Hikayat Dunia

Kita hanya pengumpul remah-remah | Dari khazanah yang pernah ada | Kita tak lebih hanya penjaga | Dari warisan yang telah terkecai ||

Pontianak Singgah Palembang

Daripada terus berpusing-pusing di atas Negeri Pontianak, yang itu tentu akan menghabiskan bahan bakar, maka lebih baik pesawat singgah dahulu ke bandar udara terdekat. Sesuai pemberitahuan dari awak pesawat, bandar udara terdekat adalah Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Negeri Palembang.

Mudék ke Ulu

Pasangan dari kate “ulu” ielah “mudék”. Kate “mudék” beakar kate dari kate “udék”. Udék bemakne "sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber)", "daerah di ulu sungai", juga’ bemakne "kampong halaman (tempat beasal-muasal)".

Soal Nama Negeri Kita

Belakangan ini kiranya ramai yang berpendapat ini dan itu mengenai asal usul dan makna nama "pontianak" kaitannya dengan Negeri Pontianak. Tapi apakah semua yang didedahkan itu betul-betul dipahami oleh masyarakat Pontianak?

Kampong Timbalan Raje Beserta Para Pemukanya [Bagian-3]

Selain banyak menguasai berbagai bidang keilmuan, beliau juga banyak memegang peran dalam kehidupan kemasyarakatan. H.M. Kasim Mohan yang merupakan anak sulong (tertua) dari pasangan Muhammad Buraa'i dan Ruqayyah ini merupakan seorang Pejuang di masanya.

Musik Motivasi Setahun Silam

“Satu Kursi untuk Seniman”, begitu tagline kampanyenya. Tekadnya untuk memajukan Kalbar lewat industri kreatif tentu patut diapresiasi. Melalui industri kreatif diharapkannya dapat menjadi jembatan menjulangkan budaya yang memayungi Kalimantan Barat.

Sultan Pontianak; Umara' dan 'Ulama

Kegemilangan Negeri Pontianak salah satunya diasbabkan kepemimpinan para Sultan-nya yang arif dan bijaksana. Sultan-Sultan Pontianak selama masa bertahtanya rata-rata memiliki dua peranan, yaitu berperan sebagai umara', sekaligus berperan sebagai 'ulama.

Puisi Buya Hamka untuk Muhammad Natsir

Kepada Saudaraku M. Natsir | Meskipun bersilang keris di leher | Berkilat pedang di hadapan matamu | Namun yang benar kau sebut juga benar ||

Jumat, 21 Agustus 2009

[Cerbung Senja Merah Jingga] 24- Juru Kisah

Berkisah adalah satu dari sekian banyak kegemaran orang Pontianak. Aku adalah satu dari sekian banyak anak Melayu yang beruntung, karena dilahirkan dan hidup di dalam keluarga yang suka berkisah. Hingga banyak cerita-cerita orang terdahulu, baik itu legenda ataupun nyata telah sering aku dengar semenjak masa kecilku.

Ayahku adalah salah satu sosok yang fasih dalam berkisah ini. Beliau mendidik kami anak-anaknya melalui metode berkisah. Ayahku adalah seorang guru, lebih tepatnya yaitu guru agama Islam (ustadz), sehingga beliau memang pandai dalam bertutur kata, sayangnya beliau tidak sampai menjadi penceramah. Secara tidak kami sadari, bahwa dalam kisah-kisahnya, ayah telah mentransfer ilmu pengetahuannya kepada kami. Kalau memang ketika itu ayah secara sengaja ingin mengajar kami mengenai suatu ilmu, mungkin saja kami akan berat menerimanya. Tapi ayah telah melakukan semua itu melalui cara yang begitu baik, yaitu berkisah, sehingga kami tanpa sadar sudah menyerap ilmu yang diberikannya.

Di masa mudanya, ayah adalah seorang aktivis. Ini juga kuketahui dari kisahnya, dan juga dari koleksi buku yang dimilikinya. Menurut ceritanya, bahwa di masa muda, beliau pernah terlibat aktif sebagai anggota Partai Masyumi, yaitu partai Islam yang mengusung ide-ide modernisme dengan tokohnya yang terkenal, yaitu Muhammad Natsir.

Sedari aku kecil, ayah sudah menuturkan kisah mengenai tokoh Masyumi yang satu ini, juga tokoh-tokoh Masyumi dan tokoh-tokoh Islam lainnya seperti Buya Hamka. Tak jarang juga beliau menuturkan kisah para ilmuwan Islam terkemuka, seperti Imam Madzhab Empat (Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi'i, dan Imam Hambali), Imam Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha, tak terkecuali juga ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya. Kisah para Nabi, juga kisah Nabi Muhammad dan para sahabatnya, serta kisah para tabi'in dan tabi'it tabi'in juga tak jarang ia tuturkan kepada kami. Selain itu, kisah para tokoh Indonesia seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Mr. Muhammad Roem, Kasman Singodimejo, dan tokoh-tokoh Indonesia lainnya juga tak luput ia kisahkan.

Dari kisah-kisahnya itu, secara tidak sadar telah membiusku untuk meraih pendidikan tinggi dan selalu menuntut ilmu. Melalui kisah-kisahnya, ayah juga telah menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan keislaman pada kami anak-anaknya, tak terkecuali aku yang masih belia ketika itu.

Di antara saudara-saudaranya, maka ayah adalah orang yang paling suka membaca. Ini kuketahui dari koleksi bukunya yang cukup banyak. Dalam ilmu keislaman, maka di antara saudara-saudaranya, ayahlah yang paling terpelajar.

Beliau adalah sosok yang selalu haus ilmu. Pendidikan formal (sekolah umum) yang beliau jalani mungkin tak terlalu tinggi, karena memang di masa mudanya, sekolah umum masih begitu langka, dan keluarga ayah juga bukan keluarga yang tingkat perekonomiannya tinggi. Pada masa mudanya, mungkin hanya orang-orang yang perkonomiannya mapanlah yang bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang pendidikan yang tinggi.

Apa yang terjadi pada masa muda ayahku tentunya tak dapat disamakan dengan masa kini. Pendidikan tentunya tak hanya didapatkan dari pendidikan formal seperti sekarang ini. Orang-orang ketika itu mungkin lebih mudah dan lebih senang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah agama seperti madrasah, dan pendidikan jenis inilah yang dilalui oleh ayah. Selain bersekolah di madrasah, ayah juga berguru secara pribadi kepada sembilan orang guru. Ketika di masanya tradisi tulis menulis masih begitu minim, maka ayah telah mendobrak hal itu. Beliau suka menulis, walaupun tulisannya hanya sebatas ilmu keislaman. Tapi hal tersebut cukuplah menyatakan, bahwa ayah adalah sosok yang cukup sadar akan arti pentingnya pendidikan dan budaya menulis.

