Hikayat Dunia

Kita hanya pengumpul remah-remah | Dari khazanah yang pernah ada | Kita tak lebih hanya penjaga | Dari warisan yang telah terkecai ||

Pontianak Singgah Palembang

Daripada terus berpusing-pusing di atas Negeri Pontianak, yang itu tentu akan menghabiskan bahan bakar, maka lebih baik pesawat singgah dahulu ke bandar udara terdekat. Sesuai pemberitahuan dari awak pesawat, bandar udara terdekat adalah Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Negeri Palembang.

Mudék ke Ulu

Pasangan dari kate “ulu” ielah “mudék”. Kate “mudék” beakar kate dari kate “udék”. Udék bemakne "sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber)", "daerah di ulu sungai", juga’ bemakne "kampong halaman (tempat beasal-muasal)".

Soal Nama Negeri Kita

Belakangan ini kiranya ramai yang berpendapat ini dan itu mengenai asal usul dan makna nama "pontianak" kaitannya dengan Negeri Pontianak. Tapi apakah semua yang didedahkan itu betul-betul dipahami oleh masyarakat Pontianak?

Kampong Timbalan Raje Beserta Para Pemukanya [Bagian-3]

Selain banyak menguasai berbagai bidang keilmuan, beliau juga banyak memegang peran dalam kehidupan kemasyarakatan. H.M. Kasim Mohan yang merupakan anak sulong (tertua) dari pasangan Muhammad Buraa'i dan Ruqayyah ini merupakan seorang Pejuang di masanya.

Musik Motivasi Setahun Silam

“Satu Kursi untuk Seniman”, begitu tagline kampanyenya. Tekadnya untuk memajukan Kalbar lewat industri kreatif tentu patut diapresiasi. Melalui industri kreatif diharapkannya dapat menjadi jembatan menjulangkan budaya yang memayungi Kalimantan Barat.

Sultan Pontianak; Umara' dan 'Ulama

Kegemilangan Negeri Pontianak salah satunya diasbabkan kepemimpinan para Sultan-nya yang arif dan bijaksana. Sultan-Sultan Pontianak selama masa bertahtanya rata-rata memiliki dua peranan, yaitu berperan sebagai umara', sekaligus berperan sebagai 'ulama.

Puisi Buya Hamka untuk Muhammad Natsir

Kepada Saudaraku M. Natsir | Meskipun bersilang keris di leher | Berkilat pedang di hadapan matamu | Namun yang benar kau sebut juga benar ||

Minggu, 29 Maret 2009

[Cerbung: Senja Merah Jingga] 10- Gitaris Belia


Dari usiaku belia, Encek dan Wak sudah membiasakanku mendengarkan alunan musik. Ketika belum bersekolah SD, mereka sudah membelikanku kaset-kaset yang berisi lagu-lagu dari penyanyi yang populer ketika itu. Antara lain yang kuingat adalah Jamal Mirdad, Tommy J. Pisa, dan grup musik Bill & Brod yang digawangi oleh Arie Wibowo sebagai vokalisnya. Lagu dari penyanyi-penyanyi ini sudah terngiang-ngiang di telingaku ketika itu.

Entah apa pertimbangan Encek dan Wak membelikanku kaset-kaset dari penyanyi-penyanyi tersebut. Belakangan kutahu, bahwa Wak pada masa mudanya adalah pemain orkes (band). Ia adalah pemain bass pada orkes yang dipimpin oleh pak mudeku (abang dari ayahku) yang tertua, yang di orkes itu ada juga pak mude-pak mudeku yang lain sebagai personelnya.

Selain lagu-lagu dari kaset yang dibelikan Encek dan Wak, aku juga tak jarang mendengar lagu-lagu koleksi dari abang sepupuku yang tak lain adalah anak kandung dari Encek dan Wak. Abang sepupuku ini juga adalah pemain band. Ia adalah seorang gitaris. Lagu-lagunya kebanyakan adalah lagu-lagu rock, antara lain lagu-lagu rock dari grup Scorpion, Queen, Deep Purple, dan God Bless. Selain itu, di kamarnya juga terpampang poster dari beberapa grup band favoritnya. Yang kuingat adalah poster grup Duran Duran dan Kiss. Yang paling seram dari poster-poster tersebut adalah poster grup "Kiss" yang tampangnya seperti hantu.

Lain lagi Wak, ayah angkatku ini mempunyai koleksi lagu yang juga sedang ngetop pada masanya. Sebut saja misalkan seniman legendaris orang Melayu seperti Tan Sri P. Ramlee dari Semenanjong Tanah Melayu-Malaysia, dan beberapa penyanyi lagu Melayu lainnya seperti Ahmad Jaiz dan Said Effendi. Selain itu, beliau juga mengoleksi lagu-lagu qasidah yang lagi ngetop ketika itu seperti Nasyidaria dan juga lantunan Alquran dari qari' yang kondang saat itu, yaitu Muammar ZA dan Chumaidi.

Mak mudeku (adik perempuan dari ibuku) memiliki koleksi yang lain pula. Koleksinya adalah grup band ternama di masanya seperti Koes Plus, D'Lloyd, Panbers, dan The Mercy’s.

Begitulah, masa kecilku selalu dekat dengan alunan musik bermacam-ragam dan bersentuhan dengan seni berbagai rupa. Aku merasa beruntung, karena dilahirkan di keluarga dan lingkungan yang begitu dekat dengan seni. Hal ini mungkin tak dialami oleh teman-temanku yang lain. Kecuali satu temanku, yang entah dari mana ia mendapatkan kemampuan seni yang satu ini, sementara kami teman-temannya belum memiliki kemampuan seni yang seperti itu. Ketika kelas empat SD, ia sudah bisa memainkan gitar.

* * *

Suatu sore, aku, Izwar, dan Witri bertandang ke rumah Deni. Rumah teman kami yang satu ini boleh dikatakan merupakan pangkalan utama bagi kami. Di antara kami berempat, maka keluarga Deni adalah keluarga yang cukup berada.

Ketika itu, Deni sedang asyik memainkan gitar di pelataran rumahnya. Walaupun belum bisa menilai seni, tapi aku setidak-tidaknya bisa menangkap bahwa yang dimainkan Deni itu adalah nada-nada yang teratur. Hal ini menandakan bahwa Deni memang bisa memainkan alat musik yang satu ini. Terus-terang aku cukup terheran-heran dengan kemampuan Deni, mungkin Izwar dan Witri juga memiliki perasaan yang sama denganku. Baru pertama kali itu kami melihatnya bermain gitar.

"Hei, ayolah…, jangan kalian terdiam seperti itu. Temanilah aku bernyanyi!" ajak Deni yang membuyarkan ketergamamanku, juga mungkin ketergamaman Witri dan Izwar.

"Lagu apa yang bisa kau iringi, Den?" tanyaku kepada teman kami yang cukup piawai memainkan gitar menurut pandanganku ketika itu.

"Mudah-mudahan lagu-lagu apa saja bisa kuiringi. Sebenarnya aku sedang belajar. Tapi tak apalah, ini semuanya demi menghibur kalian," Deni pun memetik gitar. Ia sedang memainkan intro suatu lagu yang lamat-lamat sepertinya pernah kudengar.

Mengalunlah lagu itu. Deni bermain gitar sambil bernyanyi. Kemudian juga kami ikuti, karena lagunya cukup ngetop ketika itu. Refrainnya seperti ini:

Maafkanlah aku acuhkan dirimu
Waktu pertama kali tersenyum padaku
Maafkanlah aku jejali dirimu
Dengan segala kisah sumpah serapahmu


Tak lain dan tak bukan, lagu tersebut adalah lagu yang dipopulerkan oleh grup band "Slank" yang berjudul "Maafkan". Karena kami lebih hapal refrainnya dibandingkan dengan lirik yang lain, maka pada saat refrain suara kami jelas terdengar. Sedangkan pada lirik lainnya yang kami tidak hapal, maka kami ganti dengan kata: nananananana....

* * *

Itulah Deni si gitaris kami. Aku sendiri merasa bangga memiliki teman seperti dirinya. Setiap kali pelajaran kesenian, Deni tak lupa membawa gitarnya. Di antara teman-teman SD-ku (waktu itu kami sudah menginjak kelas lima), kiranya hanya Deni lah yang memberikan penampilan terbaik pada saat pelajaran kesenian. Dia biasanya menyanyi sambil memainkan gitar. Saat-saat penampilannya adalah saat-saat yang kami tunggu-tunggu sekelas.

Aku pun tak mau kalah dengan Deni. Pada saat penampilanku, aku meminta Deni untuk mengiringiku dengan gitarnya (waktu itu aku belum belajar gitar, karena aku baru belajar gitar ketika kelas enam). Lagu-lagunya memang sebelumnya sudah kulatih bersama Deni. Karena itulah, penampilanku juga ditunggu-tunggu oleh teman-teman sekelas. Entah apakah mereka menunggu penampilanku, atau mungkin karena yang mengiringiku adalah Deni, sehingga mungkin saja yang mereka tunggu-tunggu sebenarnya bukanlah penampilanku, melainkan permainan gitar Deni lah yang menjadi daya tariknya. Aku pun tak tahu, pada saat penampilanku, ibu guru yang mengajar kesenian apakah hanya menilai penampilanku seorang, atau juga diakumulasi dengan penampilan Deni yang mengiringiku.

Lagu yang kunyanyikan adalah lagu yang berjudul: "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa". Begitu hening lagu tersebut kulantunkan. Pada saat yang lain, lagu ini kunyanyikan lagi ketika acara perpisahan dengan guru SD kami yang akan dipindah-tugaskan. Saat itu aku berkolaborasi dengan Deni. Aku menyanyi, dan Deni memainkan gitar. Yang kuingat, ketika itu seisi ruangan acara menangis mendengarkan lagu yang kunyanyikan. *#*#


[Hanafi Mohan – Ciputat, medio Maret 2009]


Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar isi


Selasa, 24 Maret 2009

[Cerbung: Senja Merah Jingga] 9- Penerjun Bebas


Sungai Kapuas adalah arena yang tak ada habis-habisnya untuk kami eksplorasi. Ia adalah sumber inspirasi yang kaya. Darinya, kami terpicu untuk selalu berinovasi. Kami bersahabat dengannya, karena itulah kami pun tak ada rasa takut untuk berenang dan menyeberangi sungai yang lumayan lebar ini.

Kekayaan yang ada di sungai ini juga begitu banyaknya. Ikan dengan mudah didapatkan dari dalamnya. Kayu-kayu yang hanyut di atasnya bisa dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Jangan ditanya lagi airnya yang memang sehari-hari dimanfaatkan oleh warga pesisir sungai untuk mandi dan mencuci. Sedangkan untuk minum dan memasak, warga pesisir sungai memang tidak mengkonsumsi air Kapuas, melainkan air hujan.

Selain itu, sungai-sungai di Kalimantan juga merupakan jalur transportasi terpenting di pulau ini. Kapal dan motor air dari yang kecil hingga yang besar setiap hari lalu-lalang di atasnya. Belum lagi sampan dan sarana penyeberangan yang juga meramaikan Sungai Kapuas.

* * *

Kami para anak tepian sungai memang dari kecil sudah terlatih untuk menjadi orang-orang yang berani. Jika ada motor air yang jalannya lambat, maka itu adalah sasaran empuk untuk digandeng. Kami akan berebutan merenanginya. Ketika si sasaran sudah didapatkan, maka ada kepuasan yang entah seperti apa. Sementara motor air berjalan, maka kamipun menggandengnya di samping. Kami baru akan melepaskannya jika motor air sudah berjalan agak menjauh dari kampong kami. Ataupun kami baru melepaskannya jika si pemilik motor air itu memarahi kami.

Begitu juga kalau ada rakit kayu yang sedang lewat, maka kami pun berebutan merenanginya. Ketika sampai di sasaran, kami pun menaiki rakit tersebut dan bermain-main di atasnya.

Yang paling berbahaya adalah permainan berikut ini. Ide permainan berbahaya ini bermula dari Izwar. Siang itu kami sedang asyiknya mandi sambil menunggu kalau ada motor air ataupun rakit yang lewat. Tapi sasaran yang ditunggu itu tak kunjung jua yang lewat. Bosan juga kami dengan keadaan tersebut. Kulihat Izwar menatap ke arah Jembatan Kapuas yang letaknya memang tak jauh dari tempat tinggal kami. Sementara Witri sedang mengumpulkan kayu yang hanyut untuk dijadikan sebagai kayu bakar. Deni sedang mengeringkan badannya menggunakan handuk. Aku sendiri masih berendam di dalam air.

"Kawan-kawan, berapakah tingginya jembatan yang ada di depan kita ini?" tiba-tiba Izwar berkata.

Mulanya tak ada yang menghiraukan pertanyaan Izwar. Tapi ketika ia mengungkapkan lagi pertanyaan yang sama, barulah aku, Deni, dan Witri sadar akan yang ditanyakan Izwar.

"Tak kalian dengarkankah pertanyaanku?"

Aku, Witri, dan Deni saling berpandangan, kemudian kami pun melihat ke arah Izwar.

"Tahukah kalian, berapa tingginya jembatan itu?" sambil Izwar menunjuk ke arah Jembatan Kapuas.

