Hikayat Dunia

Kita hanya pengumpul remah-remah | Dari khazanah yang pernah ada | Kita tak lebih hanya penjaga | Dari warisan yang telah terkecai ||

Pontianak Singgah Palembang

Daripada terus berpusing-pusing di atas Negeri Pontianak, yang itu tentu akan menghabiskan bahan bakar, maka lebih baik pesawat singgah dahulu ke bandar udara terdekat. Sesuai pemberitahuan dari awak pesawat, bandar udara terdekat adalah Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Negeri Palembang.

Mudék ke Ulu

Pasangan dari kate “ulu” ielah “mudék”. Kate “mudék” beakar kate dari kate “udék”. Udék bemakne "sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber)", "daerah di ulu sungai", juga’ bemakne "kampong halaman (tempat beasal-muasal)".

Soal Nama Negeri Kita

Belakangan ini kiranya ramai yang berpendapat ini dan itu mengenai asal usul dan makna nama "pontianak" kaitannya dengan Negeri Pontianak. Tapi apakah semua yang didedahkan itu betul-betul dipahami oleh masyarakat Pontianak?

Kampong Timbalan Raje Beserta Para Pemukanya [Bagian-3]

Selain banyak menguasai berbagai bidang keilmuan, beliau juga banyak memegang peran dalam kehidupan kemasyarakatan. H.M. Kasim Mohan yang merupakan anak sulong (tertua) dari pasangan Muhammad Buraa'i dan Ruqayyah ini merupakan seorang Pejuang di masanya.

Musik Motivasi Setahun Silam

“Satu Kursi untuk Seniman”, begitu tagline kampanyenya. Tekadnya untuk memajukan Kalbar lewat industri kreatif tentu patut diapresiasi. Melalui industri kreatif diharapkannya dapat menjadi jembatan menjulangkan budaya yang memayungi Kalimantan Barat.

Sultan Pontianak; Umara' dan 'Ulama

Kegemilangan Negeri Pontianak salah satunya diasbabkan kepemimpinan para Sultan-nya yang arif dan bijaksana. Sultan-Sultan Pontianak selama masa bertahtanya rata-rata memiliki dua peranan, yaitu berperan sebagai umara', sekaligus berperan sebagai 'ulama.

Puisi Buya Hamka untuk Muhammad Natsir

Kepada Saudaraku M. Natsir | Meskipun bersilang keris di leher | Berkilat pedang di hadapan matamu | Namun yang benar kau sebut juga benar ||

Minggu, 27 Desember 2009

Andaikan Setiap Hari adalah 'Asyura

Hari ‘Asyura, mungkin banyak yang tahu tentang hari yang bersejarah ini, dan mungkin juga banyak yang tidak tahu. Hari apa tuh ‘Asyura? Setelah Senin, sebelum Jum’at, atau antara Kamis dan Minggu? Atau salah satu nama hari dari tujuh hari yang kita kenali? Dari Bahasa apa tuh ‘Asyura, kok begitu aneh?

Tapi mudah-mudahan anda sekalian adalah orang yang tahu mengenai Hari ‘Asyura.

‘Asyura asal katanya adalah “ ’asyara ”, yaitu dari Bahasa Arab yang artinya “sepuluh”. Hari ‘Asyura berarti “hari kesepuluh”, lebih tepatnya lagi adalah hari kesepuluh pada Bulan Muharram (bulan pertama pada sistem penanggalan Hijriyah). Menurut sejarah, pada Bulan Muharram ini banyak terjadi peristiwa-peristiwa besar, salah satunya adalah terbunuhnya cucu Nabi Muhammad, yaitu Imam Husayn ibn ‘Ali ibn Abi Thalib di suatu tempat bernama Karbala di Negeri Iraq. Pembunuhan terhadap Imam Husayn bersama-sama dengan pasukannya ini adalah pembunuhan yang begitu sadis dan kejam. Jumlah pasukan Imam Husayn hanya kurang lebih 70 orang, sedangkan pasukan pembantainya adalah Pasukan Yazid ibn Muawiyah yang berjumlah 30.000 orang. Yazid ketika itu menjabat sebagai Khalifah Dinasti Umayyah. Jadi, ini adalah perang yang tidak seimbang.

Peristiwa ini terjadi pada tanggal 10 Muharram ketika itu, yang kemudian dikenal sebagai Hari ‘Asyura. Hari bersejarah ini setiap tahunnya hingga kini selalu diperingati oleh para Penganut Syiah di berbagai negara, terutama di Iraq, Iran, India, dan Pakistan. Tentunya berbagai macam tradisi pula yang biasanya dilakukan di berbagai negara tersebut untuk mengenang peristiwa paling kelam dalam sejarah perjalanan Islam di awal-awal perkembangannya.

Pada acara-acara peringatan tersebut, mereka biasanya meneriakkan: “Kullu yawmin ‘Asyura, kullu syahrin Muharram, kullu ardhin Karbala” (Setiap hari adalah ‘Asyura, setiap bulan adalah Muharram, dan setiap tempat adalah Karbala). Kalau tidak salah, kata-kata ini pernah kubaca di salah satu buku karya Allahyarham Ali Syari’ati (seorang tokoh pemikir / sosiolog revolusioner Syi’ah). Beliau kalau tidak salah juga meninggal karena dibunuh pada usia kurang lebih 30 tahun. Ungkapan ini pertama kalinya dicetuskan oleh Imam Ja’far Ash-Shadiq (salah seorang Imam Mazhab Syi’ah, juga dikenal luas di kalangan Sunni).

Lain di Iran, lain pula di kampongku. Walau bukan pemeluk aliran Syi’ah, masyarakat kampongku memiliki tradisi tersendiri dalam memperingati Hari ‘Asyura. Kampongku yang berada di pesisir Sungai Kapuas-Negeri Pontianak mayoritasnya adalah pemeluk Agama Islam. Masyarakat Islam Negeri Pontianak umumnya adalah Kaum Tradisionalis. Walaupun begitu, kami bukanlah kaum nahdhiyyin seperti umumnya kaum tradisionalis Islam di Pulau Jawa. Entah mengapa, Nahdhatul Ulama (NU) tak bisa berkembang di kotaku, padahal kami juga adalah penganut Islam Tradisionalis yang setiap harinya hidup dengan tradisi dan kultur Islam seperti halnya kaum nahdhiyyin di Pulau Jawa. Sebut saja tradisi seperti tahlilan, barzanji, qunut, talqin, dan tradisi-tradisi lainnya yang hampir serupa dengan tradisi kaum nahdhiyyin. Seperti halnya NU, Muhammadiyah juga tidak bisa berkembang di kotaku. Sehingga jadilah kami penganut Islam yang bukan NU dan bukan pula Muhammadiyah. Belakangan ketika kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, aku yang bukan NU dan bukan pula Muhammadiyah ini kemudian lebih cenderung untuk tidak bergelut di kedua organisasi tersebut maupun organisasi mahasiswa yang dipayunginya. Pilihanku adalah bergelut di organisasi mahasiswa modernis yang katanya pernah disebut-sebut sebagai anak kandung Masyumi.

Entah sejak kapan tradisi ‘Asyura sudah dilaksanakan di kampongku. Setiap tanggal 10 Muharram, tradisi ini kami laksanakan secara hikmat di setiap masjid, surau, maupun langgar di kampong kami. Tentunya berbeda dengan tradisi ‘Asyura yang dilakukan oleh para penganut Syi’ah di Iran yang atraktif, teatrikal, gegap-gempita, serta penuh dengan nuansa revolusi dan perlawanan, maka tradisi ‘Asyura di kampongku lebih berupa ritual sederhana yang di dalamnya diisi dengan pembacaan doa, tahlil, dan zikir. Dan yang paling penting, di akhir acara akan disuguhi dengan “Bubur ‘Asyura” (Logat Melayu Pontianak: Bubogh Asughah/Bubogh Asoghah), yaitu bubur kacang hijau yang dicampur dengan sepuluh macam bahan makanan seperti singkong (orang Melayu Pontianak menyebutnya "ubi kayu"), keladi serawak (talas), ubi cine, kacang tanah, kacang merah, pulot itam (ketan hitam), dan masih banyak lagi bahan campuran lainnya yang jika ditulis di sini mungkin akan banyak sekali, karena setiap rumah biasanya membuat Bubur ‘Asyura ini dengan berbagai macam campuran yang berbeda-beda (tidak seragam).