Aku selalu mengenang ayah dalam kenangan yang begitu indah. Beliau menjadikan anak-anaknya sebagai sahabat. Beliau mendidik anak-anaknya dengan cara-cara yang demokratis dan penuh kasih sayang. Beliau telah menumbuhkan tradisi ilmu di dalam keluarga kami semenjak kami berusia belia.

Setiap pembagian raport ketika aku SD, selalu mengembang senyum di wajah ayah, karena aku selalu mendapatkan peringkat pertama. Entah apa yang ada di benaknya ketika itu. Tapi bagiku, semua itu sudah menjadi dorongan positif untuk terus berprestasi di dalam pendidikan. Aku merasa puas ketika itu sudah bisa mempersembahkan sesuatu yang terbaik kepada orang tuaku. Dari sinilah aku tahu, bahwa kedua orang tuaku begitu mendukung pendidikan anak-anaknya. Dari sinilah aku tahu, bahwa kedua orang tuaku tidak seperti orang tua-orang tua lainnya di lingkungan kampongku. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, kedua orang tuaku tetap bertekad kuat untuk menyekolahkan anak-anaknya. Dan aku merasa beruntung dalam hal ini telah mendapatkan orang tua seperti mereka.

***

Suatu ketika, ayah pernah bercerita mengenai Imam Syafi'i yang sudah hapal Alquran semenjak berada di dalam kandungan ibunya. Kata ayah, Imam Syafi'i cukup lama berada di dalam kandungan ibunya. Lamanya berada di dalam kandungan itu karena Imam Syafi'i sedang belajar Alquran. Entah benar entah tidak cerita ini. Mungkin ini hanyalah cerita penghibur dari ayahku agar kami anak-anaknya mau belajar Alquran secara tekun.

Ayah juga pernah berkisah mengenai Syeikh Abdul Qadir Jailani, yaitu seorang wali dan sufi yang cukup terkenal yang berasal dari Timur Tengah (lahir di Kota Jailan atau Kailan-Persia tahun 470 H/1077 M, wafat di Kota Baghdad pada tanggal 9 Rabiul akhir 561 H/1166 M). Suatu ketika, ada seorang maling yang akan merampok di rumah Syeikh Abdul Qadir Jaelani. Ketika itu Syeikh Abdul Qadir sedang beribadah, dan si perampok kebetulan ketika itu sedang bersembunyi di bawah tempat Syeikh Abdul Qadir Jaelani beribadah. Di dalam khalwatnya itu, Syeikh Abdul Qadir juga sedang berkomunikasi jarak jauh dengan Wali Qutub (pemimpin para wali). Wali Qutub meminta Syeikh Abdul Qadir mencarikan seorang pengganti wali di suatu tempat. Mungkin karena Syeikh Abdul Qadir sudah mengetahui bahwa di bawah tempatnya sedang berkhalwat itu ada perampok yang sedang bersembunyi atau mungkin di dalam munajatnya ia mendapatkan suatu petunjuk, maka seketika itu juga Syeikh Abdul Qadir menjebol lantai tempat dia berada saat itu. Lalu diangkatnyalah si perampok dan mengatakan kepada Wali Qutub dalam komunikasi jarak jauhnya itu, bahwa ia sudah menemukan calon pengganti wali yang dimaksud oleh Wali Qutub. Tiada lain dan tiada bukan, si perampok itulah yang dijadikan sebagai pengganti wali di tempat yang dimaksud.

Entah cerita ini nyata atau fiktif, bahkan kalaupun fiktif, hingga kini aku tak tahu hikmah dari cerita perampok yang tiba-tiba menjadi wali ini. Mungkin hikmahnya adalah bahwa sejahat apapun seseorang, maka tetap saja orang tersebut memiliki potensi untuk menjadi baik. Dalam kehidupan seseorang, selalu saja ada keajaiban yang bisa menghampirinya.

***

Ah, sungguh ayahku mengagumkan ketika berkisah. Kami seakan-akan tersihir dengan kisah yang dituturkannya. Tapi begitulah cara ayahku mentransformasi ilmunya kepada kami. Bahkan bukan hanya kepada kami, kepada para muridnya yang lain pun yang rata-rata sudah berusia dewasa, ayah tetap tak ketinggalan menyampaikan kisah-kisah. Seakan-akan ayah tak pernah kehabisan stok cerita, ada saja cerita yang ia sampaikan. Dan yang patut diingat, para muridnya akan asyik berjam-jam mengikuti pelajaran yang diberikan ayahku. Entah karena pelajarannya, atau karena kisahnya yang membuat para murid ayahku betah berlama-lama duduk di ruang tamu rumahku mengikuti pelajaran ayah.

Kadang murid-murid ayah datang ke rumah, atau terkadang juga ayahlah yang mendatangi murid-muridnya. Muridnya berasal dari berbagai kalangan. Aku sendiri sering menemani ayah mendatangi muridnya di pasar, karena memang ada sebagian muridnya yang berprofesi sebagai pedagang. Entah bagaimana caranya ayah memberikan pelajaran kepada muridnya yang kadang melayani pembeli dan mengurus barang dagangannya. Tapi yang pasti, ayah punya cara tersendiri untuk hal itu.

Menurut cerita ayah, bahwa di masa mudanya, beliau juga adalah pedagang. Karena itulah, ayah banyak memiliki kenalan dari kalangan pedagang. Cara berdagang yang dilakoni ayah juga begitu uniknya. Setidaknya hal ini aku dapatkan dari kisah beliau sendiri. Ketika masa mudanya, ayah menjadi tangan kanan pamannya dalam berdagang. Perdagangan yang berlangsung sungguh di luar apa yang kita pikirkan selama ini. Bahkan boleh dikatakan dengan modal uang yang cukup minim. Modal yang paling diperlukan dalam perdagangan yang dilakoni ayahku itu lebih banyaknya adalah modal kecerdikan, serta juga keberanian. Ajang perdagangannya adalah di atas Sungai Kapuas.

Dengan menggunakan sampan, mereka (ayahku dan pamannya) berkayuh mendatangi para pedagang lainnya yang juga bersampan. Macam-macam pedagang yang mereka datangi, di antaranya adalah pedagang kelapa. Seakan-akan sebagai pembeli, mereka menawar barang dagangan tersebut dalam jumlah yang banyak, dan tentunya dengan harga tawaran yang diperkirakan akan mendatangkan keuntungan jika barang tersebut dijual lagi. Tentunya pedagang kelapa itu bergembira sekali, karena ada yang akan membeli dagangannya dalam jumlah yang banyak. Tawar-menawar pun terjadi, hingga harga pun disepakati. Pembayaran tidak dilakukan di tempat, melainkan baru akan dibayarkan ketika barang telah dimuat ke kapal. Memangnya kapal siapa, sedangkan mereka (ayahku dan pamannya) hanya bersampan? Tentunya bukan kapal milik mereka, melainkan kapal milik orang lain. Mengapa bisa seperti itu? Nah, di sinilah cerita uniknya.

