


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hanafi Mohan
Tanah Betawi, Selasa 27 September 2011
(di tengah malam)

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


Puisi ini sebelumnya telah dijadikan Tweet pada Twitter @hanafimohan dengan HashTag: #Deru_Deram

Sumber Gambar: http://www.arto-mega.com/

Puisi ini dimuat di: http://hanafimohan.blogspot.com/




Sabtu, 03 Maret 2012

Pemulihan Nama Baik Sultan Hamid II

Teruntuk Pemimpin Negeri Khatulistiwaku; Allahyarham Tuanku Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie (Sultan Hamid II), ku persembahkan pembelaanku untukmu.” Begitulah yang dinyatakan oleh Anshari Dimyati, mahasiswa Magister Hukum Universitas Indonesia menjelang Sidang Terbuka untuk mempertahankan tesisnya pada hari Selasa, 24 Januari 2012 di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta.

Tesis berjudul: “Delik Terhadap Keamanan Negara (Makar) di Indonesia; (Suatu Analisis Yuridis Normatif pada Studi Kasus Sultan Hamid II)” tersebut, telah diujikan di hadapan Dewan Penguji: Prof Dr jur Andi Hamzah SH, Prof Mardjono Reksodiputro SH MA, dan Dr Surastini Fitriasih SH MH.

Pada teks sejarah negara bernama “Indonesia”, namanya tertulis dengan tinta merah, ia seorang yang tidak nasionalis, dia pengkhianat bangsa. Mungkinkah sultan yang sangat mencintai rakyatnya itu ternyata seorang pengkhianat bangsa? Mungkinkah sultan yang sangat mencintai negerinya itu zahirnya bukan seorang nasionalis? Andai ditayangkan sebuah film berjudul “Sejarah Indonesia”, ia merupakan pemeran antagonisnya (lebih tepatnya distereotipekan sebagai pemeran antagonis). Hingga kini, film tersebut masih ditayangkan di bioskop-bioskop yang ada di negara bernama “Indonesia”. Memanglah hebat film yang satu ini, karena daya biusnya sangat dahsyat. Para penonton takkan sadar kalau mereka zahirnya sedang terbius dengan jalan cerita film yang mereka tonton itu, sedangkan di sisi lain tebersit pesan suatu propaganda dalam film tersebut.

Alkisah, di tengah hiruk-pikuknya kehidupan kenegaraan, pada tahun 1950 terjadi “Pemberontakan Westerling” di Negara Pasundan (kini Jawa Barat). Peristiwa tersebut menyeret keterlibatan seorang politikus ternama asal Negeri Pontianak-Borneo Barat, bernama Sultan Hamid II yang dituduh sebagai “pemimpin dan/atau pengatur” pemberontakan tersebut.

Tak pelak lagi, Sultan Pontianak terakhir ini pun pada tanggal 5 April 1950 ditangkap. Tuduhan yang dialamatkan kepada Sultan Hamid II, yaitu keterlibatannya (keterkaitannya) dengan pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) atau de RAPI (Ratu Adil Persatuan Indonesia) yang dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling di Bandung pada tanggal 23 Januari 1950, serta mempunyai “niatan” untuk menyerbu sidang Dewan Menteri RIS (Republik Indonesia Serikat) yang niat tersebut kemudian beliau batalkan.

Alih-alih tak terdapat sebuah fakta yang membuktikan tuduhan kepadanya di pengadilan, Sultan Hamid II tetap saja divonis bersalah dengan ganjaran hukuman 10 tahun penjara (dipotong masa tahanan 3 tahun).

Kala mendapatkan kedaulatan pascakolonialisme (KMB 1949), Indonesia menapaki transisi pendewasaan politiknya. Namun konfigurasi hukum yang diusung tak serta-merta dapat diandalkan. Dalam kasus Sultan Hamid II ini dapat dilihat bahwa Indonesia sebagai negara yang dengan kepentingan politiknya menghukum seseorang hanya karena niatnya melakukan pembunuhan, yang malahan kemudian niat tersebut dibatalkan. Adakah lagi negara lain (selain negara ini) yang menghukum niat seseorang (apalagi kemudian niat itu urung dilaksanakan)? Mungkin hanya negara ini yang seperti itu.


Dalam memperjuangkan kemerdekaan bagi nusa dan bangsa, timbullah keyakinan saya, bahwa bentuk federalisme itulah yang paling baik bagi negara kita.” Begitulah pernyataan Sultan Hamid II pada pleidooi kasusnya yang dibacakannya di hadapan mahkamah pengadilan.

Barangkali cita-citanya mengenai bentuk negara federal inilah satu-satunya “dosa” dirinya di negara yang katanya ber-Bhineka Tunggal Ika ini, karena memang kesalahan lainnya yang dituduhkan kepadanya nyata-nyata tak terbukti di pengadilan. Sedangkan di sisi lain, penafsiran absolut dari kebhinekaan tersebut adalah persatuan (federalism), bukanlah kesatuan (unitarism). Dengan mengusung cita-cita mulia tersebut, segenap jiwa dan raga telah diabdikannya kepada negerinya tercinta. Karena cita-citanya yang mulia itu pula dirinya kemudian dinistakan oleh negara kesatuan ini.

Tak habis sampai di sini saja fitnah dan tuduhan yang tak berdasar seperti itu ditimpakan kepadanya. Setelah menjalani masa hukuman penjara selama sepuluh tahun, pada tahun 1958, Sultan Hamid II dikeluarkan dari penjara. Selang beberapa lama menghirup udara bebas, pada Maret 1962 ia kembali ditangkap. Penangkapan tersebut juga dilakukan terhadap Sutan Sjahrir, Ide Anak Agung Gde Agung, dan Subadio Sastrosatomo, pun beberapa pemimpin Masyumi (Prawoto Mangkusasmito, Yunan Nasution, Isa Anshary, dan Mohammad Roem) juga ditangkap. Fitnah dan tuduhan yang ditimpakan kepada para tokoh tersebut yaitu konspirasi untuk melakukan tindakan subversif terhadap negara (para tokoh ini ditangkap dan dihukum penjara tanpa adanya proses pengadilan).

Sultan Hamid II wafat di Jakarta, 30 Maret 1978, yaitu sekitar 12 tahun setelah bebas dari kurungan rezim Orde Lama-Soekarno. Ia dimakamkan dengan upacara kebesaran Kesultanan Pontianak di Pemakaman Batu Layang Pontianak (Pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak). Sultan Pontianak VII ini wafat tanpa menunjuk pengganti.

Sultan Hamid II adalah sosok pejuang dan pemimpin yang visioner. Ia tak hanya memikirkan suatu konsep negara yang pada zamannya dianggap paling relevan oleh sebagian pihak, melainkan konsep fundamental yang jauh ke depanlah gagasannya itu. Sultan Hamid II bercita-cita menyejahterakan rakyatnya di Negeri Borneo Barat yang kuat, mandiri, serta sejahtera dalam bernegara. Ia akan selalu berada di hati putera-puteri Borneo Barat, walaupun sejarah menistakannya. Namanya akan selalu harum semerbak di memori kolektif anak negeri yang berpikiran sehat, walau kuasa kegelapan membenamkannya.