Bubur Asyura yang dibuat di tiap-tiap rumah ini kemudian dikumpulkan di langgar, surau, ataupun masjid terdekat. Bukan hanya dikumpulkan, Bubur ‘Asyura dari tiap-tiap rumah itu kemudian dicampur menjadi satu. Setelah selesai pembacaan doa, acara kemudian ditutup dengan memakan Bubur ‘Asyura bersama-sama. Walaupun bukan penganut ajaran Syi’ah, tetapi masyarakat kampongku memiliki kecintaan tersendiri terhadap Imam Husayn (cucu Nabi Muhammad SAW). Para alim ulama dan orang tua di kampongku sering menceritakan mengenai perjuangan Imam Husayn melawan penindasan yang dilakukan oleh penguasa tirani ketika itu.

Pontianak sebagai Kota Pesisir di Pulau Kalimantan (Borneo) awalnya didirikan sebagai sebuah kesultanan Melayu. Kecintaan kami kepada Imam Husayn tak lain karena kota kami didirikan oleh anak cucu keturunan Nabi Muhammad yang bermarga Al-Qadrie. Sultan Syarif 'Abdurrahman Al-Qadrie, beliaulah pendiri Kesultanan Pontianak, sekaligus Sultan Pertama Kesultanan Melayu Pontianak. Kota Pontianak merupakan salah satu kota yang ramai didiami oleh warga keturunan Arab. Dapat dikatakan bahwa orang-orang keturunan Arab di kotaku sudah bermetamorfosis menjadi Orang Melayu. Di dalam kosakata Bahasa Melayu Pontianak pun, tak jarang ditemui kata-kata yang berasal dari Bahasa Arab. Kami bahkan kadang sering menyapa dengan sapaan-sapaan Bahasa Arab yang sudah dimelayukan.

Andaikan setiap hari adalah ‘Asyura, maka masyarakat kampongku pasti akan membuat Bubur ‘Asyura, kemudian mengantarkannya ke langgar, surau, ataupun masjid terdekat, lalu Bubur ‘Asyura itu dimakan bersama-sama setelah pembacaan doa. Namun sayang, tidak setiap hari adalah Hari ‘Asyura, sehingga hari bersejarah ini benar-benar menjadi hari yang istimewa di kampongku, bahkan menjadi semacam hari raya selain daripada Idul Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi Muhammad, dan Isra’ Mi’raj.

Andaikan setiap hari adalah ‘Asyura, mungkin kita akan selalu teringat perjuangan Imam Husayn untuk menegakkan panji kebenaran, serta melawan tirani dan kezaliman. Namun sayang, ‘Asyura tak terjadi setiap hari, sehingga kita selalu lupa akan tragedi yang menyedihkan itu. Kita selalu lupa, bahwa sejarah kelam ini pernah kerjadi di awal-awal perkembangan Islam.

Milan Kundera mengingatkan, “Pergulatan manusia melawan kekuasaan adalah pergulatan ingatan melawan lupa.[Hanafi Mohan/Ciputat-Agustus 2008]


Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di: http://thenafi.wordpress.com/

Sumber gambar: http://islamfeminis.wordpress.com/

Tulisan ini dimuat kembali di: http://hanafimohan.blogspot.com/

Selasa, 15 Desember 2009

Perginya Seorang Sahabat


Puisi: Hanafi Mohan


Sahabatku,
kau telah pergi meninggalkan kami
Begitu banyak kenangan yang kau tinggalkan
Juga entah begitu banyak cita-cita yang belum engkau raih

Titik-titik embun serasa masih lembab di atas pusaramu
Dedaunan pohon yang menaungi makammu masihlah basah ditetesi rintikan hujan di pagi ini
Entah itu dari langit,
mungkin pula dari mata kami yang sembab mengantar kepergianmu

Dari jauh kudengar kepergianmu
Serasa membuncah di dalam dadaku
Seakan tiba-tiba rintik hujan menerpa diriku
Mengalir airnya membasahi segenap wajah

Gerimis di pagi ini,
Entah dari langit, entah dari mataku

Di dalam mimpi tadi malam kulihat burung-burung putih beterbangan
Seekor burung yang terbang itu kulihat bertengger di dahan pohon
Burung itu lalu berkata lirih padaku:
"Kawanku, janganlah bersedih hati.
Kesedihanmu hanya akan menambah beban kepergianku.
Ikhlaskanlah aku, kawan.
Lepaslah aku dengan hati yang lapang.
Semoga dengan itu aku akan mudah menghadap Yang Maha Kuasa."

Tiba-tiba aku terjaga
Masih terngiang kata-kata di dalam mimpiku
Mungkin hanya untaian do'a yang bisa kukirim padamu

Salamat jalan, sahabat
Kepingan kenangan kita bersama takkan pernah kulupakan

Selamat jalan, hai jiwa yang tenang
Semoga engkau kembali kepada-Nya dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya
Mudah-mudahan engkau digolongkan ke dalam hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal shaleh, serta mendapatkan surga-Nya


Untuk Syahrani,
Ciputat, 14 Desember 2009


Sumber gambar: http://netplus.web.id/

Puisi ini dimuat di: http://hanafimohan.blogspot.com/

Sabtu, 12 Desember 2009

Selamat Jalan Syahrani


Innalillaahi wa inna ilayhi raaji'un. Begitulah kalimat pembuka SMS yang kuterima dari adikku jam 9 pagi tadi (Sabtu 12 Desember 2009).

Serasa butiran-butiran gerimis menetes dari langit. Mendung rasanya hati INI mendengar berita tersebut. Sahabatku sekaligus keponakanku pagi ini (Sabtu 12 Desember 2009) menghembuskan napas terakhirnya. Pada usianya yang masih muda, dia telah berpulang ke rahmatullah. Sungguh tak kupercaya, sungguh pula tak kuduga. Padahal lebaran yang lalu kulihat ia masih segar bugar.

Terlintaslah berbagai kenangan indah yang pernah kami lalui. Usia kami sebenarnya tak berpaut jauh, paling-paling lebih tua dirinya dibandingkan denganku kira-kira beberapa bulan, atau kurang lebih setahun. Sehingga dapat dikatakan kami adalah sebaya. Ibunya adalah kakak sepupuku, karena kakeknya adalah saudara tertua dari ayahku. Masa kecil hingga remaja tak jarang kami lalui bersama. Di bawah asuhan kakeknya yang tak lain adalah pamanku (Allahyarham/Almarhum H. Kasim Mohan), kami bersama dengan teman-teman sebaya kami di Kampong Tambelan Sampit-Pontianak telah menjadi duta budaya Melayu Pontianak di bidang Seni Tradisional Zikir Hadrah. Di dalam grup Zikir Hadrah kami itu, aku sendiri dipercayakan oleh kakeknya (yang tak lain adalah pamanku) untuk menjadi Kepala Redat, sedangkan dia dipercayakan menjadi pembawa dan pemukul Tar (alat musik perkusi sejenis rebana yang merupakan alat musik pengiring tarian Redat Zikir Hadrah).

Di surau dekat rumahku di Kampong Tambelan Sampit, kuingat pula bahwa kami berdua menjadi muazzin andalan di surau tersebut. Suaranya cukup merdu ketika mengalunkan azan. Aku yakin, bahwa suara merdunya diturunkan dari kedua orang tuanya dan kakeknya. Ibunya yang biasa kami panggil Ude Men memang memiliki suara yang merdu, apalagi ketika ibunya melantunkan lagu-lagu Senandong Melayu, Syair Melayu, dan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Sedangkan ayahnya yang biasa kami panggil Pak Ki (nama lengkapnya adalah Bayhaqi bin Ubaydillah) adalah imam shalat berjamaah yang menjadi andalan di kampong kami. Kakeknya (yang tak lain adalah pamanku dan guruku) adalah seorang penggiat dan pelestari Budaya Melayu Pontianak juga memiliki suara yang sangat merdu, yang di bawah asuhannya, kami menjadi orang-orang yang mencintai seni budaya Melayu daerah kami.