Setelah itu, mereka berkayuh menuju kapal ataupun motor bandong yang sedang berlabuh yang mungkin sebelumnya telah mereka ketahui akan membeli kelapa dalam jumlah yang banyak. Transaksi kembali terjadi. Kini transaksi yang berlangsung adalah dengan pemilik kapal. Tawar menawar pun terjadi, hingga harga pun disepakati. Tentunya harga jual yang mereka tawarkan kepada pemilik kapal lebih tinggi dibandingkan harga jual dari pedagang kelapa. Setelah itu, mereka pun kembali mendatangi pedagang kelapa untuk segera memuat kelapa jualannya ke atas kapal. Setelah kelapa dimuat oleh pedagang kelapa ke atas kapal, maka mereka pun kembali mendatangi pemilik kapal untuk mengambil uang pembayaran dari pemilik kapal. Setelah itu, barulah mereka membayarkan uang tersebut kepada pedagang kelapa, yang tentunya dari pembayaran itu mereka sudah mendapatkan keuntungan yang lumayan.

Lihatlah, ayahku dan pamannya telah melakoni perdagangan yang cukup unik. Mereka tidak bermodal uang sedikit pun, kecuali hanyalah bermodalkan keberanian, kecerdikan, dan kepercayaan dari pedagang kelapa dan pemilik kapal. Tenaga yang mereka keluarkan pun begitu minimnya, karena yang memuat kelapa tersebut ke kapal bukanlah mereka, melainkan pedagang kelapalah yang langsung memuatnya ke kapal. Dalam hal ini, pedagang kelapa puas, pemilik kapal juga puas. Pedagang kelapa merasa puas karena barang dagangannya telah terjual dalam jumlah yang lumayan banyak, sedangkan pemilik kapal merasa puas karena kapalnya telah terisi dengan barang yang diinginkannya tanpa harus bersusah payah mencari barang tersebut kepada para pedagang.

Mengapakah pedagang kelapa dan pemilik kapal bisa percaya kepada mereka? Mungkin bisa jadi pedagang kelapa mengira bahwa pemilik kapal itu adalah ayahku dan pamannya, atau setidaknya mengira bahwa mereka adalah pekerja ataupun orang kepercayaan ataupun orang yang memiliki otoritas tertentu di kapal tersebut. Sedangkan pemilik kapal mungkin mengira, bahwa yang memiliki dagangan kelapa itu adalah mereka, dan pedagang kelapa yang memuat kelapa tersebut ke kapalnya tak lain adalah pekerja ataupun pesuruh dari ayahku dan pamannya.

***

Pada waktu yang lain, ayah juga pernah berkisah mengenai seorang anak yang ingin belajar di suatu madrasah (sekolah). Setting cerita ini adalah di Timur Tengah. Entah karena apa, mungkin karena keluarganya tidak mampu, si anak pun kemudian tak dapat bersekolah. Karena tekad si anak yang begitu kuat untuk menuntut ilmu, maka si anak pun hanya mendengarkan pelajaran dari kolong ruangan kelas di madrasah itu tanpa diketahui oleh si guru dan murid-murid yang berada di dalam ruangan belajar tersebut.

Si anak menyimak dan mencatat setiap pelajaran yang didengarnya dari bawah kelas. Alat tulis yang digunakan anak itu untuk mencatat adalah berupa papan tulis kecil yang kalau catatannya sudah penuh, maka tulisan yang ada di papan tulisnya itu dihapus untuk kemudian digunakan lagi untuk menulis. Jadi jangan disamakan dengan catatan kita sekarang yang itu bisa disimpan dan suatu waktu bisa dibaca lagi, karena alat tulis yang digunakan anak itu tak lebih hanyalah media tulis sementara, untuk kemudian ia menyimpan catatannya itu langsung ke memori otaknya.

Hingga suatu ketika, si guru menanyakan kepada murid-muridnya mengenai suatu hal dari pelajaran yang telah disampaikannya. Ternyata murid-muridnya tak dapat menjawab pertanyaan si guru. Mungkin karena mengetahui jawaban dari pertanyaan si guru, maka anak yang berada di bawah kolong kelas itu pun keluar, kemudian masuk ke dalam kelas. Ia mengatakan, bahwa ia mengetahui jawaban dari pertanyaan si guru. Tentu saja guru dan murid-murid yang berada di dalam kelas menjadi heran akan hal ini. Berkat kebijaksanaan si guru, maka si anak itu pun dipersilakan untuk menjawab pertanyaan yang dimaksud. Dan ternyata, jawaban dari si anak itu benar. Entah cerita ini benar atau fiktif belaka, tapi yang pasti ayah hanya sekedar berkisah yang mungkin di dalam kisahnya itu ada hikmah yang bisa diambil.

Tentang cerita ayah mengenai Syeikh Abdul Qadir Jailani yang menjebol lantai rumahnya, belakangan kiranya ada pertanyaan yang menggelayuti diriku. Apakah benar rumah Syeikh Abdul Qadir Jailani itu seperti halnya rumah kami orang-orang Pontianak yang berupa rumah panggung, yaitu rumah yang tidak langsung terletak di atas tanah, melainkan ada tiang yang memisahkan lantai rumah dengan tanah, sehingga ada bagian yang lowong di bawah rumah. Karena itulah, rumah orang Pontianak selalu ada kolongnya (kolong rumah). Sedangkan kita ketahui bersama, bahwa rumah orang-orang di Timur Tengah adalah rumah yang terletak di atas tanah, bukanlah seperti rumah kami orang-orang Pontianak. Sepertinya ayah agak kurang teliti ketika mengisahkan cerita tersebut. Atau memang disengaja seperti itu, sehingga alam pikiran kami bisa langsung nyambung dengan membayangkan bahwa rumah Syeikh Abdul Qadir Jailani itu sama halnya seperti rumah masyarakat Pontianak yang ada kolong rumahnya. Begitu juga dengan cerita si anak yang bersembunyi di bawah kolong kelas untuk menyimak pelajaran dari ruangan kelas yang ada di atasnya. Lagi-lagi ayah agak kurang teliti dalam mengisahkan cerita tersebut, atau memang disengaja seperti yang telah kusebutkan di atas.

