Hikayat Dunia

Kita hanya pengumpul remah-remah | Dari khazanah yang pernah ada | Kita tak lebih hanya penjaga | Dari warisan yang telah terkecai ||

Pontianak Singgah Palembang

Daripada terus berpusing-pusing di atas Negeri Pontianak, yang itu tentu akan menghabiskan bahan bakar, maka lebih baik pesawat singgah dahulu ke bandar udara terdekat. Sesuai pemberitahuan dari awak pesawat, bandar udara terdekat adalah Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Negeri Palembang.

Mudék ke Ulu

Pasangan dari kate “ulu” ielah “mudék”. Kate “mudék” beakar kate dari kate “udék”. Udék bemakne "sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber)", "daerah di ulu sungai", juga’ bemakne "kampong halaman (tempat beasal-muasal)".

Soal Nama Negeri Kita

Belakangan ini kiranya ramai yang berpendapat ini dan itu mengenai asal usul dan makna nama "pontianak" kaitannya dengan Negeri Pontianak. Tapi apakah semua yang didedahkan itu betul-betul dipahami oleh masyarakat Pontianak?

Kampong Timbalan Raje Beserta Para Pemukanya [Bagian-3]

Selain banyak menguasai berbagai bidang keilmuan, beliau juga banyak memegang peran dalam kehidupan kemasyarakatan. H.M. Kasim Mohan yang merupakan anak sulong (tertua) dari pasangan Muhammad Buraa'i dan Ruqayyah ini merupakan seorang Pejuang di masanya.

Musik Motivasi Setahun Silam

“Satu Kursi untuk Seniman”, begitu tagline kampanyenya. Tekadnya untuk memajukan Kalbar lewat industri kreatif tentu patut diapresiasi. Melalui industri kreatif diharapkannya dapat menjadi jembatan menjulangkan budaya yang memayungi Kalimantan Barat.

Sultan Pontianak; Umara' dan 'Ulama

Kegemilangan Negeri Pontianak salah satunya diasbabkan kepemimpinan para Sultan-nya yang arif dan bijaksana. Sultan-Sultan Pontianak selama masa bertahtanya rata-rata memiliki dua peranan, yaitu berperan sebagai umara', sekaligus berperan sebagai 'ulama.

Puisi Buya Hamka untuk Muhammad Natsir

Kepada Saudaraku M. Natsir | Meskipun bersilang keris di leher | Berkilat pedang di hadapan matamu | Namun yang benar kau sebut juga benar ||

Jumat, 27 Februari 2009

(4) Membudayakan Menulis

Diakui atau tidak, masyarakat kita adalah masyarakat yang hidup di dalam tradisi lisan yang begitu tinggi. Tak ada salahnya memang, tetapi lambat-laun dinamika masyarakat kita semakin berkembang. Tradisi lisan ini harus tetap dilestarikan, karena merupakan kekayaan tersendiri bagi bangsa kita. Tetapi tak cukup hanya dengan itu. Jika ingin peradaban bangsa kita tidak tertinggal dari bangsa lain, maka mau tak mau tradisi tulisan juga harus maju dan berkembang.

Dalam tradisi tulisan, maka membaca adalah kesadaran yang paling awal. Setelah membaca, barulah beranjak pada menulis. Jangankan budaya menulis, budaya membaca pun masih begitu minimnya di negeri ini. Buku-buku yang tersedia di pasaran masih begitu mahal harganya, sehingga terkesan hanya bisa diakses oleh sebagian kecil dari mayarakat "bangsa yang besar?" ini.

Kita tak perlu pesimis akan kondisi negeri ini. Belum terlambat kiranya untuk melakukan perubahan-perubahan yang lebih baik ke depannya. Untuk menulis, maka yang harus dibudayakan dahulu adalah membaca. Untuk membudayakan membaca, maka kini aksesnya sudah agak beragam. Karena itu, tak terlalu sulit untuk hal yang satu ini. Selanjutnya, barulah kita beranjak pada membudayakan menulis. Membaca dan menulis adalah dua hal yang saling berkaitan erat. Seorang yang ingin lancer menulis, maka ia juga harus rajin membaca.

Hal yang paling mudah untuk membudayakan menulis adalah menulis untuk diri sendiri. Salah satu bentuknya adalah menulis diary (catatan harian). Akhir-akhir ini agak marak memang buku-buku yang berasal dari catatan harian. Karena itu, biasakanlah menulis catatan harian. Selain menulis catatan harian, menulis puisi juga salah satu cara yang cukup ampuh untuk membudayakan menulis. Cobalah lakukan kedua hal ini, niscaya kemampuan kita menulis akan semakin terasah.

Selain kedua hal di atas, kiranya masih beragam lagi cara-cara untuk membudayakan menulis, di antaranya adalah berkorespondensi. Kini, akses untuk hal ini semakin dipermudah melalui E-Mail (surat elektronik). Selanjutnya adalah membiasakan menulis pesan yang panjang melalui layanan SMS. Agak berlawanan memang dengan SMS yang secara harfiahnya merupakan layanan pesan pendek, sehingga pesan yang kita tulis melalui SMS umumnya memang pendek. Tapi cobalah hal yang satu ini, sepertinya cukup efektif untuk membudayakan menulis.

Berdasarkan pengalaman juga, bagi para siswa ataupun mahasiswa, maka biasakanlah menulis jawaban ujian dengan kalimat yang panjang. Agak terdengar naïf memang, tapi tak ada salahnya untuk dicoba. Selanjutnya adalah membiasakan menyunting dan mengkolaborasikan tulisan orang lain, untuk kemudian disusun ulang menjadi tulisan yang baru.

Beberapa hal di atas adalah sedikit dari banyak cara untuk membudayakan menulis. Masih banyak lagi cara yang lain yang mungkin selama ini sudah kita lakukan. Budaya menulis bukanlah tugas orang-perorangan, melainkan tugas kita bersama yang memiliki kesadaran untuk itu. Untuk menjadi bangsa yang berperadaban maju, maka menulis menjadi salah satu hal yang tak bisa ditawar-tawar untuk dibudayakan.

Mungkin anda memiliki cara lain yang lebih efektif untuk membudayakan menulis? [Hanafi Mohan/Ciputat, Jum'at 27 Februri 2009]

(3) Menulis dengan Niat Beramal

Awal dari segala perbuatan kita adalah niat, sehingga niat adalah motor penggerak pertama ketika kita akan melakukan sesuatu. Jika niat kita baik, maka baiklah perbuatan yang kita lakukan itu. Sebaliknya, jika berniat buruk, maka buruk pula yang kita lakukan. Lantas, bagaimanakah dengan aktivitas menulis, perlukah kita berniat sebelumnya?

Biasanya ada juga sesuatu yang kita lakukan tanpa dilandasi niat. Hal yang tak diniatkan tersebut memang bisa dilakukan, tetapi hasilnya kadang tak terlalu maksimal. Sebagai manusia beriman, maka kita percaya bahwa pekerjaan yang dilandasi dengan niat yang baik itu akan diganjar pahala. Walaupun pekerjaan tersebut urung kita lakukan, tetapi niat baiknya saja sudah diganjari pahala. Jika kita berniat buruk, maka baru akan diganjari dosa setelah pekerjaannya dilakukan.

Lantas mengapa tidak aktivitas menulis kita landasi dengan niat yang baik. Hal ini setidaknya akan menjadi motivasi positif ketika menulis, sehingga setiap apa yang kita tulis niscaya akan bermanfaat bagi orang banyak. Kita tentunya ingin setiap perbuatan kita adalah perbuatan yang bermanfaat bagi orang banyak, setidak-tidaknya bagi diri kita sendiri. Sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial, tentunya kita tak ingin perbuatan kita itu hanya bermanfaat bagi diri kita sendiri.

Karena menulis merupakan aktivitas melemparkan ide kepada orang banyak (kecuali jika kita hanya menulis untuk diri kita sendiri), maka mau tidak mau setiap apa-apa yang kita tuliskan itu semestinya bisa memberikan efek perubahan dan pencerahan bagi sesiapapun yang membacanya. Efek ini hanya akan muncul jika dari awalnya aktivitas menulis yang kita lakukan itu dilandasi dengan niat yang baik, dengan niat yang positif.

Dengan niat beramal, niscaya apa-apa yang kita tulis itu benar-benar keluar dari hati nurani kita yang terdalam. Setiap huruf, kata, dan kalimat yang kita tuliskan tersebut akan memancarkan pikiran kita yang paling jernih. Aktivitas menulis akan menjadi sesuatu yang berarti, mengasyikkan, dan juga begitu ringannya, karena kita melakukannya dengan segenap kesadaran dan ketulus-ikhlasan. Semoga. [Hanafi Mohan / Ciputat, Jum'at 27 Februari 2009]


Sumber Gambar: http://nithyananda.org/


(2) Menulis sebagai Sharing Informasi


Jika dahulunya kita sangat sulit untuk mendapatkan informasi, maka kini sebaliknya, informasi begitu mudahnya kita dapatkan, bahkan sangat mudah. Berbagai informasi kita lahap setiap hari: dari informasi yang benar hingga informasi yang menyesatkan, dari informasi yang bermanfaat hingga informasi yang mencelakakan, dari informasi yang benar-benar informasi hingga informasi yang hanya sekedar gosip belaka.

Dengan menulis, maka setiap kita menjadi agen informasi. Melalui aktivitas yang satu ini, kita tak hanya menjadi konsumen informasi, melainkan kita menjadi produsen informasi. Jika kita mendapati suatu informasi yang keliru, bohong, dan menyesatkan, maka melalui kegiatan menulis dan kemudian mempublikasikannya, maka kita bisa mencounter informasi yang kita anggap keliru tersebut. Kita tak lagi menjadi orang yang pasif dalam menyikapi suatu informasi, malahan kita menjadi orang yang aktif menyikapi informasi yang begitu meluah kini.

Konsekuensi dari begitu mudahnya akses infomasi kini adalah semakin sempitnya ruang privat kita. Seakan-akan kita begitu terganggunya akan persebaran informasi yang sudah semakin semrawut dan tak beraturan kini seperti halnya jalan raya di kota-kota seperti Jakarta yang tak tepat lagi disebut sebagai jalan raya, melainkan hutan rimba. Begitu juga dengan persebaran informasi kini yang sudah bagaikan hutan rimba informasi, tak beraturan, dan semakin semrawutan.

Melalui kegiatan menulis, tentunya setiap kita bukannya ingin semakin menambah kesemrawutan itu. Setiap kita harus berniat dan beri'tikad baik dalam aktivitas yang satu ini. Jika kita menulis dan menyebarkan informasi yang tidak benar, hanya gosip, dan cenderung hanya mencari sensasi dan menuai kebesaran dari kontroversi, maka kita mungkin akan mendapatkan kebesaran itu. Tapi patut diingat, kebesaran yang kita dapat tersebut takkan bertahan lama, karena lambat-laun akan segera dimasukkan oleh publik ke dalam keranjang sampah, dan kemudian dilupakan untuk selama-lamanya.

Di depan terhampar pilihan-pilihan, apakah kita akan menjadi agen informasi yang benar atau sebaliknya menjadi agen informasi yang menyesatkan. Tapi yakinlah, kebenaran, keakuratan, dan kemanfaatan dari suatu tulisan tetap dicari-cari oleh orang banyak. Penyebar informasi sesat lambat-laun akan ditenggelamkan oleh publik yang dari hari ke hari semakin kritis terhadap informasi yang mereka dapatkan dan mereka cerna. Niat awal kita untuk membagi dan menyebarkan informasi yang benar setidaknya akan dicatat oleh Tuhan sebagai suatu kebaikan. [Hanafi Mohan/Ciputat, Jum'at 27 Februari 2009]


Sumber Gambar: http://mashable.com/


(1) Menulis sebagai Transformasi Ilmu


Dari jenjang S1 hingga S3, kemampuan mengungkapkan ide dalam bentuk tulisan menjadi salah satu acuan dan persyaratan kelulusan. Bahkan semenjak dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, ujian kelulusannya pun dalam bentuk tulisan. Sebegitu pentingnyakah menulis, sehingga aktivitas yang satu ini seakan-akan selalu mengiringi setiap derap langkah kehidupan kita?

Seperti kita ketahui bersama, perubahan dari zaman prasejarah menuju ke zaman sejarah ditandai dengan adanya tulisan. Jika suatu bangsa sudah mengenal tulisan, maka berubahlah masyarakat bangsa tersebut dari zaman prasejarahnya menuju ke zaman sejarah.

Diakui atau tidak, hingga kini kegiatan tulis-menulis tetap menjadi kegiatan yang begitu penting. Kiranya, aktivitas yang satu ini telah menjadi tonggak terdepan dalam mengembangkan peradaban. Bayangkan, melalui tulisan yang ditinggalkannya, hingga kini kita masih bisa mengakses informasi dan pemikiran dari orang-orang yang hidup berabad-abad silam.