Di waktu kecil, banyak yang mengatakan bahwa wajah kami mirip. Mungkin ini tak lain karena kami adalah kerabat dekat. Ketika lulus SMP, kami berdua bertekad untuk mendaftar ke SMA Taruna yang ada di kotaku ketika itu (kalau tidak salah namanya adalah SMA Taruna Khatulistiwa, atau mungkin SMA Taruna Nusantara, aku sudah agak lupa namanya). Banyak anak-anak berprestasi bertekad untuk masuk ke SMA Taruna tersebut, karena segala macam biaya dan fasilitas ditanggung oleh sekolah tersebut. Lalu mendaftarlah kami ke SMA tersebut, kemudian menjalani berbagai macam tes masuk. Mungkin belum rezeki kami, ketika pengumuman, kami berdua dinyatakan tidak diterima karena tidak lulus tes seleksi. Jika mengingat itu, ingin rasanya aku tertawa, karena dari awal kami berdua sudah memperkirakan bahwa kecil kemungkinan kami akan diterima di SMA Taruna tersebut jika dicermati beberapa syarat yang mungkin tak bisa kami penuhi. Tapi begitulah kami, segelintir dari anak-anak Melayu yang mempunyai cita-cita yang cukup besar, sehingga segala aral dan rintangan pun akan kami terjang jika memang itu mungkin untuk kami lakukan, dan selama itu masih berada di dalam koridor kebaikan.

Selepas tidak diterima di SMA Taruna, kami pun berpencar mencari lagi sekolah-sekolah lainnya yang mungkin menurut kami berkualitas. Akhirnya, aku pun diterima masuk di salah satu sekolah menengah kejuruan di kotaku (namanya STM 2/SMK Negeri 4 Pontianak) mengambil Program Studi Elektronika Komunikasi, sedangkan dia diterima di sekolah menengah teknologi industri di kotaku (kalau tak salah namanya SMTI Pontianak).

Waktu pun terus bergulir. Kulihat kemahirannya dalam beberapa bidang teknik semakin menunjukkan kemajuan yang cukup pesat, sedangkan aku sendiri kuakui tak ada kemajuan yang cukup berarti dalam bidang teknik pilihanku di STM/SMK. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Setelah tiga tahun menempuh pendidikan kami di sekolah masing-masing, akhirnya kami pun lulus. Beberapa bulan setelah lulus, aku pun kemudian merantau ke Jakarta. Setahun kemudian di Jakarta, barulah aku melanjutkan studiku ke jenjang yang lebih tinggi di salah satu universitas negeri bernama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (ketika itu masih bernama Institut Agama Islam Negeri/IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dengan pilihan Program Studi Teknik Informatika pada Fakultas Sains dan Teknologi.

Setelah berada di Jakarta, rutin setiap tahun aku pulang lebaran ke kota kelahiranku (Pontianak). Suatu waktu ketika itu dia pernah bercerita kepadaku bahwa ia ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Tentunya aku sangat senang mendengarnya. Tapi entahlah, beberapa tahun kemudian niatnya itu urung dilaksanakan.

Pada lebaran tahun 2007 yang lalu, dia bersama abangku sempat minta diajarkan Microsoft Office (salah satu paket aplikasi perangkat lunak komputer). Tentunya aku senang sekali, karena walaupun tak melanjutkan studi lebih tinggi, dia tetap punya semangat untuk menambah ilmu dan wawasannya.

Balik lebaran yang lalu, kudengar bahwa ia berencana untuk menikah. Senang rasanya hatiku, karena ada sahabat dan sanak keluargaku yang akan menuju ke jenjang kebahagiaan melalui pernikahan. Setelah berada di Jakarta lagi, aku belum mendapatkan kabar-kabar terbaru lainnya, misalkan: apakah ia sudah melangsungkan pernikahan atau belum. Tapi kudengar dari abangku, bahwa memang dalam waktu dekat ini sahabat dan keponakanku tersebut akan segera melangsungkan pernikahan.

Syahrani, begitulah nama yang diberikan orang tuanya kepadanya. Ciri khas nama laki-laki Melayu Pontianak keturunan suku Banjar biasanya memang ada embel-embel "syah". Di antara saudara-saudaranya, hanya dialah yang kata "syah" di namanya diletakkan di bagian depan nama, sedangkan saudara-saudaranya, kata "syah" diletakkan di akhir nama.

Namanya cukup singkat, sama halnya dengan namaku yang juga singkat. Entahlah, orang tua-orang tua kami ketika itu sering memberikan nama yang singkat. Atau kalau pun tidak singkat, nama-nama kami biasanya hanya terdiri dari satu kata. Sehingga jarang sekali kami mempunyai nama belakang. Kalaupun terdiri dari dua kata, paling-paling nama depan kami adalah nama depan yang lumrah sekali pada nama-nama orang Melayu, misalkan Muhammad, Ahmad, Abdul, dan semacamnya.

Syahrani bin Bayhaqi Ubaydillah, yang kutahu bahwa dirinya memiliki cita-cita yang cukup tinggi, keinginannya pun cukup besar untuk membahagiakan kedua orang tuanya. Walaupun tak terlalu sering, pernah beberapa kali kami bertukar pikiran dan berdiskusi mengenai berbagai macam hal. Dia juga memiliki kesetiakawanan dan kepedulian yang cukup tinggi.

Di usianya yang masih belia, dia telah meninggalkan kami para sahabat dan sanak keluarganya. Dari jauh di negeri rantau, dari jauh di Kota Jakarta, dari jauh di Pulau Jawa, aku hanya bisa memanjatkan doa, semoga segala amal ibadahnya diterima di sisi Tuhan.

Yaa ayyatuhaannafsul muthmainnah (27) Irji'ii ilaa rabbiki raadhiyatan mardhiyyah (28) Fadkhulii fii 'ibaadii (29) Wadkhulii jannatii (30)
(27) Hai jiwa yang tenang. (28) Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. (29) Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, (30) dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Q.S. Al-Fajr: 27-30)

Selamat jalan kawan, selamat jalan sahabat, selamat jalan keponakanku. Kami akan selalu mengenangmu dalam kenangan yang baik. Di alam barzakh sana, mungkin kau akan bertemu dengan kakekmu (Allahyarham H. Kasim Mohan), dengan nenekmu, dengan ayahku (Allahyarham A. Syukur Mohan), dengan Pak Cu (Allahyarham A. Razak Syafi'i), dengan Encek Zaidah (Allahyarham Zaidah Mohan), dengan Yah Ngah (Allahyarham M. Yusuf Mohan), dan mungkin dengan semua kerabat kita yang sudah berpulang ke rahmatullah. Di alam barzakh sana, mungkin kau akan bercerita mengenai perihal kami para kerabatmu yang masih berada di alam dunia yang fana ini.

Selamat jalan sahabat, selamat jalan saudaraku. Doa kami akan selalu menyertaimu. []

Dalam kenangan Hanafi Mohan
Ciputat, Sabtu 12 Desember 2009


Sumber gambar: http://sangbintang.wordpress.com/


Tulisan ini dimuat di: http://hanafimohan.blogspot.com/

Selasa, 01 Desember 2009

Lagi Jatuh Hati Kepada Lenka


Like a Song, begitulah salah satu judul lagu Lenka. Setelah mendengar lagu inilah kiranya yang membuat aku jatuh hati kepada biduan yang satu ini. Memang akhir-akhir ini aku jarang sekali mendengarkan lagu-lagu terbaru dari grup band/penyanyi Indonesia. Entah mengapa, mungkin karena telingaku tak bisa lagi mendengarkan lagu-lagu dari grup band/penyanyi Indonesia yang kini kebanyakan tak berkualitas. Mungkin juga karena aku tak ingin merusak intuisi musikku dengan mendengarkan lagu-lagu sampah yang bertebaran di jagad musik Indonesia kini.

Namun ada pilihan lainnya jika aku tetap mau menikmati musik. Pertama, mendengarkan lagu-lagu dari grup band/penyanyi lawas Indonesia. Atau setidaknya lagu-lagu yang beredar sampai batas tahun 2004. Kedua, mendengarkan lagu-lagu Barat. Ketiga, mendengarkan lagu-lagu Senandong Melayu, Arabia, ataupun India.

Karena itulah, akhir-akhir ini aku lebih sering mendengar lagu dari grup band rock lawas seperti God Bless dan Gong 2000, serta lagu-lagu jazz Indonesia era 80-90'an, dan beberapa grup band dan penyanyi era 80'an.

Kalau lagu-lagu Barat, hampir semua jenis musik aku lahap, baik lagu-lagu lawas, maupun lagu-lagu terbaru. Termasuk juga di dalamnya lagu-lagu berirama latin dan instrumentalia (klasik dan juga modern), dari Mozart, Vivaldi, Beethoven, hingga Richard Claydermen, Yanni, Vanessa Mae, Bond, Kitaro, Safri Duo, Dave Koz, Kenny G, dan Maksim. Sedangkan pilihanku untuk mendengarkan lagu-lagu Senandong Melayu, Arabia, dan India tak lain adalah untuk menyeimbangkan intuisi musikku dengan nuansa musik dunia Timur.