Begitulah ayahku, orang tua sekaligus guru bagi kami anak-anaknya. Darinya kami mendapatkan pelajaran hidup melalui kisah-kisah yang dituturkannya. Dan melalui beliau pula kami anak-anaknya tumbuh dalam tradisi ilmu. Tradisi yang kiranya masih begitu langka di kampongku ketika itu, bahkan mungkin masih langka hingga kini. Tradisi yang dihidupkan di dalam keluarga sendiri oleh orang tuanya, yaitu tradisi keilmuan melalui media berkisah. Bagiku, sungguh apa yang telah dilakukan oleh ayahku itu adalah suatu terobosan kreatif di dalam keluarga kami yang bersahaja. Orang tua memang selayaknya juga menjadi guru dan pendidik bagi anak-anaknya. Dan didikan itu penuh dibaluti dengan nuansa demokratis dan kasih sayang yang kiranya kini pun masih jarang kita jumpai, bahkan di dunia pendidikan modern sekali pun. #*#


[Hanafi Mohan – Ciputat, medio Februari-medio Agustus 2009]


Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar Isi

Sumber: http://hanafimohan.blogspot.com/

Kamis, 13 Agustus 2009

[Cerbung Senja Merah Jingga] 23- Kreativitas di Ambang Batas

SMP negeri di kecamatanku (Pontianak Timur) hanya ada dua ketika itu, yaitu SMP Negeri 4 dan SMP Negeri 16. Selain itu, ada juga beberapa SMP swasta. Aku sendiri seperti yang pernah kusebutkan, yaitu bersekolah di SMP Negeri 4. Dua SMP negeri yang ada di kecamatanku ini kiranya dari sisi fasilitas begitu minim dibandingkan SMP negeri yang ada di kecamatan lain. Bagi orang tua siswa, pilihan menyekolahkan anaknya di sekolah negeri bukanlah pilihan dari sisi fasilitas ataupun kualitasnya, melainkan karena biaya sekolahnya lebih murah dibandingkan sekolah swasta. Bagi yang tak beruntung karena NEM anaknya pas-pasan, maka tak ada pilihan lain kecuali menyekolahkan anaknya di sekolah swasta. Sekolah swasta yang dipilihpun kebanyakan adalah sekolah swasta yang biayanya murah serta fasilitas dan kualitas sekolahnya biasa-biasa saja.

Di SMP tempatku bersekolah berkumpul anak-anak yang berasal dari keluarga dengan berbagai macam strata sosial dan strata ekonomi. Jika dikalkulasi, kemungkinan kebanyakan berasal dari keluarga yang pas-pasan. Tapi aku yakin hingga kini, bahwa siswa-siswi di SMP ku adalah anak-anak yang cemerlang dan berbakat. Hal ini dapat kulihat ketika beberapa kali sekolah kami menyabet sebagai juara pada beberapa perlombaan, baik itu di tingkat kecamatan maupun di tingkat kota. Salah satu contohnya adalah tim PRAMUKA kami yang ketika itu cukup disegani se-kota Pontianak. Selain PRAMUKA, pada beberapa bidang lain sekolah kami juga cukup disegani, seperti Voli dan Cerdas Cermat. Prestasi-prestasi ini ditoreh oleh sekolah negeri yang minim fasilitas.

Dengan fasilitas sekolah yang terbatas, kami kemudian menjelma menjadi siswa-siswa yang lebih kreatif dan kuat banting dibandingkan siswa-siswa dari sekolah-sekolah yang fasilitasnya memadai. Itulah kiranya menurutku kelebihan dari siswa-siswa yang ada di sekolah yang minim fasilitas. Soal kecerdasan dan kualitas pendidikan, mungkin masih bisa diadu sekolah mana yang lebih berkualitas. Hal ini setidaknya sudah kami buktikan melalui beberapa kali event perlombaan cerdas cermat tingkat Kota Pontianak. Walaupun belum pernah meraih predikat juara pertama, tapi setidaknya kami masih bisa meraih juara kedua ataupun juara ketiga. Yang pasti hasilnya tak terlalu mengecewakan jika dibandingkan dengan begitu minimnya fasilitas sekolah kami.

***

Kami juga merupakan siswa yang begitu kompleks. Kreativitas, kecerdasan, dan kenakalan bercampur baur menjadi satu. Seorang siswa yang cerdas di sekolah kami bukan berarti tidak menyimpan potensi kenakalan. Kenakalan itu biasanya tersimpan begitu rupa, tiba-tiba ia keluar begitu saja sehingga banyak yang terheran-heran dan tak menyangka akan hal itu. Perhatikanlah tingkah siswa yang satu ini. Ia selalu mendapatkan predikat juara kelas, selalu disayangi oleh para gurunya, dan predikat sepuluh besar di sekolah pun selalu tak luput diraihnya. Tapi, apakah kemudian yang terjadi?

Suatu hari ketika itu, di kelasku ada jam kosong yang seharusnya ada pelajaran. Entahlah mengapa, mungkin guru yang seharusnya mengajar ketika itu sedang ada halangan sehingga tidak masuk ke kelas. Ada sekumpulan siswa di kelasku ketika itu yang mereka ini suka sekali bernyanyi-nyanyi ketika ada waktu senggang di kelas, biasanya ketika waktu istirahat. Entah mengapa ketika itu, mulut mereka sepertinya sudah tak tahan lagi untuk bernyanyi, apalagi cukup bosan juga menunggu-nunggu guru yang seharusnya mengajar ketika itu tak kunjung tiba juga ke kelas kami. Mereka ini tak hanya bernyanyi, tapi tangan mereka juga kreatif memukul-mukul meja yang terbuat dari kayu, seakan-akan meja itu adalah gendang. Memang tak lengkap kiranya nyanyian yang tak diiringi oleh perangkat perkusi seperti gendang. Mungkin di pikiran mereka, tak ada rotan akar pun jadi, tak ada gendang meja pun jadi. Maka mengalun-ngalunlah nyanyian seisi kelas yang lengkap diiringi gendang yang terbuat dari meja.

Riuh rendah seisi kelas, tapi memang sepertinya siswa seisi kelas cukup terhibur dengan nyanyian-nyanyian tersebut. Apalagi yang menyanyi adalah siswa-siswa yang cukup lumayan merdu suaranya. Ketika itu lebih banyak nyanyiannya adalah lagu dangdut yang lagi ngetop ketika itu seperti lagunya Evi Tamala, Imam S Arifin, dan Meggi Z. Dan tentunya tak ketinggalan lagu dari Bang Haji Rhoma Irama. Lagu Bang Haji Rhoma Irama yang lagi ngetop ketika itu adalah lagu yang bejudul “Stress”.

Tiba-tiba, tak disangka tak diduga, masuklah seorang guru kami, tepatnya seorang ibu guru. Memang sepertinya dari luar kelas begitu terdengar riuh, sehingga wajar saja guru kami ini masuk ke kelas. Dengan begitu, seisi kelas yang tadinya riuh-rendah tiba-tiba sunyi-senyap bagaikan ada malaikat yang lewat, sehingga roda waktu pun laksana berhenti dari perputarannya. Meledaklah perkataan dari mulut guru kami itu, “Tangan-tangan setan kalian ini!”.