Rasa sebak di dada, bercampur dengan keharuan yang begitu rupa membuat penulis menggeletar, ketika mendengar pernyataan Anshari Dimyati pada sidang tesisnya yang dengan lantang ia menyebutkan bahwa Sultan Hamid II tidak bersalah secara hukum. Namun, marwah Pemimpin Borneo Barat itu tak serta-merta dapat dikembalikan.

Penelitian bedasarkan Analisis Yuridis Normatif udah dipetahankan dan dapat dipetanggongjawabkan. Tapi satu agé’ langkah kite sebagai Putera Borneo Barat, Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) mao’ tak mao’ haros dilakukan, karene itulah satu-satunye care kite untok meruntohkan Putosan Kasus Sultan Hamid II di taon 1950-1953, dan mengembalikan name baék beliau,” tegas Anshari Dimyati dengan Bahasa Melayu-nya yang kental usai sidang tesisnya. Demi pergulatan ingatan melawan lupa, rangkaian sejarah patut dibongkar kembali. [HM]


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hanafi Mohan
Tanah Betawi, Akhir Januari 2012
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Harian Equator secara bersambung, dengan judul utama: "Pemulihan Nama Baik Sultan Hamid II", dengan Sub Judul: 1) "Tesis Anshari Dimyati yang Teruji" (dimuat pada hari Senin, 30 Januari 2012) dan 2) "Tak Terbukti Bersalah di Mata Hukum" (dimuat pada hari Rabu, 1 Februari 2012).


Sumber Foto:
- Koleksi Foto Pribadi Tengku Mansoer Adil Mansoer (Album: oude foto's).
- Foto Profil "Sultan Hamid II" pada Page FB "Sultan Hamid II".
- Foto suasana persidangan Sultan Hamid II yang diposting pada Page FB Sultan Hamid II.
- e-paper "Harian Equator", 1 Februari 2012.


Tulisan ini dimuat kembali di: http://www.hanafimohan.com/


Tulisan Terkait:
- Pulihkan Nama Baik Sultan Hamid II.
- Bukti-Bukti Sultan Hamid II Bukan Pemberontak.

Kamis, 01 Maret 2012

#Kampong


Di masa Kesultanan Pontianak masih berdaulat, Kampong adalah satuan kepemerintahan yang langsung berada di bawah naungan Kesultanan. Tiap-tiap Kampong dipimpin oleh seorang Panglime, Tok Kaye, Punggawe/Penggawe, ataupun Kepala’ Kampong (untuk Kampong pemukiman Melayu). Sedangkan Kampong pemukiman Cina (Tionghoa) dipimpin oleh seorang Kapitan.

Belakangan hari ketika Negeri Pontianak dan Negeri-Negeri lainnya di Borneo Barat digabungkan secara paksa ke dalam wilayah negara baru yang bernama “Indonesia”, maka dengan secara dipaksa juga sistem dan struktur pemerintahan yang tadinya berlaku di Negeri-Negeri Berdaulat yang ada di Borneo Barat dihapuskan (dan atau dimatikan), kemudian diganti dan diseragamkan dengan sistem dan struktur pemerintahan yang diimpor dari Pusat Kekuasaan Negara “Indonesia”. Sehingga struktur “Kampong ” kemudian digantikan dengan sistem/struktur “desa” dan “kelurahan”.

Jadi, Kampong adalah struktur pemerintahan yang genuine (sejati) yang pernah ada dan pernah berlaku di Negeri-Negeri Berdaulat yang ada di Borneo Barat. Tapi anehnya, kata “kampong” kemudian menjadi suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan/menggambarkan sesuatu yang terbelakang/ketinggalan zaman/tidak modern.

Tentunya kita tak setuju dan sangat keberatan kalau istilah “kampong” (yang kemudian menurunkan kata baru yaitu “kampungan”) dikonotasikan untuk mengasosiasikan sesuatu yang “terbelakang” alias “kolot”. Semestinya kata “kampungan” (bukan "kampong"/"kampung") ini dihapuskan dari perbendaharaan kosakata kita. Penggunaan kata-kata tersebut (dengan konotasi negatif seperti itu) menurut saya merupakan suatu penistaan dan juga merendahkan peradaban suatu Bangsa dan suatu Negeri. Sesuatu yang tak baik itu tak selayaknya diteruskan, pun tak pantas pula diamini.

Kalau kampong/kampung itu dikatakan sebagai suatu tempat yang terbelakang (yang tidak maju, tidak modern, alias kolot), lantas tempat yang maju (yang tidak terbelakang) itu yang seperti apa? Apa pula standard yang digunakan untuk menilai maju atau tidak majunya peradaban suatu tempat seperti yang dimaksud itu? Standard seperti apa pula yang digunakan untuk menilai peradaban suatu tempat itu terbelakang atau tidak terbelakang? Pada Novel “Bumi Manusia”, Pramoedya Ananta Toer mengingatkan: "Bersikap adillah sejak dalam pikiran!” [~ Hans ~]


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hanafi Mohan
Tanah Betawi, Sabtu, 25 Februari 2012
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


Tulisan ini sebelumnya merupakan Tweet pada Twitter @hanafimohan dengan HashTag: #Kampong.

Sumber Foto:
- http://www.panoramio.com/
- http://static.panoramio.com/


Catatan:

Foto tersebut di atas adalah Perkampongan-Perkampongan di sekitar kawasan Istana Qadriyah Kesultanan Pontianak (dipandang dari arah Sungai Kapuas). Di Foto tersebut nampak Masjid Jami' Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri (Masjid Jami' Kesultanan Pontianak) dipandang dari arah Jembatan Kapuas (Jembatan Kapuas-I). Coba perhatikan pada foto tersebut, ada nampak pegunungan/perbukitan di hilir Sungai Kapuas/hilir Negeri Pontianak.


Tulisan ini dimuat di: http://www.hanafimohan.com/

Selasa, 28 Februari 2012

Bukti-Bukti Sultan Hamid II Bukan Pemberontak

Naskah ini merupakan tesis Anshari Dimyati, mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Magister Hukum. Ia mengambil Program Studi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana. Judul tesisnya: “Delik Terhadap Keamanan Negara (Makar) di Indonesia; (Suatu Analisis Yuridis Normatif pada Studi Kasus Sultan Hamid II).

Tesis mahasiswa kelahiran Pontianak pada 18 Juli 1987 ini berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Prof. Dr. jur. Andi Hamzah, S.H., Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A., serta Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H. pada 24 Januari 2012 di Pascasarjana FH UI, Salemba, Jakarta.

Berikut tulisan singkat tentang tesisnya:

Penelitian ini merupakan kajian yuridis normatif pada materi Delik Terhadap Keamanan Negara (Makar) di Indonesia, kemudian delik tersebut dikomparasikan dengan sebuah studi kasus, yang salah satunya adalah kasus tuduhan “makar” atau “pemberontakan” terhadap Sultan Hamid II pada tahun 1950-1953.