Aku, Deni, dan Witri sama-sama menggeleng sebagai tanda tak tahu jawabannya.

"Kalau begitu, mari kita ukur!" Izwar langsung naik dari tangga menuju ke gertak (jalan dari kayu yang merupakan ciri khas jalan di pesisir sungai). Sementara kami bertiga masih bingung dengan tingkah Izwar. Kami saling bertanya, apa sebenarnya yang mau dilakukan teman kami yang satu ini.

Izwar dengan semangatnya berjalan ke arah jembatan. Sebagai bukti solidaritas, kami pun mengikutinya dari belakang. Entah apa yang akan dilakukan Izwar, kami masih tak mengerti.

Ternyata Izwar tak berhenti di bawah jembatan, melainkan berjalan menuju ke darat. Kami terus mengikutinya. Lapangan Jombo telah dilewatinya, berarti Izwar akan lebih ke arah darat lagi. Beberapa saat kemudian, Izwar naik ke jembatan melalui jalan menanjak yang menghubungkannya. Kini, ia berjalan semakin cepat, hampir setengah berlari. Karena memang jalannya menanjak, maka yang terbaik adalah dengan bergerak lebih cepat.

Kami juga sudah naik dengan agak terengah-engah. Entah dengan Izwar. Tapi sepertinya nafasnya bagaikan nafas ikan baong (sejenis ikan lele). Mungkin ini karena motivasinya yang cukup tinggi terhadap apa yang akan dilakukannya yang kami belum tahu apakah itu.

Izwar kini sedang melewati jalan di samping jembatan yang memang biasa digunakan oleh pejalan kaki dan pengendara sepeda untuk menyeberangi sungai melewati jembatan. Jalan di samping jembatan ketika itu agak lengang, sehingga Izwar dengan lancar berjalan di atasnya. Semakin lama, geraknya semakin cepat. Ia kemudian tak lagi berjalan, melainkan berlari. Beberapa menit kemudian, ia berhenti.

Entah apa yang akan dilakukan Izwar di tengah-tengah jembatan ini. Kami terengah-engah ketika menghampirinya, sedangkan Izwar tersenyum puas, "Inilah yang kumaksudkan," katanya kepada kami.

Kami bertiga masih tak mengerti maksud Izwar, mungkin karena napas kami yang terengah-engah.

"Kalian lihatlah ke bawah!"

Kami pun bersama-sama melihat ke bawah.

"Apakah yang kalian rasakan?"

Ada yang mengatakan tinggi, ada yang mengatakan ngeri, dan ada juga yang mengatakan tak merasakan apa-apa. Sementara Izwar tersenyum-senyum dengan jawaban kami.

"Apa maksud kau ini, kawan?" Witri meminta jawaban dari Izwar.

"Begini, jika kalian berani, marilah kita terjun dari atas sini!"

Kami bertiga cukup terkejut dengan apa yang dikatakan Izwar. "Sudah gilakah kau, kawan?" ujar Deni dengan agak marah.

"Itu semua tergantung kalian. Tapi yang pasti, aku akan terjun."

Kami bertiga sama-sama melarang Izwar. Salah satu dari kami menyela, "Tak ingatkah kau seminggu yang lalu ada yang mati bunuh diri?"

"Ya, aku tahu itu. Tapi, aku hanya ingin mempraktekkan cara-cara yang sebenarnya sering kita lakukan agar bisa selamat dalam aksi ini," ujar Izwar kepada kami.

"Bagaimanakah caranya itu?" tanyaku kepada Izwar.

Kawan kami ini pun menjelaskan mengenai cara yang dimaksudkannya itu. Dia cukup bersemangat mempresentasikan kepada kami.

"Mengerti kan?"

Deni menyela, "Tapi ini kan lebih tinggi dibandingkan dengan yang biasa kita lakukan?"

"Lebih tinggi, bukan berarti kita tak bisa melakukannya. Bukankah yang pernah kita lakukan itu sebelumnya kita anggap lebih tinggi dari yang biasanya? Tapi kemudian ternyata kita bisa melakukannya," perjelas Izwar mengenai rencananya tersebut.

"Begini saja, kita melakukannya bersama-sama. Kita terjun bersama-sama," ajak Izwar kepada kami.

Witri memandang kepadaku dengan pandangan sejuta tanya. Deni juga begitu, memandang kepada Witri dengan pandangan kebingungan. Aku memandang Izwar, dan Izwar memandang kami bertiga dengan pandangan mengajak keberanian kami.

"Siap kan kalian?" kembali Izwar meminta kepastian kami. Tak tahu apa yang ada di benak Deni dan Witri. Kulihat wajah Deni pucat-pasi. Sementara Witri sepertinya tak ada kegentaran di wajahnya. Sedangkan Izwar, jangan ditanya lagi. Sepertinya ia sudah bersiap untuk beraksi. Aku sendiri sebenarnya deg-degan, tapi coba kusembunyikan rasa itu. Entah ketiga temanku tahu atau tidak akan perasaanku itu. Tapi kalau mereka melihat lututku yang bergetar, mungkin mereka bisa mengetahui bahwa aku sebenarnya sedang berada pada puncak ketakutan.

Izwar mendekatiku. Ia menggenggam tanganku, mungkin mencoba menguatkan hatiku. Deni dan Witri kemudian mendekati kami berdua. Kami berempat kemudian saling berpegangan tangan.

"Sungai adalah sahabat kita. Karena itu, ia takkan pernah menelan kita," begitulah perkataan terakhir dari Izwar sebelum kami sama-sama terjun dari atas jembatan.

Kulihat ke bawah, kadang muncul rasa ngeri. Tapi teringat perkataan Izwar, bahwa sungai adalah sahabat kami, maka rasa ngeri itu pun sirna seketika. Melalui komando Izwar, kami pun terjun bersama-sama.

* * *

Aksi ini berhasil kami lakukan. Kulihat kepuasan di wajah Izwar ketika kami sudah berada lagi di tangga tepi sungai. Ketika terjun dari atas jembatan yang lumayan tinggi itu, kami memiliki trik tersendiri agar tidak tenggelam terlalu dalam. Tidak seperti orang yang bunuh diri yang terjun memang benar-benar memasrahkan diri setulus-tulusnya untuk mati, maka yang kami lakukan adalah kebalikannya. Dengan terjun itu kami ingin mengetes dan membuktikan keberanian, ada motivasi untuk selalu hidup, dan jika berhasil maka seakan-akan menambah nyawa kami. Bagi kami, permainan-permainan tersebut begitu membahagiakan, walaupun kadang membahayakan nyawa.

Deni tiba-tiba berkata, "War, sudah terjawablah pertanyaan kau tadi. Jembatan itu memang tinggi," sambil ia terengah-engah seperti kehabisan napas. Sementara aku, Izwar, dan Witri memandang Deni dengan penuh tanya. #*#


[Hanafi MohanCiputat, awal Maret 2009]


Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar Isi


Sumber Foto/Gambar: http://tamasyatour.blogspot.com/ dan http://formulaphotography.wordpress.com/

[Cerbung: Senja Merah Jingga] 8- Lapangan Jombo


Witri, temanku itu, adalah sosok anak yang kiranya kesedihan selalu tak kunjung berhenti dari kehidupan masa kecilnya. Ketika berumur 8 tahun, Witri kecil sudah ditinggal wafat oleh ibunya. Masa-masa di mana seorang anak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu, tapi Witri tidak mendapatkannya. Di saat ini, kasih sayang itu sudah pergi meninggalkannya. Tapi untunglah, masih ada sumber-sumber kasih sayang lainnya, yaitu neneknya. Sepeninggalan ibunya, Witri dan saudara-saudaranya diasuh oleh nenek mereka tercinta.

Mereka lima bersaudara. Witri adalah anak kedua di antara adik beradiknya. Saudaranya yang tertua adalah laki-laki yang umurnya berpaut 4 tahun. Adiknya adalah perempuan yang berpaut 1 tahun. Dan adiknya yang bungsu juga perempuan yang umurnya berpaut 4 tahun dari Witri. Sedangkan ayahnya adalah lelaki paruh baya yang jarang berada di rumah, karena sering bekerja di luar. Sehingga wajar saja Witri bersaudara selalu berada di dalam asuhan kasih sayang neneknya.

Walaupun begitu, Witri adalah anak yang selalu ceria dan memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi di antara empat budak-budak laot. Di masa kecilku, kiranya Witri inilah sahabat yang selalu menjadi panutanku dalam beberapa hal. Ia seorang pemain sepak bola yang handal di antara kami berempat. Jika kami bermain bola, maka Witri menjadi kapten sekaligus penyerang, Deni mendampingi Witri sebagai penyerang, sedangkan aku dan Izwar biasanya berganti-gantian posisi. Kalau Izwar menjadi bek, maka aku menjadi kiper. Sebaliknya, jika Izwar menjadi kiper, maka aku menjadi bek. Tim kami adalah tim yang begitu solid. Anak-anak sebaya kami ketika itu begitu sulitnya mengalahkan tim sepak bola kami.

Yang menarik dari permainan sepak bola kami di waktu kecil itu adalah lapangannya yang tak jauh letaknya dari rumah kami. Lapangan ini berada di bawah Jembatan Tol Kapuas. Disebut tol, karena ketika itu Jembatan Kapuas dikelola oleh Jasa Marga. Ketika masih dikelola oleh Jasa Marga, maka untuk melewati Jembatan Kapuas harus membayar seperti halnya tol di Pulau Jawa. Tapi pengelolaan di bawah Jasa Marga ini tak berjalan lama. Ketika Jasa Marga hengkang, pengelolaanpun berpindah tangan kepada pemerintah daerah Kota Pontianak. Walaupun begitu, hingga kini masyarakat sekitar Jembatan Kapuas masih akrab dengan sebutan Jembatan Tol Kapuas atau Tol Kapuas saja walaupun sudah tak berada di bawah pengelolaan Jasa Marga, dan melewatinya pun tidak harus membayar.

Lapangan tempat kami bermain ini sebenarnya tak cocok untuk disebut sebagai lapangan sepak bola. Mengapa tak cocok disebut lapangan sepak bola? Lazimnya, lapangan sepak bola adalah semacam lapangan rumput, yang jika kaki ini berlari-lari di atasnya maka takkan terasa sakit. Tapi lapangan sepak bola tempat kami bermain ini begitu sangat berbeda. Lapangan ini bukan lapangan rumput, melainkan lapangan yang tanahnya adalah campuran tanah liat, tanah kuning, pasir, dan batu. Hal tersebut menandaskan bahwa lapangan ini begitu kerasnya, apalagi sepanjang lapangan bertebaran batu-batu, yang jika kami berlari-lari di atasnya tak jarang kaki ini terluka, memar, dan sakitnya jika tersandung. Mengapa bisa begitu? Karena kami bermain bola tidak menggunakan sepatu. Ya…, hanya berkaki ayam (bertelanjang kaki).

Lapangan di bawah Jembatan Tol Kapuas ini biasa juga kami sebut “Jombo”, karena konon ketika Jembatan Kapuas dibangun pada sekitar tahun 1980-an, peralatan yang digunakan adalah alat-alat berat seperti eksavator dan sejenisnya. Orang-orang Melayu Pontianak menyebut alat-alat berat ini dengan nama “Jumbo”, apapun itu jenisnya. Mungkin “Jumbo” adalah nama merek atau perusahaan yang memproduksi alat-alat berat tersebut. Di dalam Bahasa Inggris, "jumbo" artinya adalah sesuatu yang luar biasa besarnya. Dari kata “Jumbo”, kemudian oleh lidah Melayu kadang berubah penyebutannya menjadi “Jombo”. Huruf vokal O dan U oleh orang Melayu Pontianak kadang bisa saling menggantikan.

Orang Melayu memang pandai mengolah kata, hingga kata-kata tersebut menjadi sangat berciri khas Melayu. Pada Bahasa Melayu Pontianak misalkan, tak sedikit kata-kata yang diadopsi dari Bahasa Asing, seperti “teghay” yang artinya coba-coba. Tadinya kata ini berasal dari Bahasa Inggris, yaitu “try”. Lidah Melayu kemudian mengubahnya sedemikian rupa menjadi seperti itu. Ada juga kata “seluar” yang artinya celana. Kata ini diadaptasi dari Bahasa Arab, yaitu “silwarun”. Kata “peghay” yang artinya libur, diadaptasi dari Bahasa Inggris, yaitu “free”. Kata “taem” yang artinya istirahat, diadaptasi dari Bahasa Inggris, yaitu “time”.

Begitulah lidah Orang Melayu, yang menurut istilah orang Pontianak adalah “lidah gado-gado”. #*#


[Hanafi Mohan – Ciputat, medio Juni 2008]


Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar isi



Sumber Gambar: http://www.nationalfarmtoymuseum.com/

[Cerbung: Senja Merah Jingga] 7- Heroman


Masa SD adalah masa yang begitu indah menurutku. Aku, Izwar, dan Deni bersekolah di SD yang sama, sedangkan Witri bersekolah di SD yang lain. Walaupun begitu, persahabatan kami di masa-masa ini terus berjalan dengan baiknya. Kami selalu bermain bersama, menjadi anak nakal bersama-sama, dan juga membuat inovasi-inovasi terbaru di masa anak-anak kami.