Kata-kata ini seharusnya tak layak diucapkan oleh seorang guru. Tapi guru kami ini juga manusia, yang mungkin sudah tak bisa lagi menahan kesabarannya. Guru kami ini pun mengatakan kepada siswa juara kelas kami yang ikut-ikutan bernyanyi, menggendang-gendang meja, dan membuat keriuhan di kelas ketika itu, “Kamu sebagai juara kelas seharusnya memberikan contoh yang baik kepada teman-teman kelasmu. Tapi ini, malahan kamu yang ikut-ikutan membuat keriuhan di kelas.”

Pucat pasi wajah si juara kelas. Mulutnya pun terkunci sejadi-jadinya. Kini, terbongkarlah kenakalannya yang diam-diam itu. Sepertinya ia sudah tak ada muka lagi di depan guru dan teman-temannya.

***

Di lain waktu, si juara kelas ini membuat ulah lagi. Kali ini bukan di kelas, melainkan di kantor guru dan kantor kepala sekolah. Ketika itu, kantor guru dan kantor kepala sekolah sedang sunyi tak ada satu orang pun. Si juara kelas sebenarnya ada suatu urusan yang harus diselesaikannya dengan kepala sekolah. Ketika itu ia bersama Ketua OSIS yang juga siswa di kelas kami. Karena kantor kepala sekolah sedang sepi, menunggulah mereka berdua di kantor kepala sekolah yang memang letaknya pas bersebelahan dengan kantor guru. Lama juga mereka menunggu, sehingga mungkin kemudian muncul kebosanan.

Entah mengapa, kebosanan sepertinya selalu memunculkan kekreatifan. Mereka berdua melihat ada telepon yang digunakan sebagai media komunikasi antar ruangan kantor. Si juara kelas pun bergerak ke arah telepon yang dimaksud. Si Ketua OSIS belum terlalu mengerti akan tindakan si juara kelas. Si juara kelas kemudian memencet nomor telepon, sehingga berderinglah telepon yang serupa di ruangan guru. Si juara kelas mengatakan kepada si Ketua OSIS untuk mengangkat telepon yang berdering di ruang guru. Lalu si Ketua OSIS pun ke ruangan guru untuk mengangkat telepon yang sedang berdering. Barulah si Ketua OSIS sadari, bahwa yang menelepon tersebut adalah si juara kelas. Maka mereka pun bercakap-cakaplah di telepon. Tentunya pembicaraan mereka tak lebih hanyalah pembicaraan iseng.

Habis begitu sajakah aksi mereka? Ternyata tidak, karena tiba-tiba masuk seorang guru BP ke dalam kantor kepala sekolah, karena memang guru BP kami ini ruangannya juga berada di dalam kantor kepala sekolah. Guru BP ini adalah guru yang paling disegani oleh kebanyakan siswa. Jika ada siswa yang memiliki suatu kasus, maka guru BP inilah yang akan menyelesaikannya. Mengetahui guru BP ini masuk, lantas kedua siswa ini pun langsung kabur meninggalkan tempat kejadian perkara. Mereka ini tentunya menjadi buronan, karena kejahatan yang mereka lakukan tertangkap tangan (tertangkap basah) dan ada saksi yang melihatnya yang tak lain adalah guru BP sekolah kami.

Kedua buronan ini tentunya langsung dicari. Mereka tak dapat melarikan diri ke mana-mana. Si penjahat kacangan ini tak lama kemudian langsunglah tertangkap, kemudian langsung diinterogasi sekaligus disidang oleh guru BP. Sekali lagi, si juara kelas menunjukkan potensinya yang lain, yaitu potensi yang tak layak untuk dibanggakan, malahan merupakan sesuatu yang memalukan jika diketahui oleh seisi sekolah, dan tak layak kiranya diceritakan kepada anak cucu. Tapi untungnya peristiwa ini hanya diketahui oleh guru BP, sedangkan guru yang lainnya sama sekali tak mengetahuinya. Siswa-siswa yang lain pun juga tak ada satu pun yang mengetahui peristiwa yang memalukan ini. Sehingga, jadilh peristiwa ini rahasia di antara mereka bertiga. Tentunya dalam hal ini sepertinya guru BP tak ingin membuat malu si juara kelas dan si Ketua OSIS kepada seisi sekolah.

Tahukah kau kawan, siapakah si juara kelas yang memiliki potensi kenakalan diam-diam yang kumaksud? Tak lain dan tak bukan, orang yang dimaksud adalah aku. Tentunya hal ini menjadi pengalaman yang takkan pernah kulupakan hingga kapanpun.

***

Di saat yang lain, ketika itu sekolah kami usai mengikuti suatu pertandingan persahabatan dengan sekolah lain. Pertandingan yang dimaksud adalah pertandingan voli. Sekolah kami ketika itu dikenal sebagai sekolah yang tangguh di bidang olahraga yang satu ini. Selalu saja kemenangan yang kami dapatkan.

Singkat cerita, setelah pertandingan itu, tim voli dan beberapa siswa lain yang menjadi ofisial singgah di rumah ketua OSIS kami. Mungkin sekedar menghilangkan letih atau apalah itu namanya. Rumah ketua OSIS kami ketika itu memang sering menjadi tempat berkumpul. Lagi-lagi, kekreatifan muncul dari siswa sekolah kami. Kali ini tak tanggung-tanggung, karena sudah menjurus ke tindakan pidana. Tak tanggung-tanggung juga, karena tindakan pidana ini dilakukan di rumah guru BP sekolah kami yang tempo hari meinginterogasi dan menyidang aku dan ketua OSIS. Apa pulakah tindak pidana yang dimaksud? Begini ceritanya.

Kali itu setelah pertandingan voli yang kusebutkan di atas, teman-temanku berkumpul di rumah Ketua OSIS kami. Aku sendiri ketika itu langsung pulang ke rumah, sehingga terlepaslah dari tindak pidana yang teman-temanku lakukan itu. Ketua OSIS kami ini tinggal satu gang dan bertetanggaan dengan beberapa orang guru. Termasuk salah satu tetangganya adalah guru BP sekolah kami. Mungkin pada awalnya mereka tak berniat melakukan tindakan itu. Tapi entah mengapa, seperti kata Bang Napi, bahwa kejahatan bukan karena ada niat dari pelakunya, melainkan kejahatan terjadi karena ada kesempatan. Karena itu, waspadalah …, waspadalah…!!!