Tipologi penelitian yang digunakan adalah metode kepustakaan yang bersifat yuridis normatif (doktriner/preskriptif), yaitu dengan penelitian melalui studi kepustakaan (library research) atau disebut juga sebagai studi dokumen (documentary research), bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah data atau dokumen.

KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) masih mengatur pasal yang bersifat kolonial yang hingga hari ini masih diterapkan di Indonesia, salah satunya adalah tentang Delik Terhadap Keamanan Negara. Yang dimaksud Delik Terhadap Keamanan Negara tersebut diatur di dalam Bab-I Buku Kedua KUHP. Inti dari perbuatan yang dilarang dalam Bab-I Buku Kedua KUHP tersebut adalah makar (aanslag) dan pemberontakan (opstand), dan lainnya yang bersifat mengganggu keamanan dalam negara.

Delik Terhadap Keamanan Negara hampir selalu dilatarbelakangi atau dengan tujuan-tujuan politik, dan di setiap pemerintahan suatu negara, mempunyai pengertian serta batasan tersendiri tentang perbuatan yang dikategorikan sebagai delik dengan maksud tujuan politik. Bahkan terdapat perbedaan penafsiran terhadap pengertian “politik”, baik di kalangan sarjana, para hakim, maupun penguasa suatu negara.

Dalam praktik maupun sejarah Indonesia, sering kali ditemukan kasus-kasus pelanggaran hukum di Indonesia yang sebenarnya belum tentu termasuk kategori pelanggaran atas usaha pengkhianatan terhadap negara, keamanan negara, atau makar. Namun oleh pemerintah selaku penguasa politik, kepada pelanggar pidana sering kali dijerat dan dikenakan dengan isi pasal-pasal perbuatan makar dan pemberontakan. Hal itu kemudian menimbulkan berbagai polemik di pihak yang pro maupun kontra atas pengaturan hukum tentang tersebut. Kajian untuk melihat penerapan atas pengaturan tentang makar itu, kemudian dapat dilihat melalui Studi Kasus terhadap kasus kontroversial Sultan Hamid II pada tahun 1950-1953, di mana dapat dilihat objektivitas Negara dalam mengadili sebuah kasus “makar”.

Alasan melakukan penelitian tesis: Untuk mengetahui kriteria unsur mana perbuatan yang dapat dianggap sebagai perbuatan Delik Terhadap Keamanan Negara (Makar), dan bagaimana pembuktian dalam delik makar tersebut.

Pada Kasus Sultan Hamid II, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor serta dasar pengaturan hukum yang memengaruhi hakim pada Mahkamah Agung Indonesia yang membuat putusan dalam kasus, begitu pula dengan pertimbangan berat-ringannya hukuman, serta pembuktian dalam kasus tersebut yang terdapat dalam dokumen-dokumen yang ada.

Untuk mengetahui proses dan fakta persidangan melalui pemeriksaan serta pembuktiannya terhadap perbuatan yang dituduhkan kepada Sultan Hamid II pada tahun 1950 yaitu Delik Terhadap Keamanan Negara/Makar.

Penulis melihat indikasi kesalahan serta penyimpangan dalam mengambil keputusan pada saat Mahkamah Agung Indonesia mengadili dan mengeluarkan vonis hukuman terhadap Sultan Hamid II sebagai terdakwa tuduhan makar. Hal ini disebabkan tidak adanya faktor yuridis dan ilmiah yang dapat membuktikan bahwa Sultan Hamid II tersebut bersalah secara hukum, artinya ada domain hukum yang diintervensi oleh kewenangan politik dalam mengambil sebuah keputusan maupun kebijakan.

Dalam penelitian ini, penulis memiliki tujuan bahwa ketika dikaji ulang kembali dan hasil daripada penelitian secara yuridis maupun Ilmiah menghasilkan kecenderungan terjadi kesalahan pada tuduhan atas Kasus Sultan Hamid II tersebut, sudah semestinya NAMA BAIK dan KEHORMATAN Sultan Hamid II diperbaiki sebagaimana layaknya seorang yang tidak pernah melakukan kejahatan/tindak pidana, dan diupayakan sedemikian rupa agar pemerintah Indonesia dapat mencermati hal tersebut dengan pertimbangan bahwa Sultan Hamid II merupakan salah satu Bapak Bangsa yang telah berkiprah besar dalam perjuangan Indonesia, begitu pula dengan mahakarya yang telah ia wariskan kepada Indonesia yaitu sebuah Lambang Negara (Elang Rajawali Garuda Pancasila).

Kronologis Kasus Sultan Hamid II: Tuduhan makar yang dituduhkan kepada Sultan Hamid II lebih dikenal dengan Peristiwa Sultan Hamid II. Penangkapan terhadap Menteri Negara zonder Portofolio RIS itu dilakukan pada tanggal 5 April 1950, oleh Menteri Pertahanan RIS Sultan Hamengku Buwono IX atas perintah Jaksa Agung RIS Tirtawinata yang menjabat pada saat itu.

Tuduhan yang dituduhkan kepada Sultan Hamid II yaitu keterlibatannya atau keterkaitannya dengan pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) atau de RAPI (Ratu Adil Persatuan Indonesia) oleh Kapten Westerling sebagai pemimpinnya di Bandung pada 23 Januari 1950, serta niatan Sultan Hamid II untuk menyerbu sidang Dewan Menteri RIS dan niat untuk membunuh tiga orang menteri RIS.

Setelah ditangkap, kasus Sultan Hamid II tidak langsung segera dibawa ke pengadilan (tidak langsung diadili). Salah satu alasan Pemerintahan Sukarno pada saat itu bahwa kesulitannya terletak pada Undang-Undang yang akan digunakan untuk mengadilinya. Sedangkan Undang-Undang yang ada menurut Konstitusi RIS terbatas bagi seorang Menteri atau bekas Menteri yang melakukan ambtsmidrijf (penyelewengan jabatan). Tuduhan kepada Sultan Hamid II tidak masuk dalam unsur tersebut, karena itu Pemerintah RIS harus menyiapkan suatu Undang-Undang Federal sebagai landasan hukum atas kasus tersebut. Ternyata, sebelum niat untuk mempersiapkan Undang-Undang tersebut tercapai, akibat peristiwa Bandung (peristiwa Westerling) Kabinet RIS bubar pada bulan Agustus 1950 dan kemudian terbentuk suatu Negara Kesatuan RI di bawah Perdana Menteri Mohamad Natsir. Sedangkan Westerling yang memimpin langsung “aksi brutal” di Bandung tersebut dikabarkan berhasil meloloskan diri dan keluar dari Indonesia.

Rabu, tanggal 25 Februari 1953 (kurang lebih tiga tahun kemudian), kasus Sultan Hamid II mulai diperiksa oleh Mahkamah Agung Indonesia. Jaksa Agung Republik Indonesia R. Soeprapto (yang menggantikan Jaksa Agung RIS Tirtawinata) mendakwa Sultan Hamid II dengan empat tuduhan yaitu: Primair; ikut menyerbu Kota Bandung bersama Westerling dan APRA/de RAPI, Subsidair; membujuk dan membantu Westerling dan Frans Najoan untuk menyerbu sidang Dewan Menteri RIS, Subsidair Lagi; memberikan denah tempat persidangan Dewan Menteri sehingga Westerling dan Frans Najoan akan mudah melakukan penyerangan, dan Lebih Subsidair Lagi; membujuk Westerling dan Frans Najoan untuk membunuh tiga pejabat tinggi.