Pontianak di awal era 90-an memang masih begitu bersahajanya, bahkan mungkin keseluruhan kota di Indonesia memang masih bersahaja. Di Pontianak, siaran televisi masih TVRI satu-satunya ketika itu. Sehingga masa-masa SD kami tentunya tidak sederhana-sederhana benar dibandingkan para pendahulu kami. Kami sudah mengenal yang namanya film kartun, dan film-film anak-anak lainnya yang bernuansa kepahlawanan. Dan yang tak kalah menarik, kami adalah peniru nomor wahid. Ketika kami menonton film anak-anak yang bernuansa kepahlawanan tersebut, kami pun ingin menirunya. Dari keinginan meniru itu, muncullah ide-ide yang menarik dari Witri. Apakah gerangan inovasinya tersebut?

Entah darimanakah ide tersebut sebenarnya bermula. Witri yang selalu punya ide-ide segar itu kemudian sudah membuat semacam topeng. Ya … topeng seperti Zorro ataupun mungkin seperti Lone Ranger atau mungkin seperti Batman atau juga mungkin seperti Kura-Kura Ninja. Tapi yang dibuat oleh Witri bukanlah topeng Zorro, bukan topeng Lone Ranger, bukan topeng Batman, dan juga bukan topeng Kura-Kura Ninja. Yang ia buat adalah topeng yang lainnya, yaitu topeng ala Witri sendiri.

Menurutku ketika itu, topeng yang dibuat oleh Witri begitu bagusnya. Sehingga kami pun teman-temannya ini begitu tertarik akan ide Witri tersebut. Dan karena di antara kami memang Witri yang paling terbaik dalam membuat benda-benda seperti ini, maka kami serahkan urusan pembuatan topeng ini kepada dirinya seorang.

Kemudian jadilah topeng-topeng untuk kami. Witri ternyata tidak membuat topeng yang persis sama dengan yang telah dibuat untuk dirinya. Untuk kami masing-masing, ternyata Witri membuat topeng-topeng yang berbeda-beda bentuknya. Selain topeng, Witri juga menciptakan senjata-senjata rahasia sebagai perlengkapannya. Mungkin seperti senjata ninja. Ada pedang, bintang, double stik, dan pentungan polisi.

Berkatalah Witri setelah semua perlengkapan kepahlawan itu diciptakannya, “Kawan-kawan, kita sekarang adalah Heroman. Kita adalah pahlawan pembela kebenaran. Kita akan menghalau kejahatan, apapun itu bentuknya.”

“Heroman itu apa Wit?” bertanya Izwar memohon penjelasan dari Witri.

“War, tak tahukah kau? Heroman itu dari Bahasa Inggris. Artinya kurang lebih adalah Manusia Pahlawan,” perjelas Witri kepada Izwar. Pantas saja beberapa hari sebelumnya Witri banyak bertanya kepadaku mengenai arti beberapa kosakata Bahasa Inggris.

Aku pun kemudian menimpali, “Mengapa harus Heroman namanya? Mengapa tidak yang lain, yang mungkin lebih keren?”

“Ah, kiranya hanya itulah nama yang ada di pikiranku,” pertegas Witri menjelaskan.

“Memangnya kau tahu arti kata-kata Bahasa Inggris itu dari mana, Wit?” Deni lah yang kini bertanya.

“Ah, percuma saja aku, dan juga kalian tiap hari menonton film-film kartun di televisi," ujar Witri kepada kami.

Mungkin Witri ketika itu sudah lupa bahwa ia pernah bertanya kepadaku arti beberapa kata Bahasa Inggris. Tapi bisa jadi Witri memang mengetahui arti beberapa kata Bahasa Inggris dari menonton film. Dan yang kutahu, Witri memang mudah menangkap sesuatu, termasuk dalam hal ini Bahasa Inggris yang mungkin ia pelajari secara tidak langsung dari menonton film, walaupun secara formal ia belum pernah belajar Bahasa Inggris.

"Sudah, jangan dipermasalahkan lagi tentang nama Heroman tersebut. Yang pasti, kita harus segera beraksi! Setuju kan kalian?” ucap Witri dengan bersemangatnya.

“Setujuuuuu …,” aku, Izwar, dan Deni serempak mengiyakan ide-ide Witri tersebut.

Maka jadilah kami ketika itu pahlawan-pahlawan kecil yang menegakkan kebenaran, serta menumpas kejahatan di kampong kami. Setiap pulang sekolah, maka kami pun beraksi melakukan penampakan di depan teman-teman kami yang lain yang tak mengetahui persis keberadaan kami.

Dalam beberapa hari saja dari penampakan-penampakan yang kami lakukan, maka gemparlah teman-teman sebaya kami yang lainnya. Mereka sepertinya penasaran, siapakah Heroman ini sebenarnya. Sehingga berbagai cara pun mereka lakukan untuk membongkar keberadaan kami. Mengetahui hal tersebut, kami pun tidak bodoh-bodoh amat. Mereka terus kami buat penasaran, sehingga tidak dengan mudahnya mereka dapat membongkar keberadaan kami. Kami muncul ketika mereka tidak menginginkannya, dan juga menghilang ketika mereka masih penasaran akan jati diri kami.

Lantas berapa banyak kejahatan yang dapat kami tumpas? Berapa banyak pula kebenaran yang dapat kami tegakkan? Tentunya tak sedikit kejahatan yang kami tumpas, dan juga begitu banyaknya kebenaran yang kami tegakkan. Jangan ditanya kebenaran apa, dan kejahatan dengan model bagaimana. Karena kebenaran dan kejahatan yang kami maksud adalah kebenaran dan kejahatan dalam perspektif kami yang masih kecil. Kejahatan yang kami maksud mungkin saja dalam bentuk anak-anak yang tak mau berteman dengan kami. Kebenaran yang kami maksud mungkin saja berbentuk hal-hal yang bisa membuat kami senang, gembira, dan riang. Kalau mengganggu anak-anak yang tak mau berteman dengan kami itu kami anggap sebagai kebenaran, maka kami akan menegakkannya, yaitu dengan mengganggu dan menimbulkan keresahan di keseharian anak-anak yang tak mau berteman dengan kami tersebut.

Itulah Heroman. Itulah kepahlawanan dalam perspektif kami yang masih kecil. Anehnya, kini ternyata tak sedikit kepahlawanan seperti ini. Namanya adalah pahlawan kesiangan, yaitu pahlawan-pahlawan yang muncul pada momen-momen tertentu. Pahlawan-pahlawan seperti ini biasanya pandai sekali membidik momen yang mereka anggap penting, yang jika mereka muncul sebagai pahlawan-pahlawan tersebut, maka akan mendatangkan keuntungan bagi diri mereka. Anehnya lagi, bahwa pahlawan-pahlawan kesiangan ini bukanlah anak-anak kecil seperti kami dahulu, melainkan orang-orang dewasa. Mereka bisa bernama pemerintahan, penguasa, menteri, anggota dewan, konglomerat, pengurus partai politik, ulama-ulama karbitan, dan profil-profil terhormat lainnya. #*#


[Hanafi Mohan – Ciputat, akhir April 2008]


Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar Isi

Dimuat di: http://www.hanafimohan.com/

Jumat, 20 Maret 2009

[Cerbung: Senja Merah Jingga] 6- Alien Mendatangi Kampongku


Ketika kelas dua SD, aku disekolahkan ayahku pada dua tempat sekaligus. Sekolah pertama adalah SD yang ada di kampongku. Sedangkan sekolah kedua adalah Madrasah yang dikelola oleh pak mudeku (pamanku/adik ayahku). Nama madrasah ini diambil dari nama datok/kakekku sebelah emak/ibuku (ayah dari emakku), yang tak lain juga merupakan pak mude (paman) dari ayahku. Diabadikannya nama datokku sebagai nama madrasah tersebut tak lain karena datokku adalah 'ulama pada masanya.

Entah mungkin karena ekonomi keluargaku yang pas-pasan atau mungkin karena aku adalah cucu dari orang yang diabadikan namanya sebagai nama madrasah yang dikelola oleh pak mudeku itu, sehingga kemudian aku bebas dari biaya untuk bersekolah di madrasah tersebut. Sungguh suatu berkah yang hingga kini takkan pernah kulupakan.

Di antara teman-teman masa kecilku, ternyata hanya aku yang ketika itu bersekolah di madrasah. Ketika teman-temanku asyik bermain sepulang bersekolah SD, maka tentunya berbeda dengan aku. Mungkin hanya sedikit waktuku untuk bermain sepulang sekolah SD. Kalau pulang dari SD sekitar pukul 12 siang, maka pukul 2 siangnya aku harus melanjutkan bersekolah di madrasah hingga selesai sore harinya sekitar pukul 5 sore.

Jika sekolah SD selama 6 hari (Senin hingga Sabtu), maka bersekolah di madrasah hanyalah 4 hari dalam seminggu (Senin hingga Kamis). Pelajaran yang kuterima di madrasah tentunya berbeda dengan pelajaran yang kuterima di SD. Yang pasti, di madrasah kami lebih banyak belajar mengenai agama Islam.

Pada usia-usia seperti ini, kami para santri madrasah sudah disuguhi pelajaran Bahasa Arab dan Bahasa Inggris yang tidak kami dapatkan di SD. Juga disuguhi ilmu gramatikal Bahasa Arab, yaitu Nahwu Sharaf, yang menurutku ketika itu, bahwa ilmu yang satu ini sangat rumit. Yang mengajar ilmu Nahwu Sharaf ini adalah Kepala Madrasah sendiri, namanya Muhammad Shaleh, yang biasa kami panggil Tok Abu. Orangnya sudah cukup tua, mungkin hampir seumuran dengan almarhum kakekku yang namanya diabadikan sebagai nama madrasah. Tok Abu adalah teman sejawat kakekku, ia juga adalah guru dari ayah dan pamanku. Jadi seharusnya aku memanggilnya dengan sebutan Tok Guru ataupun Tok Ustadz, bukanlah Pak Guru ataupun Pak Ustadz. ("Tok"/"Datok" artinya adalah kakek).

Di madrasah, kami para santri cilik juga mempelajari ilmu Tajwid, yaitu ilmu untuk membaca Alquran. Ilmu yang satu ini diajar oleh pamanku sendiri yang juga sekaligus merupakan Ketua Yayasan yang menaungi madrasah. Pamanku yang merupakan pengelola madrasah ini tak lain merupakan adik ayahku. Kami para anak-kemanaknya (keponakannya) memanggilnya Pak Andak. Selain itu, kami juga mempelajari Ilmu Tarikhul Islam, yaitu ilmu mengenai Sejarah Peradaban Islam. Ilmu yang satu ini diajar oleh pamanku yang merupakan saudara tertua dari ayahku. Kami para keponakannya memanggilnya Yah Long.

Untuk pelajaran-pelajaran yang lain, maka guru-guru (ustadz dan ustadzah) nya adalah orang-orang yang lebih muda. Di antaranya memang kebanyakan adalah kerabatku sendiri.

Dengan segala kesabaran dan segenap kekhidmatan, para ustadz dan ustadzah di madrasah ini selalu mendidik dan membimbing kami para anak-anak Melayu ini dalam naungan akidah dan akhlaq Islam. Mengapa kukatakan bahwa mereka mendidik kami para santri cilik ini dengan kesabaran dan kekhidmatan? Ini tak lain karena anak-anak Melayu yang bersekolah di madrasah ini datang dari keluarga dengan berbagai latar belakang yang beragam. Sebagian kecil datang dari keluarga yang lumayan mapan, sedangkan sisanya datang dari keluarga menengah ke bawah. Kami yang datang dari berbagai macam latar belakang ini kebanyakannya adalah anak-anak yang "nakal", yaitu anak-anak yang disekolahkan orang tuanya di madrasah agar "kenakalannya" menjadi berkurang.

Satu pelajaran yang kudapatkan di sini, bahwa sekolah agama Islam oleh kebanyakan umat Islam sendiri tak lain dijadikan sebagai tempat untuk mendidik anak-anak nakal yang tak sanggup lagi dididik oleh orang tuanya. Para orang tua yang menyekolahkan anaknya di madrasah karena mereka sudah tak sanggup lagi mendidik anak-anaknya itu di rumah. Memang tidak semuanya seperti itu, mungkin hanya sebagian kecil masyarakat Islam yang berpandangan seperti itu.

Misalkan, ada saja orang tua yang memasukkan anaknya ke pesantren bukan karena memang anaknya itu memiliki kecenderungan dan ketertarikan untuk mempelajari dan mendalami Ilmu Keislaman, melainkan tak lebih karena anaknya itu nakal yang orang tuanya tak sanggup lagi mendidik anaknya itu di rumah. Tidak salah memang. Tapi tentunya kita juga menginginkan, bahwa anak-anak yang bersekolah di pesantren adalah memang anak-anak yang tertarik untuk mempelajari dan memperdalami Ilmu Keislaman, bukan hanya sekedar anak itu adalah anak nakal yang tak sanggup lagi dididik oleh orang tuanya di rumah.