Semuanya ini berawal dari godaan si pokok (pohon) asam (mangga) yang berdiri tegak di depan rumah guru BP kami. Buahnya nan ranum yang berjuntai-juntaian di pokoknya itu tentunya mengundang selera siapapun yang lewat di depan rumah guru BP. Keinginan si orang yang lewat tentunya akan mulus jika dilakukan dengan cara yang baik, yaitu cara yang halalan thayyiban kata para khatib shalat Jum’at. Tapi, tentunya tak ada yang menduga, si orang yang lewat ini nekat melakukan hal-hal yang melanggar norma-norma agama dan masyarakat. Entah karena keinginan menyantap si buah asam yang menggiurkan itu sudah di ubun-ubun, atau mungkin karena ada setan yang menyasar menggoda teman-temanku itu, karena tak dinyana, mereka dengan buasnya merunduh buah asam di pokoknya yang tak berdosa itu. Ada yang memanjatnya bagaikan kera yang profesional, dan ada juga yang menjoloknya menggunakan galah. Dan yang patut diingat pula, bahwa kejadian ini dilakukan teman-temanku pada pokok asam milik guru BP kami. Apalagi pokok asam itu tepat berada di halaman rumah guru BP. Begitulah singkat ceritanya.

***

Sepandai-pandainya kera memanjat pokok, akhirnya terjerembab juga. Begitulah kiranya nasib teman-temanku yang telah nekat melakukan perbuatan ilegal di halaman rumah guru BP kami. Singkat cerita, besoknya ketika kami masuk sekolah, teman-temanku yang melakukan tindak kriminal kecil-kecilan itu (termasuk di dalamnya adalah Ketua OSIS kami) dipanggil menghadap ke ruang guru BP untuk diinterogasi sekaligus diadili. Polisi, jaksa, dan hakimnya sekaligus adalah tak lain guru BP kami. Entah dari mana pengaduan berasal, tapi yang pasti kasus pun kemudian bergulir. Untungnya guru BP kami masih berbaik hati terhadap siswa-siswanya yang “kreatif” tak kepalang tanggung ini. Sebagaimana layaknya guru, teman-temanku ini tetap diberlakukan sebagai siswa yang harus diayomi, dididik, dan disayangi sebagaimana layaknya orang tua terhadap anaknya, guru terhadap siswanya. Tapi yang pasti, teman-temanku ini tetap diomeli, diceramahi, dan dinasihati begitu rupa. Tak lain dan tak bukan, agar mereka di lain hari tak lagi melakukan perbuatan yang serupa. Agar mereka ke depannya bisa menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa. #*#


[Hanafi Mohan – Ciputat, medio Februari – awal Agustus 2009]


Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar Isi

Sumber: http://hanafimohan.blogspot.com/

Sabtu, 08 Agustus 2009

[Cerbung Senja Merah Jingga] 22- Rumah Tua

Rumah yang pernah kudiami adalah rumah tua peninggalan keluarga besarku dari garis ibu (tepatnya dari kakek sebelah ibuku). Kakekku dari sebelah ibu adalah saudara kandung dengan nenekku dari sebelah ayah. Sehingga, saudara-saudara dari ayahku sebagian besar juga memang pernah tinggal di rumah keluarga besarku ini. Yang terakhir menempatinya adalah keluargaku. Apalagi memang dari kedua jalur (ayah dan ibuku), keluargaku begitu sangat erat nasabnya.

Rumah ini begitu besar untuk ukuran di kampongku. Selain besar, modelnya juga merupakan model rumah tradisional Melayu, yaitu rumah panggung yang cukup tinggi. Rumah ini berdiri di atas air (tepian sungai). Di bawah rumah karena sangat luang, maka biasa kami manfaatkan sebagai kandang ayam.

Di rumah tua inilah, aku pernah dilemparkan abang sepupuku dari jendela kamarnya. Ini mungkin karena waktu itu aku terlalu nakal. Untungnya yang ada di bawah rumah adalah air dan aku sudah bisa berenang. Tapi cukup sakit juga diberlakukan seperti itu.

Encek, Wak, dan anaknya (yang tak lain adalah abang sepupuku yang melemparkanku dari kamarnya) memang tadinya juga bertempat tinggal di rumah tua ini. Tapi belakangan, Encek dan Wak membuat rumah yang baru yang jaraknya tak jauh dari rumah tua ini, yaitu pas di belakangnya. Karena itulah, rumah tua ini juga kami kenal sebagai rumah laot. Dan sanak keluarga kami yang bertempat tinggal di darat juga memanggil rumah tua ini sebagai rumah laot. Selain itu, kami juga mengenal rumah ulu. Rumah ulu merupakan rumah tua peninggalan keluarga besarku dari garis ayah. Tepatnya dari garis kakek sebelah ayahku. Terakhir yang menempati rumah ulu adalah Yah Long (paman tertuaku) sekeluarga. Namun yang kuingat, ketika aku sudah bisa mengingat-ingat, bahwa pada masa anak-anakku, rumah ulu tersebut sudah tidak ditempati karena sudah lapuk dimakan usia.

***

Ketika kelas 2 SMP, keluargaku pindah dari rumah tua yang sudah reyot itu. Saat yang menyedihkan bagiku, karena harus meninggalkan rumah tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. Di saat-saat kemudian, aku sering memimpikan rumah tua itu. Di saat-saat kemudian ketika berada di negeri yang jauh dari kampongku, ketika rasa rindu yang memuncak terhadap kampong halamanku juga terhadap segenap keluargaku, maka di dalam tidur pun aku memimpikan sedang berada di kampongku, dan selalu saja aku bermimpi sedang berada di rumah tua tersebut lengkap dengan semua anggota keluargaku. Rumah tua itu begitu membekas di dalam batinku, bahkan bentuknya secara detail masih sangat kuingat.

Ayahku pernah menceritakan, bahwa leluhur kami berasal dari berbagai macam puak Melayu, baik itu dari Sumatera dan kepulauan di sekitarnya, maupun dari Kalimantan dan kepulauan yang tersebar di sekitarnya. Bahkan mungkin juga leluhur kami ada yang berasal dari Semenanjung Melayu (Malaysia). Selain itu, leluhur kami juga ada yang berasal dari negeri Cina. Yang pasti jika menurut cerita ayahku, bahwa kami adalah orang Melayu dari keturunan berbagai macam daerah dan suku bangsa.