Dasar hukum atas dakwaan yang diajukan tersebut diatur dalam Pasal; 108 ayat (1) No.2, 108 ayat (2), 110 (2) No. 1, 110 ayat (2) No. 2, 163 bis. Ayat (1) jo. Pasal 338, 340, 333 jo. Pasal 53 dan 55 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) jo. Staatsblad 1945 No. 135.

Sistem pengadilan yang digunakan untuk Sultan Hamid II adalah untuk tingkat pertama dan terakhir, artinya bahwa persidangan kasus Sultan Hamid II tersebut merupakan Forum Previlegiatum di Indonesia yang pelaksanaannya pernah diberlakukan pada Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan Undang-undang Dasar Sementara 1950.


Selanjutnya tanggal 25 Maret 1953 Jaksa Agung Soeprapto menuntut hukuman 18 tahun penjara bagi Sultan Hamid II, dan pada 8 April 1953 karena tidak adanya bukti yang kuat, dakwaan primair daripada dakwaan tersebut di atas tidak dapat dibuktikan (tidak terbukti), dan Mahkamah Agung Indonesia dengan Ketua yaitu MR. Wirjono Prodjodikoro menjatuhkan hukuman penjara 10 tahun dipotong masa tahanan (3 tahun) dengan dasar pertimbangan yaitu adanya Niat Sultan Hamid II menyuruh Westerling dan Frans Najoan untuk menyerbu Dewan Menteri RIS dan menembak mati (membunuh) 3 (tiga) pejabat pemerintah (Menteri Pertahanan: Sultan Hamengku Buwono IX, Sekretaris Jenderal Kementrian Pertahanan: Mr. Alibudiardjo, dan Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia: Kolonel Simatupang) pada saat itu, yang niat tersebut dibatalkan olehnya.

Kasus Sultan Hamid II ini merupakan kasus pertama kali yang diperiksa oleh Mahkamah Agung dalam tingkat pertama maupun tingkat terakhir di dalam sejarahnya, yaitu kasus pertama dan terakhir.

Landasan Mahkamah Agung untuk memutus kasus Sultan Hamid II pada tahun 1953 adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, pada dasarnya delik yang dituduhkan kepada Sultan Hamid II merupakan Delik Terhadap Keamanan Negara (Delik Makar) yang termaktub didalam Bab I Buku Kedua dari KUHP tersebut. Akumulasi dari pasal-pasal yang didakwakannya adalah: Pasal; 108 ayat (1) No.2, 108 ayat (2), 110 ayat (2) No. 1, 110 ayat (2) No. 2, 163 bis. Ayat (1) jo Pasal 338, 340, 333 jo. Pasal 53 dan 55 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) jo. Staatsblad 1945 No.135, yang menurut Penulis tidak ada satu pasal pun yang memenuhi unsur delik yang telah diuraikan berdasarkan dakwaan dan putusan.

Dengan melihat data atau dokumen perkara, bahwa yang menjadi pertimbangan hakim serta melalui dasar pengaturan hukum yang mempengaruhi hakim untuk membuat putusan tersebut yaitu berdasarkan dakwaan dan tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Agung terhadap Sultan Hamid II sebagaimana dimaksud dalam dakwaan primair, subsidair, subsidair, dan lebih subsidair lagi, yaitu dengan menjatuhkan hukuman penjara selama 18 tahun, dipotong dengan waktu selama terdakwa berada dalam tahanan.

Begitu pula dengan pertimbangan atas pembelaan (pleidooi) yang disampaikan oleh Sultan Hamid II dan Pembelanya Mr. Surjadi, juga berdasarkan atas pemeriksaan-pemeriksaan atas sidang pengadilan.

Hasil penelitian: Dalam kasus Sultan Hamid II, dapat disimpulkan bahwa dari pertimbangan hakim di atas berdasarkan berkas putusan Mahkamah Agung, Penulis melihat bahwa pertimbangan hakim tersebut jauh daripada kebenaran fakta kasus yang terungkap, dan terkesan memaksakan penafsiran-penafsiran dari dakwaan yang absurd pada uraian peristiwa yang terungkap serta relevansinya pada 23 Januari 1950 dan 24 Januari 1950.

Pertimbangan hakim untuk memutus perkara Sultan Hamid II dengan menjatuhkan vonis 10 tahun penjara, bukan berdasarkan atas hukum yang berlaku, akan tetapi berdasarkan alasan politis, pun terhadap unsur-unsur pasal yang dituduhkan, melainkan alasan yang kuat adalah pengakuan Sultan Hamid II sendiri yang mengakui telah menerima oppercommando daripada gerakan Westerling untuk mengadakan persiapan pemberontakan dan penyerbuan rapat Dewan Menteri RIS pada tanggal 24 Januari 1950, yang tidak jadi dilaksanakan, dan tak terdapat sama sekali peristiwa kejahatan apa pun.

Pada kasusnya di tahun 1950 itu, sebetulnya Sultan Hamid II berhak untuk dianggap tidak bersalah sebelum diputus perkaranya melalui sidang pengadilan yang adil, bebas, dan tidak memihak. Namun, fakta yang dapat dilihat melalui literatur data yang ada, pun begitu dengan pers (media cetak) yang ada kala itu membuktikan bahwa terhadap kasus tersebut, Sultan Hamid II telah dihakimi terlebih dahulu ketika isu pemberontakannya menyebar. Ia didaulat telah bersalah oleh opini dan statement media yang memberitakan tentang kasusnya tersebut. Tentunya hal ini dapat memengaruhi “public opinion” ke arah yang tertentu, yang mungkin juga akan dapat memengaruhi hakim. Akan tetapi menurut Penulis, hal itu menjadi tidak obyektif, karena Peradilan di Indonesia kala itu sangat dipengaruhi oleh faktor politik Indonesia, tentunya warna yang dibawa oleh peradilan yang masih muda kala itu pun bercorak politik.

Kemudian faktor keadilan yang perlu juga dinilai dalam peradilan tersebut adalah terlalu lamanya Sultan Hamid II berada dalam tahanan, yaitu 3 tahun tanpa adanya kejelasan. Artinya ia telah menderita hukuman 3 tahun penjara, sebelum hukuman yang sah dijatuhkan. Hal ini merupakan pelanggaran HAM yang terjadi pada dirinya. Di dalam hukum, kala itu terhadap Hak Tersangka dalam tahap Pra Ajudikasi tentu sangat tidak diperhatikan.

Penulis melihat fakta kesalahan serta penyimpangan dalam mengambil keputusan pada saat Mahkamah Agung Indonesia mengadili dan mengeluarkan vonis hukuman terhadap Sultan Hamid II sebagai terdakwa tuduhan makar (pemimpin atau pengatur), hal ini disebabkan tidak adanya faktor yuridis yang dapat membuktikan bahwa Sultan Hamid II tersebut bersalah secara hukum. Artinya ada domain hukum yang diintervensi oleh kewenangan politik dalam mengambil sebuah keputusan maupun kebijakan, pun begitu pula dengan situasi di Indonesia ketika itu yang tengah mengalami “konflik politik” atau “konflik ideologi politik”.