* * *

Para temanku yang tak bersekolah di madrasah, tentunya keseharian mereka lebih ceria lagi dariku. Itulah yang ada di benakku ketika itu. Mereka memiliki waktu bermain yang lebih banyak, juga kebebasan yang lebih banyak. Masa kecil mereka tak harus terlalu banyak memporsir pikiran, juga mereka tak harus memikirkan segala sesuatu yang lebih dari apa yang mereka inginkan.

Sekembali dari madrasah pada pukul 5 sore, tubuh kecilku tentunya sudah begitu letih, sehingga sedikit sekali ada kesempatan untuk bermain. Tapi aku cukup diuntungkan, bahwa madrasah tak jauh dari rumahku yang berada di pesisir Sungai Kapuas. Paling hanya beberapa menit jaraknya. Kalau SD berjarak kira-kira 10 menit dari rumahku ke arah darat.

Kira-kira hampir setengah enam sore, aku sudah harus mandi dan mempersiapkan diri menuju ke surau yang juga tak jauh dari rumahku. Aktivitas ke surau adalah satu dari sekian banyak aktivitas yang aku senangi. Kami anak-anak Melayu ini akan berebutan menunjukkan kebolehan suara kami melalui mikrofon yang ada di surau. Tentunya bukan bernyanyi, melainkan mengumandangkan "bang" (azan). Di antara beberapa orang anak Melayu itu, aku salah satunya yang biasanya kebagian untuk mengumandangkan panggilan sembahyang itu. Ini tak lain karena suaraku lumayan bagus, apalagi aku adalah santri madrasah yang ejaan bahasa Arabnya agak lebih baik dibandingkan yang lain.

Sembahyang Maghrib berjamaah di surau adalah sembahyang yang cukup banyak peminatnya di lingkunganku ketika itu. Sebaliknya, sembahyang Isya' tak terlalu banyak peminatnya, paling-paling hanya beberapa gelintir, itupun biasanya hanya orang-orang yang sudah cukup berumur. Entah mengapa, mungkin karena Sembahyang Isya' itu rakaatnya lebih banyak dibandingkan sembahyang Maghrib.

Kalau di siang hari, orang-orang di sekitar rumahku jarang yang sembahyang di surau, karena surau digunakan oleh siswa-siswi SMP yang berada di bawah naungan yayasan pesantren yang dikelola oleh pak mudeku untuk sembahyang Zhuhur. Sedangkan pada sore harinya, surau digunakan oleh santri-santri madrasah untuk sembahyang Ashar.

Pada masa kecilku, tak terlalu banyak hiburan yang bisa kami nikmati, paling-paling di malam hari hanya menonton televisi di rumah tetangga yang sudah punya alat elektronik yang satu ini. Biasanya kami menonton televisi di rumah Deni, Maklum, karena di antara kami, keluarganyalah yang cukup berada. Karena yang punya televisi hanya keluarga Deni, maka kalau lagi waktunya menonton televisi, maka penuhlah rumah Deni oleh orang-orang di sekitar rumahku. Sedangkan bagi kami anak-anak, biasanya tak terlalu peduli untuk menonton televisi, karena kami lebih asyik dengan permainan kami di luar rumah, di atas gertak (jalan kayu di atas sungai). Orang tua-orang tua kami ketika itu biasanya tak terlalu membatasi waktu kami. Pada waktu malam, kami biasanya baru usai bermain kira-kira pukul sembilan ataupun sepuluh malam. Kalau lagi bulan terang, biasanya kami bisa lebih lama lagi bermain.


* * *

Di SD, kami belum mendapatkan pelajaran Bahasa Inggris, karena pelajaran ini baru didapatkan ketika SMP. Maka di madrasah kami telah dahulu mendapatkan pelajaran ini.

Yang mengajar Bahasa Inggris adalah Pak Taufik Ibrahim. Spesialiasi sebenarnya bukanlah Bahasa Inggris, tetapi ia adalah lulusan Jurusan Teknik Mesin. Pengalamannya bekerja di kapal, sehingga menjadikannya bisa berbahasa Inggris, dan dia juga pernah menjadi santri Pesantren Gontor, namun tidak sampai selesai. Dan memang untuk menguasai ilmu mesin juga harus bisa berbahasa Inggris.

Pak Taufik adalah guru yang sangat kreatif. Padahal ia bukanlah lulusan sekolah guru dan sejenisnya. Tapi metode yang ia gunakan untuk membuat kami keluar dari kebutaan terhadap bahasa Internasional yang satu ini patut diacungi jempol. Belajar tidak hanya di dalam kelas, tapi tak jarang juga keluar kelas. Pernah juga ia membawakan seorang native speaker untuk berbicara dengan kami. Ya, seorang turis, kami waktu itu menyebutnya "orang barat". Bagiku ketika itu adalah pertama kalinya melihat tampang orang barat yang hanya pernah aku lihat di televisi. Orangnya tinggi, mungkin bagi kami seperti raksasa.

Gemparlah kampongku ketika itu dikunjungi orang Barat. Bagaikan orang Barat itu seperti makhluk asing yang datang dari luar angkasa, yang belakangan aku ketahui dari film-film bahwa orang barat biasa menyebut makhluk luar angkasa dengan sebutan "alien", yang belakangan juga ketika kuliah baru kuketahui arti sebenarnya dari "alien", yaitu asing atau orang asing, bukanlah makhluk luar angkasa. #*#

[Hanafi Mohan – Ciputat, medio Juni 2008]


Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar Isi


Sumber Gambar: http://www.telegraph.co.uk/ dan Fans Page "Alien Snowboards".

[Cerbung: Senja Merah Jingga] 5- Kolam Renang di Lapangan Bola


SD Negeri 11 Pontianak Timur, itulah sekolah yang pertama kali kumasuki selama hidupku (tahun 1988). Guru-guru yang begitu menawan ada di sekolah dasar kampongku ini. Kepala sekolahnya adalah Pak Kasdi, yang beberapa tahun kemudian digantikan oleh Ibu Zaleha.

Guru kelas 1 adalah Ibu Maemunah, yang beberapa bulan atau mungkin setahun kemudian diganti oleh Ibu Siti Hawa.

Ibu Maemunah adalah guru yang cukup garang menurutku dan teman-temanku ketika itu. Sedangkan Ibu Siti Hawa adalah guru yang tak terlalu garang, walaupun mungkin ada juga hal-hal yang tak kami sukai darinya.

Melalui tangan dingin mereka lah, kami para anak Melayu yang buta aksara ini lambat-laun menjadi bisa membaca, menulis, dan berhitung. Begitu besar jasa mereka kepada kami, yang mungkin hingga kini tak pernah bisa kami balas.

Pada kelas berikutnya, semakin bertambahlah guru kami. Ada Ibu Selvi yang mengajar Bahasa Indonesia, Ibu Nurhayati yang mengajar Matematika dan IPA (dan mungkin masih banyak lagi mata pelajaran yang ia ajar, karena seorang guru SD biasanya memang memegang lebih dari satu mata pelajaran), Ibu Netty mengajar Agama Islam, Pak Raqib yang mengajar Olahraga, dan beberapa guru lainnya yang aku sudah lupa nama-namanya. Beberapa guru juga ada yang dipindahkan ke sekolah lain yang kemudian diganti oleh guru yang baru. Ada satu lagi yang tak pernah kulupa, yaitu pembantu sekolah kami yang biasa dipanggil Pak Dolah. Orangnya lucu, kadang juga suka ngomel, tapi dia baik, kami biasa membantu pekerjaannya (atau lebih tepatnya dialah yang minta dibantu). Yang pasti hal-hal yang bisa kami kerjakan, seperti mengangkat meja dan bangku, lemari, mencuci gelas dan piring.

Walaupun Pak Dolah hanya seorang pembantu sekolah, tapi ia sudah kami anggap sebagai guru dan orang tua kami. Melalui mulutnya, kami diberi nasehat yang begitu berarti bagi kehidupan kami. Ia juga sering bercerita mengenai anaknya yang sudah berhasil menjadi sarjana. Melalui Pak Dolah, semangat kami terlecuti untuk menjadi orang yang berpendidikan tinggi, yang berguna bagi umat dan bangsa, dan juga bagi orang tua kami.

* * *

Masa SD adalah masa yag menyenangkan bagiku (dan mungkin juga bagi teman-temanku). Seakan-akan kami tak punya beban kehidupan selain daripada harus belajar tekun, dan yang pasti belajar tersebut membuat kepala kami pusing. Sehingga waktu yang kami sukai dan kami tunggu-tunggu adalah ketika lonceng istirahat berdentang sebanyak tiga kali yang menandakan waktu istirahat. Ketika istirahat, maka kami akan bermain di lapangan sekolah dengan berbagai macam permainan. Main bola, gelasen (galah hadang/galah panjang), main guli (kelereng/gundu), dan masih banyak lagi permainan lainnya. Kalau sudah jemu dengan lapangan sekolah, maka kami akan menjadikan hutan dekat sekolah sebagai tempat alternatif untuk bermain permainan yang lebih menantang, seperti main perang-perangan. Selain waktu istirahat, jam pelajaran olah raga juga ditunggu-tunggu, karena waktu luang untuk bermainnya agak lebih panjang.

Kalau Pontianak sedang mengalami air pasang yang memang rutin setiap tahun itu, maka kami begitu bergembira, karena bisa bermain air dengan riang-gembira di lapangan SD yang dipenuhi air. Lapangan sepak bola SD kami memang multifungsi. Bisa untuk bermain bola, senam pagi, upacara bendera, dan kalau lagi air pasang bisa menjadi kolam renang. Karena tak terlalu terawat, lebih seringnya lapangan ini menjadi taman bunga di depan sekolah kami. Jauh dari yang dibayangkan, taman bunga ini isinya bukanlah bunga-bunga yang berbau harum semerbak dengan warnanya yang indah menawan, tapi tak lain isinya adalah semak-belukar dengan rumputnya yang miang dan berduri., yang kalau hujan tanahnya menjadi becek, kemudian menjadi tempat yang paling indah bagi kodok untuk bertelur. #*#


[Hanafi Mohan – Ciputat, medio Mei 2008]


Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar Isi


Sumber Gambar: http://www.icwpost.com/ dan http://kampungmediasareindai.wordpress.com/

[Cerbung: Senja Merah Jingga] 4- Kesedihan Pertama

Era 80-an adalah masa-masa yang begitu indah menurutku, juga merupakan saat-saat terpenting dalam hidupku. Pada tahun 1981 aku dilahirkan, pada sekitar 1980-1981 Jembatan Kapuas yang merupakan hadiah dari Jepang itu didirikan, dan pada tahun 1988 ketika aku berumur 7 tahun, aku mulai merasakan bangku sekolah. Ya …, pada tahun ini aku mulai masuk SD yang ada di kampongku, tanpa melalui bersekolah TK terlebih dahulu, dan kemudian pada tahun 1989 aku juga sambil bersekolah agama (madrasah) pada siang hingga sore harinya di madrasah yang dikelola oleh pak mudeku (pamanku, adik dari ayahku).

Pada masa-masa ini, masyarakat Indonesia masih hidup dalam kebersahajaan, tekanan kehidupan belum terlalu berat seperti sekarang ini, dan perekonomian-pun masih begitu stabilnya. Hal ini ditandai oleh harga kebutuhan pokok yang masih begitu murahnya ketika itu. Bayangkan, uang Rp. 25 masih begitu berartinya ketika itu. Bandingkan dengan keadaan sekarang, jangankan Rp. 25, Rp. 10.000 pun seakan-akan sudah tak berarti lagi.

Sungguh masa-masa yang bersahaja memang. Ketika itu, siaran televisi di Indonesia baru TVRI satu-satunya. Diakui atau tidak, era 80-an akan selalu dikenang oleh orang-orang yang pernah hidup di masa itu.

***

Aku terlahir dengan cacat bawaan, yang jika dibiarkan, maka cacat tersebut takkan pernah sembuh hingga saat ini. Untungnya aku memiliki seorang ibu yang sangat telaten merawatku, sehingga cacat tersebut kemudian lambat-laun menjadi sembuh.

Ketika masa kecilku, karena saudaraku begitu banyak, apalagi ketika ibuku melahirkan adikku, maka aku kemudian dirawat oleh mak mude (bibi)ku yang tinggal satu rumah dengan kami. Mak mude kami ini biasa kami panggil "Encek". Orang-orang di kampongku mengenalnya dengan nama Cik Zaidah (dalam Bahasa Melayu Pontianak, "Cik" ataupun "Encek" adalah panggilan untuk orang yang terkecil tubuhnya di antara saudara-saudaranya. Kata asalanya adalah Keci' atau Kecil. Cik/Cek/Encek kadang juga digunakan sebagai panggilan terhadap orang yang dihormati).

Nama lengkap mak mudeku ini adalah Zaidah binti Muhammad Buraa'i. Suaminya biasa kami panggil Wak Ujang. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Umar. Wak Ujang adalah orang Pontianak keturunan Suku Bugis yang sudah lama menetap di Pontianak dan sekitarnya. Panggilan "Wak" adalah panggilan khas untuk orang keturunan Bugis yang seumuran dengan ayah kita. Sepengetahuanku, arti dari "Wak" adalah "Bapak". Pontianak dan beberapa kota di Kalimantan memang sejak dahulu hingga kini dikenal sebagai tempat bermukimnya para perantau Suku Bugis dari Sulawesi Selatan.