Jika tak ada jejak tulisan, mungkin hingga kini kita tak pernah tahu kehidupan masa lampau. Jika tak ada tulisan, mungkin hingga kini peradaban umat manusia hanya berjalan di tempat. Mungkin jika tak ada jejak tulisan, kini kita harus melakukan penelitian-penelitian yang sama seperti halnya dilakukan oleh ilmuwan terdahulu untuk mendapatkan suatu penemuan. Mungkin juga hingga kini dunia tetap gelap gulita, kita masih berkorespondensi dan berkomunikasi jarak jauh dengan perantaraan burung merpati, dan sebagainya.

Kini, kegiatan tulis-menulis sudah semakin dimudahkan dengan adanya dukungan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih, semakin murah, dan semakin mudah didapatkan. Sehingga kini tak ada kata sulit untuk menulis dan juga mempublikasikan tulisan kita. Sangat sayang sekali jika kemajuan teknologi kini tidak kita manfaatkan sebaik-baiknya untuk aktivitas yang satu ini.

Dengan melakukan aktivitas menulis, peradaban ilmu akan semakin berkembang. Bukannya ilmu yang ada pada kita semakin berkurang, tetapi yakinlah, semakin banyak kita memberikan ilmu kita, maka akan sebanyak pula kita mendapatkan ilmu yang baru. Dalam terminologi Islam, semakin banyak kita bersedekah, maka akan semakin banyaklah kita mendapatkan rezeki, dan rezeki tersebut semakin berkah. [Hanafi Mohan/Ciputat, Jum'at 27 Februari 2009]


Sumber Gambar: http://ditter.wordpress.com/

Kamis, 26 Februari 2009

(3) Membaca tentang Menulis


Membaca adalah bagian lain dari menulis. Bagi penulis pemula, maka membaca kiat-kiat menulis juga cukup penting. Membaca pengalaman orang lain menulis juga tak kalah pentingnya. Tapi yang harus tetap diingat, kiat menulis tersebut hanya sekedar kiat. Selanjutnya, kita sendiri juga harus memiliki kiat yang khas dengan diri kita.

Tulisan-tulisan yang mengupas kiat-kiat menulis cukuplah menjadi landasan awal kita untuk menulis. Selanjutnya, kitalah yang mengembangkan sendiri. Kiat-kiat tersebut cukuplah menjadi pemacu kita untuk menulis, bukanlah kitab suci yang tak bisa diganggu-gugat.

Pada saat-saat tertentu, membaca tentang menulis juga perlu kita lakukan untuk memupuk kembali semangat menulis yang sudah kendor. Selain itu, juga untuk mencari nuansa-nuansa lain dalam menulis. Kadang ada saja hal-hal baru yang kita dapatkan setelah membaca tulisan seperti itu.

Kita bisa mendapatkan tulisan mengenai menulis dari berbagai sumber. Bisa dari buku yang memang khusus membahas hal tersebut, dari koran, majalah, ataupun dari internet. Yang pasti, kita tak kehabisan sumber untuk mendapatkannya.

Dan yang tak kalah pentingnya, setelah membaca tulisan mengenai menulis tersebut, semangat kita akan semakin terpacu. Karena itu, janganlah berdiam diri. Kita langsung menulis, menulis apa saja. Begitu banyak tema yang bisa kita tulis. Tulislah hal-hal yang ringan dahulu. Buat saja tulisan-tulisan pendek, ringan, dan apa adanya. Yang pasti, semangat kita untuk menulis harus terus menyala-nyala. Dengan begitu, kita tidak sia-sia membaca tulisan mengenai menulis. [Hanafi Mohan/Ciputat, Kamis 26 Februari 2009]


Tulisan ini dimuat di: http://www.hanafimohan.com/


Sumber Gambar: http://madaraonline.wordpress.com/

(1) Tulisan yang Dibaca secara Tergesa-gesa


Setiap kita mungkin pernah membaca suatu tulisan secara tergesa-gesa. Membaca yang dimaksud adalah membaca dengan cara tidak sabar. Ketika membaca tersebut, seakan-akan kita ingin segera selesai. Reaksi yang kemudian muncul adalah membaca tulisan tersebut secara terburu-buru (tergesa-gesa). Apakah sebabnya hingga kita tergesa-gesa ketika membaca?

Reaksi ini sebenarnya tidak muncul dengan sendirinya. Hal ini tak lain karena isi dari tulisan tersebut. Memangnya seperti apakah tulisan yang membuat kita membacanya secara terburu-buru? Bedakan antara terburu-buru dan cepat, karena kedua-duanya merupakan hal yang berbeda. Terburu-buru adalah hal yang muncul karena adanya suatu beban yang berat, seperti kita sedang menghadapi deadline. Sedangkan cepat adalah hal yang muncul karena tak ada yang membebani, sehingga kita lancar dan enjoy saja. Karena lancar dan enjoy tersebut, sehingga kita bisa melakukan sesuatu secara cepat.

Sama halnya dengan membaca, jika tulisan tersebut isinya terlalu berat, maka kita seakan-akan tergesa-gesa membacanya. Tulisan yang kalimatnya berbelit-belit, tidak komunikatif, dan membingungkan juga biasanya menimbulkan efek yang hampir serupa. Bukanlah panjangnya suatu tulisan yang membuat kita membaca secara tergesa-gesa, melainkan kalimat yang tidak komunikatif dan berbelit-belitlah yang membuat kita tergesa-gesa. Kita seakan-akan ingin segera selesai ketika membaca tulisan tersebut, walaupun tulisan tersebut tak terlalu panjang.

Tulisan yang seperti ini adalah tulisan yang tak bisa mendekatkan diri dengan pembaca. Kadang juga kita temui pada novel terjemahan. Ini mungkin karena hasil terjemahannya tidak terlalu bagus. Namun tak jarang juga kita temui pada tulisan biasa yang tak terlalu panjang. Ini tak lain karena ada logika yang terputus. Yang juga harus dicermati dari sebuah tulisan adalah koherensi. Dari awal, pertengahan, hingga akhir tulisan, koherensi tersebut harus terus terjalin, tak peduli tulisannya panjang ataupun pendek.

Selain itu, tulisan juga harus ada biramanya. Maksudnya, panjang pendeknya suatu kalimat serta kata-kata yang merangkainya juga harus terjalin dengan baik. Tak jarang kita temui suatu tulisan yang kalimat-kalimatnya begitu panjang, sehingga maksud sebenarnya dari kalimat tersebut menjadi kabur. Oleh sebab itu, tulislah kalimat-kalimat yang pendek tapi maksudnya jelas, daripada kalimat-kalimat panjang tetapi maksudnya tidak jelas. Boleh saja menulis kalimat-kalimat panjang, asalkan tanda bacanya diperhatikan.

Kalimat panjang biasanya membuat yang membacanya jadi terengah-engah. Selain itu, juga bisa mengaburkan hal yang lebih pokok. Untuk menyiasatinya, bagilah kalimat tersebut menjadi beberapa kalimat lagi. Satu kalimat setidaknya berisi 8 hingga 15 kata. Jika lebih dari itu, berarti sudah dikategorikan sebagai kalimat yang panjang.

Atau kalau tidak, bagilah kalimat panjang tersebut menjadi beberapa frase, yang setiap frase dipisahkan oleh tanda koma. Jangan lupa pula untuk membubuhkan kata sambungnya yang tepat, sehingga kalimat tersebut tetap koheren dari awal hingga akhir. Yang penting, sesuaikan dengan konteks kalimat, karena ada yang cocok diberi kata sambung setelah koma, dan ada juga yang hanya cocok diberi tanda koma. Membagi kalimat panjang menjadi beberapa kalimat lebih disarankan dibandingkan membaginya menjadi beberapa frase.

Panjang pendeknya paragraf juga harus diperhatikan. Paragraf yang panjang kadang mengaburkan maksud sebenarnya dari tulisan tersebut. Paragraf yang panjang kadang juga membuat pembacanya menjadi terengah-engah. Idealnya, panjang suatu paragraf berkisar antara 5 hingga 8 baris untuk ukuran kertas kuarto (letter) dengan margin 4-3-4-3 (50 hingga 80 kata, 350 hingga 550 karakter tanpa spasi, 400 hingga 630 karakter dengan spasi).

Paragraf yang lebih pendek pun tidak apa-apa, asalkan jangan kependekan. Ada juga paragraf yang hanya terdiri dari beberapa kata dan beberapa kalimat, kadang juga hanya terdiri dari satu kalimat, dan kalimatnya pun hanya kalimat pendek. Paragraf seperti ini biasanya hanya berupa paragraf penegas. Paragraf yang panjang hingga lebih dari 80 kata pun sebenarnya tak bermasalah, asalkan isinya tidak kabur.

Kini, cobalah baca tulisan kita sendiri! Apakah kita tergesa-gesa membacanya? Jika kita masih tergesa-gesa membacanya, cobalah sunting ulang tulisan tersebut. Kalimat-kalimat panjang kita bagi menjadi beberapa kalimat pendek. Paragraf-paragraf yang panjang kita bagi menjadi beberapa paragraf pendek. Dan jangan lupa, tanda baca dan kata sambungnya juga harus diperhatikan sesuai dengan konteks kalimat. Hingga tulisan kita itu benar-benar koheren dari awal hingga akhir, dan tak ada kesan tergesa-gesa membacanya. [Hanafi Mohan/Ciputat, Kamis 26 Februari 2009]


Sumber Gambar: http://www.hidayatullah.com/

(2) Menulis secara Cepat


Tulislah apa saja yang terlintas di pikiran kita. Dengan begitu, kita bisa menulis secara cepat. Bahkan mungkin hanya dalam hitungan menit. Menulis seperti ini harus sering kita latih. Ide-ide mengenai apa yang akan ditulis jangan terlalu lama mengendap di pikiran kita. Memang pada saat-saat tertentu ada waktunya kita mengendapkan ide tersebut. Tapi yang patut diingat, ide tersebut akan beterbangan ke mana-mana jika tidak secapatnya diikat dengan tulisan.

Bagaimanakah caranya menulis secara cepat? Pada intinya, selain mengikat ide dalam bentuk tulisan, menulis secara cepat juga merupakan cara efektif untuk menggedor inspirasi kita. Prinsipnya, tulisan terdiri dari paragraf-paragraf. Paragraf terdiri dari kalimat-kalimat. Kalimat terdiri dari kata-kata. Kata terdiri dari huruf-huruf. Sehingga, tulisan sepanjang apapun itu hanyalah merupakan rangkaian huruf-huruf.

Salah satu cara untuk melatih menulis cepat adalah menggunakan memori asosiasi. Ini adalah cara menghubung-hubungkan kata demi kata. Tuliskan saja kata apapun itu yang terlintas di pikiran kita, yang kata-kata tersebut bisa kita hubung-hubungkan. Misal:air-laut-kapal-titanic- dan seterusnya.

Jika sudah habis kata-katanya, maka mulailah dengan kata yang baru, misal: air-mandi-sabun-iklan-televisi-elektronik-fisika-ilmu alam-pendidikan-dan seterusnya.

Jika habis kata-katanya, maka mulailah lagi dengan kata yang baru yang dimulai dengan air. Jika tak ada lagi kata yang bisa dikeluarkan dari air, maka mulailah dari kata selanjutnya, misal: laut-ikan-goreng-wajan-kompor-minyak-pertamina-BUMN-negara-presiden-pemilu-kampanye- dan seterusnya.

Jika sudah habis kata-katanya, maka lakukanlah lagi pada kata yang lainnya. Begitu seterusnya. Jika ada kata yang terulang, berarti kita sudah kehabisan kata. Maka mulailah lagi pada kata yang lainnya. Sehingga kata-kata yang kita tulis itu tak ada satu pun yang sama, semuanya unik.

Untuk memudahkan, maka kita bentuk semacam bagan. Lagi-lagi, ini hanyalah latihan. Bagi yang sudah lancar, maka bisa langsung sambil menulis. Ketika menulis, gunakanlah metode ini. Dijamin, kita takkan pernah kehabisan kata-kata, karena setiap kata akan terhubung dengan kata-kata lainnya.

Tak ada kata "sulit" untuk menulis secara cepat. Begitu terlintas di pikiran kita, maka langsunglah ditulis, ditulis terus, dan teruslah menulis. [Hanafi Mohan/Ciputat, Kamis 26 Februari 2009]


Tulisan ini dimuat di: http://www.hanafimohan.com/

Sumber Gambar: http://fineartamerica.com/

(1) Menulis dengan Emosi


Mengutip ceramah dari seorang Doktor, bahwa menulis adalah salah satu media untuk menyalurkan emosi kita. Selain menulis, seni juga merupakan media penyaluran emosi yang begitu efektif. Orang yang memiliki jiwa seni kemungkinan juga merupakan orang yang memiliki hati yang lembut. Nah, lantas bagaimana jika emosi, seni, dan menulis menjadi satu kesatuan kegiatan? Tentunya akan menghasilkan karya yang begitu menakjubkan, seperti novel, cerpen, puisi, syair, lirik lagu, komposisi musik, dan karya-karya yang serupa yang di dalamnya merupakan gabungan emosi, seni, dan tulisan.