Selanjutnya Penulis berpendapat bahwa kesemua tuduhan yang disampaikan terhadap kasus Sultan Hamid II sebenarnya merupakan sebuah peradilan “politik” untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Jelas banyak kecenderungan-kecenderungan yang menyimpang terhadap proses hukum yang dialami oleh Sultan Hamid II, baik dari pemeriksaan maupun pada hasil putusan dengan segala pertimbangan, pun terkait dengan hal-hal yang memberatkan serta meringankan Sultan Hamid II sebagai terdakwa.

Kurangnya proses hukum yang terbuka semakin mempersempit pandangan Penulis melihat awal berjalannya pemeriksaan pendahuluan, yaitu lamanya tuduhan dalam tahanan selama 3 tahun hingga dipindahkannya penahanan karena alasan politis, sampai pemeriksaan kasus tersebut diputuskan oleh Mahkamah Agung dengan menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara.

Penulis melihat pertimbangan hakim di dalam putusan yang menyebutkan bahwa dasar hukum Mahkamah Agung yang berkuasa untuk memutuskan perkara pidana Sultan Hamid II ini dalam pemeriksaan tingkatan pertama, berdasar atas pasal 148 Konstitusi Republik Indonesia Serikat juncto pasal 106 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia juncto Undang-Undang Darurat 1950 Nomor 29, yang telah menjadi Undang-Undang tahun 1951 Nomor 22 tanggal 3 Desember 1951 dengan berlaku surut sampai tanggal 27 Desember 1949, ini semua berhubung dengan sifat kejahatan-kejahatan yang dituduhkan pada terdakwa dan yang sebagian diancam dengan hukuman mati; hal ini sangat tidak rasional.

Menurut Penulis dengan penggunaan hukum yang “berlaku surut”. Kesemua pasal-pasal yang dituduhkan (di dalam KUHP) menyebutkan bahwa tidak dapat dipidana bila tidak ada perbuatan pidana/kejahatan, artinya Penulis menafsirkan bahwa kesemuanya ini merupakan delik selesai/tidak selesai tapi telah dapat dikatakan, perbuatan mengakibatkan sebuah kejahatan, setidaknya kejahatan yang sudah berjalan.

Jelas disebutkan di kalimat terakhir di dalam dakwaan Lebih Subsidair Lagi di tuduhan tersebut, akan tetapi kejahatan atau percobaan kejahatan itu tidak sampai jadi dijalankan. Hal ini membuktikan percobaan perbuatan/niat tersebut tidak dilakukan/dibatalkan sebelum ada peristiwa (tidak ada peristiwa/perbuatan apa pun), jadi seharusnya tidak ada percobaan yang dapat dihukum.

Menurut Penulis, kasus Sultan Hamid II merupakan salah satu kasus tuduhan pelanggaran hukum di Indonesia yang sebenarnya tidak termasuk kategori pelanggaran atas Delik Terhadap Keamanan Negara/makar tersebut. Namun oleh Pemerintah selaku penguasa politik Indonesia, kepada pelanggar pidana dijerat dan dikenakan dengan isi pasal-pasal perbuatan di mana diatur oleh Bab-I Buku II KUHP tersebut.

Hal ini tentu menimbulkan berbagai polemik di pihak yang pro maupun kontra atas tuduhan kasus “makar” tersebut. Kesimpulan akhir Penulis bahwa berdasarkan Analisis terhadap Kasus Sultan Hamid II daripada data-data yang ada yaitu Berkasa Perkara Sultan Hamid II berikut dengan dokumen-dokumen penunjang lainnya, yaitu perbuatan mana yang telah dituduhkan kepada Sultan Hamid II terhadap kasus yang telah disangkakan terhadapnya Tidak Termasuk dalam Kategorisasi/Unsur Delik Terhadap Keamanan Negara/Makar, dan atas kasusnya tersebut pula Penulis berpendapat bahwa Sultan Hamid II sebetulnya Tidak Terbukti Bersalah atas tuduhan yang dituduhkan kepadanya. (*)


* * *

Sumber: Harian Equator, dengan Judul Utama: "Bukti-Bukti Sultan Hamid II Bukan Pemberontak", dengan Sub Judul: 1) "Upaya Pemulihan Nama Baik Melalui Kajian Yuridis Normatif" (dimuat pada hari Sabtu, 28 Januari 2012) dan 2) "Delik Makar yang Tertolak tapi Dipaksakan" (dimuat pada hari Minggu, 29 Januari 2012).

Sumber Foto:
- http://istanakadriah.blogspot.com/ dengan judul tulisan: "Email dari Belanda".
- Foto suasana persidangan Sultan Hamid II yang diposting pada Page FB Sultan Hamid II.
- e-paper "Harian Equator", 30 Januari 2012.
- Foto ilustrasi pada tulisan yang berjudul "Pemulihan Nama Baik Sultan Hamid II (1); Tesis Anshari Dimyati yang Teruji" yang dimuat di "Harian Equator" pada hari Senin, 30 Januari 2012.

Tulisan ini dimuat kembali di: http://hanafimohan.blogspot.com/


Tulisan Terkait:
- Pulihkan Nama Baik Sultan Hamid II.
- Pemulihan Nama Baik Sultan Hamid II.

Minggu, 19 Februari 2012

Harmonik Borneo



Kami di Borneo selama ini selalu hidup damai sentausa, tak pernah ada konflik antar pemeluk agama. Multi Etnik, Multikultur, begitulah Borneo. Bagi yang mau berbuat macam-macam di Bumi Borneo (infiltrasi ideologi, mazhab agama, dan sebagainya), maka Bumiputera Borneo pasti akan menolak kalian.

Memangnya kalian itu siapa? Bisa-bisanya mau mengatur-atur Negeri Orang. Bukan karena kalian itu dari Pusat Kekuasaan lantas kemudian peradaban semua negeri di atas dunia ini mesti seragam dengan “Peradaban Antah Berantah" yang kalian bawa.

Kalian yang berada di Pusat Kekuasaan tak usah sok-sok mengajari kami tentang Multikulturalisme, karena Borneo sudah Multikultural dan Kosmopolis sejak dahulunya. Sebenarnya kalian yang berada di Pusat Kekuasaanlah yang bermasalah dengan Multikultural itu, bukanlah kami yang di Tanah Borneo.

Wahai kuasa zalim, wahai puaka kegelapan, wahai penyebar ideologi kelam, wahai para penyandang senjata yang kejam, jangan pernah kau usik-usik lagi kehidupan masyarakat kami yang selama ini selalu harmonik.