Ia adalah kakak dari ayahku. Ia dikenal sebagai dukun beranak, dukun urut, dan juga pembuat obat-obat tradisional Melayu berupa jamu, rebusan, dan sejenisnya. Ia adalah tabib yang kapabel ketika itu. Ia adalah perempuan terkreatif di masanya yang memiliki banyak bakat. Ia memiliki intuisi seni yang begitu tinggi, sehingga alat musik seperti biola, akordion, dan harmonium pun bisa dimainkannya. Suaranya begitu merdu bila bersenandung Melayu dan membaca Al-Qur’an. Ia adalah autodidak sejati. Ia adalah seorang multitalenta.

Bibiku yang hanya memiliki satu anak ini begitu sangat mengasihi kami adik beradik. Boleh dikatakan, bahwa kakak dan abang-abangku juga pernah diasuh oleh bibiku ini. Yang terakhir kemudian adalah aku, yang bukan hanya diasuh, tapi aku adalah anak angkat dari bibiku ini.

Tahun 1988 bukan hanya menjadi tahun yang selalu kukenang karena untuk pertama kalinya aku bersekolah di SD, tapi di tahun ini aku yang masih kecil juga telah ditinggal mati oleh bibi yang sangat menyayangiku ini. Betapa tidak, masa kecilku adalah dalam naungan kasih sayangnya. Ia sudah kuanggap sebagai ibu kandungku sendiri. Bahkan tadinya yang kutahu, bahwa dialah ibu yang telah melahirkanku. Aku belum sempat membalas kasih sayangnya itu. Akulah di antara saudara-saudaraku yang pernah dibawanya pelesir hingga ke Ketapang, sebuah kota yang berada di Selatan Kalimantan Barat, yang jika ditempuh dengan kapal penumpang, mungkin kira-kira memakan waktu kurang lebih 12 jam (kini mungkin bisa lebih cepat karena ada kapal cepat dan mungkin juga ada pesawat terbang perintis yang membawa penumpang dalam jumlah yang tak terlalu banyak ke sana).

***

Encek adalah saudara perempuan satu-satunya di antara adik-beradik ayahku. Ia adalah seorang perempuan yang kharismatik di masanya, disegani oleh orang-orang yang sebaya dengannya, dihormati oleh orang-orang yang lebih muda darinya, dan dihargai oleh orang-orang yang lebih tua darinya. Itulah bibiku, figur yang takkan pernah tergantikan di dalam keluarga besarku.

Kiranya, takkan pernah kering bibir ini membicarakan Encek. Beliau yang penyayang, pintar, dan tegas. Hingga kapanpun, Encek akan selalu dikenang di dalam keluarga besarku, bahkan orang kampong ku pun juga akan selalu mengenang dan terkesan dengannya. Encek telah memberikan arti bagi hidup masa kecilku. Beliau yang telah menanamkan akhlak mulia bagi kami keponakannya. Beliau yang telah mendidik kami dalam adat resam budaya Melayu. Beliau juga yang telah mengajarkan kami arti dari tanggung jawab.

Beliau yang telah mendidik kami dengan kedisiplinan. Ia selalu menganjurkan kami untuk bekerja keras. Encek yang menyadarkan kami untuk selalu menjaga marwah Bangsa Melayu. Selain itu, beliau juga yang telah mencurahkan kasih sayangnya yang melimpah kepada kami keponakannya, seperti halnya kasih sayangnya kepada anak kandungnya sendiri.

***

Malam itu, ketika menghembuskan nafas terakhirnya, setelah sebelumnya beliau didera oleh penyakit kuning, suatu penyakit yang kiranya begitu sulit untuk disembuhkan, saat itulah aku mengerti arti kehilangan. Saat itulah aku mengerti arti dari kasih sayang. Di saat itu juga aku mengetahui apa itu kesedihan.

Ketika itu, air mataku bercucuran dengan sendirinya. Air mata tersebut kadang hadir lagi ketika aku mengalami kesedihan yang serupa, air mata yang keluar tanpa pernah diperintah, air mata yang keluar dengan tiba-tiba. Ketika aku terjaga dari tidur, ketika membaca Al-Qur’an, ketika aku berada pada suatu titik nadir, ketika beban kehidupan ini begitu berat untuk kupikul, lagi-lagi air mata itu yang tanpa pernah kuperintah, keluar dengan sendirinya: menitik, meleleh, mengucur, mengalir dengan deras, tanpa pernah bisa ditahan.

Inilah puzzle masa kecilku, yang di waktu-waktu setelah itu, kadang menemukan pasangannya yang cocok, sehingga terjadi kembalilah fenomena yang hampir sama. Inilah puzzle masa kecilku, yang di masa-masa yang akan datang akan selalu kuingat, akan menjadi kekuatan tersendiri bagi diri yang rapuh dan fana ini. #*#


[Hanafi Mohan – Ciputat, medio April 2008]


Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar Isi


Sumber Gambar: http://www.pelauts.com/

Rabu, 18 Maret 2009

[Cerbung: Senja Merah Jingga] 3- Menerjang Si Kuning

Sungai bagaikan urat nadi bagi Kota Pontianak. Semuanya bermula dari sungai. Itulah Kota Pontianak, salah satu kota di dunia yang dilalui garis equator. Itulah Pontianak, salah satu kota yang dialiri oleh sungai terpanjang di Indonesia. Kota ini dibelah oleh Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Dan memang, ciri khas kota-kota yang ada di Bumi Kalimantan adalah sungai. Dari sungai-sungai yang panjang nan lebar itulah, kota-kota di Bumi Kalimantan membangun peradabannya. Sungai Kapuas, Landak, Mahakam, Sambas, Mempawah, Sarawak, dan Barito, adalah sedikit dari banyak sungai yang menjadi urat nadi beberapa kota di Pulau Kalimantan.

Jika Indonesia disebut sebagai Zamrud Khatulistiwa, maka Pulau Kalimantan-lah pusat dari zamrud yang berkilau-kilauan tersebut. Dan yang patut diingat, kota yang dijuluki sebagai Kota Khatulistiwa memang berada di Pulau Kalimantan.

Tepat sekali. Kota yang dijuluki sebagai Kota Khatulistiwa tersebut adalah Kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat, yang di masa lalunya merupakan Kesultanan Islam terakhir yang didirikan di Kalimantan Bagian Barat.

Sebagai kota yang pas dilalui oleh garis khatulistiwa (equator), maka sudah dapat dipastikan kota ini begitu panas menyengatnya, walaupun mungkin tak sepanas Kota Kairo yang pernah digambarkan oleh Habiburrahman As-Shirazy di dalam Novel Ayat-Ayat Cinta. Atau mungkin memang lebih panas dari Kota Kairo? Aku tak berani berspekulasi mengenai hal itu, karena aku memang belum pernah ke Kota Kairo. Seandainya Novel Ayat-Ayat Cinta itu mengambil setting Kota Pontianak, maka kemungkinan besar Habiburrahman As-Shirazy akan menggambarkan suhu Kota Pontianak begitu panas menyengatnya di siang hari, dan dingin menusuk hingga ke tulang sumsum pada malam sampai subuh harinya.

Sungai Kapuas dan Sungai Landak adalah berkah yang tak terhingga bagi penduduk Kota Pontianak. Panas menyengatnya kota ini akan hilang dengan sendirinya jika kita sedang berada di pesisir sungai. Anginnya yang sejuk melenakan tubuh yang sedang kepanasan.

Bagi anak-anak, bermain di sungai juga merupakan hiburan yang cukup mengasyikkan. Tak terkecuali bagi Budak-budak Laot. Dalam hal bermain di sungai ini, Izwar lah yang paling kreatif dan bersemangat. Sehingga di antara kami berempat, dia lah yang paling hitam. Karena jika bermain di sungai, dia lah yang paling bisa bertahan lama. Mengapa hitam? Ya …, wajar saja, habis mandi, kemudian berjemur, setelah itu mencebur lagi ke sungai, lalu kalau letih di air, maka berjemur lagi. Begitulah seterusnya, dari siang hingga menjelang petang.

* * *

Izwar, anak yang kreatif di antara kami. Daya kreatifitasnya begitu tinggi. Hingga berbagai macam permainan bisa ia ciptakan, hanya dari satu sumber, yaitu Sungai Kapuas. Izwar yang kreatif itu, ternyata kehidupan yang dijalaninya tidaklah ringan. Ia dididik oleh seorang ayah yang begitu keras. Mengapa kukatakan keras? Karena memang tipikal ayahnya Izwar ini adalah tipikal orang yang keras. Pekerjaan sehari-harinya adalah memperbaiki kapal-kapal yang bocor, yang pekerjaan itu memang membutuhkan tenaga yang begitu besar. Tak jarang kudengar jika Izwar dan adik-beradiknya tidak mau menuruti perkataan ayahnya, maka mereka dipelasah (dipukul), bahkan sangat berlebihan menurutku. Sungguh berbeda sekali dengan diriku yang selalu dididik oleh kedua orang tuaku dengan kasih sayang. Karena memang di dalam mendidik anak-anaknya, kedua orang tuaku tidak pernah sampai memelasah (memukul).

Oh ya …, Izwar dan Witri itu memiliki hubungan yang begitu unik. Izwar adalah pamannya Witri, sedangkan Witri adalah keponakan Izwar. Mengapa bisa seperti ini, sedangkan mereka sebaya? Ayah Izwar adalah adik sebapak dari neneknya Witri. Sehingga seharusnya Witri memanggil Izwar dengan sebutan pamanda, atau jika disesuaikan urutan kelahiran Izwar, maka seharusnya Witri memanggil Izwar dengan sebutan “Pak Ngah” (ngah ataupun angah adalah sebutan untuk anak ke-2).

Kiranya sungai, dengan berbagai macam permainan yang biasa dimainkan oleh Izwar bersama kami teman-temannya, adalah hiburan tersendiri bagi Izwar atas kerasnya didikan yang ia dan saudara-saudaranya terima dari ayahnya.

Sungai Kapuas adalah sungai yang begitu berartinya bagi seorang Izwar. Dialah di antara kami berempat yang menurutku cocok menyandang sebagai “budak laot” sejati.

***

Lain Izwar, lain pula Witri. Siang ketika itu, Witri yang inovatif memunculkan idenya yang cukup menarik bagi kami untuk mengikutinya.

“Kawan-kawan, bagaimana kalau kita hari ini memainkan permainan baru?” ujar Witri dengan bersemangatnya.

Aku yang tuya’ (selalu ingin tahu) langsung menimpali, “Permainan apakah itu, Wit?”

“Pokoknya kalian ikuti saja. Aku pun bingung menamakannya permainan apa.”

Setelah permainan itu dimainkan, luar biasa permainannya, luar biasa juga konyolnya. Tapi bagi kami, kekonyolan permainan seperti ini justru begitu mengasyikkan. Memangnya apa sih permainannya?

Aku sebenarnya malu untuk mengatakannya. Tapi sudahlah, semuanya itu kini tinggallah menjadi kenangan bagiku. Sehingga tak ada salahnya aku tuliskan di sini.

Permainan itu adalah permainan yang tak ada namanya. Kalaupun ada namanya, begitu jelek sekali nama permainannya, yaitu permainan menghancurkan tahi. Ya …, tahi. Yaitu tahi manusia yang biasanya mengapung di sungai, karena warga pesisir Sungai Kapuas biasanya buang hajat di jamban-jamban yang berada di atas sungai.

Kami berempat sama-sama berdiri di atas gertak menunggu si kotoran manusia itu lewat. Siapa yang jeli, maka dialah dahulu yang dapat melihat si sasaran permainan itu mengapung dan hanyut. Siapa yang berani, maka dia akan langsung terjun menerjang si kuning yang berbau itu. Sedangkan yang lain yang tak berani atau jijik, maka melihat saja aksi sadis temannya menerjang si sasaran hingga hancur berderai. Tapi memang keempat-empatnya begitu berani dan saling berebutan menghancurkan sasaran.

Selain permainan tersebut, kiranya masih banyak lagi permainan-permainan konyol lainnya. Bukan hanya konyol, tapi kadang membahayakan. Lain dulu lain sekarang. Kini anak-anak pesisir Sungai Kapuas sudah jarang sekali memainkan permainan-permainan yang dulunya sering kami mainkan. Karena kini sudah begitu banyaknya sarana permainan dan hiburan merasuki kehidupan anak-anak pesisir Sungai Kapuas. Televisi kini sepertinya sudah setiap rumah memiliki, yang juga biasanya dilengkapi peralatan elektronik lainnya seperti VCD/DVD Player dan Play station.

Perubahan zaman kini juga telah ikut mengubah kebiasaan anak-anak Melayu di pesisir Sungai Kapuas. #*#


[Hanafi Mohan – Ciputat, akhir April 2008]


Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar Isi


Sumber Gambar: http://acquapro.us/

[Cerbung: Senja Merah Jingga] 2- Budak-budak Laot


Mentari khatulistiwa bersinar sangat pekat, tak terkecuali di pinggir Sungai Kapuas. Tapi tetap saja di tepian sungai, para warganya beraktivitas dengan asyiknya, tak terkecuali anak-anak pesisir sungai terpanjang di Indonesia ini.