Jadi, bagi siapapun yang memiliki emosi yang susah dikendalikan, maka cobalah menyalurkan emosi tersebut melalui tulisan. Curahkanlah kesedihan, kesusahan, kekecewaan, kemarahan, dan emosi apapun itu melalui tulisan. Ketika tersadar dari emosi tersebut, ternyata tulisan kita sudah berlembar-lembar banyaknya. Barulah kita sadar, ternyata emosi kita sudah terekam begitu rupa di dalam tulisan. Atau bisa juga emosi tersebut dijadikan sebagai pemicu dalam menulis. Maksudnya, bisa saja tulisan kita itu tidak berhubungan dengan emosi kita, melainkan emosi tersebut hanya dijadikan sebagai pemicu dalam menulis. Ketika hal ini dilakukan, tangan ini akan terus menggoreskan pena di atas kertas, jari-jari ini akan terus menari-nari di atas tuts keyboard, hanya mata yang ngantuk yang akan menghentikannya.

Tulisan yang disertai dengan emosi biasanya menjadi tidak kering, bahasanya mengalir bagaikan arus sungai yang menuju ke laut: lambat, kadang deras, atau tak jarang juga berhenti untuk mengumpulkan tenaga. Tulisan yang disertai dengan emosi biasanya sangat enak untuk dibaca. Yakinlah, kalau ada tulisan yang tidak enak dibaca, mungkin tulisan tersebut tidak ditulis dengan emosi.

Dia meledak-ledak, mengharu-biru, membahana semesta raya, menyambar-nyambar, kilatan-kilatannya memercikkan kecemerlangan, gilang-gemilang, dan terang-benderang di semesta raya. Menulis dengan emosi adalah saat-saat terindah bagi para penulis, saat-saat yang memberikan kepuasan tersendiri bagi penulis dalam mendaki hingga mencapai puncak yang menakjubkan. Sensasi dari menulis seperti ini begitu hebatnya, bukan hanya bagi penulisnya, melainkan pembacanya pun merasakan sensasi yang luar biasa dari tulisan tersebut.

Menulis dengan emosi, sudahkah anda mencobanya? [Hanafi Mohan/Ciputat, Kamis 24 Juli 2008]


Tulisan ini dimuat di: http://www.hanafimohan.com/


Sumber Gambar: http://www.penulisartikelmalaysia.com/

Jumat, 20 Februari 2009

(2) Menulis dalam Kepastian


Hidup kita selalu diiringi keraguan dan kepastian. Ketika keraguan menyergap kita, maka kita akan mengatakan, bahwa kita sedang mengalami ketidakberuntungan. Sebaliknya, ketika kepastian yang ada di depan kita, maka kita akan mengatakan, bahwa kita mengalami keberuntungan.

Tapi jangan salah, setiap ada kepastian, maka akan ada keraguan yang lain menyelinap dalam kepastian itu. Sehingga kita memang harus bisa memanfaatkan kepastian untuk sesuatu yang positif, salah satunya adalah menulis.

Namun patut juga diingat, bahwa kepastian terkadang melenakan kita, sehingga tak ada satupun hal positif yang bisa kita hasilkan. Tak jarang kepastian itu menyeret kita ke dalam jurang kehancuran. Bukan kehancuran biasa, melainkan sering juga kehancuran yang luar biasa, yaitu kehancuran yang berkeping-keping.

Dalam kepastian, maka renangilah ia, sehingga kita akan mendapatkan pencapaian-pencapaian yang berharga. Menulislah dalam kepastian ini, karena menulis adalah salah satu tonggak kita mengabadikan kepastian tersebut. Kalahkanlah keraguan yang selalu mengiringi kepastian itu. Ketika keraguan menyelinap ke dalam kepastian itu, maka kita harus sesegera mungkin menyalipnya, sehingga muncullah kembali kepastian sebagai pemenangnya.

Anggaplah menulis sebagai salah satu perjuangan kita mengalahkan keraguan untuk mencapai kepastian. Jadikanlah menulis sebagai ajang kita membentur-benturkan keraguan dan kepastian. Menulislah selagi kita ragu. Menulislah selagi kita tidak ragu. Dan menulislah ketika kita berada di antara keduanya.

Enyahkan keraguan, raih kepastian, kemudian menulislah, menulis lagi, dan terus menulis. Jangan pernah menyerah, sekalipun kita berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan, karena menyerah tak lain merupakan awal dari kekalahan. Karena dengan menyerah, berarti kita telah membunuh diri ini secara perlahan-lahan. [Hanafi Mohan/Ciputat, Rabu 19 Februari 2009]



Sumber Gambar: Fans Page "Puasa Sunnah Senin-Kamis"

(1) Menulis di Tengah Keraguan


Setiap kita pasti pernah merasa berada dalam kondisi keraguan ketika mengerjakan sesuatu, tak terkecuali ketika menulis. Pertanyaannya, mungkinkah kita bisa menulis dalam kondisi keraguan? Atau, mungkinkah kita berkeinginan untuk menulis ketika kondisi ini muncul?

Keraguan sebenarnya tak lebih merupakan kondisi kejiwaan sesaat. Ia muncul ketika di depan kita dihadang oleh ketidakpastian. Setiap kita harus melawan keadaan ini. Kita harus sesegera mungkin keluar dari kondisi yang tidak menguntungkan tersebut. Ketika kita bisa keluar dari lubang jarum ketidakpastian, maka kita akan menjadi pemenang pada peperangan di dalam batin kita ini.

Seorang penulis harus bisa mengelola kondisi-kondisi seperti ini, sehingga kondisi tersebut bukannya menjadi batu penghalang dan momok yang menakutkan, melainkan menjadi pemacu untuk terus berkreatifitas. Setiap penulis harus bisa menjadikan segenap hal yang dihadapinya sebagai inspirasi positif. Setiap penulis mau tidak mau harus menggedor, kemudian mendobrak kebuntuan pikirannya sehingga keluarlah berbagai macam inspirasi cemerlang dari gelap pekatnya kabut asap yang menyelimuti kepalanya.

Musuh utama hidup kita bukanlah orang lain, tetapi diri kita jualah musuh kita itu. Energi negatif dan energi positif selalu berada dalam kedirian kita. Dua energi ini bertempur habis-habisan saling kalah-mengalahkan. Setiap kita memiliki kedua potensi ini, tinggal kemudian tergantung kitalah yang mengelolanya. Jangan membenci keraguan, karena keraguan adalah awal dari ketidakraguan, awal dari kepastian. Ketika kita sudah mendapatkan kepastian, maka akan ada lagi keraguan yang lain menyelinap masuk dalam kepastian yang sudah kita raih itu. Begitulah seterusnya.

Percayakah anda, bahwa tulisan ini ditulis ketika aku berada dalam keraguan yang begitu mendalam. Tapi siapa sangka ternyata keraguan itu telah membawaku untuk menulis. Tanpa sadar, keraguan itu telah menghasilkan tulisan ini yang terdiri dari 283 kata, 1.810 karakter, dan 6 paragraf.

Bagaimanakah dengan anda? [Hanafi Mohan/Ciputat, Kamis 19 Februari 2009]



Sumber Gambar: http://el-faqir.blogspot.com/

Selasa, 17 Februari 2009

Obskurantisme Intelektual

Semangat obskurantisme atau kemasabodohan intelektual akibat berbagai faktor ekstern dalam proses-proses dan struktur-struktur politik dalam sejarah perkembangan Islam sedemikian mencekam, sehingga mewarnai sikap intelektual sebagian besar kaum Muslim. Dalam pandangan mereka, ilmu pengetahuan telah “habis”, dan yang tersisa ialah mencerna apa saja yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Stagnasi ini tidak dirasakan oleh kaum Muslim, seolah-olah segala sesuatu terjadi secara wajar saja, sam¬pai akhirnya mereka terhentak dan kalah oleh bangkitnya bangsa-bang¬sa yang selama ini mereka remehkan, yaitu bangsa-bangsa Eropa Barat, atau lebih persisnya, Barat Laut, bangsa-bangsa pelopor umat ma¬nu¬sia untuk memasuki Zaman Mo¬dern.

Banyak ahli yang mengatakan, semua ini diawali karena umat Islam terkena penyakit “puas diri”, akibat dominasi mereka atas kehidupan di muka bumi selama berabad-abad (dalam perhitungan konservatif setidaknya selama delapan abad, yang berarti empat kali lebih panjang daripada masa domi¬nasi Eropa Barat yang sudah berlangsung selama dua abad ini). Ketika mereka dikejutkan oleh datangnya tentara Prancis ke Mesir di bawah Napoleon yang dengan amat mudah mengalahkan mereka itu, keadaan sudah sangat terlambat, sehingga dorongan ke arah kebangkitan kembali yang muncul sejak itu sampai sekarang belum mencapai tujuan yang dimaksud.

Tetapi tentu saja umat Islam masih tetap mempunyai kesempatan yang baik. Berbagai gejala masa-masa terakhir ini, yang biasanya diletakkan dalam bracket “kebangkitan Islam”, dapat diacu sebagai petunjuk adanya masa depan yang baik, setidaknya lebih baik daripada sekarang, apalagi dari¬pada masa obskurantisme se¬perti di atas. Sebuah adagium mung¬kin relevan dengan masalah ini yaitu yang berbunyi: “Tidak akan menjadi baik umat ini kecuali dengan sesuatu yang telah membuat baiknya umat terdahulu”. Sementara banyak tafsiran yang berbeda-beda tentang apa “yang membuat baik umat terdahulu”, namun dari pembacaan kepada sejarah peradaban Islam, khususnya sejarah pemikirannya, jelas bahwa yang membuat baik mereka generasi Islam klasik itu ialah apa yang dalam ungkapan kontemporer dinamakan “Etos Ilmiah”.

Berbeda dengan obskurantisme, etos ilmiah yang benar harus memandang bahwa ilmu tidak mempunyai batas (limit), melainkan ilmu hanya mempunyai perbatasan (frontier), yaitu ujung terakhir perkembangan pemikiran ilmiah. Batas atau limit ilmu hanya ada pada Allah, karena itu tak terjangkau. Tetapi perbatasan atau frontier ilmu hanyalah produk kemampuan manusia sendiri yang tidak sempurna, karena itu harus selalu diusahakan untuk ditembus dengan keberanian intelektual serta kreativitas dan orisinalitasnya. Semuanya itu memerlukan suasana yang bersifat kondusif. Suasana itu tidak lain, seperti dikemukakan K.H. Hasyim Asy’ari, ialah toleransi dan saling menghargai dalam perbedaan.


Sumber:
Sumber: Budhy Munawar-Rachman (editor), Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Sketsa Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, diterbitkan oleh: Mizan, Paramadina, Center for Spirituality & Leadership, 2007/2008

Obsesi pada Keadilan

Salah satu bahasa politik yang sangat dominan ialah keadilan. Marshall Hodgson ambisius sekali untuk menulis sejarah dunia, tetapi dia mempunyai wawasan yang barangkali untuk orang lain agak aneh, bahwa pusat sejarah dunia adalah sejarah Islam. Karena itu, sebelum menyusun sejarah dunia, dia menyusun sejarah Islam terlebih dahulu. Dalam buku The Venture of Islam (usaha keras perjuangan Islam) sesungguhnya dia ingin mengatakan bahwa Islam itu membawa suatu misi the challenge of Islam, yakni menegakkan keadilan. Hal ini terlihat dari bukunya yang dimulai dengan kutipan Al-Quran, Kamu adalah umat terbaik dilahirkan untuk segenap manusia, menyuruh orang berbuat benar dan melarang perbuatan mungkar serta beriman kepada Allah (Q., 3: 110). Ayat ini menimbulkan suatu etos di kalangan umat Islam yang didorong oleh kewajiban untuk menegakkan keadilan. Jadi, menurut Hodgson, Islam memperoleh keberhasilan yang sangat luar biasa. Namun demikian, seperti dikatakan Fazlur Rahman, Islam menjadi korban dari keberhasilannya sendiri.

Jelas bahwa keadilan menjadi obsesi umat Islam. Tetapi, apa yang disebut keadilan itu bermacam-macam. Harun al-Rasyid, misalnya, diberi gelar al-Rasyîd yang berarti adil karena dia dipandang sebagai pemimpin yang memang adil. Tetapi, seandainya Harun al-Rasyid menjadi raja kita sekarang, barang¬kali setiap hari kita mela¬kukan demonstrasi. Kalau menurut ukur¬an sekarang, Harun al-Rasyid adalah pemimpin yang sangat zalim, karena ia meng¬gunakan uang negara semaunya. Sebagai contoh, ada seorang penyair tiba-tiba membaca syairnya, lalu ia ambilkan uang dari kas negara, seperti dikisahkan dalam Seribu Satu Malam.