Begitulah kiranya, dalam beberapa hari ini aku telah terpikat kepada Lenka. Sebenarnya baru beberapa hari ini aku mendengarkan lagu-lagunya, tapi musik dan alunan suaranya telah membuat aku "jatuh cinta pada pendengaran pertama".

Terus terang, aku belum terlalu banyak tahu mengenai Lenka. Tapi yang pasti suaranya cukup unik, begitu juga dengan musiknya. Serasa gimanaaa gitu. Menurut info salah satu situs berita (kapanlagi.com), bahwa Lenka merupakan penyanyi pop alternatif asal Australia. Lenka sebelumnya adalah seorang bintang televisi di Australia.

Penyanyi yang bernama lengkap Lenka Kripac ini mengusung musik pop pseudo-indie. Lagu-lagunya memang lebih pantas untuk diperdengarkan pada audiensi yang lebih luas daripada hanya di dalam sebuah situs indie saja.

Pilihan lagunya pun cukup manis. Dengan tema sehari-hari seperti putus cinta (Wrote Me Out), benci diri sendiri (Anything I'm Not), hubungan yang sulit (Dangerous & Sweet), dan hubungan jarak jauh (Skipalong), cocok sekali didengarkan dengan musiknya yang slow dan ringan, namun manis.

Tak hanya itu, Lenka pun menunjukkan teror setiap manusia yang kadang tidak begitu dipedulikan dalam Trouble is a Friend. Dalam single pertamanya, The Show, Lenka dengan gaya khasnya membuat kita ikut berpikir bahwa hidup ini hanyalah sebuah pertunjukan. Dan saat kehidupan tak sesuai dengan apa yang kita inginkan, kita berteriak, "I want my money back!"

Selain itu, beberapa lagu Lenka yang layak dan enak didengar juga antara lain: Like a Song dan Force of Nature. So, mau lanjut lagi nih mendengar rajikan musik dan alunan suara Lenka, biar semakin meresap ke hati. [Hanafi Mohan-Ciputat, Minggu 29 November 2009]


Sumber gambar: http://plagueofangels.blogspot.com/



Tulisan ini dimuat di: http://hanafimohan.blogspot.com/

Sabtu, 28 November 2009

Bertahtakan dan Ditasbihkan


Akhir-akhir ini tak jarang kita membaca tulisan yang salah kaprah menempatkan kata. Seakan-akan kata yang dituliskan itu sudah tepat dan sesuai dengan maksud dan konteks kalimatnya. Sebagai contoh kalimat berikut ini: Raja kami kemarin ditasbihkan. Di atas kepalanya terlihat mahkota yang bertahtakan intan.

Sekilas kalimat tersebut sepertinya tak ada kesalahan. Tapi, cobalah dicermati lagi kalimat tersebut. Kekeliruannya sangat terang, namun sering diulang-ulangi dituliskan dan diucapkan oleh sebagian dari kita, bahkan oleh kalangan akademis dan berpendidikan sekalipun.

Raja kami kemarin ditasbihkan, berarti raja tersebut kemarin dijadikan sebagai puji-pujian kepada Allah atau dijadikan sebagai untaian butir manik-manik yang dipakai untuk menghitung ucapan tahlil, tasbih, dan sebagainya. Hal ini karena tasbih berarti puji-pujian kepada Allah dan mengucap subhanallah atau untaian butir manik-manik yang dipakai untuk menghitung ucapan tahlil, tasbih, dan sebagainya.

Lantas, apakah penempatan kata "tasbih" pada kata "Raja kami kemarin ditasbihkan" salah? Memang, jika dilihat dari konteks kalimatnya, penempatan kata "tasbih" dalam kalimat tersebut salah besar. Kalau begitu, mengapakah selama ini kata "tasbih" sering ditemui dalam kalimat seperti itu? Itulah yang namanya kekeliruan, sering dituliskan dan diucapkan, tapi jarang sekali yang menyadarinya bahwa hal tersebut keliru.

Kata yang tepat untuk kalimat tersebut adalah "tahbis". Sehingga kalimat yang benar adalah sebagai berikut: Raja kami kemarin ditahbiskan. Ditahbiskan artinya adalah disucikan (diberkati) untuk keperluan keagamaan. Kata "tahbis" biasanya dijumpai pada ritual Agama Kristen (Nasrani). Bukan hanya raja yang biasanya melalui ritual ini, melainkan juga pendeta, orang biasa (awam), bahkan juga binatang.

Lantas bagaimanakah dengan kalimat berikut ini: Di atas kepalanya terlihat mahkota yang bertahtakan intan. Bertahta artinya adalah menjadi raja atau memerintah (negeri). Bisa juga artinya berkuasa atau bersemayam. Jadi, kalimat: Di atas kepalanya terlihat mahkota yang bertahtakan intan artinya adalah: mahkota tersebut menjadi raja atau memerintah negeri intan. Bisa juga berarti mahkota tersebut berkuasa atau bersemayam intan.

Kata yang tepat untuk kalimat tersebut adalah "bertatahkan", yang artinya adalah diberi bepermata (intan dan sebagainya). Sehingga kalimat yang tepat adalah: Di atas kepalanya terlihat mahkota yang bertatahkan intan. Mahkota yang bertatahkan intan berarti mahkota tersebut diberi bepermata intan.

Raja kami kemarin ditahbiskan. Di atas kepalanya terlihat mahkota yang bertatahkan intan. Tahbis, bukannya tasbih. Ditahbiskan, bukannya ditasbihkan. Tatah, bukannya tahta. Bertatahkan, bukannya bertahtakan. [Hanafi Mohan – Ciputat, 27-28 November 2009]


Sumber gambar: http://mela1.blogspot.com/




Tulisan ini dimuat di: http://hanafimohan.blogspot.com/

Minggu, 08 November 2009

Negeri Para Bedebah


Oleh : Adhie M. Massardi



Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala

Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah

Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan



http://hanafimohan.blogspot.com/

Republik Mimpi Buruk


Oleh: Effendi Ghazali



Wahai anak-anakku di Republik Mimpi Buruk
malam ini nikmatilah bermimpi jadi kepala polisi
sebab polisi bisa menyebut fakta sesuka hati
di depan DPR yang tak akan menghakimi
malah DPR ramai-ramai memuji
ditambah cium pipi kanan-kiri
sehingga penonton TV menahan geli hi hi hi

Wahai anak-anakku di Republik Mimpi Buruk
malam ini jangan bermimpi jadi Superman
tapi mimpilah menjadi Super Anggodo
sebab Superman tidak bisa mengatur-atur polisi
tapi Super Anggodo bisa mengatur jaksa dan polisi
bahkan menyatakan didukung orang nomor satu di negeri ini
lucunya lagi, presiden terkesan tidak sakit hati
buktinya sampai saat ini presiden belum melaporkan Super Anggodo ke polisi
hingga polisi bilang tak punya bukti
dan Super Anggodo bisa melenggang menahan geli hi hi hi

Wahai anak-anakku di Republik Mimpi Buruk
jika dalam mimpimu ingin menyanyi
jangan lagi sebut namaku tiga kali
Bento-Bento-Bento
tapi gantilah syairnya menjadi:
sebut namaku tiga kali: Super Anggodo-Anggodo-Anggodo
sebab di internet, Super Anggodo kini telah memakai seragam Kapolri

TAPI wahai anak-anakku di Republik Mimpi Buruk
JANGAN PERNAH SEKALI PUN MEMBENCI INSTITUSI
baik itu KPK, Kepolisian, Kejaksaan, atau Kepresidenan
karena tak pernah ada negeri bisa maju di muka bumi
tanpa KPK, Kepolisian, Kejaksaan, dan Kepresidenan
yang BERINTEGRITAS TINGGI

Jadi, wahai anak-anakku di Republik Mimpi Buruk
cukuplah bermimpi mengusir orang-orang buruk dari institusi
all the president's men yang hampir kehilangan empati
sementara ketidakadilan merajalela, angka kemiskinan selalu dinyatakan menurun
dan faktanya, hanya di Republik Mimpi Buruk, angka kemiskinan selalu menurun
karena korupsi, angka kemiskinan selalu menurun pada anak dan cucunya


~ Jakarta, 8 Nov 2009 ~



http://hanafimohan.blogspot.com/

Sabtu, 07 November 2009

Penguatan Civil Society melalui Internet


Masyarakat madani (civil society) merupakan salah satu unsur penting penopang tegaknya demokrasi. Dua di antaranya yaitu negara hukum (rechtsstaat atau the rule of law) dan aliansi kelompok strategis. Perwujudan masyarakat madani secara kongkrit dilakukan oleh berbagai organisasi-organisasi di luar negara (non government organization/NGO) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Konsep rechtsstaat mempunyai ciri-ciri: adanya perlindungan terhadap HAM, adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan pada lembaga negara untuk menjamin perlindungan HAM, pemerintahan berdasarkan peraturan, adanya peradilan administrasi. Sedangkan the rule of law dicirikan oleh adanya supremasi aturan-aturan hukum, kesamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law), dan jaminan perlindungan HAM.