Panas teriknya matahari di Kota Khatulistiwa akan sirna dengan sendirinya bagi para warganya jika mereka menceburkan diri ke sungai. Lain lagi angin sepoi-sepoi yang berhembus tiada hentinya. Inilah kiranya yang membuat para warga di pesisir Sungai Kapuas betah berlama-lama beraktivitas di sungai.

Anak-anak pesisir Sungai Kapuas kiranya sama dengan anak-anak kampong lainnya. Mereka hidup bersahaja, jauh dari jangkauan teknologi, dan yang tak kalah penting, mereka suka bermain. Yang membedakan, bahwa anak-anak pesisir Sungai Kapuas harus bisa berenang semenjak mereka bisa berjalan dan sering beraktivitas di pinggir sungai. Hal ini karena memang sebagian besar aktivitas mereka adalah di sungai, dan itu mengharuskan mereka bisa berenang. Kalau tidak, dikhawatirkan mereka akan tenggelam. Tak jarang terjadi peristiwa tenggelamnya anak-anak yang tak bisa berenang.

Tersebutlah kisah persahabatan empat orang anak pesisir Sungai Kapuas. Mereka adalah Witri, Izwar, Deni, dan aku. Keempat anak inilah yang aku sebut sebagai “budak-budak laot”.

Di dalam Bahasa Melayu Pontianak, “budak” artinya adalah anak. “Budak-budak” artinya adalah anak-anak. Sedangkan “laot” adalah daerah pesisir, baik itu pesisir sungai ataupun pesisir laut. Entah mengapa, orang-orang Melayu Pontianak lebih terbiasa menyebut sungai dengan sebutan “laot”, walaupun memang mereka juga mengenal kosa-kata “sungai” yang digunakan pada konteks tertentu. Mungkin ini hanya kebiasaan saja.
Empat orang budak-budak laot adalah anak-anak yang ceria dan kreatif di lingkungan mereka. Alam lah yang mendidik mereka, yaitu alam pesisir Sungai Kapuas.

***

Aku terlahir dari keluarga sederhana, begitu juga dengan Witri dan Izwar. Kecuali Deni yang keluarganya termasuk keluarga berada untuk ukuran lingkungan kami. Tapi hal tersebut tak menghalangi kami untuk bersahabat, layaknya anak-anak seusia kami.

Ketika kami belum sekolah SD, maka setiap hari dan setiap waktu bagi kami adalah bermain. Tempat bermain kami tak lain adalah di Sungai Kapuas.

Suatu siang ketika masa kecilku, aku bermain dengan ketiga teman-temanku di pesisir Sungai Kapuas, di tengah teriknya mentari khatulistiwa, di atas deburan gelombang sungai dan sejuknya sepoi-sepoi angin pesisir sungai. Bosan bermain di dalam air, maka kami naik ke “gertak” (jalan kayu di atas sungai) untuk bermain yang lainnya. Bosan di gertak, maka kami kembali menceburkan diri ke air. Jika merasa kedinginan, maka kami naik lagi ke gertak, hingga kulit-kulit kami menjadi hangat (atau lebih tepatnya panas) dan kering. Setiap hari seperti itu, sehingga wajar saja kulit-kulit kami menjadi hitam-legam, walaupun kami sebenarnya putih-putih.

Witri yang inovatif dan Izwar yang kreatif selalu saja menghadirkan permainan-permainan yang membuat kami betah berlama-lama bermain di sungai dari pagi hingga larut sore. Tanpa beban, dan bebas sebebas-bebasnya. Kami tak kenal waktu, dan seringnya kami seperti orang-orang yang tak kenal malu, karena kami mandi bertelanjang bulat.

Kami baru akan berhenti bermain jika orang tua kami memarahi kami yang nakal dan tak kenal waktu. Tapi hal itu tak membuat kami jera. Karena besok harinya, kami pasti akan kembali bermain dengan riangnya lagi di arena permainan kami, yaitu Sungai Kapuas.

Di tengah jalinan persahabatan, terkadang kami juga bermusuhan satu dengan lainnya. Jika pada era Perang Dingin dikenal adanya blok barat dan blok timur, maka kami juga biasanya berblok-blok. Aku dengan Witri, sedangkan Izwar dengan Deni. Atau juga terkadang aku dengan Izwar, sedangkan Witri dengan Deni. Atau juga biasanya aku dengan Deni, sedangkan Witri dengan Izwar. Lucu memang blok-blok yang kami ciptakan ini, berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan kepentingan, namun yang pasti tanpa ada ideologi yang menopangnya.

Namanya juga anak-anak. Hari ini mungkin kami akan bermusuhan, tapi besok-besoknya kami pasti akan kembali bersahabat dan bermain bersama. Andaikan negara-negara yang berperang, bermusuhan, dan berblok-blok sekarang ini seperti dunia masa kecil kami, maka mungkin dunia ini akan selalu damai. Mungkin takkan pernah ada peperangan tak berkesudahan antara Bangsa Palestina dengan Israel. Mungkin takkan pernah ada invasi Amerika terhadap Iraq yang hingga kini terus berjatuhan korban-korban yang sia-sia. Dunia anak-anak memang begitu indah, begitu damai, dan juga bersahaja. Jika mengingat hal tersebut, mungkin aku akan meminta selalu berada pada dunia yang ceria itu. #*#


[Hanafi Mohan – Ciputat, awal April 2008]


Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar Isi


Sumber Gambar: http://www.google.co.id/ dan http://www.fotografer.net/



[Cerbung: Senja Merah Jingga] 1- "Cobra" yang Mempesona


Kalau ada kota di dunia ini yang paling amburadul jalan rayanya, maka Jakarta lah kota itu. Di kota ini, setiap orang selalu berkejar-kejaran dengan waktu. Setiap orang selalu merasa paling berhak untuk lebih duluan dari yang lainnya, tak peduli kendaraan roda dua, roda empat, ataupun roda banyak.

Sore ketika itu aku membonceng kepada seorang teman. Kami melesat di jalan raya, kadang jalan yang kami lalui sepi, namun tak jarang juga motor yang kami kendarai terjebak kemacetan. Kalau keadaannya seperti ini, maka setiap kendaraan akan mengeluarkan senjatanya yang paling ampuh, yaitu klakson. Entah berapa banyak bunyi klakson ketika itu. Yang pasti, setiap orang yang terjebak macet ketika itu merasa berhak menggunakan senjata yang satu ini.

Akhirnya, terlepas juga kami dari kemacetan. Namun tak jarang juga, di tengah asyiknya melaju, ada saja yang menerobos dari belakang. Bahkan ada yang hampir menabrak kami.

“Sabar, bro, sabaaar …,” hanya itulah yang dapat kuucapkan pada temanku yang membonceng di depan, dan juga untuk diriku.

Di saat yang lain, kamilah yang menyerobot dan mendahului kendaraan lain. Hal seperti ini lumrah saja terjadi di jalan raya. Tadinya kendaraan itulah yang menyerobot kami. Tapi setelah itu, kendaraan tersebut jalannya agak lambat dan cenderung menghalang-halangi laju kendaraan kami. Temanku mungkin adalah orang yang tak bisa dibuat seperti itu, ia pun lalu mengencangkan laju kendaraan kami. Setelah dapat mendahului kendaraan tersebut, temanku kemudian membawa kendaraan kami agak lebih lambat.

Beberapa saat kemudian, kendaraan tersebut hampir menyerempet kami, mungkin ia ingin mendahului kami. Temanku yang sudah agak panas emosinya itu tiada lain yang bisa dilakukannya selain membawa kendaraan kami agak lebih kencang agar tak terjadi tabrakan dengan kendaraan tersebut. Setelah kami beberapa meter jauh di depan, akupun menoleh kepada kendaraan tersebut. Kupandangi pengendaranya. Isyarat yang ingin kukatakan kepada orang tersebut, “Hei bro, jangan lakukan lagi hal yang sama kalau kita sama-sama ingin selamat di jalanan ini!”

Sepertinya orang tersebut mengerti, karena kemudian ia agak membawa lambat kendaraannya. Apalagi kulihat yang diboncengnya adalah seorang perempuan. Sepertinya orang tersebut terperangah dengan gayaku yang penuh sejuta pesona. Tahukah kau, kawan, gayaku ketika melihat orang tersebut? Tahukah kau gayaku ketika berada di atas motor?

Rambut rapi, tapi entahlah ketika itu sudah berada di atas motor, karena aku tak memakai helm. Mungkin rambutku sudah berubah menjadi acak-acakan, kering-kerontang, dan berwarna kekuning-kuningan dibakar matahari Jakarta yang bercampur dengan asap knalpot dan debu jalanan. Mukaku jangan ditanya lagi sudah seperti apa rupanya ketika itu. Tapi aku yakin, orang tersebut pasti terperangah dengan kacamata hitam yang bertengger di depan mataku.

“Lho, Sylvester Stallone, toh?” mungkin pertanyaan itulah yang ada di benak orang tersebut. Lebih tepatnya lagi, Sylvester Stallone yang sedang bermain pada film “Cobra” yang sedang menjalankan program diet setahun penuh dan program memendekkan tubuh.

* * *

Kami terus melaju di jalan raya, kadang lurus, kadang menikung, kadang laju, dan kadang juga lambat. Dan gayaku masih seperti yang sudah-sudah, begitu mantap dengan kacamata hitam yang akan menawan setiap orang yang melihat kepadaku.

Kacamata ini tak lain dan tak bukan kupakai untuk menghalangi dari debu dan sengatan matahari. Tapi lain diharap lain pula kenyataannya. Karena tetap saja kacamata tersebut tak mampu menghalangi debu-debu yang berusaha masuk ke mataku dan tajamnya sengatan matahari yang menusuk penglihatanku.

Saat-saat perjalanan seperti ini, aku sering melihat-lihat suasana sekitar. Karena tak ada yang lebih indah daripada menikmati suasana tersebut sepenuh rasa dan jiwa. Tanpa sengaja mataku melihat ke langit. Terhampar di sana sesuatu yang begitu indah menurutku. Merah jingga berpendaran di langit. Indah sekali, kawan. Sepertinya baru kali ini aku melihat warna kecemerlangam langit seperti itu. Mataku terus menelusuri warna merah jingga di angkasa itu. Setelah puas kutelusuri, barulah kudapatkan sumber dari warna merah jingga itu. Kutatap sumbernya itu yang bulat serupa bola, dan jingga entah serupa apa. Indah nian, benakku berkata. Dan aku yakin, benda langit yang bulat berwarna jingga itu bukanlah matahari, melainkan bulan. Entahlah, mengapa hari belum lagi malam, tetapi bulan sudah menampakkan dirinya. Tapi aku yakin, itu adalah bulan, karena kalau matahari, tentunya aku tak bisa menatapnya. Atau mungkin bisa saja benda langit yang lain. Atau mungkin bisa jadi itu memang matahari. Entahlah. Mungkin karena aku mengenakan kacamata, sehingga mataku tak silau ketika menatapnya.

Keindahan senja merah jingga begitu menyihirku. Hingga tanpa sadar hadirlah kilasan-kilasan indah lainnya yang serupa tapi tak sama. Kilasan-kilasan tersebut berkelebat dengan cepat, namun kadang juga lambat. Bagaikan slide pada powerpoint, tapi slide ini lebih indah dan juga natural. Kilasan-kilasan indah ini hadir begitu rupa di alam sadarku. #*#

[Hanafi Mohan – Ciputat, awal Agustus 2008]


Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar Isi

Sumber: http://hanafimohan.blogspot.com/

[Cerbung: Senja Merah Jingga] 0- Prolog: Dinihari dan Drama Musikal

Baru saja aku selesai menonton film Hongkong-China, yaitu suatu film drama musikal yang sepertinya baru kali ini aku menonton film yang seperti itu. Aku tak tahu judul filmnya secara pasti, karena aku menontonnya tidak dari awal. Tapi terus terang kuakui, film tersebut telah menggugah saraf-saraf imajinasi kreatifku. Telah lama sekali aku menunggu saat-saat seperti ini, yaitu saat di mana aku bisa menceritakan pengalaman hidup seseorang yang cukup menarik jika kutuliskan.

Cerita ini kudapatkan dari keisenganku menyambangi blog pribadi orang lain di dunia maya. Sebenarnya aku bukannya ingin menjiplak, tapi hanya prihatin saja mengamati blog orang tersebut: sepi, tak ada pengunjung, desain blognya biasa-biasa saja, walaupun tulisannya cukup banyak. Kulihat profil pemilik blog itu pada suatu sisi sepertinya penuh dengan kemuraman, apalagi didukung dengan wajah dirinya yang terpampang juga menunjukkan sisi kemuraman itu.

Ketika itu, kucoba berkomunikasi dengannya. Cukup lama aku dapatkan respon darinya, tapi akhirnya berhasil juga kujalin komunikasi maya itu.