Wahai kuasa zalim, wahai puaka kegelapan, wahai penyebar ideologi kelam, wahai para penyandang senjata yang kejam, kalian boleh punya skenario begini dan begitu, tapi Bumiputera Borneo takkan pernah gentar menghadapinya, karena Putera-Puteri Borneo punya skenarionya tersendiri, demi menegakkan marwah dan daulat Borneo, demi Harmonik Borneo yang sudah terjalin berkelindan yang terbina semenjak masa para leluhur Borneo hinggalah kini.

Sultan Hamid II (Sultan Pontianak yang ke-VII) menyatakan bahwa Borneo berdiri di atas 3 (tiga) kaki tungku, yaitu: Dayak, Melayu, dan Tionghoa. Karena itulah, mengingat pernyataan Sultan Pontianak tersebut, maka jangan sampai satu kaki pun dari tiga kaki tungku itu yang menjadi patah. Satu kaki saja pun yang menjadi patah, maka robohlah Borneo. Satu saja yang disakiti, maka yang lain akan merasakan sakit yang sama. [~]


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hanafi Mohan
Tanah Betawi, Medio Februari 2012
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -



Sumber Gambar: http://apvalentine.students.uii.ac.id/

Tulisan ini dimuat di: http://hanafimohan.blogspot.com/

Minggu, 12 Februari 2012

Pulihkan Nama Baik Sultan Hamid II



JAKARTA – Sudah selayaknya nama baik Sultan Hamid II dipulihkan oleh pemerintah dari tuduhan pemberontakan dan makar dalam Peristiwa Sultan Hamid II, 1950-1953.

“Tidak ada faktor yuridis dan ilmiah yang dapat membuktikan bahwa Sultan Hamid II bersalah secara hukum. Artinya, ada domain hukum yang diintervensi oleh kewenangan politik dalam mengambil sebuah keputusan maupun kebijakan,” ungkap Anshari Dimyati kepada Equator, setelah meraih master hukum di Pascasarjana FH Universitas Indonesia, Jalan Salemba, Jakarta, Selasa (24/1).

Anshari dinyatakan lulus dengan thesis berjudul: “Delik Terhadap Keamanan Negara (Makar) di Indonesia; (Suatu Analisis Yuridis Normatif pada Studi Kasus Sultan Hamid II)”.

Pemuda kelahiran Kampong Kapor, Pontianak Timur, itu berhasil mempertahankan thesisnya di hadapan dewan penguji, Prof Dr jur Andi Hamzah SH, Prof Mardjono Reksodiputro SH MA, Dr Surastini Fitriasih SH MH.

Ditanya mengapa memilih thesis tentang Sultan Hamid II, Anshari yang kini berprofesi sebagai konsultan hukum itu menilai harus ada ilmuwan, pembela kebenaran dan hukum terhadap Bapak Bangsa Sultan Hamid II.

“Beliau, Almarhum Sultan Hamid II itu sebagai Bapak Bangsa yang menciptakan Garuda, lambang negara Republik Indonesia. Karena itu perlu pembuktian secara yuridis kalau beliau tidak bersalah,” ujar alumnus SMAN 7 Pontianak dan Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta ini.

Dia lebih melihat tuduhan pemerintahan Soekarno waktu itu karena sentimen politik. Sehingga pemerintah intervensi hakim Mahkamah Agung membuat keputusan tersebut.

“Saya melihat indikasi kesalahan serta penyimpangan dalam mengambil keputusan pada saat Mahkamah Agung Indonesia mengadili dan mengeluarkan vonis hukuman terhadap Sultan Hamid II sebagai terdakwa tuduhan makar,” ujar Direktur Indonesia Law Research and Development Center ini.

Dalam penelitiannya, Anshari mengkaji ulang dan hasil penelitian secara yuridis maupun ilmiah menghasilkan kecenderungan terjadi kesalahan pada tuduhan atas Kasus Sultan Hamid II tersebut.

“Jadi, sudah semestinya nama baik dan kehormatan Sultan Hamid II diperbaiki sebagai layaknya seorang yang tidak pernah melakukan kejahatan atau tindak pidana,” tegas Aan, begitu dia biasa disapa.

Diingatkannya, perlu ada upaya agar pemerintah Indonesia dapat mencermati hal tersebut dengan pertimbangan bahwa Sultan Hamid II merupakan salah satu Bapak Bangsa yang telah berkiprah besar dalam perjuangan Indonesia.

“Lihatlah sejarah, beliau menghasilkan mahakarya yang telah diwariskannya kepada Indonesia yaitu sebuah Lambang Negara (Elang Rajawali Garuda Pancasila),” ujar Anshari.

Sejauh itu, ada suara-suara beberapa kalangan untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) atas tuduhan pada Peristiwa Sultan Hamid II itu. Namun, terpulang kepada pihak ahli waris bagaimana semangat menegakkan kebenaran tersebut. (dks)


* * *

Sumber Berita: http://www.equator-news.com/

Sumber Foto: Koleksi Foto Pribadi Anshari Dimyati

Tulisan ini dimuat kembali di: http://hanafimohan.blogspot.com/


Tulisan Terkait:
- Bukti-Bukti Sultan Hamid II Bukan Pemberontak.
- Pemulihan Nama Baik Sultan Hamid II.

Kamis, 09 Februari 2012

#Ayah (1)


Tersadar di tengah malam ini (dinihari), bertemu dengannya yang selalu kurindu, sosok yang tak pernah hilang dari hati ini walau dia telah lama pergi. Seakan-akan dirinya masihlah hidup hingga kini: candanya, senyumnya, petuahnya, ilmunya, dan sebagainya. Dia selalu hadir ketika problema demi problema mendera diri. Ketika deraan demi deraan tak kunjung usai, dia hadir laksana Jibril menyampaikan wahyu kepada Para Anbiya. Di alam bawah sadar, disampaikannya pesan-pesan.

Walau telah begitu banyak sosok yang menjadi inspirasi, tapi dialah sosok yang tak pernah gentar hadapi hidup, tegakkan Haq walau dunia mencercanya. Kami mengenalnya sebagai pribadi yang tegar, tabah, sabar, pekerja keras, penyayang, berwawasan luas, ilmunya mendalam, Qari' yang bersuara indah. Dia tegas dengan pendirian dan prinsipnya, sosok yang idealis, rasionalis, anti kekerasan, lebih mengutamakan kepentingan orang banyak. Sebagai pribadi yang idealis, hingga akhir hayatnya tak ada satu pihak pun yang bisa menggoyahkan pendirian dan prinsip hidupnya.

Ayah adalah sosok yang Rasionalis, sehingga seorang anaknya dinamai dengan nama Ulama Ahlul Ra'yi (rasionalis), yaitu Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi). Ayah yang juga Qari' (dan Ahli beberapa Ilmu Keislaman) itu menamai anaknya yang lain (adikku) dengan nama Qari' terkenal Era '80-an: Chumaidi (Khumaidi).

Ayah yang Anti Kekerasan itu tak pernah memukul (mempelasah) anak-anaknya. Ketika lagi panas-panasnya Konflik Etnis di Negeri kami, katanya, "Rajin-rajinlah kalian Sembahyang, cukuplah jaga Rumah dan Kampong kita saja, tak perlu bawa senjata ke mana-mana."