Pemerintahannya juga diwarnai kemewahan yang luar biasa. Sebagai ilustrasi, film Mesir mengenai Rabi’ah al-‘Adawiyah. Orang-orang membayangkan bahwa sebuah negara Islam seperti yang dialami Harun al-Rasyid bersih sekali, tidak ada minuman keras dan sebagainya. Padahal, pekerjaan para pejabatnya sehari-hari adalah minum-minum. Sekalipun film itu adalah sebuah rekonstruksi, tetapi karena orang-orang Mesir terlibat baik dengan ini semua, maka mereka berusaha mem¬¬¬-be¬ri¬kan ilustrasi dengan sebaik-baiknya. Jadi, keadilan pun kemudian terikat oleh ruang dan waktu. ***

Sumber:
Sumber: Budhy Munawar-Rachman (editor), Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Sketsa Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, diterbitkan oleh: Mizan, Paramadina, Center for Spirituality & Leadership, 2007/2008

Menjadi Ummatan Wasathan

Jika kita memperhatikan berbagai macam pertandingan, selalu ada yang disebut wasit. Sering orang tidak sadar, bahwa kata “wasit” itu berasal dari Bahasa Arab, yaitu dari kata “wasatha-yasithu-wasathan“, yang artinya adalah orang yang ada di tengah-tengah. Wasit ini tidak memihak, tetapi ia memberikan keputusan secara adil.

Berkaitan dengan keadaan kini, telah berkembang berbagai macam pemahaman agama. Salah satunya adalah yang dikenal dengan “trans-nasionalisme”, yaitu paham-paham keagamaan dari luar. Akhir-akhir ini, paham-paham tersebut sering mengusik kita.

Bagaimanakah sikap kita menghadapi hal ini? Kita harus menjadi ummatan wasathan, yaitu umat yang ada di tengah-tengah. Maksudnya, kita menjadi umat yang tidak ekstrim. Ekstrim ini terbagi dua: Pertama, kelompok fundamentalis sempit. Kedua, kelompok liberalis.

Mengapa kita menjadi Ummatan Wasathan? Mengenai hal ini, di dalam Alquran disebutkan:

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Q.S. Al-Baqarah: 143)

Pengembangan kata “wasathan” menjadi “tawassatha“, seperti “tawassathal makaana awil qawma” yang berarti berada di tengah-tengah suatu tempat ataupun suatu kaum (masyarakat).

Selanjutnya, istilah “Ummatan Wasathan” juga berarti umat pertengahan, umat yang moderat, dan teladan, yaitu umat Islam yang tidak memihak aliran ataupun golongan-golongan tertentu yang bersifat ekstrim. Yang satu adalah kubu yang memberat-beratkan agama. Menurut mereka semuanya bid’ah. Sedangkan kubu yang satunya lagi suka meringan-ringankan agama. Menurut mereka, semuanya boleh. Dalam hal ini, kita tidak memihak kedua-duanya, kita berada di tengah-tengah.

Karena itulah, ciri umat ini adalah berpikir secara holistis (menyeluruh). Tidak hanya mengambil satu ayat, melainkan setiap ayat dikaitkan dengan ayat lain. Tidak hanya itu, juga dikaitkan dengan hadis, serta pandangan-pandangan para sahabat Rasulullah. Selain itu, kita juga harus bersikap tawazzun (seimbang), karena segala sesuatu yang seimbang itu baik. Selain itu, kita harus bersikap i’tidal (lurus).

Ada kelompok (aliran) yang ekstrim, yang mereka ini selalu memilih dan memilah ayat-ayat Alquran ataupun Hadis hanya yang sesuai dengan doktrin yang dikembangkan di dalam aliran tersebut. Kelompok yang ekstrim ini misalkan adalah Aliran Khawarij dan Murji’ah. Aliran Khawarij mengambil teks Alquran dan Hadis yang nadanya keras dan sempit. Sebaliknya, aliran Murji’ah hanya mengambil ayat-ayat Alquran dan Hadis yang bernada ringan dan amat mudah.

Kajian mengenai Ummatan Wasathan ini dianggap relevan pada masa kini, karena dalam perkembangan kini banyak pandangan-pandangan keagamaan yang berkembang di masyarakat yang mengarah pada sikap ekstrim, baik yang menuju pada fundamentalisme sempit dan kaku, maupun yang menuju pada pemahaman yang terlampau liberal dan kebablasan. Kedua-duanya kita tolak.

Sebagaimana kita ketahui, akhir-akhir ini terdapat dua kelompok ekstrim ini. Kedua kelompok ini terus menyerbu pemahaman agama mayoritas kaum muslimin, terutama merambah pada generasi muda yang sangat cekat dan minim pemahaman agamanya. Kelompok-kelompok ini terus mengusik kita. Mereka terus mengembangkan paham keagamaannya melalui kecanggihan teknologi yang terus berkembang dari masa ke masa.

Contoh sederhana tentang pemahaman yang ekstrim dari kelompok tersebut, misalkan dalam memahami sabda Rasulullah berikut ini:

Hadis pertama

Sesungguhnya yang pertama kali dihisab bagi seorang hamba adalah salat. Maka apabila salatnya baik, sungguh dia telah beruntung dan selamat. Dan apabila salatnya rusak, sungguh dia telah celaka. (H.R. Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Hadis kedua

Sesungguhnya perbedaan antara seorang pria mukmin dan kafir adalah meninggalkan salat. (H.R. Muslim)

Hadis ketiga

Perjanjian yang mengikat antara kami dan mereka adalah salat. Maka barangsiapa yang meninggalkannya, maka sungguh dia telah menjadi kafir. (H.R. Tirmidzi)

Oleh kelompok fundamentalis, hadis ini dipahami secara tekstual. Menurut mereka, bahwa orang yang meninggalkan salat berarti telah menjadi kafir. Dengan demikian, berarti orang-orang yang meninggalkan salat itu boleh diperangi.

Berbeda dengan kelompok fundamentalis, maka kelompok liberalis mengemukakan hadis-hadis berikut ini:

Hadis pertama

Tidak ada seorang hamba pun yang sudah mengucapkan laa ilaaha illallah kemudian ia wafat kecuali orang tersebut masuk surga. (H.R. Bukhari dan Muslim/Muttafaq Alaih)

Berkaitan dengan hadis ini, ketika itu Rasulullah ditanya oleh para sahabat, “Ya Rasulullah, apakah ia akan tetap masuk surga walaupun telah berbuat zina ataupun mencuri?”

Rasulullah menjawab, “Ya, meskipun ia berzina dan mencuri.”

Kemudian ditanya lagi oleh para sahabat dengan pertanyaan yang sama, lalu dijawab Rasulullah dengan jawaban yang sama pula, bahkan terulang hingga tiga kali.

Hadis kedua

Tak ada satu orang pun yang bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan Muhammad rasul Allah yang ucapan itu betul-betul keluar dari kalbunya yang suci kecuali Allah mengharamkan orang tersebut masuk neraka. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini disampaikan Rasulullah ketika mengadakan perjalanan ke luar kota bersama Mu’adz bin Jabal. Lalu dengan penuh semangat Mu’adz mengatakan kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, apakah boleh berita ini aku sampaikan kepada semua orang, supaya mereka berbahagia?”

Rasulullah pun mengatakan, “Kalau begitu Mu’adz, nanti orang akan meremehkan agama.”

Maka sejak itu Mu’adz tidak berani menyampaikan hadis ini, sampai ia memasuki usia tua. Ketika rambutnya sudah memutih beruban, tulangnya sudah rapuh, pandangan matanya sudah agak kabur, dia khawatir kalau dia termasuk orang yang menyembunyikan hadis. Karena itulah, ia menyampaikan hadis ini kepada orang-orang yang bisa memegang amanah.

Hadis ini terdapat di dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim, Riyadush Shalihin, dan juga Al-Lu’lu’ Al-Marjan.

Hadis ketiga

Maka sesungguhnya Allah telah mengharamkan masuk neraka bagi seorang yang mengucapkan laa ilaaha illallah yang semata-mata mengharapkan ridha Allah. (H.R. Bukhari)

Hadis-hadis di atas dipahami oleh kelompok liberalis dengan pemahaman tekstual juga (sama halnya dengan kelompok fundamentalis yang memahami hadis secara tekstual).

Dengan demikian, kelompok liberalis memahami, bahwa yang paling penting adalah ucapan kalimah syahadah “asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah“. Apabila seseorang telah mengikrarkan kalimat tersebut benar-benar dari kalbunya yang suci, maka ia telah menjadi seorang muslim, terlepas dari azab neraka, dan masuk surga. Mengenai dosa-dosa yang pernah dikerjakannya, maka hal itu adalah urusan pribadinya dengan Allah.

Pemahaman yang kita kembangkan kini adalah memahami hadis-hadis yang diungkapkan tadi secara holistik (menyeluruh), tawazzun (seimbang), i’tidal (lurus), serta tidak memihak. Sehingga pemahamannya bersifat integral dan komprehensif, serta tidak parsial (sebagian-sebagian).

Hadis-hadis yang diungkapkan oleh kelompok pertama adalah untuk menegaskan betapa pentingnya ibadah salat. Karena itulah, salat tidak boleh ditinggalkan. Bukan untuk menghukumi orang yang meninggalkan salat sebagai orang kafir, musyrik, ataupun murtad, melainkan menekankan bahwa salat adalah kewajiban yang tak boleh ditinggalkan. Kafir dalam pemahaman ini adalah berarti mengingkari sebagian perintah Allah. Walaupun ia berbuat maksiat, namun selama ia tidak bersikap menentang perintah Allah, maka ia tetap menjadi seorang muslim.

Beda halnya antara orang yang tidak salat karena malas dengan orang yang tidak salat karena menentang perintah salat tersebut. Kalau ia menentang perintah salat, maka bisa digolongkan sebagai orang yang murtad. Tapi kalau ia tidak salat karena malas, maka merupakan hal yang berbeda. Yang seperti ini disebut sebagai mu’min ‘ashi (mukmin yang berbuat maksiat). Ia tetap muslim, bukan kafir. Tidak halal darahnya, karena ia sudah mengucapkan kalimah syahadah.

Di dalam Alquran, terdapat beberapa pemahaman berkenaan dengan istilah “kafir“, yaitu:

Pertama, kafirun bi wujudillah (kafir terhadap wujud Allah), atau biasa disebut atheis, yaitu mengingkari adanya Tuhan. Jenis ini jelas-jelas merupakan kafir.

Kedua, kafirun bi wahdaniyatillah (mengingkari terhadap keesaan Allah). Ini disebut sebagai musyrik. Seperti halnya yang pertama, maka ini juga jelas-jelas kafir.

Ketiga, kafirun bi risalati Muhammadin (mengingkari terhadap risalah Nabi Muhammad). Hal ini seperti orang Yahudi. Syahadat mereka meyakini Allah itu esa, tetapi mereka tidak menerima ajaran Nabi Muhammad. Ini disebut juga sebagai kafir ahlul kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani.

Keempat, kafirun bi an’umillahi (mengingkari nikmat Allah). Yang termasuk ke dalam golongan ini mungkin bisa jadi kita.

Firman Allah:

Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari ni`mat-ni`mat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (Q.S. An-Nahl: 112)

Jadi, kafir yang dimaksud adalah kafir terhadap nikmat Allah. Meskipun secara tekstualnya disebut sebagai “kafara“, tetapi bukan berarti mereka itu murtad. Dan bukan pula mereka itu orang kafir yang berbeda akidah dengan kita, melainkan mereka itu muslim juga, tetapi mereka mengingkari nikmat Allah. Karena itulah, kita biasanya berdoa, seperti yang termaktub di Alquran:

maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdo`a: “Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri ni`mat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh“. (Q.S. An-Naml: 19)

Hadis-hadis yamg disampaikan oleh kelompok kedua, dipahami bahwa ikrar kalimah syahadah itu tidak cukup dengan mengikrarkan saja, tetapi harus dibuktikan dengan amal perbuatan dan ketaatan yang sungguh-sungguh pada Allah. Seperti yang disebutkan pada hadis itu, “sidqan min qalbihi” (betul-betul diungkapkan dari kalbunya yang suci).

Maksudnya, bahwa syahadat itu betul-betul berpengaruh dalam prilakunya. Artinya, bahwa orang tersebut sudah menjadi seorang muslim. Apakah muslim itu? Yaitu taat, tunduk, dan patuh kepada Allah. Dengan demikian, orang tersebut pasti melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Beginilah seharusnya pemahaman terhadap hadis tersebut. Kalau dia syahadat, tapi tidak salat, maka berarti syahadatnya tidak betul dan juga bohong. Syahadatnya tidak “sidqan min qalbihi“, namun hanya lip service. Kalau syahadatnya betul, pasti dia melaksanakan salat, karena syahadat merupakan pernyataan untuk tunduk dan patuh pada Allah yang konsekuensi logisnya harus mentaati perintah Allah, dan salah satu perintah Allah adalah salat. Demikian juga dengan perintah Allah yang lainnya, yaitu puasa, zakat, dan haji.