Aliansi kelompok strategis terdiri dari partai politik (political party), kelompok gerakan (movement group), dan kelompok penekan atau kelompok kepentingan (pressure/interest group).

Kelompok gerakan misalkan organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Islam (Persis), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI), dan organisasi masyarakat (ormas) lainnya.

Kelompok penekan atau kelompok kepentingan misalkan organisasi profesionalitas seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Ikatan Pengusaha Muda Indonesia (IPMI), Asosiasi Ilmuwan Politik Indonesia (AIPI), dan sebagainya. Termasuk juga dalam kelompok penekan atau kelompok kepentingan ini yaitu pers yang bebas dan bertanggung jawab, kalangan cendekiawan, serta sivitas akademika kampus, yang merupakan kelompok penekan yang signifikan untuk mewujudkan sistem demokratis dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan.

Bersama kelompok politik, kedua kelompok dua terakhir (kelompok gerakan dan kelompok penekan/kepentingan) ini dapat saling bekerjasama dengan kelompok lainnya untuk melakukan oposisi terhadap pemerintah.

Akhir-akhir ini tentunya kita menyaksikan betapa ketiga unsur penting penopang tegaknya demokrasi ini (negara hukum, masyarakat madani, dan aliansi kelompok strategis) menjadi harapan masyarakat ketika pemerintahan diindikasikan menjadi cenderung otoriter dan kekuasaan diindikasikan menjadi cenderung corrupt. Ditambah lagi betapa besarnya koalisi partai pendukung pemerintah, sehingga kalaupun ada partai yang beroposisi terhadap pemerintah, maka jumlahnya tak terlalu signifikan untuk mengontrol dan mengkritisi kinerja pemerintah serta mengimbangi berbagai kebijakan pemerintah melalui parlemen.

Demi terciptanya penguatan masyarakat madani, selain terdapatnya berbagai LSM, kini penguatan tersebut semakin lebih cepat dan massal melalui media internet. Melalui situs jejaring sosial semacam Facebook ataupun Twitter misalkan, penyebaran informasi, pembentukan opini, dan dukungan terhadap suatu kasus misalkan akan semakin mudah. Dan ini adalah kekuatan yang begitu besar yang tak bisa dianggap remeh oleh pihak penguasa. Selain melalui situs jejaring sosial, sebelumnya juga telah didahului dengan media blog sebagai salah satu media penyebar informasi yang kemudian dikenal sebagai citizen journalism.

Setelah sebelumnya kasus Prita Mulyasari, rasa keadilan masyarakat akhir-akhir ini juga kembali terusik, yaitu pada penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah yang tak lain adalah dua orang pimpinan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) non aktif. Alasan yang diajukan pihak kepolisian memang tak beralasan dan cenderung dibuat-buat dan dipaksakan. Padahal dua orang pimpinan KPK non aktif itu telah bekerjasama dengan baik kepada pihak kepolisian. Yang pasti, kita secara umum sudah mengetahui hal ini dari pemberitaan media massa.

Mendapati ketidakadilan dan kezaliman seperti ini dari pihak penguasa, apakah kemudian publik (masyarakat) berdiam diri saja? Tentu tidak. Masyarakat beramai-ramai mengungkapkan pendapatnya dan menunjukkan perasaannya melalui berbagai media, dari media konvensional semacam demonstrasi dan unjuk rasa, hingga media elektronik semacam jejaring sosial di internet seperti Facebook dan Twitter. Lantas ke mana dan di manakah wakil rakyat kita yang bertahta di DPR/MPR?

Ternyata para wakil rakyat kita tidak cukup tanggap terhadap permasalahan yang sedang gonjang-ganjing di masyarakat ini. Dan memang sudh menjadi rahasia umum bahwa masyarakat sudah lama tidak percaya dengan para wakil rakyat. Akhirnya jadilah jejaring sosial semacam Facebook dan Twitter, dan media di internet lainnya seperti Blog menjadi tempat berkeluh-kesah dan mengungkapkan mengenai permasalahan negeri ini.

Sungguh fantastis, hanya dalam hitungan hari, dukungan masyarakat terhadap dua pimpinan KPK non aktif agar ditangguhkan penahanannya (serta juga dibebaskan) melonjak tajam dan mengalir deras. Dan tak dapat dipungkiri juga peran media massa yang memblow-up habis-habisan mengenai kasus ini.

Seharusnya dengan hal ini, para pemimpin negeri ini (termasuk juga para pejabat pemerintahan dan anggota DPR/MPR) semakin tersadarkan, bahwa betapa masyarakat sudah kehilangan kepercayaan terhadap mereka. Jangan anggap rakyat ini bodoh, dan jangan anggap pula rakyat negeri ini berdiam diri saja melihat berbagai kejanggalan, ketidakadilan, dan kezaliman. Rakyat sudah muak dengan semua yang terjadi itu.

Ada empat pilar demokrasi, yaitu yudikatif, eksekutif, legislatif, dan pers. Tiga pilar pertama sudah mengalami delegitimasi hasil kolaborasi dengan pengusaha hitam. Tinggal pers dan MK (Mahkamah Konstitusi) yang masih bisa diharapkan sebagai tumpuan rakyat menuntut keadilan dan menegakkan kebenaran. Sekarang ditambah lagi dengan Parlemen Online alias FB (Facebook) yang tidak mungkin berselingkuh dengan pengusaha hitam, karena forum ini lebih mencerminkan keadilan substantif, bukan prosedural semata.

Hai para pemimpin dan penguasa, sadarlah bahwa kalian dipilih oleh rakyat. Kini saatnya anda menunjukkan kepada rakyat bahwa kalian memang pantas menjadi pemimpin negeri ini. Kalian boleh berkoalisi membohongi rakyat, tapi rakyat mempunyai bahasanya sendiri. Boleh tak ada partai yang beroposisi dan mengontrol terhadap segala macam kebijakan para pemimpin negeri ini, tapi ingatlah bahwa masih ada oposisi dan kontrol dari rakyat negeri ini terhadap para pemimpinnya. Dan ingatlah, kekuatan oposisi rakyat ini sangat besar. Bahkan tiga orang presiden Indonesia telah diturunkan dari tahtanya secara tidak hormat oleh kekuatan oposisi rakyat.

Milan Kundera pernah menyebutkan dalam salah satu tulisannya: "Pergulatan manusia melawan kekuasaan adalah pergulatan ingatan melawan lupa." Karena itu, janganlah lupakan sejarah. [Hanafi Mohan-Ciputat, Kamis-Jum'at, 5-6 November 2009]


Bahan bacaan:
Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Penyunting: A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Penulis: A. Ubaedillah, dkk, Penerbit: Indonesian Center for Civic Education (ICCE) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan The Asia Foundation, Cet. Pertama, 2000, Ed. Revisi-I, 2003, Ed. Revisi-II, 2006.

Sumber gambar: http://www.infed.org/


http://hanafimohan.blogspot.com/

Minggu, 01 November 2009

Musik Senandong Melayu


Selasa malam yang lalu (27 Oktober 2009) tak sengaja ketika pilah-pilih channel televisi, terpilihlah TVRI. Zaman dahulu, mungkin hanya stasiun televisi yang satu ini yang menjadi tontonan segenap masyarakat Indonesia. Tapi kini tentunya sudah sangat banyak pilihan stasiun televisi di negeri Nusantara ini. Sehingga, disadari atau tidak, TVRI seperti sudah tersisihkan dari ruang tontonan masyarakat Indonesia. Tapi tidak bagiku. Kadang-kadang TVRI masih sempat kusambangi ketika menonton televisi, karena bagiku TVRI lah salah satu stasiun televisi di Indonesia yang masih peduli untuk menayangkan keragaman negeri ini. Sedangkan stasiun televisi yang lain sepertinya kulihat lebih banyak menayangkan mengenai Jakarta dan Pulau Jawa. Sehingga pada stasiun televisi yang lain tidak kulihat kemajemukan negeri ini.