Bermula dari cerita ketika ia sedang berada di atas kendaraan yang sedang berjalan. Semuanya bermula dari sini, kemudian mengalir ke masa lalu, kemudian sedikit demi sedikit ceritanya merangkak untuk menuju kepada akhir cerita.
Kulihat dari tulisannya, sebenarnya ia berpotensi menjadi penulis terkenal, tapi ia sepertinya tak terlalu berani untuk mempublikasi ke media cetak. Satu-satunya tempat yang membuatnya berani becerita dengan orang lain adalah di blognya.

Pada penulisan ulang ini beberapa hal kusesuaikan lagi. Kuakui, sebenarnya aku sudah tak dapat membedakan lagi antara kisah nyata dan kisah rekaannya. Saat ini, mungkin kisahnya berada di tangan anda, karena itu, berakhirlah tugasku untuk mengantarkan kisah orang ini hingga ke tangan anda. Selanjutnya, anda lah yang menjadi hakim atas kisahnya yang kusajikan ini.

Kudengar sayup-sayup azan subuh dari masjid dekat kosanku yang menandakan hingga di sinilah kalimah pembuka ini kutuliskan.

Selamat membaca. #*#


[Hanafi Mohan - Ciputat, Jumat dinihari (Subuh) 3.48-4.39 WIB, 6 Februari 2009]



Kembali ke Daftar Isi

Sumber: http://hanafimohan.blogspot.com/

Senin, 16 Maret 2009

Modal dan Kekuasan Bikin Partai Rekrut Keluarga Pejabat

Oleh : Sanusi Pane
Sistem Perekrutan Di Partai Harus Direformasi


Pengamat politik dari Untirta, Gandung Ismanto menilai, merembahnya keluarga besar pejabat dalam kancah politik tidak lepas dari kekuatan modal dan kekuatan yang dimiliki pejabat ini. Kasus di Banten, pada pemilu 2009 ini hampir rata-rata keluarga besar petinggi daerah mulai dari kota, kabupaten hingga pejabat provinsi memunculkan nama saudaranya dalam daftar peserta pemilu.

Diungkapkan oleh Gandung, majunya keluarga pejabat dalam kancah pemilu tidak lepas dari bobroknya sistem politik dan sistem perekrutan yang ada dalam partai. Latar belakang dari majunya keluarga pejabat juga tidak lepas dari kekuatan modal dan kekuatan kekuasaan yang dimiliki para pejabat tinggi daerah ini. Sehingga dengan sistem partai yang masih bobrok ini dengan mudahnya pemilik kekuasaan dan modal masuk sebagai peserta pemilu.

“Jelas sekali latar belakanga partai memasukkan nama-nama keluarga pejabat untuk menjadi peserta pemilu adalah bagaimana kekuasaan yang dimiliki pejabat terus dapat bertahan dan dapat memberikan pemasukan kuat bagi partai. Maka tidak heran pada pemilu 2009 ini keluarga pejabat mengisi wajah-wajah peserta pemilu kita,” katanya kepada Tangerang Tribun, Rabu (28/1).

Dikatakan olehnya, masuknya keluarga besar pejabat di Banten ke dalam dunia politik, dari istri, anak, menantu hingga suami ini tidaklah lepas dari sistem perekrutan yang buruk yang dimiliki partai, sebab jika mau dilihat dengan lebih cermat keluarga pejabat yang konom memiliki kekuatan modal dan kekuasaan ini belumlah layak di dorong menjadi perwakilan rakyat. Yang ujung-ujungnya juga lanjut dia, justru hampir 80 persen dari keluarga pejabat ini belum memiliki kepatutan dan kelayakan menjadi wakil rakyat.

“Masuknya keluarga pejabat menjadi peserta pemilu memang bukan sepenuhnya salah dari orang-orang ini. Sebab konstitusi memberi hak pada siapapun maju sebagai kandidat. Hanya saja seharusnya partai politik juga dapat memilah dan memilih siap yang akan diusungnya, sesuai etika berdemokrasi dan berpolitik dengan mengedepakan kapastitas dan kapabelitas calon, bukan justru kekuatan kekuasaan dan modal tersebut yang diutamakan,” bebernya.

Selain itu, untuk para pejabat daerah seharusnya mereka juga tidak memanfaatkan kekuatan kekuasaan dan modal ini utuk membangun dinasti politiknya. Sebab dengan dilakukannya hal tersebut justru akan membawa balik reformasi politik yang sudah dibangun 10 tahun lalu ini. Dimana kekinginan reformasi adalah melepaskan kekuasaan dari lingkar kolusi, korupsi dan neopotisme (KKN) serta membawa demokrasi ini ke arah yang bukan berdasarkan bangunan dinasti kekuasaan.

“Sah-sah saja memang jika pejabat ini ingin menempatkan keluarganya dalam pos-pos penting pemerintahan dan politik. Namun perlu disadari rakyat tidak menginginkan hal ini. Jadi cara yang dilakukan keluarga pejabat ini juga tidak mencerminkan etika berpolitik yang baik bagi masyarakat.” tandasnya sambil mengatakan, hal ini pula yang membuat kalangan yang tidak ingin ada lagi dinasti politik mengajak masyarakat untuk lebih memilih untuk tidak memilih alias golput.

Ke depan, tegasnya, partai politik yang berhak mengusung calon untuk menjadi peserta politik ini memang sudah seharusnya melakukan perombakan sistem perekrutan, yang lebih melihat pada kapasitas dan kualitas sebagai calon yang wajib dikedepankan. Bukan justru menarik kalangan pejabat dan keluarga mereka masuk menjadi calon sentral karena kekuasaan dan modal yang dimilki para pejabat ini. Sedangkan untuk keluarga pejabat, dosen Fisif Untirta ini berharap, jangan mencoba membentuk dinasti politik dan kekuasaan baru di daerah. Sebab dengan begitu apatisme masyarakat terhadap dunia politik akan semakin redup dan meningkatkan suara golput.

“Kalau partai hanya merekrut kalangan tertentu saja untuk menjadi utusannya di perwakilan rakyat ini akan membuat pemilih apatis sebab merasa tidak diakomodir kemampuan dan keinginannya maju sebagai perwakilan rakyat. Sedangkan tugas partai menampung aspirasi politik masyarakat yang dengan hanya partai politik dapat menempatkan orang-orang terbaik untuk membangun bangsa ini,” pungkasnya.

Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) se-Banten, nama-nama seperti Ahmed Zaki Iskandar (Putra Bupati Tangerang), Andika Hazrumy (Putra Gubernur Banten), Tb Iman Ariyadi (Putra Walikota Cilegon), Irna Nurulita (Istri Bupati Pandegelang), Hj Iti Oktavia (Putri Bupati Lebak), Enny Suryani (Adik Walikota Tangerang), dan banyak nama lainnya seperti Hikmat Tomet (Suami Gubernur Banten), Ade Rossi (mantu Gubernur Banten) yang maju menjadi calon anggota legsilatif (caleg) atau calon anggota dewan perwakilan daerah (DPD) untuk daerah Banten. (*)

Nama-Nama Keluarga Pejabat Di Banten Yang Jadi Caleg/DPD

Ahmed Zaki Iskandar (Putra Bupati Tangerang)
Andika Hazrumy (Putra Gubernur Banten)
Tb Iman Ariyadi (Putra Walikota Cilegon)
Irna Nurulita (Istri Bupati Pandegelang)
Hj Iti Oktavia (Putri Bupati Lebak)
Enny Suryani (Adik Walikota Tangerang)
Hikmat Tomet (Suami Gubernur Banten)
Ade Rossi (mantu Gubernur Banten)

Sumber tulisan:
Tribun Banten: Modal dan Kekuasan Bikin Partai Rekrut Keluarga Pejabat

Silaturahim ala Blogger

Di thenafi.wordpress.com baru saja saya memposting tulisan berjudul: Merawat Tradisi Blogger ala Makki. Tulisan ini asalnya dari Saudara Ahmad Makki. Kiranya patut dibudayakan.

Baca juga: Tribun Banten: Modal dan Kekuasan Bikin Partai Rekrut Keluarga Pejabat

Minggu, 15 Maret 2009

(10) Menangkap Inspirasi di Mana Saja

Di tengah proses penulisan novelku kini, ke mana-mana, jika kuperlukan, maka aku selalu membawa semacam buku catatan kecil. Fungsinya adalah untuk mencatat apa saja inspirasi yang sedang berkelebat di kepalaku. Jika sedang tidak membawa buku catatan, maka ketika ada inspirasi apa saja, aku pun langsung mencatatnya di handphone, karena memang handphone selalu kubawa ke mana-mana. Jangan ditanyakan lagi jika sedang berada di depan komputer, maka inspirasi itu langsung kutulis, walaupun ada pekerjaan lain yang sedang kuhadapi. Kalau memungkinkan, maka inspirasi tersebut langsung kujadikan tulisan yang utuh, tak peduli pendek ataupun panjang.

Inspirasi-inspirasi tersebut kujadikan semacam catatan yang mengiringi penulisan novelku. Kalau di film mungkin semacam behind the scene. Alhamdulillah, ternyata catatan-catatan ini berkembang pesat (bisa anda baca di Blog ini pada kategori Di Balik Goresan Pena). Catatan-catatan ini bagiku akan menjadi semacam bahan mentah penulisan novel, dan yang pasti ia merupakan sumber inspirasi yang tak pernah ada habisnya.

Sebenarnya aku belum terlalu percaya diri menyebutnya novel, karena masih berupa rancangan awal yang aku belum tahu nantinya akan seperti apa. Sementara ini kusebut saja sebagai cerita bersambung (cerbung). Mengenai judulnya, sementara ini adalah Senja Merah Jingga. Kutargetkan dalam seminggu ini 10 bagian awalnya sudah harus selesai dan mudah-mudahan bisa langsung aku publish di blog ini. Itu pun aku tulis di sela-sela pekerjaan rutinku.

Inspirasi ada di mana saja. Karena itu, tangkaplah ia sebelum inspirasi itu kabur entah ke mana. Ikatlah ia dengan tulisan. Abadikanlah ia. [Hanafi Mohan]

Ciputat, Minggu 15 Maret 2009 / 19.42-20.06 WIB

(9) Dialog Menjadikan Menulis Tersendat-sendat

Barulah kudapatkan suatu pemahaman yang cukup mendalam yaitu mengapa penulisan novel perdanaku agak tersendat-sendat. Hal ini karena aku terlalu memusingkan modelnya, yaitu memoar atau fiksi. Padahal seharusnya ditulis saja, jangan dipusingkan mengenai modelnya. Ketika mengalir ditulis sebagai memoar, maka berlakukanlah ia sebagai memoar. Ketika mengalir ditulis sebagai fiksi, maka berlakukanlah sebagai fiksi. Tinggal selanjutnya, jika ingin lebih mengarah sebagai memoar, maka cerita fiksinya tinggal disesuaikan, sehingga ia memang betul-betul sebagai memoar. Sebaliknya, jika ingin lebih mengarah ke fiksi, maka tinggal disesuaikan juga.

Memang sedari awal ketika menulis novel ini, aku sudah menandaskannya sebagai fiksi. Entah mungkin gayanya seperti memoar, maka itu hal yang lain lagi. Tapi sekali lagi, menurutku hal tersebut jangan terlalu dipusingkan, yang penting menulis saja, mengalir saja, seperti halnya tulisan-tulisan yang selama ini telah kutulis dengan begitu mengalirnya. Mau nantinya fiksi yang ditulis dengan gaya memoar ataupun memoar dengan campuran dan ramuan fiksi, maka ditulis saja, mengalir saja, ikuti saja iramanya.

Selain itu, penulisan dialog juga kadang menjadikan proses penulisanku menjadi tersendat-sendat. Karena itulah, dalam penulisan, jika tersendat-sendat menulis dialog, maka gantilah dengan narasi, dan lengkapi juga dengan ilustrasi. Aku yakin dengan adanya narasi dan ilustrasi, maka akan menutupi kekurangan dialog dan akan menjadikan cerita lebih hidup. Dialog hanya perlu dibubuhkan pada konteks dan tempat tertentu yang jika memang itu menurut kita perlu dibubuhi dialog. Jika tidak, maka dialog tersebut digantikan seja dengan narasi yang jelas serta ilustrasi yang terang. Dan terkadang narasi serta ilustrasi menjadi suatu kelebihan tersendiri dari cerita yang kita tulis itu. [Hanafi Mohan] .

Ciputat, Minggu 15 Maret 2009 / 19.15-19.42 WIB

(8) Inspirasi Selepas Hujan

Sekitar jam 1 siang tadi setelah menyelesaikan pekerjaan rutin, aku pun keluar mencari rumah makan. Biasa, kalau siang sekitar jam segitu muncullah penyakitku, yaitu lapar. Rumah makan tujuanku agak jauh dari kosan, sekitar 15 menit jalan kaki. Sekitar jam 1 siang tadi setelah menyelesaikan pekerjaan rutin, aku pun keluar mencari rumah makan. Biasa, kalau siang sekitar jam segitu muncullah penyakitku, yaitu lapar. Rumah makan tujuanku agak jauh dari kosan, sekitar 15 menit jalan kaki. Sekitar jam 2 siang selesailah aku makan. Selesai membayar, berjalanlah aku menuju kosan. Kulihat cuaca sepertinya akan segera turun hujan. Karena itu, bergegaslah perjalananku. Di tengah perjalanan, pas di kawasan Madrasah Pembangunan (MP) UIN Jakarta (Komplek Dosen UIN Jakarta) turunlah hujan. Waktu masih rintik-rintik hujannya, aku masih bertekad melanjutkan perjalanan menuju kosan, karena memang tak jauh lagi. Tapi memang hujan tak dapat lagi dicegah turunnya. Tak berapa lama, lebatlah hujan yang dimaksud. Untungnya ada pelataran garasi mobil yang bisa dijadikan sebagai tempat berteduh, maka berteduhlah aku di situ.