Kalimat “sidqan min qalbihi” yang disebutkan pada hadis di atas menunjukkan bahwa setiap orang yang telah mengikrarkan kalimah syahadah berarti ia telah tunduk, taat, patuh, dan menyerahkan diri kepada Allah. Karena itulah, ia akan melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya secara konsekuen, termasuk yang ditegaskan pada Rukun Islam, dan juga kewajiban-kewajiban lainnya. Dengan pemahaman tersebut, maka dikembangkanlah pemahaman yang berciri tawassuth (pertengahan), tawazzun (seimbang), i’tidal (lurus), integral dan komprehensif menyeluruh.

Untuk melacak lebih jauh akar sejarah dari perselisihan dan pertentangan dua kelompok ini, akan lebih jelas jika kita mengikuti kembali sejarah timbulnya aliran-aliran dalam Islam.

Dari berbagai kenyataan ini, maka kita kembali harus mengembangkan pemahaman yang lurus. Bagaimanakah agar kita bisa mengidentifikasi ciri-ciri mereka (dua ekstrim tersebut)? Kita bisa mengidentifikasi dua ekstrim ini dari tiga macam:

Pertama, pengajian-pengajian mereka eksklusif (tertutup), dan juga sembunyi-sembunyi. Kalau anak-anak kita sudah masuk ke dalam kelompok yang tertutup seperti ini, maka berhati-hatilah. Mengapa dilakukan secara sembunyi-sembunyi? Karena di dalamnya ada proses pendoktrinan.

Kedua, apabila ada guru yang mendoktrinkan tidak boleh belajar kepada orang lain. Justru kalau guru yang benar, maka mereka akan menyuruh untuk belajar kepada guru yang lain sebagai perbandingan.

Ketiga, memilih-milih ayat Alquran dan Hadis yang sesuai dengan doktrin yang dikembangkan di dalam aliran tersebut.

Untuk menghadapi kelompok-kelompok ini, maka belajarlah agama pada ahlinya. Dengan begitu, insya Allah kita akan menjadi Ummatan Wasathan. Dalam hal pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran dan juga Hadis, kita harus mengikuti petunjuk-petunjuk tafsir Alquran. Semoga kita selalu mendapatkan bimbingan dari Allah untuk menjadi Ummatan Wasathan. []

Disarikan dari Ceramah Ahad yang disampaikan oleh Dr. KH. Zacky Mubarak, M.A. pada tanggal 18 Januari 2009 di Masjid Agung Sunda Kelapa-Jakarta. Transkriptor: Hanafi Mohan.

Sumber:
http://thenafi.wordpress.com/2009/01/29/menjadi-ummatan-wasathan/

[Cerpen] Bulan dan Bintang


Pada suatu malam di sebuah taman, duduklah dua orang pria. Yang satunya seorang mahasiswa, sedangkan yang seorang lagi adalah tukang kebun taman itu.

Si Mahasiswa bertanya kepada tukang kebun itu, “Bang, manakah yang lebih besar, bintang ataukah bulan yang sedang kita lihat di langit kini?”

“Ya jelas bulan lah yang lebih besar dari bintang,” jawab Si Tukang Kebun dengan lugas.

“Abang salah. Yang besar itu bintang.”

Mendengar jawaban itu, Si Tukang Kebun berkata lagi dengan agak kesal, “Adik ini bagaimana sih? Udah gila kali ya? Udah jelas kok bulan yang lebih besar.”

Kemudian, dua orang itu saling mempertahankan pendapat. Suatu ketika di tengah perdebatan, Si Mahasiswa menantang Si Tukang Kebun untuk menanyai orang-orang yang sedang berada di taman. Jika pendapatnya lebih banyak didukung orang-orang tersebut, maka dialah yang menang. Taruhannya, yang kalah membayar uang seratus ribu rupiah kepada yang menang. Tantangan itu tak mengendurkan Si Tukang Kebun, malahan ia semakin bersemangat untuk memenuhinya.

Singkat cerita, lalu orang-orang yang ada di taman ketika itu mereka tanyai. Ada orang-orang yang sedang menyendiri, ada kumpulan orang yang sedang bercengkerama, serta banyak lagi yang lainnya.

Hasilnya, mayoritas orang-orang mendukung pendapat Si Tukang Kebun. Betapa senangnya Si Tukang Kebun, karena telah memenangkan pertaruhan itu dan mendapatkan seratus ribu rupiah dari Si Mahasiswa. Sedangkan Si Mahasiswa masih menyimpan kekesalan atas kekalahannya. Namun karena ia tipe orang yang menepati janji, ia pun mengaku kalah.

* * *

Si Mahasiswa kini sudah berada di rumahnya. Semalaman ia terus dibayangi kegelisahan. Gelisah karena ilmu yang ia pelajari selama ini tak ada gunanya di hadapan seorang tukang kebun. Menurut prasangkanya, bahwa mungkin saja orang-orang yang mendukung pendapat Si Tukang Kebun itu tak lain merupakan konco-konconya. Atau mungkin ini…, atau mungkin itu…, dan masih banyak lagi prasangka-prasangka lainnya. Hal ini di satu sisi menggembirakannya. Karena menurut prasangkanya itu, Si Tukang Kebun tak lebih hanyalah seorang bodoh yang pendapatnya didukung oleh orang-orang bodoh lainnya yang bersekongkol dengannya.

Namun, masih juga tersisa setumpuk kegelisahan di hati dan pikirannya. Jika memang Si Tukang Kebun dan orang-orang yang sependapat dengannya itu adalah orang-orang bodoh, sungguh betapa hina dirinya yang berpendidikan. Kebenaran yang ia usung yang didukung oleh ilmu pengetahuan kalah di hadapan orang-orang bodoh yang mengusung kesalahan. Atau mungkin sebaliknya, akulah orang yang bodoh, sedangkan mereka adalah orang-orang yang pintar, karena sudah bisa mengalahkanku. Atau merekalah pengusung kebenaran itu, karena mereka sudah bisa mengalahkan kesalahan yang aku usung.

Berputar-putar terus pikirannya semalaman. Hati dan pikirannya memang betul-betul menjadi tidak tenang. Kemudian ia teringat akan suatu perkataan yang ia agak lupa pernah dikatakan oleh siapa. Begini perkataan itu, “Kejahatan yang terorganisir bisa mengalahkan kebaikan yang tak terorganisir.” Kemudian ada lagi perkataan lain yang hampir serupa, yaitu, “Kesalahan yang diucapkan oleh seribu orang akhirnya akan menjadi kebenaran.”

Apakah ini yang terjadi pada diriku? benaknya. Kalau memang seperti itu keadaannya, maka aku memiliki kewajiban untuk menegakkan kebaikan dan kebenaran itu, yaitu kebaikan dan kebenaranku yang telah dikalahkan oleh kejahatan dan kesalahan Si Tukang Kebun dan orang-orang yang sependapat dengannya di taman. Yang kekalahan itu tak lebih hanya karena kebaikan dan kebenaranku tak terorganisir, sedangkan kejahatan dan kesalahan mereka terorganisir. Berarti kini aku harus segera mengorganisir kebaikan dan kebenaranku, sehingga bisa mengalahkan kejahatan dan kesalahan mereka.

Tapi bagaimana caranya? benak Si Mahasiswa. Lagi-lagi ia dihadapkan pada suatu permasalahan baru. Apakah ia harus mencontoh para laskar berjubah putih, berpeci putih, dan berjenggot panjang itu yang sering ia lihat di televisi akhir-akhir ini, yaitu para laskar yang selalu mengusung semboyan “Menegakkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan,” yang mereka-mereka itu menyerang dan menghancurkan secara brutal dan tanpa prikemanusiaan terhadap siapa saja yang mereka anggap telah melakukan kebatilan. Apakah seperti itu caranya mengorganisir dan memenangkan kebenaranku? Hingga di sini, pikirannya terus berkecamuk.

Kemudian, karena sudah larut malam, pikirannya yang berkecamuk itu berhenti dengan sendirinya. Bukan karena kecamuk pikirannya itu memang ingin berhenti, tapi hanya karena matanya yang memang tak dapat diajak kompromi.

Lalu ia pun terlelap. Terlelap dari kecamuk pikirannya.

* * *

Paginya ia terbangun. Agak sedikit tenang memang. Namun, semakin ia berusaha untuk tenang, semakin tidak tenanglah hati dan pikirannya. Taman, Tukang Kebun, Orang-orang di taman, Bulan dan Bintang, Malam, Laskar berbaju putih, dan entah apalagi yang kini mulai merasuk ke pikirannya. Semuanya kembali terkonstruksi membentuk suatu permasalahan, bahkan menimbulkan suatu permasalahan dan pertanyaan baru. Ini tak lain karena matanya kembali terbuka di pagi ini. Andaikan di pagi ini matanya tak terbuka, mungkin hal-hal tersebut tak akan muncul lagi.

Dilihatnya buku-buku yang tertata rapi di rak. Ah, buku …. Masihkah kau berguna untuk menyelesaikan masalah yang kini kuhadapi? benak si Mahasiswa. Sedangkan isimu sudah kubaca semua. Tapi apa? Aku tetap saja kalah di hadapan Si Tukang Kebun.

Buku-buku itu ditatapnya. Benda yang tak dapat bergerak itu seakan-akan kini menariknya untuk mendekat. Ia seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, mengikuti saja tarikan buku-buku itu. Ia semakin mendekat. Dibacanya satu persatu judul-judul buku yang cukup banyak itu. Diambilnya satu buku ilmu alam. Cukup tebal bukunya. Dibukanya, kemudian dibacanya. Pikirnya, mungkin ia akan mendapatkan jawaban dari permasalahan yang sedang dihadapinya.

Ia memang penggila buku, sehingga ia memiliki metode tersendiri untuk membaca buku dengan cepat. Apalagi buku itu memang sudah pernah dibacanya. Setelah cukup teliti, akhirnya ia berkesimpulan, bahwa di buku itu ia tak mendapatkan jawaban yang memuaskan.

Beralih lagi ia ke rak buku. Kembali dilihatnya jejeran buku itu. Mungkin ada yang relevan dengan permasalahan yang sedang ia hadapi, pikirnya. Tertumbuk matanya pada satu buku yang agak tebal. Diambilnya segera buku itu, kemudian dibacanya dengan khidmat.

“Ah…, ternyata sama saja,” tiba-tiba ia berkata setelah dengan seksama membaca buku itu.

* * *

Kini, sudah hampir semua buku ia baca. Dan permasalahan yang ia hadapi tetap tak terjawab. Bayang-bayang keputus-asaan pun kemudian menyelusupi dirinya.

Oh…, haruskah aku menyerah? kembali benaknya berkata.

Karena ia adalah sosok yang tak mudah menyerah, maka keputus-asaan itu hanya beberapa saat membayangi, kemudian semangatnya muncul lagi. Semangat itulah yang mendorongnya untuk kembali ke rak buku. Dilihatnya buku-buku yang tersisa, dicarinya yang relevan. Jika kira-kira relevan, maka buku itu dibacanya dengan teliti. Beberapa kali ia melakukan hal yang sama, namun tetap saja tak menemukan jawaban.

Hingga di suatu saat kemudian, matanya tertumbuk pada buku yang tak terlalu tebal, dan agak usang. Seakan-akan ia baru pertama kali melihat buku itu. Sepertinya ia sudah agak lupa, apakah memang pernah membaca buku tersebut atau tidak? Pikirnya, kalaupun ia pernah membacanya, tak lain hanya iseng, atau tak terlalu serius untuk mengetahui isinya. Kini, ia menjadi tertarik untuk membaca buku tersebut. Tak menunggu lama, diambilnyalah buku tersebut, kemudian dibacanya dengan seksama.

Di tengah-tengah membaca buku tersebut, mulutnya mengeluarkan senyuman. Selain mulutnya tersenyum, wajahnya pun terlihat cerah, secerah matahari yang menyinari bumi. Terbaca olehnya di buku itu, bahwa metode mengetahui kebenaran itu ada tiga: Pertama, melalui inderawi. Kedua, melalui akal. Dan ketiga, yaitu melalui hati. Titik. [-,-]


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hanafi Mohan
Ciputat, Januari – Februari 2008

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


Sumber Gambar: http://ghurabaa786.blogspot.com/

Cerpen: Negeri Cinta

NEGERI CINTA
Cerpen: Hanafi Mohan



Kadang kita tertawa, mengenang masa-masa indah itu. Bisakah kita mengulanginya lagi? Tapi kau hanya terdiam membisu saja ketika kutanyakan itu. Apakah memang kau sudah tidak menginginkan masa-masa itu terulang lagi kini. Atau memang kau sebenarnya menginginkan masa kini yang lebih indah. Atau ... jangan-jangan kau memang benar-benar bisu dan gagu? Tapi, gak mungkin ah. Sampai waktu terakhir kita bertemu, kau masih normal kan? Kau masih sering curhat-curhatan denganku. Kau masih sering nyanyi dengan suara merdumu itu, yang kadang kuiringi dengan gitar. Yang pasti, kini aku yakin, bahwa kau sebenarnya tidak bisu dan gagu.

