Rabu, 04 Februari 2009

Failasuf dan Bahasa

Jika kita menilik dari berapa juta telah dicetak, diterjemahkan dan dijual, maka buku yang paling laris di dunia sekarang ini ialah karya Stephen Hawking, A Brief History of Time, from the Big Bang to Black Holes. Atas dasar itu dapatlah dikatakan bahwa Hawking adalah seorang “failasuf” paling berpengaruh sekarang ini, sekurang-kurangnya dalam kosmologi. Dan memang sepatutnya seorang kosmolog disebut failasuf, sebab ia mencoba memahami dunia yang amat besar, yaitu jagad raya, dan menemukan hakikatnya. Tetapi sebagai failasuf seorang kosmolog barulah menempuh setengah jalan. Sebagaimana dikatakan sendiri oleh Hawking, para ilmuwan seperti dia mencurahkan perhatian hanyalah kepada masalah “apa”-nya jagad raya ini, bukan “mengapa”-nya. Katanya, yang bertugas memikirkan dan menemukan “mengapa”-nya itu ialah mereka yang biasa dikenal sebagai failasuf (yang sesungguhnya). Tapi justru di sini letak persoalannya. Pada abad kedelepan belas, failasuf masih menganggap keseluruhan pengetahuan manusia sebagai bidang garapannya, termasuk sains. Tapi, menurut Hawking, di abad kesembilan belas dan lebih-lebih lagi abad kedua puluh ini, sains berkembang menjadi terlampu teknis dan matematis bagi para failasuf, juga untuk siapa saja yang lain, kecuali sejumlah kecil para ahli. Maka, menurut Hawking lebih lanjut dengan mengutip Wittgenstein, seorang failasuf terkenal abad ini, “tugas satu-satunya yang tersisa bagi falsafah ialah menganalisa bahasa” (the sole remaining task for philosophy is the analysis of language). Suatu kemunduran besar dari tradisi falsafah sejak dari Aristoteles sampai Kant, kata Hawking.

Rupanya pernyataan Hawking itu mengundang reaksi kurang enak dari kalangan para failasuf. Dalam bukunya yang lebih kemudian, Hawking bertutur bagaimana ia dituduh naif dan simple minded oleh para failasuf. Ia juga dinilai sebagai nominalis, instrumentalis, positivis, realis dan “is-is” yang lain. Menurut Hawking, cara mereka, para failasuf itu, menjatuhkannya adalah “refutation by denigration” (penolakan dengan perendahan atau penghinaan). Hawking sendiri mengaku mungkin agak kasar terhadap para failasuf (dengan mengatakan, antara lain, bahwa tugas falsafah sekarang hanyalah analisa bahasa semata, seperti dikutip di atas), meskipun Hawking juga mengatakan bahwa para failasuf tidak pernah baik hati kepadanya.

Sekarang orang mungkin bisa membalik, apakah pernyataan Hawking tentang para failasuf di atas itu tidak diilhami oleh keinginan menerapkan teknik serupa, yaitu “refutation by denigration”? Tapi jika itu yang ia inginkan, apakah tidak justru terbalik? Memang Wittgenstein mengatakan seperti dikutip Hawking, namun barangkali dalam konteks yang berbeda. Dan pernyataan itu agak¬nya dimaksudkan justru untuk menunjukkan betapa pentingnya bahasa sebagai piranti manusia menyatakan pikirannya. Memang matematika yang menjadi keahlian khusus para kosmolog modern seperti Hawking bukanlah piranti menyatakan pikiran dalam hidup harian. Tetapi matematika sendiri adalah bahasa, dengan kaidah-kaidahnya sendiri yang sebanding dengan tatabahasa dan lain-lain. Dan bahasa seperti yang kita kenal tidak sepatutnya direndahkan seperti terkesan dilakukan oleh Hawking dengan kutipannya itu, sebab bahasa, justru menurut para ilmuwan sendiri yang bidangnya sebanding dengan kosmologi, yaitu antropologi (dalam artian ilmu atau teori tentang manusia, baik fisik maupun budaya), adalah ciri khas manusia yang sampai kini belum terbukti dapat disertai oleh makhluk hidup yang lain di muka bumi ini. Dan Hawking pun mendapat berkah dari bahasa ini, sebab bukunya yang laris luar biasa itu adalah justru karena bahasanya yang mudah dan berhasil mengo¬mu¬nikasikan segi-segi pelik fisika dan astrofisika serta kosmologi yang paling mutakhir.

Sumber: Budhy Munawar-Rachman (editor), Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Sketsa Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Yayasan Pesantren Indonesia Al-Zaytun, 2008

0 ulasan:

Posting Komentar