Selasa, 17 Februari 2009

Cerpen: Negeri Cinta

NEGERI CINTA
Cerpen: Hanafi Mohan



Kadang kita tertawa, mengenang masa-masa indah itu. Bisakah kita mengulanginya lagi? Tapi kau hanya terdiam membisu saja ketika kutanyakan itu. Apakah memang kau sudah tidak menginginkan masa-masa itu terulang lagi kini. Atau memang kau sebenarnya menginginkan masa kini yang lebih indah. Atau ... jangan-jangan kau memang benar-benar bisu dan gagu? Tapi, gak mungkin ah. Sampai waktu terakhir kita bertemu, kau masih normal kan? Kau masih sering curhat-curhatan denganku. Kau masih sering nyanyi dengan suara merdumu itu, yang kadang kuiringi dengan gitar. Yang pasti, kini aku yakin, bahwa kau sebenarnya tidak bisu dan gagu.

Aku sebenarnya sudah tak sabar mendengar jawaban darimu. Tapi hingga kini kau masih terdiam membisu. Ayo dong, please deh! Apakah sebenarnya yang sedang engkau pikirkan? Ceritakanlah kepadaku! Biar kita tuntaskan bersama. Tapi kau hanya tersenyum saja. Apakah sebenarnya arti dari senyummu itu? Ah, aku tetap tak bisa mengartikannya. Tolong dong artiin!

Senyummu pun kemudian hilang, seiring dengan hilangnya sinar matahari ditelan oleh lautan. Lalu kau berlari menuju ke pantai. Aku pun mengejarmu. Kau lalu menghindariku, aku pun terus memburumu. Kau pun terus berlari, hingga kaki-kakimu yang indah itu diterjang oleh riak-riak gelombang. Tak peduli, aku terus saja mengejar sosokmu. Kau pun sepertinya sudah kelihatan terengah-engah. Tapi aku tak menghiraukan itu, karena yang kuinginkan hanya kamu seorang.

Kau terengah-engah, namun kau terus berlari. Kini kulihat kau menuju ke tepian. Lalu kau berhenti di bawah naungan sebuah pohon yang ada di tepian pantai itu. Aku heran, mengapa kau berhenti di situ? Kau pun memandangiku dengan pandangan yang menimbulkan berjuta tanya. Aku pun balas memandangimu, sepertinya melalui pandangan matamu itu kau memanggil diriku, kau memanggil jiwaku. Tanpa menunggu lama lagi, aku pun langsung menghampirimu.

Ketika kudekati, kau kembali menghindar. Aku sudah tanggung. Aku pun terus memburumu, kau pun terus menghindar. Lalu kita terus berkejar-kejaran di bawah pohon itu. Kini, entah sudah berapa putarankah kita saling kejar-kejaran ini. Nafasmu terengah-engah, begitu juga aku. Kadang aku yang mengejarmu. Namun karena langkahmu terlalu cepat, kadang suatu waktu keadaan berbalik, kau lah yang seakan-akan mengejarku. Lalu kita berputar-putar di bawah naungan pohon itu, sambil berpegangan di batangnya. Hingga suatu saat, ...

“Kok jadi kaya’ film India sih?” ujarmu tiba-tiba.

“Gak apa-apa. Bodo amat. Daripada kaya’ film Barat, kan lebih repot lagi. Gitu aja kok Freeport?” jawabku sekenanya.

“Emang, repot sih jadi orang Indonesia. Berbuat baik dicurigai, berbuat jahat apalagi. Tidak berbuat apa-apa juga dicurigai. Kalau gitu mati aja dah. Tapi aku yakin kok, suatu saat Indonesia pasti akan berubah,” jawabmu dengan bijaksana.

“Aku pun berucap, Kok ngomongnya jadi lari-lari ke Indonesia sih, kita kan sekarang lagi gak di Indonesia?”

“Emangnya kita lagi di mana sih?” tanyamu.

“Ya ..., kita kan lagi di Republik Cinta?” jawabku.

“Lha, itu kan judul Album Dewa yang paling terbaru, yang ada salah satu lagunya kayak lagu kasidahan, judul lagunya ... Laskar ... Laskar ...”

“Laskar Jihad?”

“Bukan! Itu sih yang suka ngajak-ngajakin orang Islam perang ya ...? Tapi ini ... Laskar ... Laskar ...”

Lalu kita mendengar ada sekelompok pengamen yang sedang ngamen di Pantai Itu. Lagunya kayak gini, Laskar Cinta, taburkanlah benih-benih cinta, ...

“Nah, itu tuh yang barusan dinyanyiin ama pengamen,” katamu.

“Laskar Cinta maksudnya.”

“Iya..., betul sekali. Nilai A buat kamu.”

”Kayak kuliah aja.”

“Tapi, emangnya kita beneran lagi berada di Republik Cinta?” tanyamu dengan keheranan.

“Sebenernya sih, Rebublik Cinta itu berada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Makanya di Indonesia ini bukan hanya ada Republik Cinta, ada juga Khilafah Peperangan, Kerajaan Penindasan, Kesultanan Kekacauan, Kesunanan Kediktatoran, dan Republik BBM.”

“Lha, bukannya Republik BBM itu salah satu negara tetangga Indonesia?” tanyamu lagi.