Aku sebenarnya sudah tak sabar mendengar jawaban darimu. Tapi hingga kini kau masih terdiam membisu. Ayo dong, please deh! Apakah sebenarnya yang sedang engkau pikirkan? Ceritakanlah kepadaku! Biar kita tuntaskan bersama. Tapi kau hanya tersenyum saja. Apakah sebenarnya arti dari senyummu itu? Ah, aku tetap tak bisa mengartikannya. Tolong dong artiin!

Senyummu pun kemudian hilang, seiring dengan hilangnya sinar matahari ditelan oleh lautan. Lalu kau berlari menuju ke pantai. Aku pun mengejarmu. Kau lalu menghindariku, aku pun terus memburumu. Kau pun terus berlari, hingga kaki-kakimu yang indah itu diterjang oleh riak-riak gelombang. Tak peduli, aku terus saja mengejar sosokmu. Kau pun sepertinya sudah kelihatan terengah-engah. Tapi aku tak menghiraukan itu, karena yang kuinginkan hanya kamu seorang.

Kau terengah-engah, namun kau terus berlari. Kini kulihat kau menuju ke tepian. Lalu kau berhenti di bawah naungan sebuah pohon yang ada di tepian pantai itu. Aku heran, mengapa kau berhenti di situ? Kau pun memandangiku dengan pandangan yang menimbulkan berjuta tanya. Aku pun balas memandangimu, sepertinya melalui pandangan matamu itu kau memanggil diriku, kau memanggil jiwaku. Tanpa menunggu lama lagi, aku pun langsung menghampirimu.

Ketika kudekati, kau kembali menghindar. Aku sudah tanggung. Aku pun terus memburumu, kau pun terus menghindar. Lalu kita terus berkejar-kejaran di bawah pohon itu. Kini, entah sudah berapa putarankah kita saling kejar-kejaran ini. Nafasmu terengah-engah, begitu juga aku. Kadang aku yang mengejarmu. Namun karena langkahmu terlalu cepat, kadang suatu waktu keadaan berbalik, kau lah yang seakan-akan mengejarku. Lalu kita berputar-putar di bawah naungan pohon itu, sambil berpegangan di batangnya. Hingga suatu saat, ...

“Kok jadi kaya’ film India sih?” ujarmu tiba-tiba.

“Gak apa-apa. Bodo amat. Daripada kaya’ film Barat, kan lebih repot lagi. Gitu aja kok Freeport?” jawabku sekenanya.

“Emang, repot sih jadi orang Indonesia. Berbuat baik dicurigai, berbuat jahat apalagi. Tidak berbuat apa-apa juga dicurigai. Kalau gitu mati aja dah. Tapi aku yakin kok, suatu saat Indonesia pasti akan berubah,” jawabmu dengan bijaksana.

“Aku pun berucap, Kok ngomongnya jadi lari-lari ke Indonesia sih, kita kan sekarang lagi gak di Indonesia?”

“Emangnya kita lagi di mana sih?” tanyamu.

“Ya ..., kita kan lagi di Republik Cinta?” jawabku.

“Lha, itu kan judul Album Dewa yang paling terbaru, yang ada salah satu lagunya kayak lagu kasidahan, judul lagunya ... Laskar ... Laskar ...”

“Laskar Jihad?”

“Bukan! Itu sih yang suka ngajak-ngajakin orang Islam perang ya ...? Tapi ini ... Laskar ... Laskar ...”

Lalu kita mendengar ada sekelompok pengamen yang sedang ngamen di Pantai Itu. Lagunya kayak gini, Laskar Cinta, taburkanlah benih-benih cinta, ...

“Nah, itu tuh yang barusan dinyanyiin ama pengamen,” katamu.

“Laskar Cinta maksudnya.”

“Iya..., betul sekali. Nilai A buat kamu.”

”Kayak kuliah aja.”

“Tapi, emangnya kita beneran lagi berada di Republik Cinta?” tanyamu dengan keheranan.

“Sebenernya sih, Rebublik Cinta itu berada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Makanya di Indonesia ini bukan hanya ada Republik Cinta, ada juga Khilafah Peperangan, Kerajaan Penindasan, Kesultanan Kekacauan, Kesunanan Kediktatoran, dan Republik BBM.”

“Lha, bukannya Republik BBM itu salah satu negara tetangga Indonesia?” tanyamu lagi.

“Oh ya, maaf. Nah, di Indonesia itu dulunya ada juga pemberontak-pemberontak. Dan mungkin hingga kini pun masih ada pemberontak-pemberontak itu. Misalkan, Gerakan Cinta Merdeka, Republik Kasih Selatan, Gerakan Separatis Cinta, Darul Mahabbah/Tentara Mahabbah Indonesia, Cinta Merdeka, Pergerakan Republik Revolusioner Cinta, Pergerakan Cinta Semesta, Gerakan 30 Hari Mencari Cinta, Gerakan Ratu Cinta, de el el.”

“Oh, berarti Indonesia itu beragam ya,” celetukmu.

“Iya, beragam banget. Nah, baru-baru ini ada juga gerakan-gerakan radikal yang mengtasnamakan cinta dan bertopengkan cinta, antara lain, Front Pembela Cinta, Hizbul Mahabbah Indonesia, Majelis Cinta Indonesia, Partai Cinta Sejahtera, Laskar Cinta Indonesia, de es be. Tapi semuanya itu hanya topeng belaka. Di balik itu, banyak sekali kerusakan yang telah dilakukan oleh gerakan-gerakan tersebut. Walupun tidak semuanya dari gerakan-gerakan tersebut secara langsung melakukan kerusakan, tapi kini indikasi-indikasi ke arah itu sudah mulai kelihatan.”

“Kamu tau gak sih, apa latar belakang kemunculan gerakan-gerakan radikal tersebut,” tanyamu lagi.

“Ooo ..., tau banget,” jawabku.

“Jelasin donk! Aku kan bukan aktifis. Kalau kamu kan sudah ketahuan keaktifisannya.”

“Gerakan-gerakan tersebut terutama sekali dilatar-belakangi oleh tidak adanya ruh cinta pada Republik ini. Terutama sekali para penguasa yang lebih mengutamakan perutnya dan konco-konconya. Sedangkan rakyat dibiarkan menderita. Gerakan-gerakan tersebut terutama sekali memperjuangkan agar Hukum di Indonesia dijalankan sesuai dengan Jalan Cinta. Sehingga akan terciptalah kedamaian dan kemakmuran di negeri tercinta ini. Karena itu, hukum-hukum yang mereka perjuangkan itu dinamakan Jalan Cinta.”

“Lha, itu kan bagus?”

“Memang bagus sih. Namun, segala perjuangan demi kebaikan dan kebenaran itu juga harus dilakukan dengan cara yang baik dan benar pula. Sehingga tidak akan kontraproduktif. Jangan kebalikannya, yaitu dengan cara-cara anarkis dan merusak. Bangsa Indonesia ini kan adalah bangsa yang plural, bangsa yang majemuk, bangsa yang berbhinneka tunggal ika, bangsa yang beragama, bangsa yang bermoral, bangsa yang beretika, bangsa yang lemah lembut, bangsa yang ’nrimo, bangsa yang ...”

“Udah ah, jadi berpanjang lebar begitu. Aku minta jelasin sama kamu satu aja dari yang seabrek-abrek kamu sebutin tadi. Bangsa yang bermoral itu apa maksudnya? Aku gak ngerti. Jelasin dong!” lagi-lagi kamu bertanya.

“Gitu aja kok gak ngerti sih! Kamu kan pernah kuliah juga, sama kayak aku?”

“Aku kan dulu kuliahnya gak pernah dapet yang begituan,” katamu.

“Apanya yang begituan?”

“Yang begituan?”

“Yang begituan ..., anu maksudmu?”

“Idih, otak kamu ngeres deh,” katamu.

“Siapa yang ngeres, kan kamu yang duluan ngeres dan viktornya.”

Kemudian kamu berujar, “Ngeles deh.”

“Soalnya aku dulu waktu kuliah pernah diajarin mata kuliah ilmu ngeles sih. Waktu jadi aktifis, sering ikutan training ngeles. Di training ngeles itu juga diajarin bermacem-macem hal, salah satunya adalah teknik ngeles, yaitu bagaimana ngeles yang baik dan benar, bagaimana ngeles yang efektif dan efisien, bagaimana ngeles yang jujur dan adil, bagaimana ngeles yang cepat dan tepat sasaran, bagaimana ngeles yang bermoral dan beretika, bagaimana ngeles yang berprikemanusiaan dan berprikeadilan, dan sebagainya. Pokoknya banyak deh. Kamu nyesel deh gak pernah jadi aktifis.”

“Iya ya, aku sekarang baru kerasa.”

“Lagian ... siapa yang suruh jadi mahasiswa kupu-kupu.”

“Tuh kan, kamu ada aja istilahnya. Itu tadi mahasiswa kupu-kupu maksudnya apa?”

“Ampun deh. Dasar kamu ini. Selain mahasiswa kupu-kupu, kamu juga kurang gaul,” kataku lagi.

“Andaikan waktu bisa diputar ya? Pasti aku ikutan kayak kamu dulu.”

“Ikutan? Begituan kan gak bisa ikut-ikutan. Jadi aktifis kan gak bisa ikut-ikutan. Melainkan harus dari keinginan diri sendiri. Harus dengan niat yang tulus. Kalau ikut-ikutan, jadi aktivisnya juga aktivis ikut-ikutan, yaitu aktivis yang tidak memiliki idealisme. Yang ada kemudian adalah pragmatisme. [-,-]


Ciputat, 3 – 4 Juli 2006

Sabtu, 07 Februari 2009

Lahirnya Ilmu-ilmu Klasik Islam

Mengapa Islam sekarang ini menjadi “Islam fiqih”, memang ada sejarahnya sendiri. Ciri umat Islam klasik ialah dari segi lahiriah—kesuksesan dalam politik. Begitu Rasulullah wafat, seluruh Jazirah Arabia sudah menyatakan tunduk kepada Madinah. Hal ini kemudian diteruskan oleh para sahabat, sehingga terjadi ekspansi militer dan politik. Dalam tempo seratus tahun kekuasaan Islam telah terbentang dari lautan Atlantik sampai tembok Cina. Sungguh kondisi yang luar biasa, sebab dalam sejarahnya, orang-orang Arab tidak pernah mengenal sistem pemerintahan. Karena itu, ketika ibu kotanya masih berada di Damaskus, mereka secara adminis¬tratif bersandar kepada warisan Bizantium, dan setelah pindah ke Baghdad bersandar kepada warisan Persi.

Itu masalah administrasi pemerintahan. Tetapi dalam masalah hukum, orang Islam waktu itu tidak bisa meminjam dari hukum Yunani, misalnya, atau hukum Persi. Kenapa, karena konsepnya berbeda, sehingga muncul dorong¬an untuk menggali aspek-aspek hukum dari Islam. Itulah sebabnya ilmu Islam yang muncul pertama kali adalah hukum, dan hal ini terjadi karena kebutuhan yang mendesak. Itulah yang sekarang disebut syariat dan kemudian secara arbitrer disebut fiqih. Jadi syariat sebetulnya adalah penamaan kepada bagian khusus dari Islam akibat sejarah. Padahal menurut Al-Quran sendiri yang disebut syariat ialah seluruh agama.

Setelah fiqih muncul dengan wataknya yang berorientasi atau memperhatikan hal-hal lahiriah, maka muncul reaksi, yaitu gerakan tasawuf. Kemudian ada tendensi untuk menangani aspek pemikiran dalam Islam, sehingga muncul pula ilmu kalâm atau logika. Ada satu lagi cabang dari ilmu Islam tradisional selain fiqih, tasawuf, dan kalam, yaitu falsafah. Falsafah sangat banyak menggunakan unsur-unsur luar terutama Yunani yang kemudian “diislamkan”. Atas dasar itu, kita mewarisi paham bahwa seolah-olah ilmu pengetahuan Islam itu empat: fiqih, kalam, tasawuf, dan falsafah.