Hujan semakin lebat. Aku masih berteduh di pelataran garasi. Tak berapa lama, ada juga temanku berteduh, tapi kemudian orang itu pun berteduh di warung dekat garasi, sementara aku masih bertahan di pelataran garasi. Kadang-kadang deras hujan berkurang, ada juga niatan di hati untuk menerobosnya saja, karena aku masih terpikir akan pekerjaanku yang belum selesai dan komputer pun ketika kutinggalkan tadi masih menyala. Tapi tetap saja, niatan di hatiku tak sekuat dan sekencang hujan yang mengguyur membasahi bumi Ciputat.

Aku terus menunggu hingga hujan reda, tapi bukannya semakin reda, melainkan semakin lebat turunnya. Karena hanya pelataran garasi, maka rembesan hujan ditambah dengan kencangnya angin yang membawanya tak dapat lagi ditahan-tahan. Pakaianku sudah basah, untungnya masih siang, dan entah mengapa aku tidak menggigil. Kulihat pemilik warung di sebelah sedang memberesi dagangannya yang mungkin sudah terkena tempiasan hujan. Karena memang tempatku kini sudah tak kondusif lagi untuk dijadikan sebagai tempat berteduh, maka aku pun melirik warung di sebelah, karena kulihat sepertinya lumayan kondusif untuk dijadikan tempat berteduh. Aku pun kemudian menuju warung tersebut.

Guyuran hujan semakin menjadi-jadi. Si pemilik warung baik sekali memperkenankanku berteduh ke dalam warungnya. Sebelum masuk ke warungnya, aku mengambil sebungkus kacang kulit Dua Kelinci yang ada di warung itu. Pikirku mudah-mudahan dengan memakan kacang kulit ini akan membunuh lamanya menunggu hujan reda.

Di dalam warung, aku mengobrol apa saja dengan si pemilik warung. Untungnya aku dulu waktu tamat SMA (SMK/STM) di Pontianak pernah menjalankan usaha warung milik abangku yang join dengan temannya, jadi sedikit-sedikit aku tahu mengenai hal-ihwal perwarungan, lumayan sebagai wawasan untuk ngobrol dengan pemilik warung. Tak berapa lama setelah lulus SMK (STM) ketika itu, aku pun langsung berangkat ke Jakarta memenuhi panggilan abang sepupuku untuk menjalankan usaha rental komputernya.

Ternyata hujan tak juga reda, sementara sebungkus kacang kulit sudah habis kumakan sambil mengobrol dengan si pemilik warung. Tak berapa lama, datang seorang lelaki. Ia membawa payung. Mungkin juga penjaga warung itu. Si pemilik warung mempersilakanku untuk memakai payung yang barusan dibawa lelaki yang baru datang itu. Terus-terang, aku berterima kasih dengan si pemilik warung yang telah bersedia meminjamkan payung. Sebelum beranjak, aku mengambil sebungkus kacang sukro Dua Kelinci (kacang atom), kemudian aku membayar seribu rupiah kepada si pemilik warung.

Lingkungan sekitar kosanku sudah digenangi banjir, karena memang jalannya agak menurun, apalagi mungkin got-gotnya memang tidak berfungsi dengan baik. Aku yakin, kosanku tidak banjir, karena memang letaknya memang agak tinggi. Sebelum sampai ke kosan, aku singgah dahulu di warung langgananku membeli setengah bungkus rokok Djarum Super, dua bungkus Kopi Kapal Api, dan dua sachet shampo Zinc. Aku membeli di warung langgananku ini karena harganya murah, lumayan untuk penghematan, maklum anak rantau. Namanya warung Ucok, yaitu warung orang-orang Batak yang memang di sekitar Ciputat jika ada yang namanya warung Ucok, pasti harganya murah, entah mengapa.

Sesampai di kosan, kulihat ada seorang temanku (namanya Makki). Listrik sepertinya sedang padam. Beberapa menit kemudian, Makki mohon diri untuk keluar. Dia ingin meminjam payung si pemilik warung yang kubawa. Sebenarnya aku ingin segera mengembalikan payung tersebut, tapi ..., sudahlah ..., kupercayakan saja Makki bisa menjaga payung itu. Makki mengatakan, mungkin nanti malam ia baru kembali ke kosan.

Ditinggal sendirian di kosan, hujan masih mengguyur walaupun sudah hampir reda, ditambah lagi listrik padam, semakin menambah kebosananku. Sebenarnya aku ingin melanjutkan pekerjaanku, tapi sudahlah.

Kemudian terpikir olehku untuk ke Warnet saja membunuh kebosanan ini, kebetulan memang ada beberapa artikel yang mau aku publish di blog. Tapi aku ingin berbaring sejenak. Setelah mengganti bajuku yang basah, aku pun rebahan sebentar. Kubuka tas yang Jum’at lalu kubawa ke Graha Insan Cita-Depok ketika menjadi pemateri Sejarah Perjuangan HMI di LK-1 yang diadakan oleh HMI KOMFAKDISA Cabang Ciputat (salah satu komisariat yang berada di bawah naungan HMI Cabang Ciputat). Di dalam tas itu, selain ada bahan-bahan yang kupersiapkan untuk mengisi materi, juga ada semacam kenang-kenangan dari panitia berupa sertifikat. Kuambil sertifikat itu, kubaca sebentar, kemudian kusimpan di dalam lemari.

Hujan sepertinya sudah reda. Aku pun kemudian bangun, kemudian Shalat Ashar, setelah itu kuberencana langsung ke Warnet langgananku. Tak berapa lama selesai shalat, listrik pun menyala lagi. Komputerku yang ada di dalam kamar dan komputer temanku yang ada di ruang tamu, dua-duanya kuhidupkan. Rencanaku ingin mengcopy beberapa file yang mau dipublish di blog. Setelah mengcopy file dari komputerku, kemudian komputerku itu kumatikan. Flashdisk yang masih melekat di kabel USB yang ada di komputerku kemudian kulepaskan, lalu kucolok di komputer temanku, karena ada file yang mau aku copy dari komputer temanku ini, dan memang dari kemarin aku mengerjakan pekerjaan rutinku menggunakan komputer temanku ini.

Eh ..., ternyata masih ada saja yang mau aku ketik. Kebetulan inspirasinya masih segar, langsung saja aku ketik (yaitu tulisan yang sedang anda baca kini). Perkiraanku, mungkin hanya akan memakan waktu sebentar.

Di tengah aku asyik mengetik tulisan yang sedang anda baca kini, teman se-kamarku yang bernama Irul baru sampai di kosan. Sementara di komputer sedang mengalun lagu Arabia berjudul Saalouni yang dinyanyikan oleh Wail Kafoury. Tak berapa lama kemudian, temanku yang bernama Makki yang tadi barusan keluar dengan membawa payung yang kupinjam dari si pemilik warung pun sampai juga di kosan.

Kutanyakan kepada Makki payung yang dipinjamnya tadi, karena mau segera aku kembalikan kepada si pemilik warung. Makki pun memberikan payung yang dimaksud. Makki pun mengatakan, ia membawa makanan, sepertinya nasi dengan lauk ayam. Tak berapa lama kemudian, tulisan yang sedang anda baca kini aku tinggalkan beberapa menit untuk kemudian aku mengembalikan payung kepada si pemilik warung.

Setelah mengembalikan payung, ketika berada lagi di kosan, temanku Irul sedang makan nasi dengan lauk ayam yang dibawa oleh Makki tadi. Irul mengajakku makan bareng, tergiur juga imanku untuk makan, maklum anak rantau sepertiku jarang sekali makan ayam. Setelah mencuci tangan di kamar mandi, aku pun nimbrung makan bersama Irul, sementara Makki sedang rebahan di kamar.

Sambil menonton TV, kami pun makan. Berita di televisi umumnya kini mengenai PEMILU yang sebentar lagi akan digelar. Ada berita mengenai Gus Dur yang kini sedang menggalang koalisi dengan Prabowo Subianto (Partai Gerindra). Kasihan juga dengan Gus Dur kini. Tadi sebelum mengembalikan payung kepada pemilik warung, aku sempat membaca tulisannya Saidiman yang dimuat di Website JIL. Saidiman menulis mengenai sosok Gus Dur di Mata Dunia, yang ternyata akhir-akhir ini sosok Gus Dur agak melemah dan kurang diapresiasi di Indonesia, sebaliknya Gus Dur sebagai pejuang HAM dan demokrasi mendapatkan apresiasi dari berbagai forum internasional. Di forum-forum tersebut yang para peserta dan pembicaranya berasal dari universitas-universitas terkemuka berbagai negara hampir selalu menyebut nama mantan presiden Republik Indonesia yang satu ini, yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebagai contoh ideal pemuka agama tradisional yang begitu gigih memperjuangkan semangat toleransi dan perdamaian.

Televisi juga memberitakan konferensi pers yang digelar oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Presiden Republik Indonesia yang suka menyanyi ini beberapa hari yang lalu diberitakan mengalami sakit ketika melakukan kunjungan kerja ke Makassar-Sulawesi Selatan. Konferensi pers ini dilakukan untuk mengklarifikasi beberapa berita di media dalam beberapa hari ini yang menurut bapak presiden kita ini bahwa berita-berita tersebut ada di antaranya yang tidak sesuai dengan kenyataan. Ah, ada-ada saja presiden kita yang sekaligus penyanyi ini. Jangan terlalu begitu amatlah menanggapi berita media, Pak Presiden. Namanya saja media. Sedangkan masalah negeri ini lebih banyak lagi yang harus diselesaikan.

Tapi sekarang sepertinya SBY sedang ketar-ketir, karena akan ditinggal oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). JK sepertinya tak mau lagi berduet dengan SBY pada PEMILU kali ini. JK sepertinya mau juga mencalonkan dirinya sebagai presiden, apalagi Partai Golkar yang notabene adalah partai yang JK menjadi ketua umumnya adalah partai yang meraih suara terbesar pada PEMILU 2004 yang lalu.

Kalau begitu, nanti SBY featuring dengan siapa ya? Kita tunggu saja perkembangannya. Kalau SBY bingung-bingung mencari pasangan berduet, maka cari saja dari kalangan artis, kalau bisa dari kalangan penyanyi terkenal sekalian. Bisa saja SBY featuring Melly Goeslaw, SBY featuring Ahmad Dhani, SBY featuring Ari Lasso, SBY featuring Agnes Monica, SBY featuring Mulan Jameela, SBY featuring Rossa, SBY featuring Dewa 19, SBY featuring UNGU, SBY featuring Peterpan, ataupun SBY featuring Cinta Laura.

Lho, memangnya SBY mau buat album atau untuk pencalonan presiden pada PEMILU tahun ini?

Ya, bisa dua-duanya. SBY kan penyanyi. [Hanafi Mohan]

Ciputat, Minggu 15 Maret 2009 / 15.56-18.45 WIB


Catatan:
LK-1: Latihan Kader-1, yaitu training dasar untuk calon anggota HMI. Setelah mengikuti training ini, barulah si calon anggota dikukuhkan sebagai Anggota Biasa HMI.

HMI: Himpunan Mahasiswa Islam, merupakan organisasi mahasiswa Islam yang tertua di Indonesia. HMI adalah organisasi ekstra universitas. Aku pernah aktif di organisasi ini, bahkan pernah menjadi Ketua Umum salah satu komisariat yang berada di bawah naungan HMI Cabang Ciputat, yaitu HMI KOMFASTEK, dan juga terakhir menjadi Sekretaris Umum HMI Cabang Ciputat.

KOMFAKDISA: Komisariat Fakultas Dirasat Islamiyah, yaitu salah satu komisariat yang berada di bawah naungan HMI Cabang Ciputat. Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) adalah salah satu fakultas yang berada di UIN Jakarta.

KOMFASTEK: Komisariat Fakultas Sains & Teknologi dan Ekonomi UIN Jakarta, kini sudah dimekarkan menjadi dua komisariat, yaitu Komisariat Fakultas Sains dan Teknologi (KOMFASTEK) dan Komisariat Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial (KAFEIS). Fakultas Sains dan Teknologi (FST), serta Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial (FEIS) adalah dua fakultas yang juga berada di UIN Jakarta. Aku sendiri mengenyam pendidikan di Fakultas Sains dan Teknologi Program Studi Teknik Informatika.


***Sekianlah ceritaku yang terjebak hujan lebat. Karena ada inspirasi yang singgah di kepalaku, maka kutulislah ini. ***