Walhasil, kutontonlah TVRI ketika itu yang sedang menayangkan acara Dendang Melayu. Ah…, sungguh inilah salah satu musik favoritku semenjak dari Pontianak hingga kini telah lama bermukim di Jakata. Walaupun telah begitu banyak musik-musik modern yang kugemari, tapi Musik Senandong Melayu sedikit pun tak pernah kutinggalkan dan tak pernah kulupakan. Karena melaluinya, tercetak berbagai nostalgia indah. Dan yang pasti, Senandong Melayu adalah musik asli negeri ini. Bukan hanya negeri ini, melainkan Senandong Melayu adalah musik bersama dalam memori keserumpunan Dunia Melayu, yang di dalamnya terdapat Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, dan Thailand, bahkan hingga ke Madagaskar dan negeri-negeri lainnya yang di sana terdapat puak-puak Bangsa Melayu.

Dari musik Senandong Melayu, tergambarlah betapa terbukanya budaya bangsa para pujangga ini. Hal ini tak lain karena Bangsa Melayu adalah bangsa pelaut dan pedagang yang meniscayakan bangsa ini selalu bersentuhan dengan berbagai macam budaya dan bangsa, tak terkecuali dalam hal bermusik. Dalam musik Senandong Melayu masih dapat kita rasakan pengaruh dari nuansa musik Arabia, musik India, musik Cina, dan tak terkecuali musik Eropa. Namun nuansa musik dari berbagai macam bangsa itu telah dengan apik diramu dan dilebur oleh Bangsa Melayu menjadi sangat bercitarasa Melayu. Contoh yang paling kongkrit adalah pada lagu-lagu Melayu yang digubah dan disenandungkan oleh Allahyarham (Almarhum) Tan Sri P. Ramlee AMN (salah seorang maestro, penyanyi, pencipta lagu, aktor, komedian, dan seniman legendaris Malaysia). Pada lagu-lagunya, kita bisa merasakan nuansa musik Eropa. Kadang lagunya bernuansa Swing, kadang juga bernuansa Salsa, Chacha, Bolero, Jazz, Samba, Latin, Tango, tapi semuanya itu berbalut dalam Senandong Melayu yang begitu kental. Salah satu lagu Allahyarham Tan Sri P. Ramlee adalah lagu yang berjudul “Madu Tiga” yang belakangan dinyanyikan lagi oleh Ahmad Dhani & “The Swinger” dengan warna Swing. Dan memang lagu aslinya yang dinyanyikan oleh Allahyarham Tan Sri P. Ramlee juga berwarna Swing. Belakangan dinyanyikan lagi oleh Ahmad Dhani bersama grupnya dengan warna Rock.

Kembali kepada tayangan Dendang Melayu di TVRI. Dari sisi musik, sebenarnya cukup bagus. Namun sayang, para penyanyinya tak ada yang benar-benar menguasai cengkok (legok) irama Senandong Melayu. Salah satunya bahkan ada yang merupakan penyanyi dangdut (kalau nggak salah merupakan salah seorang personel dari Manis Manja Grup, tapi aku lupa namanya). Dan memang jika kuamati dari beberapa orang penyanyi dangdut yang pernah menyanyikan Senandong Melayu, sangat jarang dari mereka yang bisa menyanyikan Senandong Melayu secara sempurna. Di antara mereka mungkin kebanyakan sangat fasih dan sempurna menyanyikan lagu Dangdut, tetapi ketika mereka menyanyikan Senandong Melayu, maka suara mereka pun berantakan, banyak yang suaranya menjadi sumbang (fals), dan vibrasi suaranya pun tak karuan.

Sekilas memang Senandong Melayu terdengar seperti lagu Dangdut, karena memang pada mulanya irama musik dangdut berasal dari irama musik Melayu. Tapi jika dicermati secara seksama, begitu banyak pula perbedaan antara Musik Senandong Melayu dengan Musik Dangdut yang berkembang kini. Musik Dangdut yang berkembang kini mungkin lebih banyak memasukkan unsur irama dan nuansa Musik India. Termasuk juga dalam lirik lagunya. Lirik lagu Musik Senandong Melayu sangat kental dengan nuansa sastra Melayu semacam syair, pantun, ghazal, dan gurindam. Sedangkan lirik Musik Dangdut kini sangat jauh dari nuansa sastra Melayu.

Jadi, jangan terlalu berharap menemukan spirit Musik Senandong Melayu dalam Musik Dangdut kini. Walaupun begitu, perkembangan Dangdut hingga kini tetap kita apresiasi. Apa yang kita saksikan dari Musik Dangdut kini tak lain merupakan ciri khas bawaan dari Musik Melayu, yaitu keterbukaan. Sehingga wajar jika kemudian kita melihat perkembangan Musik Dangdut kini yang begitu mencengangkan. Musik Senandong Melayu memilih jalan, bentuk, dan perkembangannya sendiri, bahkan hingga kini terus berkembang dan berinovasi. Begitu juga musik yang terlahir dari rahim Musik Senandong Melayu, yaitu Musik Dangdut yang telah memilih jalan, bentuk, dan perkembangannya sendiri yang hingga kini juga masih terus berkembang dan berinovasi.


Sejauh yang kuketahui, setidaknya terdapat beberapa macam jenis Musik Senandong Melayu, yaitu Dondang, Joget, Zapin, dan Senandong. Jika Dondang, Joget, dan Zapin agak rancak, maka Senandong agak mengalun dan mendayu-dayu. Mungkin ada lagi jenis yang lain, tapi itu sepertinya lebih merupakan kombinasi dari keempat macam jenis di atas, atau mungkin gabungan antara yang satu dengan yang lainnya di antara keempat macam jenis tersebut.

Yang berjenis Dondang misalkan lagu berjudul Dondang Dendang yang dinyanyikan oleh Nooranizah Idris (salah saeorang penyanyi Malaysia). Jenis Joget misalkan lagu berjudul Joget Pahang dan juga Joget Berhibur yang dinyanyikan oleh Siti Nurhaliza (juga merupakan salah saeorang penyanyi Malaysia). Jenis Zapin misalkan lagu berjudul Zapin Pusaka yang dinyanyikan oleh Nooranizah Idris dan lagu berjudul Laksmane Raje di Laot (Laksmana Raja di Laot) yang dinyanyikan oleh Iyeth Bustami (salah seorang penyanyi Indonesia). Jenis Senandong misalkan lagu berjudul Patah Hati yang dinyanyikan oleh Siti Nurhaliza dan lagu berjudul Fatwa Pujangga yang kalau tidak salah diciptakan dan dinyanyikan oleh Said Effendi (salah seorang pencipta lagu dan penyanyi Indonesia).

Seorang juri, komentator, dan tutor KDI (Kontes Dangdut TPI) pernah menyatakan bahwa Musik Melayu memang agak berbeda cara menyanyikannya dibandingkan dengan Musik Dangdut. Sehingga menurutnya bahwa yang paling sempurna menyanyikan lagu-lagu Melayu adalah peserta-peserta dari kawasan Sumatera dan Kalimantan yang memang merupakan kawasan berkebudayaan Melayu. Hal ini tak lain karena Musik Melayu telah mereka dengar, cerna, dan akrabi sejak kecil hingga dewasa. Bisa jadi sejak kecil mereka selalu ketika akan tidur selalu dinyanyikan Senandong Melayu. Lain lagi dari sisi pengucapan dan dialek (logat). Karena memang setiap hari mereka selalu berdialek (berlogat) Melayu, maka mereka pun tak canggung lagi ketika menyanyikan lagu-lagu berirama Melayu yang memang di dalamnya kental dengan tuturan Melayu dan sastra Melayu.