Dalam perguruan tinggi Islam, fakultas yang mengurusi fiqih ialah Fakultas Syariah, dan yang meng¬urusi kalâm ialah Fakultas Ushulud¬din. Tetapi karena umat Islam sudah melupakan falsafah, maka falsafah tidak menjadi fakultas sendiri, melainkan dimasukkan dalam Fakultas Ushuluddin, yang sebetulnya sejak semula dirancang terutama untuk mempelajari kalâm. Kalâm artinya logika, maksudnya teologi logis (logical theology). Tetapi kalâm sebetulnya tidak semata-mata teologi, dalam arti teologinya orang Kristen yang dogmatis. Hanya orang-orang Jesuit yang mencoba mengubah teologi menjadi falsafah, lalu menghasilkan Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Tetapi pada dasarnya orang Kristen itu dogmatis, “take it or leave it”; ambil atau tinggalkan. Tidak ada pilihan lagi. Dalam Islam tidak demikian. Semuanya dibahas secara logika, karena itu ilmunya disebut kalâm. Maka kalâm dalam terjemahan Inggrisnya bermacam-macam, kadang diterjemahkan logical theology (teologi logis), rational theology (teologi rasional), philo¬sophical theology (teologi falsafah), dan natural theology (teologi alamiah—artinya suatu paham ketuhanan yang didekati melalui proses-proses alamiah, bukan dari doktrin).

Itu suatu fase yang sangat menarik dalam sejarah pemikiran Islam. Melalui proses itu, ilmu kalâm dianggap sebagai salah satu kontribusi yang paling berharga dari dunia Islam kepada pemikiran umat manusia. Orang Yahudi dan Kristen sekarang ini sebetulnya sudah sangat banyak dipengaruhi oleh Islam, terutama dari segi pemikiran teologis. Dua aliran yang sangat berpengaruh dalam Islam, yaitu intuisisme dan rasionalisme yang diwakili oleh al-Ghazali dan Ibn Rusyd, juga mempengaruhi dunia Kristen dalam representasi Bona Ventura di satu sisi (al-Ghazali) dan Thomas Aquinas di sisi lain (Ibn Rusyd). Filosof besar Yahudi, Musa ibn Maimun, juga tidak lain adalah duplikat al-Ghazali dalam berhadapan dengan kelompok-kelompok yang lebih dipengaruhi oleh Ibn Rusyd.

Meskipun ilmu kalâm itu sangat penting, namun sesungguhnya hanya ia satu sisi saja dari Al-Quran. Sekarang ini orang mulai menyadari bahwa banyak kemungkinan pendekatan kepada Al-Quran yang berbeda dengan yang sering dilakukan secara tradisional oleh umat Islam dalam sejarahnya. Tegasnya, mulai ada pendekatan multi disipliner terhadap Al-Quran. Sebab kalau diinventarisasi kandungan Al-Quran, maka akan terlihat bahwa aspek fiqihnya sebenarnya sedikit sekali. Hal-hal yang berkenaan dengan Tuhan yang harus dipahami secara rasional justru jauh lebih banyak. Aspek-aspek spiritualitas seperti yang digarap oleh para sufi ternyata juga lebih banyak dari fiqih. Begitu juga dengan aspek-aspek yang mengandung unsur falsafah menyangkut pendekatan-pendekatan kosmologis kepada kenyataan, alam raya, dan sebagainya, semua itu jauh lebih banyak. Namun, itu belum banyak digali atau dibicara¬kan sehingga tidak menjadi ke¬sadaran orang Islam.

Begitu juga dengan masalah kemanusiaan yang mendapatkan porsi cukup banyak di dalam Al-Quran. Misalnya adalah firman Allah yang berbunyi, Kami telah memberi kehormatan kepada anak-anak Adam; Kami lengkapi mereka dengan sarana angkutan di darat dan di laut (Q. 17: 70). Dengan sendirinya implikasi ayat ini adalah keharusan untuk saling menghormati antara sesama manusia. []


Sumber: Budhy Munawar-Rachman (editor), Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Sketsa Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Yayasan Pesantren Indonesia Al-Zaytun, 2008

Lahirnya Humanisme di Barat

Ketika buku-buku Ibn Rusyd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, lalu disebut sebagai Latin Averoesm atau Averoesme Latin, rupanya pembagian antara khawâs dan awam ini bagi orang-orang Eropa begitu impresif, sehingga mereka langsung mengambil kesimpulan bahwa Ibn Rusyd sebetulnya membela adanya dua kebenaran, yaitu kebenaran falsafi dan kebenaran agama, dan kedua-duanya tidak perlu dipersatukan. Akibatnya ialah mereka betul-betul membedakan antara ilmu dan agama. Itulah permulaan dari sekularisme yang sampai sekarang masih bertahan di Barat. Ia juga muncul di dalam humanisme (paham kemanu¬siaan) di Barat, karena humanisme adalah suatu paham yang mem¬percayai ke¬mampuan manusia terutama kualitas manusia sebagai makhluk. Kalau seorang Barat mengaku sebagai I am humanist, maka itu sebetulnya almost I am a secularist, karena humanisme itu juga berasal dari falsafah Yunani yang distimulir oleh Islam.

Berdasarkan argumentasi di atas, maka secara geneologis paham kemanusiaan atau humanisme di Barat boleh dikatakan mewarisi atau masih merupakan kelanjutan langsung dari pemikiran Islam yang diintrodusir oleh Ibn Rusyd. Ber¬gandengan erat dengan paham humanisme ialah paham liberal¬isme, yaitu paham bahwa manusia pada dasarnya adalah baik. Itu sebetulnya tidak lain adalah konsep fitrah dalam Islam. Baik paham humanisme maupun liberalisme, keduanya tidak bisa diakomodasi oleh gereja, meskipun sekarang ini tentu saja sudah bercampur baur karena semuanya sudah saling terpengaruh. []


Sumber: Budhy Munawar-Rachman (editor), Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Sketsa Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Yayasan Pesantren Indonesia Al-Zaytun, 2008

Rabu, 04 Februari 2009

Falsafah Ilmu dalam Islam

Falsafah ilmu atau epistemilogi dalam Islam dapat dimulai pemba¬hasannya secara mudah dari pen¬dekatan kebahasaan. Perkataan Indonesia “ilmu” berasal dari per¬kataan Arab “‘ilm” yang satu akar kata dengan ‘alam (bendera atau lambang), ‘alâmah (alamat atau pertanda), dan ‘âlam (jagad raya, universe). Ketiga perkataan ini (‘alam, ‘alâmah dan ‘âlam) mewakili kenyataan atau gejala yang harus “diketahui” atau “di-ma‘lûm-i,” yakni, menjadi obyek pengetahuan atau ‘ilm, karena di balik kenyataan atau gejala itu ada sesuatu yang ber¬guna bagi manusia. Dan dari ketiga obyek itu, jagad raya atau ‘âlam ada¬lah yang hakiki, sementera bendera dan alamat hanya mengan¬dung makna alegoris saja.

Jagad raya mempunyai makna hakiki bagi manusia tidak hanya karena ukurannya yang besar, tetapi lebih penting lagi karena nilainya sebagai sesuatu yang diciptakan untuk menopang kebahagiaan hidup manusia. Dan jagad raya disebut ‘âlam karena fungsinya sebagai pertanda kebesaran Sang Maha Pencipta, yang merupakan penyingkap sebagian dari rahasia-Nya. Sebuah hadis Qudsî menyebutkan bahwa Allah adalah rahasia yang tersimpan rapat, namun Dia berkehendak untuk diketahui, maka Dia ciptakanlah jagad raya. Jadi jagad raya disebut ‘âlam karena ia adalah manifestasi Tuhan. Maka Tuhan adalah sumber pengetahuan manusia melalui wahyu lewat para Rasul dan Nabi yang harus diterima (dengan iman) dan dipelajari. Dia juga sumber pengetahuan manusia melalui jagad raya dan gejala-gejala¬nya yang harus diterima, diamati dan dipelajari. Sangat erat kaitan¬nya dengan pandangan ini, secara a priori Tuhan menciptakan manusia sebagai sebaik-baik makhluk-Nya, dan, dengan begitu, secara logis jagad raya pun diciptakan dengan tingkat yang lebih rendah daripada manusia (konsep taskhîr). Inilah yang dapat kita pahami dari firman Allah:

Dan Dia (Allah) menun¬dukkan (sakhkhara) untuk kamu (manusia) segala sesuatu yang ada di seluruh langit dan segala sesuatu yang ada di bumi semuanya, berasal dari Dia. Dalam hal itu sungguh terdapat ayat-ayat (sumber-sumber pengetahuan) bagi kaum yang berpikir (Q., 45: 13).

Firman itu, di samping berbagai firman lain yang bertema serupa, dapat dipahami lebih baik lagi jika dikaitkan dengan firman:

Sesungguhnya dalam penciptaan seluruh langit dan bumi, dan dalam perbedaan malam dan siang, terdapat ayat-ayat bagi mereka yang berpikiran mendalam. Yaitu mereka yang senantiasa ingat kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan terbaring di atas punggung-pung¬gung mereka, serta berpikir sungguh-sungguh tentang kejadian seluruh langit dan bumi. (Mereka la¬lu menyimpulkan): “Wahai Tu¬han kami, tidaklah Engkau cip¬takan ini semua dengan sia-sia. Maha Suci Engkau! Karena itu, hindarkanlah kami dari siksa neraka” (Q., 3: 191).

Jadi jelas bahwa karakteristik orang yang berpikiran mendalam ialah adanya orientasi hidup yang senantiasa tertuju kepada Tuhan (selalu ingat Tuhan kapan saja) dan berpikir sungguh-sungguh tentang jagad raya. Memahami jagad raya akan memberi manusia kemam¬puan untuk memanfaatkan gejala-gejala alam sehingga terpenuhi desain Sang Maha Pencipta bahwa alam memang diciptakan untuk kepentingan manusia sebagai rahmat-Nya. Lebih dari itu, memahami alam raya akan menghantarkan manusia kepada peningkatan pengalaman keruhanian yang lebih tinggi, yaitu keinsafan bahwa dalam alam raya terdapat kebenaran (Haqq), bukan kepalsuan (bâthil). Dan hanya dengan persepsi optimis-positif kepada alam raya sebagai benar, bukan palsu, akan dapat dihindarkan kesengsaraan hidup, dan diperoleh kebahagiaan. Ini adalah juga merupakan suatu tafsir atas keterangan dalam Kitab Suci bahwa Allah mengajari Adam “nama-nama sekaliannya” sebagai segi keluhuran Adam atas para malaikat dan bekalnya untuk menjadi Khalifah. Maka tidak heran bahwa dalam Kitab Suci terdapat penegasan bahwa di antara umat manusia ini yang benar-benar mampu menghayati secara mendalam akan kehadiran Allah dalam hidup (bertakwa) ialah orang-orang yang berilmu-pengetahuan atau para sarjana (al ‘ulamâ’), yang ciri utamanya ialah keberhasilan memahami akan alam sekitarnya.

Tidakkah kau perhatikan bahwa Allah menurunkan air dari langit, kemudian dengan air itu Kami (Allah) tumbuhkan berbagai buah-buahan yang bermacam-macam warnanya. Dan di pegunungan pun ada garis-garis putih dan merah dengan berbagai ragam corak warna, serta ada yang berwarna hitam kelam. Demikian pula halnya di kalangan umat manusia, binatang melata dan ternak, juga berbagai macam warnanya. Yang benar-benar takut kepada Allah, di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah mereka yang berpengetahuan (al ‘ulamâ’, para sarjana). Sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Pengampun (Q., 35: 27).

Jadi ditegaskan bahwa dari kalangan umat manusia ini yang benar-benar takut kepada Allah, yakni, karena merasakan dan menginsafi benar kehadiran-Nya dalam berbagai gejala alam sekitarnya dan dalam hidupnya sendiri, ialah mereka yang paham akan gejala-gejala alam itu dan mengapresiasinya. Dan di situ nampak sekali apa maknanya bahwa jagad raya adalah manifestasi atau ‘âlam dari Allah Swt. Memahami alam dan mengapresiasi gejala-gejalanya merupakan sumber hikmah atau wisdom yang sangat berharga bagi hidup manusia. Karena itu alam dan gejala-gejala¬nya merupakan ayat-ayat Allah (sebagai âyât kawniyah, “ayat wujud nyata”), sama halnya bahwa Kitab Suci dan bagian-bagiannya, karena fungsinya sebagai sumber pelajaran, hikmah atau wisdom, juga meru¬pakan ayat-ayat Allah (sebagai âyât Qur’âniyah, “ayat wujud bacaan”). Secara epistemologis, antara kedua ayat itu (âyât kawniyah dan âyât Qur’âniyah), sama sekali tidak ada bedanya dalam nilai, karena, asal¬kan telah didasari oleh iman, pemahaman dan penghayatan akan kedua jenis ayat itu akan sama-sama meng¬hantarkan seseorang kepada tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi, yaitu takwa kepada Allah dan keinsafan akan kehadiran-Nya. Dan jika pemahaman dan peng¬hayatan itu melahirkan tindakan praktis yang nyata melalui penga¬malan pengetahuan, maka kebaha¬giaan dan kelapangan hidup akan tercapai.