Menurut ayahku, hal ini bisa dilihat dari bentuk rumah tua yang kami diami kala itu. Dari bentuknya sekilas seperti rumah orang Minangkabau dan Riau. Dan memang jika mencermati cerita ayahku, keturunan kami juga ada yang berasal dari Riau dan Minangkabau, bahkan bukan hanya orang biasa, melainkan pembesar dari Kerajaan Minangkabau dan Siak Sri Inderapura-Riau yang hijrah dari dua kerajaan Melayu tersebut karena mungkin kisruh politik yang ada di sana. Tujuan hijrahnya tak lain adalah Kesultanan Pontianak yang ketika itu mungkin baru berdiri. Kemudian mereka mengabdi di Kesultanan Pontianak, sehingga kemudian menurunkan ke keluarga besar kami. Selain itu, ayah juga menceritakan, bahwa leluhur kami juga ada yang berasal dari Banjar (Kalimantan Selatan) dan juga Tionghoa. Hal ini juga bisa dilihat dari tradisi dan adat-istiadat yang masih hidup di dalam keluarga besar kami yang cenderung merupakan campuran tradisi dan adat-istiadat Melayu Riau, Minangkabau, Banjar, dan Tionghoa. Semua mozaik tradisi dan adat-istiadat itu berkelindan menjadi satu, hingga kemudian mewujud menjadi tradisi dan adat-istiadat Melayu Pontianak.

***

Rumah tua yang pernah kudiami itu menyimpan berjuta cerita. Rumah itu menjadi tempat berkumpul keluarga besar kami. Jika terjadi konflik di dalam keluarga besar kami, maka rumah tua itulah yang menjadi tempat untuk berdamai. Tokoh perdamaiannya adalah Encek. Sayang, Encek tak hidup lama. Sehingga belakangan jika terjadi konflik di dalam keluarga besar kami, maka akan habis menguap begitu saja tanpa ada penyelesaian. Yang merasa sakit hati akan tetap sakit hati. Kalaupun sakit hati itu hilang, maka ia hilang sementara saja, hilangnya pura-pura saja, hilangnya tidak tulus. Kalau kemudian tersulut, maka mungkin akan terbakar lagi. Begitu juga kalau ada yang memiliki rasa dendam dan marah.

Semenjak pindah dari rumah tua itu, persahabatanku dengan tiga budak laot semakin merenggang. Entahlah itu karena apa. Padahal, rumah baruku jaraknya tak terlalu jauh dari rumah tua (rumah laot) itu. Rumah baruku letaknya hanya agak ke darat, tidak lagi di tepi sungai. Jaraknya paling-paling hanya berkisar kurang lebih 10 menit berjalan kaki. Setiap sore, ataupun di kala senggang, aku dan abangku ataupun dengan adikku selalu menyempatkan diri untuk bertandang ke rumah tua itu. Hal ini kami lakukan di kala akan mandi ataupun mengumpulkan kayu bakar. Bagi kami, itulah rumah pertama kami, rumah tempat di mana kami dilahirkan dan dibesarkan, rumah yang menjadi tempat segala suka dan duka bersemayam. Terlalu banyak kiranya kenangan yang telah tertoreh di rumah tua itu. Rumah tua itu seakan-akan telah terpatri di dalam lubuk hati kami. Sehingga di manapun kami berada, rumah itu selalu berada mengiringi setiap gerak langkah hidup kami.

Rumah tua itu penuh dengan kedamaian, walau sesulit apapun kehidupan yang kami hadapi. Ia menawarkan kesejukan, walau sepanas apapun hati kami. Ia menaungi dan meneduhi jiwa-jiwa kami yang terus bergejolak. Ia selalu melindungi kami sebagai penghuninya. Ia memeluk kami dalam dekapan buaian kasih sayang. Ia menyenandungkan kepada kami lagu-lagu indah. Ia memompakan kepada kami ketegaran yang begitu rupa. Di dalamnya bersemayam ketegaran para leluhur kami yang gagah berani nan perkasa.

***

Suatu malam di rumah kami yang baru, aku bermimpi mengenai rumah tua itu. Di dalam mimpi itu tergambar kesedihan dari rumah tua kami yang sudah tak berpenghuni tersebut. Ia seperti dideru angin ribut yang begitu hebat. Di tengah kerentaannya, ia terhuyung-huyung begitu rupa ke sana kemari. Tak ada lagi yang mempedulikannya, malahan sepertinya banyak yang membencinya. Keluarga kami yang pernah menghuninya telah jauh darinya. Tinggallah ia sendiri menanggung segala beban masa lalu yang penuh nostalgia, masa kini yang penuh kesepian, dan masa depan yang semakin mengabur.

Aku terbangun di tengah malam itu. Meleleh air dari sela-sela mataku. Aku begitu merasakan kesedihan rumah tua itu. Besok harinya, kuceritakan mengenai apa yang kumimpikan itu kepada seorang abangku. Ah, itu hanya bunga-bunga tidur saja. Begitulah yang dikatakan abangku. Lalu kuceritakan kepada emak. Ternyata jawaban dari emak agak membuatku lega. Pergilah ke rumah yang pernah kita diami itu, bersihkan ia selayaknya ketika kita mendiaminya dahulu. Begitulah yang dikatakan emak kepadaku. Kemudian juga kuceritakan kepada ayah mengenai mimpiku itu. Ayah mengatakan, bahwa rumah itu sama juga seperti manusia. Ia sebenarnya juga hidup, memiliki jiwa dan perasaan seperti kita. Ia akan merasakan sedih seperti halnya kita. Ia juga bisa bergembira, takut, serta perasaan-perasaan lainnya laksana manusia. Ia akan berbahagia ketika kita berlakukan sebagaimana layaknya. Ketika kita berlakukan dia secara baik, kita jaga dia, kita perhatikan dia, maka dia pun akan berlaku baik, menjaga, dan memperhatikan kita. Ia akan bersedih ketika disisihkan, ditelantarkan, dan diberlakukan secara buruk.

Terus terang ketika itu aku tak terlalu mengerti apa yang dikatakan ayah. Yang ada di pikiranku ketika itu bahwa aku sangat rindu terhadap rumah tua kami itu, rumah tua tempat aku dan saudara-saudaraku dilahirkan dan dibesarkan, rumah tempat di mana kebahagiaan dan kebersahajaan keluarga kami pernah terjalin, terjejak, berkelindan begitu rupa, bahkan terekam dalam ingatan kolektif kami, sehingga kami akan selalu mengingatnya sebagai kenangan yang takkan pernah terlupakan hingga kapan dan di manapun kami berada.

Aku pun bersama abang dan adikku mendatangi rumah tua itu. Ketika kami membuka pintunya, terhamparlah nuansa kesepian dan kemuramdurjaan. Kemudian kami pun memasukinya bagaikan perantau yang telah lama merindukan rumahnya. Kami buka tingkap-tingkapnya selayaknya ketika kami menghuninya. Hembusan angin sungai nan segar membelai-belai wajah kami, yaitu angin sungai yang memang telah akrab dengan kami, angin sungai yang begitu kami rindukan semenjak kami tidak lagi menghuni rumah tua yang berada di tepian Sungai Kapuas itu.