Kembali kepada tayangan Dendang Melayu di TVRI yang telah kukatakan di awal bahwa para penyanyi yang menyanyi dan “menyumbangkan--memfalskan” suaranya di acara tersebut sungguh mengecewakan. Bergulirlah terus acara tersebut. Hingga pada penutupan acaranya, para penyanyi tersebut pun bernyanyi bersama-sama, termasuk juga yang ikut bernyanyi bersama-sama tersebut adalah presenternya yang seorang perempuan. Setelah kudengar satu persatu suaranya, ternyata suara presenternya lebih bagus dibandingkan suara penyanyi yang lain. Kudengarkan betul-betul, ternyata presenternya ini cukup menguasai teknik dan cengkok (legok) Musik Melayu. Dalam analisa singkatku, kemungkinan presenter tersebut adalah orang Melayu ataupun orang dari kawasan Sumatera ataupun Kalimantan. Hal ini dapat kuketahui dari caranya bertutur kata yang sangat kental dialek (logat) Melayunya, termasuk juga dia sangat pandai berpantun (dalam tayangan tersebut ada selingan acara berbalas pantun). Akhirnya terpuaskan juga ketika mendengar presenter itu bernyanyi di akhir acara, walaupun di awalnya aku sangat kecewa dengan para penyanyi lainnya yang berdendang di acara ini.

Akhir-akhir ini di Indonesia bermunculan band-band (grup musik) kacangan dan tak berkualitas yang suka membawakan lagu-lagu cengeng dan melankolis. Sebagian kalangan menyebut aliran (genre) musik band-band itu dengan sebutan band beraliran (bergenre) Melayu, Band Melayu, bernuansa Melayu, atau yang lebih menyakitkan lagi menyebutnya sebagai Musik Melayu. Terus terang, aku sendiri muak dengan penyebutan band-band tersebut sebagai band beraliran Musik Melayu. Karena memang kurang tepat jika band-band kacangan dan tak berkualitas tersebut digolongkan bergenre Musik Melayu. Dan aku sendiri pun sebenarnya tidak respek terhadap band-band kacangan dan tak berkualitas tersebut, dan juga tak senang mendengarkan lagu-lagu mereka, serta juga tak senang menonton pertunjukan musik mereka, baik di televisi atau di mana pun saja. Hal ini tak lain karena cara mereka bermusik dan bernyanyi sangat jauh dari spirit Musik Melayu. Lebih tepatnya mungkin dapat dikatakan bahwa band-band Indonesia yang tak berkualitas tersebut lebih cenderung mencontoh band-band dan para penyanyi Malaysia di era 90-an. Bahkan jika dicermati lagi, ternyata kualitas bermusik mereka berada jauh di bawah band-band dan penyanyi Malaysia.

Mengapakah band-band dan penyanyi Malaysia bermusik dan bernyanyi seperti itu? Ini tak lain dan tak lebih karena mereka terpengaruh corak Musik Melayu. Namun hal tersebut bukan berarti musik yang mereka bawakan itu Musik Melayu, melainkan musik yang mereka bawakan itu tetaplah musik Rock, Slow Rock, ataupun Pop. Walaupun begitu, kualitas bermusik mereka (grup musik dan penyanyi Malaysia) sepertinya tetap lebih baik dibandingkan band-band Indonesia kini yang dinamakan sebagian kalangan sebagai band beraliran “Melayu?” tersebut. Ngetopnya mereka (band-band kacangan dan tak berkualitas tersebut) kini kemungkinan besar lebih merupakan minat pasar dan industri musik saja. Kalau tidak percaya, cobalah bandingkan kualitas bermusik band Malaysia seperti Search, Iklim, Slam, UK’s, dan Sting dengan band-band Indonesia kini seperti Kangen Band, ST 12, Hijau Daun, dan The Massive. Jika kita secara objektif membandingkannya, tentulah kita akan mengatakan bahwa band-band Malaysia tersebut lebih berkualitas dibandingkan dengan band-band Indonesia yang cengeng, melankolis, dan yang nggak karuan itu.

Seperti halnya Musik Senandong Melayu dan Musik Dangdut, maka jangan pula berharap menemukan spirit Bahasa Melayu dalam Bahasa Indonesia kini. Walaupun memang tetap kita apresiasi perkembangan Bahasa Indonesia kini yang cukup mengesankan. Hal tersebut tak lain karena ciri khas bawaan dari Bahasa Melayu yang tak lain merupakan asal-muasalnya Bahasa Indonesia. Bahasa Melayu yang sangat terbuka, egaliter, kosmopolis, dan telah menjadi lingua franca di Nusantara ini (termasuk di dalamnya beberapa negara di kawasan Asia Tenggara) kemudian dikembangkanlah hingga menjadi Bahasa Indonesia modern kini yang tak lain merupakan bahasa persatuan, bahasa perjuangan, bahasa ilmu pengetahuan, bahasa resmi pemerintahan dan pendidikan, bahasa sastra, dan bahasa pergaulan Bangsa Indonesia.

Bahasa Melayu memilih jalan, bentuk, dan perkembangannya sendiri, bahkan hingga kini terus berkembang dan lestari di kawasan berkebudayaan Melayu dan juga di negeri-negeri yang terdapat puak-puak Bangsa Melayu bermukim. Begitu pula dengan Bahasa Indonesia yang memilih jalan, bentuk, dan perkembangannya sendiri, bahkan terus berkembang menjadi Bahasa Indonesia yang modern yang siapapun masyarakat Indonesia tak segan-segan dan dengan suka hati bertutur kata menggunakannya.

Inilah setidaknya memori dan kesadaran kolektif kita sebagai bangsa dibentuk., yaitu melalui Musik Melayu dan Musik Dangdut, serta Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia. Dalam hal ini, TVRI menjadi salah satu elemen yang hadir membentuk memori kolektif dan kesadaran kolektif kita sebagai Bangsa Indonesia. Karena itu, tak ada salahnya sekali-kali kita menyempatkan diri menonton TVRI, walaupun memang dari sisi ramuan acara, stasiun televisi yang pertama kali hadir di layar kaca masyarakat Indonesia ini sudah ketinggalan jauh dari stasiun televisi swasta yang kini menjamur bagaikan cendawan di musim hujan. Walaupun kita akui juga bahwa mungkin selama ini TVRI yang kita lihat lebih cenderung berperan sebagai media yang menjadi corong pemerintahan.

Tapi harus tetap kita akui, bahwa mungkin melalui TVRI lah kita bisa melihat keragaman Bangsa Indonesia, sementara melalui stasiun televisi yang lainnya sangat jarang kita lihat kemajemukan bangsa yang besar ini. Mungkin melalui TVRI lah wawasan kebangsaan kita tidak lagi bagaikan "katak di dalam tempurung". Dan yang pasti, melalui TVRI, memori kolektif kita sebagai Bangsa Indonesia akan selalu terjaga, karena hingga kini mungkin hanya TVRI satu-satunya stasiun televisi di Indonesia yang menjangkau seluruh kawasan negeri ini, dari perkotaan hingga ke pedesaan, dari pesisir hingga ke pedalaman, dari daerah pantai hingga ke pegunungan, dan dari hulu sungai hingga ke hilir sungai. [Hanafi Mohan-Ciputat, Jum'at-Sabtu, 30-31 Oktober 2009]


Sumber gambar:
1. ZAPIN: Gambus dan Marwas, http://bangherri.multiply.com/
2. http://melayuonline.com/


http://hanafimohan.blogspot.com/

Kamis, 29 Oktober 2009

Kota Hantu, Film Horor, ... apa lagi ya?


Senin malam yang lalu (26 Oktober 2009) nonton bioskop Trans TV. Film horor sih, tapi yang pasti tidak seperti film horor Indonesia. Judulnya "Van Helsing". Sungguh memukau, walaupun sebenarnya aku sudah pernah beberapa kali menontonnya. Tapi entah mengapa, tetap saja menarik untuk ditonton lagi. Dan yang cukup menarik selain efek suara dan gambarnya yang bagus, ceritanya juga patut diacungi empat jempol (2 jempol tangan + 2 jempol kaki). Apalagi ditambahi bumbu-bumbu religiusitas Kristen. Entah mengapa film horor Indonesia tak ada yang kualitasnya sebagus film horor Amerika.

Semenjak kepulangan dari Pontianak pasca lebaran yang lalu, seakan-akan imajinasiku melemah, bahkan jari-jariku pun malas untuk menari-nari di atas tuts keyboards. Dan memang seperti itu biasanya yang terjadi padaku setiap pulang dari mudik ke Pontianak. Tapi itu semua kuanggap sebagai sesuatu yang positif, yaitu sebagai refresh dari segala aktivitas yang telah dijalani selama ini. Aku pun punya obatnya yang ampuh, yaitu membaca dan nonton tayangan serta film berkualitas.