Dari paradigma di atas dapat diketahui dengan terang kaitan organik antara iman dan ilmu dalam Islam. Yaitu, bahwa ilmu tidak lain ialah hasil pelaksanaan perintah Tuhan untuk memperhatikan dan memahami alam raya ciptaan-Nya, sebagai manifestasi atau penyingkapan tabir akan rahasia-Nya. Garis argumen ini dibentangkan oleh Ibn Rusyd (Averroes), seorang failasuf Muslim yang karya-karyanya mempe¬ngaruhi dunia pemikiran Eropa dan mendorongnya ke zaman renaisans, dalam makalahnya yang amat penting, Fashl al Maqâl wa Taqrîr Mâ bayn al Hikmah wa al Syarî‘ah min al Ittishâl (Makalah Penentu tentang Pembuktian adanya Hubungan antara Hikmah [Falsafah] dan Syariat [Agama]). Ini berarti bahwa antara iman dan ilmu tidak terpisahkan, meskipun dapat dibedakan. Dikatakan tidak terpi¬sahkan, karena tidak saja iman men¬dorong adanya ilmu dan bahkan seharusnya menghasilkan ilmu, tapi juga karena ilmu itu harus dibimbing oleh iman dalam bentuk adanya pertimbangan moral dan etis bagi penggunaannya. Tetapi ilmu berbeda dari iman, sebab, sebagaimana dengan jelas diisyaratkan dalam firman Allah yang telah dikutip diatas, ilmu bersandar kepada observasi terhadap alam dan disusun melalui proses penalaran rasional atau berpikir (maka difirmankan bahwa jagad raya ini mengandung ayat-ayat hanya bagi orang yang berpikir, tidak bagi orang lain), sedangkan iman bersandar kepada sikap membe¬narkan atau mendukung kebenaran berita (naba’) yang dibawa oleh para pembawa berita atau mereka yang mendapat berita (nabîy) yang menyampaikan berita tersebut kepada umat manusia selaku utusan (rasûl) Allah. Memang benar dalam iman juga tersangkut penalaran rasional atau penggunaan akal, tetapi hal ini hanya menyangkut proses pertumbuhannya saja, sedangkan obyek iman itu sendiri, seperti kehidupan sesudah mati, misalnya, berada di luar jangkauan pengalaman empirik manusia sehingga tidak ada jalan untuk menerima adanya kehidupan sesudah mati itu kecuali melalui percaya kepada berita yang disampaikan para rasul.

Sumber: Budhy Munawar-Rachman (editor), Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Sketsa Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Yayasan Pesantren Indonesia Al-Zaytun, 2008

Failasuf dan Bahasa

Jika kita menilik dari berapa juta telah dicetak, diterjemahkan dan dijual, maka buku yang paling laris di dunia sekarang ini ialah karya Stephen Hawking, A Brief History of Time, from the Big Bang to Black Holes. Atas dasar itu dapatlah dikatakan bahwa Hawking adalah seorang “failasuf” paling berpengaruh sekarang ini, sekurang-kurangnya dalam kosmologi. Dan memang sepatutnya seorang kosmolog disebut failasuf, sebab ia mencoba memahami dunia yang amat besar, yaitu jagad raya, dan menemukan hakikatnya. Tetapi sebagai failasuf seorang kosmolog barulah menempuh setengah jalan. Sebagaimana dikatakan sendiri oleh Hawking, para ilmuwan seperti dia mencurahkan perhatian hanyalah kepada masalah “apa”-nya jagad raya ini, bukan “mengapa”-nya. Katanya, yang bertugas memikirkan dan menemukan “mengapa”-nya itu ialah mereka yang biasa dikenal sebagai failasuf (yang sesungguhnya). Tapi justru di sini letak persoalannya. Pada abad kedelepan belas, failasuf masih menganggap keseluruhan pengetahuan manusia sebagai bidang garapannya, termasuk sains. Tapi, menurut Hawking, di abad kesembilan belas dan lebih-lebih lagi abad kedua puluh ini, sains berkembang menjadi terlampu teknis dan matematis bagi para failasuf, juga untuk siapa saja yang lain, kecuali sejumlah kecil para ahli. Maka, menurut Hawking lebih lanjut dengan mengutip Wittgenstein, seorang failasuf terkenal abad ini, “tugas satu-satunya yang tersisa bagi falsafah ialah menganalisa bahasa” (the sole remaining task for philosophy is the analysis of language). Suatu kemunduran besar dari tradisi falsafah sejak dari Aristoteles sampai Kant, kata Hawking.

Rupanya pernyataan Hawking itu mengundang reaksi kurang enak dari kalangan para failasuf. Dalam bukunya yang lebih kemudian, Hawking bertutur bagaimana ia dituduh naif dan simple minded oleh para failasuf. Ia juga dinilai sebagai nominalis, instrumentalis, positivis, realis dan “is-is” yang lain. Menurut Hawking, cara mereka, para failasuf itu, menjatuhkannya adalah “refutation by denigration” (penolakan dengan perendahan atau penghinaan). Hawking sendiri mengaku mungkin agak kasar terhadap para failasuf (dengan mengatakan, antara lain, bahwa tugas falsafah sekarang hanyalah analisa bahasa semata, seperti dikutip di atas), meskipun Hawking juga mengatakan bahwa para failasuf tidak pernah baik hati kepadanya.

Sekarang orang mungkin bisa membalik, apakah pernyataan Hawking tentang para failasuf di atas itu tidak diilhami oleh keinginan menerapkan teknik serupa, yaitu “refutation by denigration”? Tapi jika itu yang ia inginkan, apakah tidak justru terbalik? Memang Wittgenstein mengatakan seperti dikutip Hawking, namun barangkali dalam konteks yang berbeda. Dan pernyataan itu agak¬nya dimaksudkan justru untuk menunjukkan betapa pentingnya bahasa sebagai piranti manusia menyatakan pikirannya. Memang matematika yang menjadi keahlian khusus para kosmolog modern seperti Hawking bukanlah piranti menyatakan pikiran dalam hidup harian. Tetapi matematika sendiri adalah bahasa, dengan kaidah-kaidahnya sendiri yang sebanding dengan tatabahasa dan lain-lain. Dan bahasa seperti yang kita kenal tidak sepatutnya direndahkan seperti terkesan dilakukan oleh Hawking dengan kutipannya itu, sebab bahasa, justru menurut para ilmuwan sendiri yang bidangnya sebanding dengan kosmologi, yaitu antropologi (dalam artian ilmu atau teori tentang manusia, baik fisik maupun budaya), adalah ciri khas manusia yang sampai kini belum terbukti dapat disertai oleh makhluk hidup yang lain di muka bumi ini. Dan Hawking pun mendapat berkah dari bahasa ini, sebab bukunya yang laris luar biasa itu adalah justru karena bahasanya yang mudah dan berhasil mengo¬mu¬nikasikan segi-segi pelik fisika dan astrofisika serta kosmologi yang paling mutakhir.

Sumber: Budhy Munawar-Rachman (editor), Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Sketsa Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Yayasan Pesantren Indonesia Al-Zaytun, 2008

Foto Model di Tepi Jalan


Kini adalah masa negeri kita memiliki begitu banyak "foto model". Jika dahulunya kita biasa meilihat pose para rupawan dan rupawati itu di majalah (dan sejenisnya), maka kini medianya sudah semakin beragam, bahkan hingga berupa baliho di pinggir jalan. Yang terpampang di pinggir jalan itu bukan hanya satu atau dua, melainkan sangat banyak.

Alih-alih terpikat dengan pose para "foto model dadakan" ini, kita malahan muak melihatnya. Bayangkan, yang terpampang itu dari yang rupawan hingga (maaf) yang tidak rupawan. Dari yang mukanya kelihatan alim dan baik, hingga yang mukanya seperti penjahat (biasanya di film Hollywood ditulis "Wanted").

Bersamaan dengan pose-pose tersebut, biasanya tertera nama orang yang berpose itu dan juga tulisan "Pilih Nomor bla bla bla". Dan yang pasti, juga tertera nama "perkumpulan" poli*** yang mengusung mereka.

Akhir-akhir ini, ruang publik kita dibajak, begitu juga ruang privat kita selalu dijajah. Melalui layar kaca, setiap hari kita selalu dijejali iklan orang yang minta dipilih untuk menjadi pemimpin negeri ini, untuk menjadi orang yang menentukan kehidupan negeri ini. Misalkan ada iklan, "Saya bla bla bla, makanlah 'makanan' petani Indonesia". Juga iklan-iklan lainnya yang jual janji dan gombal, bahkan klaim dan pembanggaan diri, bahwa keberhasilan pemerintahan pada bidang-bidang tertentu merupakan keberhasilan "perkumpulan" poli*** mereka. Namun sayangnya tak ada yang mengklaim bahwa kegagalan pemerintahan pada banyak bidang merupakan kegagalan "perkumpulan" poli*** mereka juga.

Yang lebih membuat kita kesal adalah tingkah salah satu "perkumpulan" poli*** yang telah memanfaatkan penderitaan rakyat Palestina sebagai salah satu ajang kampanye (dengan memberikan simpati kepada Palestina berupa menurunkan massa sebanyak-banyaknya ke jalanan sambil membawa-bawa atribut "perkumpulan" poli*** mereka – simpatinya terhadap rakyat Palestina ternyata tidak tulus ikhlas).

Membandingkan hiruk pikuk pesta demokrasi di negeri ini, aku begitu tertarik dengan kisah sukses seorang perempuan warga Amerika Serikat keturunan Arab-Palestina yang menjadi anggota senat di salah satu negara bagian Amerika Serikat. Bayangkan, dia berkampanye di tengah-tengah warga keturunan Amerika Latin yang secara budaya dan agama berbeda dengannya. Tapi kemudian ia terpilih dengan dukungan suara dari konstituennya yang mayoritas keturunan Amerika Latin itu. Kampanye yang dilakukannya adalah dengan mendatangi setiap rumah konstituennya, menawarkan program kepada mereka, dan meyakinkan mereka untuk memilih dirinya. Di antara konstituennya itu ada yang berkata, "Saya mungkin agak susah untuk melafal dan menuliskan nama anda. Tapi saya yakin, anda adalah orang yang baik. Mudah-mudahan saya akan memilih anda nantinya."

Perempuan keturunan Palestina ini juga merupakan seorang aktivis sosial. Ia sering melakukan aksi sosial di tengah masyarakatnya. Karena itu, ia memang pantas untuk dipilih oleh konstituennya, karena konstituennya memang sudah mengenal dirinya. Ia tidak ujug-ujug datang dari alam antah berantah, kemudian mengkampanyekan dirinya untuk dipilih oleh masyarakat, melainkan ia sudah melakukan tindakan nyata di tengah masyarakat, sehingga masyarakat memang sudah mengenalnya. Ia tidak hanya mengobral janji-janji gombal, tetapi lebih daripada itu, ia telah menunjukkan kiprah bahwa dirinya adalah orang yang begitu peduli terhadap persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat.

Mungkin para "foto model dadakan" dari berbagai "perkumpulan" poli*** itu patut mencontoh perempuan keterunan Palestina ini dalam meraih dukungan dari para konstituennya, tanpa harus menebarkan foto-foto mereka di setiap sudut dan tepi jalan kita. Kelakuan para "foto model dadakan" ini tak lebih hanya semakin menambah semrawut setiap jengkal jalanan dan lingkungan kita. Selain itu, juga tak sedikit yang telah merusak lingkungan hanya gara-gara mau memajang foto-foto mereka yang tak terlalu menarik itu.

Sudah saatnya kini berkampanye dengan cara-cara yang elegan. Kini saatnya para "foto model dadakan" itu melakukan aksi-aksi nyata di tengah masyarakat. Sebelum anda berkata bahwa anda layak untuk dipilih, maka anda harus menunjukkan dulu kiprah dan aksi nyata anda di tengah masyarakat. Anda juga harus menunjukkan kepedulian sosial anda kepada masyarakat. Dan kepedulian sosial ini jangan hanya dilakukan ketika mau Pemilu. Terpilih atau tidaknya anda nanti, itu urusan belakangan. Tapi dengan melakukan ini (aksi nyata di masyarakat), maka berarti anda sudah melakukan amal kebaikan, yang itu mudah-mudahan akan diganjar pahala oleh Tuhan, dan kemungkinan nantinya anda akan masuk surga. Atau setidaknya masyarakat akan mengenal dan mengenang anda sebagai orang yang baik. [Hanafi Mohan/Ciputat-Sabtu, 31 Januari 2009]

Sumber gambar:
http://tuahtanto.blogspot.com/2008/12/spanduk-dan-baliho-caleg-hiasi-kota.html