Tidak seperti ketika kami mendiaminya, kini yang ada di hadapan kami tak lebih hanyalah rumah kosong, sepi, dan tak terurus. Segala perabotan di dalamnya telah kami angkut ke rumah kami yang baru. Paling-paling yang tertinggal hanya perabotan-perabotan tua nan lapuk yang tak bisa dipakai lagi. Dia kini juga penuh dengan debu. Lantai-lantainya ada yang sudah berlubang, begitu juga dinding-dindingnya ada yang sudah terlepas. Para’nya (para’ = loteng) kulihat bocor di beberapa bagian. Mungkin karena ada atap yang sudah bocor, sehingga air hujan dengan bebasnya menerobos ke dalam rumah.

Seperti pesan emak, kami pun coba membersihkan dan merapikan barang-barang yang masih tertinggal di dalamnya. Orang-orang yang ada di sekitar rumah tua kami ini keheranan menyaksikan apa yang kami kerjakan. Ya …, mereka tak lain adalah orang-orang yang pernah menjadi tetangga kami ketika kami menghuni rumah itu. Akan pindah lagi kah kalian ke rumah berhantu ini? Begitulah di antara beberapa pertanyaan mereka kepada kami. Mereka mengatakan, bahwa kalau malam, rumah tua kami ini begitu menyeramkan. Ada suara-suara aneh yang terdengar dari dalam rumah tua kami ini. Di antara mereka juga ada yang tak berani melewatinya di kala malam. Begitulah yang mereka paparkan kepada kami.

Ah …, sebegitu takutnyakah mereka dengan rumah tua kami ini? Itulah setidaknya yang ada di benakku ketika itu. Adakah kiranya rumah tua kami ini menakut-nakuti mereka, sehingga mereka menjadi takut terhadapnya? Ada juga di antara mereka yang mengatakan, bahwa kalau mereka terdesak harus melewati rumah tua kami ini di waktu malam, maka ada yang sambil berjalan agak cepat, atau bahkan ada yang berlari ketika melewati rumah tua kami yang tak berdosa dan tak sepatutnya untuk ditakuti itu.

Naifkah mereka? Entahlah, karena yang kuingat, perbuatan seperti itu memang pernah kualami, tapi itu ketika aku masih SD. Pada waktu-waktu tertentu setelah selesai berlatih hadrah ataupun setelah kelompok hadrah kampong kami tampil pada suatu acara, maka ketika pulang ke rumah aku harus melewati kawasan pekuburan kampong kami. Latihan hadrah dan tampilnya kelompok hadrah kampong kami di suatu acara memang lebih seringnya berlangsung pada malam hari. Latihan hadrah biasanya selesai sekitar pukul 10 hingga pukul 11 malam, sedangkan jika kami tampil pada suatu acara, biasanya selesai sekitar pukul 1 hingga pukul 2 malam. Bayangkanlah, pada jam-jam tersebut aku harus melewati kawasan pekuburan kampong kami sendirian, karena memang lebih seringnya aku pulang ke rumah sendirian saja, tak ada yang menemani.

Pada saat-saat seperti ini, aku dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit. Sebenarnya ada dua ruas jalan yang bisa kulewati untuk menuju ke rumah, yaitu jalan yang melewati kawasan pekuburan kampongku dan jalan di samping Jembatan Kapuas. Tapi lagi-lagi seperti yang telah kusebutkan, bahwa kedua-duanya adalah pilihan-pilihan yang sama-sama sulit. Jalan kawasan pekuburan sudah pasti menyeramkan bagiku ketika itu. Sedangkan jalan samping Jembatan Kapuas bagi penduduk kampongku juga tak kalah menyeramkannya, apalagi dahulunya memang di ruas jalan tersebut sebelum dibangun Jembatan Kapuas juga merupakan kawasan pekuburan, yang kemudian ketika akan dilakukan pembangunan Jembatan Kapuas, kuburan-kuburan yang ada di situ dipindahkan ke tempat yang baru.

Jantungku berdetak kencang ketika akan melewati kawasan pekuburan kampongku pada malam-malam tersebut. Mulutku komat-kamit membaca ayat-ayat suci Al-Quran yang kuhafal, terutama Surah Al-Falaq dan An-Naas. Semakin dekat ke kawasan tersebut, detakan jantungku semakin kencang. Akhirnya aku pun melewatinya dengan perasaan takut yang tak karuan. Muka terus kuhadapkan ke depan dan tak berani untuk menoleh ke belakang. Perasaan takutku semakin menjadi-jadi ketika ada suara-suara yang mencurigakan ataupun bayangan-bayangan yang berkelebat. Ada saja perasaan-perasaan yang menyelinap, seakan-akan ada yang mengikutiku dari belakang. Kalau sudah seperti ini, otomatis gerak langkahku semakin cepat. Ingin rasanya berlari saja, tapi seakan-akan kakiku tertahan untuk melakukannya. Benakku pun berkata, apa pula kata dunia nantinya, karena tak sepantasnya seorang laki-laki menjadi penakut. Hingga memang yang kuandalkan adalah komat-kamit mulutku yang membaca ayat-ayat Al-Quran.

Lama kelamaan karena begitu seringnya melewati kawasan pekuburan tersebut di malam hari, lambat-laun muncullah rasa berani di dalam diriku ketika melewatinya, pukul berapapun itu. Hal ini juga karena ajaran-ajaran yang diberikan oleh guru madrasah mengenai ketauhidan. Aku pun kemudian cukup berbangga hati ketika itu, karena menjadi salah satu anak kecil yang cukup berani melewati kawasan pekuburan kampong kami tersebut, sementara masih ada orang dewasa ketika itu yang takut melewatinya.

***

Begitulah nasib rumah tua kami yang telah dianggap sebagai rumah berhantu. Sedih kiranya perasaanku, karena rumah tua kami telah dianggap sebagai tempat yang menyeramkan oleh sebagian orang yang tinggal di sekitarnya. Ternyata masih ada orang-orang kampongku yang bersikap naif seperti itu yang hal tersebut tak lain hanya akan semakin menjerumuskan dan mengotori keimanan mereka.

Sementara aku, abangku, dan adikku terus saja membersihkan rumah tua kami. Tak sedikit orang yang menganggap aneh apa yang kami lakukan. Tapi kami abaikan semua ocehan mereka itu. Biarlah mereka meracau sepuas-puasnya, kami akan menganggapnya sebagai angin lalu saja. Kami terus menelusuri serpihan kenangan kami yang terekam di rumah tua kami ini. Kami ingin ia tetap hidup dalam lembaran kehidupan kami, menerangi jiwa kami, memberikan keteduhan, energi bagi kehidupan kami di masa-masa yang akan datang. #*#


[Hanafi Mohan – Ciputat, medio Maret – awal Agustus 2009]


Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar Isi

Sumber: http://hanafimohan.blogspot.com/