Suatu ketika di masa sebelum itu (sebelum terjadi Konflik Etnis di Negeri kami), ada sekelompok orang bersenjata tajam (ratusan orang jumlahnya) mendatangi Rumah kami dengan maksud mencari seorang kerabat kami yang katanya berkelahi dengan kerabat mereka. Tanpa gentar sedikitpun, Ayah menghadapi mereka. Perwakilan mereka dipersilakan masuk ke Rumah (masih dengan membawa senjata), sedangkan Ayah tak memegang Senjata. Ketika masuk ke Rumah, perwakilan mereka itu masih dengan wajah beringasnya. Dengan penuh wibawa dan tiada takut apa-apa, Ayah berkata, "Jika kalian datang dengan i'tikad baik, letakkanlah senjata yang kalian bawa itu!" Mendapat sambutan Ayah yang begitu berwibawa dan tiada takut itu, serta merta mereka meletakkan senjata. Sehingga setelah itu barulah bisa terjadi pembicaraan dan penyelesaian secara damai. Di lain waktu Ayah berkata, "Orang yang membawa senjata ke mana-mana itu adalah orang yang pengecut." Rumusnya Ayah yaitu "Kalah gap menang gap." (gap = gertakan).

Ayah punya cara efektif dalam hal mendidik kami, yaitu melalui Metode Bercerita. Dengan metode ini, ilmu-ilmu darinya bisa kami serap tanpa kendala. Metode Bercerita ini bukan hanya diterapkannya kepada kami, tapi juga diterapkan kepada murid-muridnya yang biasanya datang ke Rumah kami yang damai sentausa.

Melalui Ayah, aku mengetahui nama-nama ilmu keislaman yang digelutinya: Tawhid (Aqidah), Akhlaq, Fiqh, Ushul Fiqh, Al-Quran, Hadits, Bahasa Arab, Tafsir, Ilmu Alat (Nahwu, Sharaf, Mantiq, Bayan, Ma'ani), Tarikhul Islam, Tasawwuf, dan beberapa yang lainnya. Ketika usia SD/SMP, dari koleksi buku Ayah pertama kali aku membaca Kitab "Risalah Tawhid" karya Syaikh Muhammad Abduh, Pembaharu Islam yang berasal dari Mesir. Dari Ayah pula pertama kali kuketahui riwayat Negeri kami (Kesultanan Pontianak), serta beberapa Negeri lainnya di Bumi Borneo dan Andalas. # [Aan - bersambung]


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -- - - - - - - - - - - - - - - - -
Hanafi Mohan
Tanah Betawi, 14 - 16 Rabiul Awwal 1433 Hijriyah /
7 - 9 HB Februari 2012 Miladiyah

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -- - - - - - - - - - - - - - - - -


Tulisan ini sebelumnya merupakan Tweet @hanafimohan dengan HashTag: #Ayah, #Bercerita, #ilmu_keislaman, #koleksi_buku, #Kitab, #Risalah_Tauhid, #Muhammad _Abduh, #Pembaharu_Islam, #Mesir, #Borneo, dan #Andalas.


Sumber Foto: Dokumentasi Keluarga Allahyarham 'Abdusy Syukur Mohan Al-Funtiyani ('Abdusy Syukur bin Haji Muhammad Buraa'i bin Haji Adnan bin Haji Ahmad).

Tulisan ini dimuat di: Laman "Arus Deras" http://hanafimohan.blogspot.com/



Jumat, 06 Januari 2012

Kembali Mendedahkan Bahasa Kita


Perjumpaan berbagai macam arus budaya yang kemudian berpusar pada dinamika masyarakat yang ada di dalamnya mau tak mau suka tak suka merupakan suatu keniscayaan. Pusaran budaya tersebut lebih dahsyatnya kemudian menjelma riak gelombang yang lambat laun mewujud ombak nan besar yang menghantam-hantam budaya di sekitarnya yang tak lain merupakan budaya pembentuknya. Ada beberapa kemungkinan yang bakal terjadi: budaya yang dihantam dilibas itu tetap berdiri namun terhuyung-huyung, budaya yang dihantam itu hancur berkeping-keping, budaya yang dihantam itu lebur ke dalam gelombang besar. Atau mungkin juga menjadi seperti pasir yang dihantam gelombang, yang terhempas ke tepian, yang butiran-butirannya bertabur-biaran terserak dilamun ombak nan garang, kemudian di suatu masa butiran-butiran pasir yang tercerai-berai itu berkumpul kembali ke tepian menjadi pantai nan indah selaksa pesona.

Budaya (termasuk juga bahasa) adalah hasil kreatif dari bangsa pemiliknya. Persentuhan dan saling pengaruh mempengaruhi dengan budaya lainnya tentu tak dapat pula dipungkiri. Semakin terbuka suatu bangsa, maka semakin kompleks lah persentuhan budaya yang terjadi di dalam masyarakatnya. Budaya (termasuk juga bahasa) akan bertahan di masyarakat pemiliknya, tinggal kemudian keberlangsungannya sebagai budaya dan bahasa kaum apakah akan tetap tegak berdiri di tengah hantaman badai besar yang bertopengkan nasionalisme dan modernisme.

Berdasarkan penelitian-penelitian ter-muta-akhir, ternyata kini tak sedikit bahasa-bahasa kaum di Kepulauan Melayu ini yang terancam punah karena semakin kuatnya cengkeraman Bahasa Nasional, cengkeraman yang mendominasi dan memangsa bahasa ibu-nya sendiri. Bahkan ada juga beberapa kasus kekerasan oleh tentara nasional terhadap orang perorangan di negara ini karena orang tersebut tidak fasih berbahasa nasional. Ironis memang terjadi di tengah-tengah negara yang katanya berfalsafahkan “Pancasila” yang bersemboyankan “Bhinneka Tunggal Ika” ini.

Sudah jamak diketahui bahwa Bahasa Melayu merupakan lingua franca di Kepulauan Melayu ini, bahasa yang kemudian diklaim sebagai Bahasa Indonesia (bahasa persatuan, bahasa nasional di republik ini). Bahasa Nasional tersebut kini semakin hari semakin jauh meninggalkan kaidah dan kearifan Bahasa Melayu. Karena apa? Mungkin salah satu sebabnya karena Bahasa Nasional tersebut sudah melupakan identitas sejatinya, bahkan telah dengan serampangan mengubah-ubah nama yang sejati dari bahasa tersebut (dengan serampangan diubah menjadi bernama “Bahasa Indonesia”, padahal sejatinya bernama “Bahasa Melayu”, itulah salah satu upaya melupakan dan menenggelamkan identitas aslinya). Untungnya penutur asli Bahasa Melayu hingga kini masih bertahan (di negerinya masing-masing ataupun di negeri rantau) dengan berbagai macam ragam dialeknya.