“Oh ya, maaf. Nah, di Indonesia itu dulunya ada juga pemberontak-pemberontak. Dan mungkin hingga kini pun masih ada pemberontak-pemberontak itu. Misalkan, Gerakan Cinta Merdeka, Republik Kasih Selatan, Gerakan Separatis Cinta, Darul Mahabbah/Tentara Mahabbah Indonesia, Cinta Merdeka, Pergerakan Republik Revolusioner Cinta, Pergerakan Cinta Semesta, Gerakan 30 Hari Mencari Cinta, Gerakan Ratu Cinta, de el el.”

“Oh, berarti Indonesia itu beragam ya,” celetukmu.

“Iya, beragam banget. Nah, baru-baru ini ada juga gerakan-gerakan radikal yang mengtasnamakan cinta dan bertopengkan cinta, antara lain, Front Pembela Cinta, Hizbul Mahabbah Indonesia, Majelis Cinta Indonesia, Partai Cinta Sejahtera, Laskar Cinta Indonesia, de es be. Tapi semuanya itu hanya topeng belaka. Di balik itu, banyak sekali kerusakan yang telah dilakukan oleh gerakan-gerakan tersebut. Walupun tidak semuanya dari gerakan-gerakan tersebut secara langsung melakukan kerusakan, tapi kini indikasi-indikasi ke arah itu sudah mulai kelihatan.”

“Kamu tau gak sih, apa latar belakang kemunculan gerakan-gerakan radikal tersebut,” tanyamu lagi.

“Ooo ..., tau banget,” jawabku.

“Jelasin donk! Aku kan bukan aktifis. Kalau kamu kan sudah ketahuan keaktifisannya.”

“Gerakan-gerakan tersebut terutama sekali dilatar-belakangi oleh tidak adanya ruh cinta pada Republik ini. Terutama sekali para penguasa yang lebih mengutamakan perutnya dan konco-konconya. Sedangkan rakyat dibiarkan menderita. Gerakan-gerakan tersebut terutama sekali memperjuangkan agar Hukum di Indonesia dijalankan sesuai dengan Jalan Cinta. Sehingga akan terciptalah kedamaian dan kemakmuran di negeri tercinta ini. Karena itu, hukum-hukum yang mereka perjuangkan itu dinamakan Jalan Cinta.”

“Lha, itu kan bagus?”

“Memang bagus sih. Namun, segala perjuangan demi kebaikan dan kebenaran itu juga harus dilakukan dengan cara yang baik dan benar pula. Sehingga tidak akan kontraproduktif. Jangan kebalikannya, yaitu dengan cara-cara anarkis dan merusak. Bangsa Indonesia ini kan adalah bangsa yang plural, bangsa yang majemuk, bangsa yang berbhinneka tunggal ika, bangsa yang beragama, bangsa yang bermoral, bangsa yang beretika, bangsa yang lemah lembut, bangsa yang ’nrimo, bangsa yang ...”

“Udah ah, jadi berpanjang lebar begitu. Aku minta jelasin sama kamu satu aja dari yang seabrek-abrek kamu sebutin tadi. Bangsa yang bermoral itu apa maksudnya? Aku gak ngerti. Jelasin dong!” lagi-lagi kamu bertanya.

“Gitu aja kok gak ngerti sih! Kamu kan pernah kuliah juga, sama kayak aku?”

“Aku kan dulu kuliahnya gak pernah dapet yang begituan,” katamu.

“Apanya yang begituan?”

“Yang begituan?”

“Yang begituan ..., anu maksudmu?”

“Idih, otak kamu ngeres deh,” katamu.

“Siapa yang ngeres, kan kamu yang duluan ngeres dan viktornya.”

Kemudian kamu berujar, “Ngeles deh.”

“Soalnya aku dulu waktu kuliah pernah diajarin mata kuliah ilmu ngeles sih. Waktu jadi aktifis, sering ikutan training ngeles. Di training ngeles itu juga diajarin bermacem-macem hal, salah satunya adalah teknik ngeles, yaitu bagaimana ngeles yang baik dan benar, bagaimana ngeles yang efektif dan efisien, bagaimana ngeles yang jujur dan adil, bagaimana ngeles yang cepat dan tepat sasaran, bagaimana ngeles yang bermoral dan beretika, bagaimana ngeles yang berprikemanusiaan dan berprikeadilan, dan sebagainya. Pokoknya banyak deh. Kamu nyesel deh gak pernah jadi aktifis.”

“Iya ya, aku sekarang baru kerasa.”

“Lagian ... siapa yang suruh jadi mahasiswa kupu-kupu.”

“Tuh kan, kamu ada aja istilahnya. Itu tadi mahasiswa kupu-kupu maksudnya apa?”

“Ampun deh. Dasar kamu ini. Selain mahasiswa kupu-kupu, kamu juga kurang gaul,” kataku lagi.

“Andaikan waktu bisa diputar ya? Pasti aku ikutan kayak kamu dulu.”

“Ikutan? Begituan kan gak bisa ikut-ikutan. Jadi aktifis kan gak bisa ikut-ikutan. Melainkan harus dari keinginan diri sendiri. Harus dengan niat yang tulus. Kalau ikut-ikutan, jadi aktivisnya juga aktivis ikut-ikutan, yaitu aktivis yang tidak memiliki idealisme. Yang ada kemudian adalah pragmatisme. [-,-]


Ciputat, 3 – 4 Juli 2006

0 ulasan:

Posting Komentar