Sungguh pun begitu, di masing-masing negeri Melayu juga tak luput dari kekhawatiran akan keberlangsungan Bahasa Melayu-nya di tiap-tiap negerinya. Apa pasal? Tentu begitu banyak pula penyebabnya: media massa, tren (mode), pergaulan, bahkan juga sistem pendidikan, yang kesemuanya itu dibayang-bayangi oleh Puaka Globalisasi, ditakut-takuti oleh Hantu Modernisasi, dihembus-hembusi oleh Angin Surga Nasionalisme. Mungkin tak sedikit kini orang-orang Melayu yang sudah malu berbahasa Melayu, apalagi berbahasa Melayu dialek negeri-nya. Bagi para puteranya yang sadar akan kenyataan ini, sudah semestinya bergandengan tangan seiring sejalan menghalau anasir-anasir gelap berwujud monster itu, raksasa-raksasa buas nan beringas yang akan menginjak-injak dan memusnahkan bahasa ibunya, bahasa tanah tumpah darahnya, yang dengan keagungan bahasa ibunya itulah dirinya tumbuh dan dibesarkan menjadi putera-puteri Ibu Pertiwi.

Upaya terkecil yang mungkin bisa dilakukan kini adalah kembali mendedahkan bahasa kita, bahasa ibu kita, bahasa nan agung yang hingga kini masihlah menjadi lingua franca di Kepulauan Melayu ini. Salah satu media yang cukup efektif untuk mendedahkannya yakni melalui media tulisan, apalagi kini setiap orang bisa menjadi “penulis”, tak pandang dia penulis termasyhur ataupun orang awam. Dunia yang bagai Desa Buana (Global Village / Desa Global) ini marilah dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk mendedahkan bahasa kita, mendedahkan "Bahasa Ibu" kita. [~]


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hanafi Mohan
Tanah Betawi, Senin - 8 Shafar 1433 Hijriyah /
2 Januari 2012 Miladiyah

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


* Ditulis di tengah-tengah kerinduan yang membuncah-buncah kepadamu, Borneo Tercinta. Dikaulah Borneo. *



# Tulisan ini sebelumnya merupakan Komentar pada Note FB Hanafi Mohan yang kemudian dijadikan sebagai Update Status FB Hanafi Mohan.


Sumber Gambar:
- http://knotwisez.blogspot.com/
- http://melayuonline.com/


Tulisan ini dimuat kembali di Laman "Arus Deras" >> http://www.hanafimohan.com/ dengan penyuntingan yang agak longgar tanpa mengurangi isi dan maksud tulisan.


Senin, 02 Januari 2012

Keréte Api Setengah-Setengah

Bagi Tok Moh, pelesér ke mane-mane pakai Keréte Api bukanlah sekali ini ja'. Walaupon tak telalu sering, tapi lumayanlah untok ukoran Perantau bin Musafir Lata (halaaaah…, dah bebelas-belas taon maséh ga’ ngaku’ sebagai Perantau, maséh ga’ ngaku’ sebagai Musafir). Ceritenye ari itu tu Tok Moh nak pelesér ke Kote B. Pejalanan dari Kote TS ke Kote B yang paléng cepat dan paléng murah adelah dengan nggunekan Keréte Api (entah ape pasal disebot Keréte Api, padehal kalau ditingok-tingok tak ade pula’ api-nye tang keréte tu).

Singkat cerite, dari Stasiun PR Tok Moh pon naék Keréte KRL nuju ke Stasiun TA. Dari Stasiun TA kemudian naék keréte nuju ke Stasiun B yang ade di Kote B. Tok Moh pon héran pas agé’ naék keréte nuju ke Stasiun B ni, karene bebéde sangat ngan keréte yang dinaéknye dari Stasiun PR nuju ke Stasiun TA tadé'. Keréte yang nuju ke Stasiun B ni sejuk sangat udare di dalamnye tu, ade kipas angén di mane-mane, berséh, penumpangnye pon ndak belonggok-longgok. Kalau pon mesti bediri, kite pon akan ikhlas hati. Sedangkan keréte yang dari Stasiun PR nuju ke Stasiun TA, hadoooh…, sesak ngan manusie, idong kite pon sesak dibuatnye, cuacenye panas, pokoknye begitu’lah die adenye, bemacam-macam bau.

Tibelah masenye Tukang Perikse Karcis bejalan tehundogh-handégh merikse karcis setiap penumpang. Pas Tukang Perikse Karcis tu merikse karcis Tok Moh, dengan senyum yang semanis-manisnye Tok Moh pon ngunjokkanlah karcisnye kepade Tukang Perikse Karcis tu. Entah karene ape, Tukang Perikse Karcis tu acam kehéranan pula’. “Hape pasal engkau tegamam mandang aku? Memangnye muke aku ni lawagh ke… dah acam bulan purname?” benak Tok Moh.

Tibe-tibe Tukang Perikse Karcis tu ngeluarkan kate-kate yang tadak diharapkan oleh oghang ghamai, “Tikét Bapak ini salah.”

Dalam ati Tok Moh bekate, “Alahai, mandai-mandai ja’ ye engkau ni manggél aku “Bapak”. Maséh mude belie acam begini’ ni engkau panggél “Bapak”? Pandanglah lo’ betol-betol wajah aku ni!”

“Lho, apanya yang salah?” kate Tok Moh dengan wajahnye yang penoh tande tanya’.

Tukang Perikse Karcis pon bekate, “Sesuai dengan tikét yang ada di tangan Bapak, semestinya Bapak naik KRL, bukannya naik Commuter.”

“Jadi … gimana?” tanya’ Tok Moh.

“Kalau mau melanjutkan perjalanan dengan kereta ini, Bapak mesti membayar denda sebesar dua puluh ribu rupiah. Tapi kalau tidak, silakan Bapak turun di stasiun perhentian selanjutnya yang ada di depan. Sebentar lagi kita sampai ke Stasiun PM, silakan turun di situ jika tak mau melanjutkan perjalanan dengan kereta ini, kemudian melanjutkan perjalanan dengan KRL selanjutnya yang ada di belakang, KRL yang memang semestinya Bapak naiki,” tegas Tukang Perikse Karcis tu.

Benak Tok Moh, “Pantaslah harge karcisnye ampér same ngan harge karcis dari PR ke TA, rupenye aku yang salah naék keréte,” sambél senyum-senyum tak tentu rudu.

Tadak pakai pikér panjang agé’, Tok Moh pon langsung ngambé’ keputosan untok turon. Begitu’ keréte berenti di Stasiun PM, langsunglah Tok Moh turon dari keréte dengan muke selembe-nye. Dalam pikérannye Tok Moh bekate, “Bukannye aku tak ade duét nak mbayar dende tu, ade pula’ duét ni haaa…. Tak ape-apelah dah dapat setengah pejalanan pakai keréte yang bagos, dan setengah pejalanan selanjutnye pakai keréte yang baunye bemacam ragam tu. Setengah-setengah.” [~]


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hanafi Mohan
Ciputat, Rabu 3 Shafar 1433 Hijriyah /
28 Desember 2011 Miladiyah

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -



Cerite ini ditulés dalam Bahase Melayu Logat Pontianak - Borneo Barat.

Tulésan ini sebelomnye dah dijadikan sebagai Update Status di FB Hanafi Mohan.

Gambar didapat dari: http://www.msegurola.com/anim_train.html

Tulésan ini dimuat agé' di: http://hanafimohan.blogspot.com/