Nah, tulisan kali ini sebenarnya tulisan gado-gado, yaitu untuk melatih memori asosiasi dan mind mapping ku. Ah, entah apa pula makhluk yang baru saja kusebutkan tadi. Jadi begini, ketika menonton film Van Helsing, aku sudah membuat ancang-ancang untuk tulisan gado-gado ini. Ancang-ancang itu kutulis di handphone dalam bentuk draft pesan. Dan kuakui juga bahwa spirit menulisku kali ini terinspirasi dan terpicu setelah membaca tulisan seorang teman blogger ku yang sama-sama berasal dari Pontianak di blognya: http://nrizyana.co.nr/. Maka mulailah memori asosiasi dan mind mapping itu bekerja.

Seperti telah kusebutkan di atas, bahwa membaca adalah salah satu caraku mengobati kesuntukan dan tidak adanya mood menulis. Akhir-akhir ini aku memang lebih tertarik untuk membaca buku sastra, salah satunya adalah novel. Novel yang kubaca pun pilih-pilih novel. Kebetulan teman kosanku memiliki koleksi buku yang lumayan banyak (termasuk juga novel), maka terus terang aku tak kehabisan stok novel untuk dibaca. Terakhir ini aku baru saja mengkhatamkan Roman Sejarah "Burung-Burung Manyar" karya Y.B. Mangunwijaya (almarhum), atau juga biasa dikenal dengan nama Romo Mangun. Seorang yang multitalenta menurutku, karena selain sebagai sastrawan, beliau juga adalah budayawan, pastur (rohaniawan Kristen), dan sekaligus juga seorang arsitek.

Seperti yang dituliskan oleh Jakob Sumardjo, bahwa Y.B. Mangunwijaya dengan novelnya Burung-Burung Manyar mencoba melihat revolusi Indonesia dari segi yang obyektif, bahkan agak cenderung melihatnya dari segi Belanda, dengan memasang protagonis orang Indonesia yang anti republik. Nilai buku ini terutama terletak pada keberanian pengarang untuk mengisahkan konflik jiwa seorang anti republik semasa revolusi, segi informasinya tentang kehidupan tentara KNIL, dan gaya humor pengarang yang kadang-kadang terselip ejekan yang penuh kejutan.

Setting waktu Roman Burung-Burung Manyar yaitu masa akhir penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, dan masa pasca Orde Lama (awal Orde Baru).

Cukup lama aku membaca novel ini. Dari sebelum bulan puasa yang lalu sudah mulai kubaca, hingga beberapa minggu yang lalulah baru selesai. Ketika mudik ke Pontianak pertengahan puasa yang lalu, novel ini aku bawa. Kubaca di kapal untuk mengusir suntuk, namun sayang ketika berada di Pontianak, novel ini tergeletak tak kubaca. Baru ketika balik lagi menuju ke Jakarta, novel ini kembali kubaca di atas kapal, yang tak lain dan tak bukan untuk mengusir suntuk. Setelah sekitar kurang lebih seminggu berada di Jakarta lagi, barulah Roman Sejarah yang mengagumkan ini kukhatamkan.

Selesai mengkhatamkan Burung-Burung Manyar, aku kembali dilanda rasa suntuk. Untuk membaca novel yang baru lagi, tentunya butuh waktu yang cukup panjang jika aku membacanya secara santai. Karena itulah, sebagai pengganti membaca novel, aku tak jarang menonton tayangan dan film di televisi. Dan sampai pada puncaknya ketika menonton Van Helsing Senin malam yang lalu. Mengapa kukatakan puncaknya adalah film "Van Helsing yang kutonton tadi malam? Karena setelah itu barulah semangat menulisku kembali muncul, barulah imajinasiku mengembara ke mana-mana, yang semuanya itu menjadi inspirasi berharga untuk menulis.

Mengapa menonton film menjadi pilihanku selain membaca novel? Karena membaca novel membutuhkan waktu yang cukup lama, sedangkan menonton film hanya butuh waktu sekitar dua jam. Bagiku keduanya sama saja dalam hal melecut dan memicu inspirasi menulis. Yang berbeda mungkin hanya pada nuansa yang dirasakan.

Karena gara-gara inspirasiku tersendat, novel (atau mungkin lebih tepatnya cerbung/cerita bersambung) Senja Merah Jingga yang kutulis hingga kini tersendat-sendat pula penulisannya. Namun ada hikmah di baliknya, karena kemudian muncul inspirasi untuk menulis refleksi keagamaan (keimanan/keislaman) dan refleksi kebangsaan. Sebenarnya refleksi ini sudah lama kubuat outlinenya, tapi memang baru kali inilah aku mendapatkan semangat baru untuk memulai penulisannya. Karena memang aku memiliki beberapa blog, maka rencananya refleksi keagamaan ini akan kuposting di blog Wordpressku. Apalagi memang akhir-akhir ini di blog Wordpressku lebih banyak kuposting tulisan yang berisi kajian keislaman. Sedangkan di blog Blogspotku ini kukhususkan untuk tulisan-tulisan bermacam ragam, terutama yang selain dari kajian keislaman. Akhir-akhir ini memang lebih banyak yang kuposting di blog Blogspotku ini adalah yang berhubungan dengan sastra (termasuk juga cerpen, puisi, cerbung/novel, dan essay karyaku), sharing tulis-menulis, dan kebudayaan Melayu (Melayu Kalimantan Barat dan Pontianak khususnya). Tapi kemungkinan ke depannya tak menutup kemungkinan juga akan kuposting di blog Blogspotku ini opini dan wacana yang lagi hangat di masyarakat kini, termasuk di dalamnya isu mengenai kebangsaan, keindonesiaan, nasionalisme, sosial, politik, hukum, ekonomi, budaya, pendidikan, sains, teknologi, informasi dan komunikasi, dan sebagainya. Karena itulah, refleksi kebangsaan mungkin akan kuposting di blog Blogspotku ini.

Kembali kepada film Van Helsing. Film ini sebenarnya bercerita mengenai perburuan drakula. Tokoh pemburu drakula tersebut bernama Van Helsing (sepertinya dia juga memburu vampire, dan makhluk sejenis lainnya). Dari namanya, sepertinya adalah orang Belanda. Tentunya banyak yang tahu, bahwa Bangsa Belanda pernah lama menjajah negeri ini (Indonesia/Nusantara).

Van Helsing ditugaskan oleh semacam perkumpulan biarawan di Roma (Italia) untuk memburu Drakula yang dimaksud. Drakula tersebut sebelumnya adalah seorang manusia biasa. Tapi entah mengapa, Drakula kemudian berubah menjadi sosok yang haus darah. Cerita pun bergulir. Tujuan dari misi Van Helsing kali ini adalah demi menyelamatkan satu keluarga yang tertahan masuk ke surga karena si Drakula, yang entah apa pula penyebabnya hingga tertahan masuk surga seperti itu. Tapi yang pasti, ketertahanan keluarga tersebut untuk masuk surga ada kaitannya dengan si Drakula. Karena itulah, si Drakula harus dibunuh agar keluarga tersebut bisa masuk surga dengan mulus, tidak lagi harus merasakan panasnya api neraka dan siksaannya yang pedih itu.

Ketika cerita ini dimulai, anggota keluarga tersebut yang masih hidup tinggal dua orang, yaitu Anna (perempuan) dan abangnya (kakak lelakinya). Mereka berdua inilah yang selama ini selalu diiincar oleh Drakula untuk menjadi mangsa, entah karena apa. Karena itulah, dua bersaudara ini selalu menjadi pihak yang berhadap-hadapan dengan Drakula. Dua bersaudara ini pun selalu mengadvokasi masyarakat di sekitarnya untuk melawan Drakula, karena Drakula juga mengincar banyak orang untuk dijadikan mangsa dan mungkin dijadikan pengikutnya. Hingga suatu ketika dalam pertempuran dua bersaudara tersebut melawan para pengikut Drakula, abangnya Anna dapat dikalahkan oleh pasukan yang haus darah itu. Diindikasikan bahwa yang mengalahkan abangnya Anna adalah manusia serigala. Hingga kemudian abangnya Anna pun dapat dipastikan nantinya juga akan menjadi manusia serigala karena telah tersengat oleh manusia serigala yang mengalahkannya.

Cerita pun berlanjut. Dalam tugasnya ini, Van Helsing ditemani oleh seorang lelaki dari perkumpulan biarawan. Tapi menurut pengakuan orang tersebut, bahwa dirinya belumlah menjadi seorang biarawan, sehingga ia masih bisa melakukan hal-hal yang terlarang bagi seorang biarawan, misalkan berhubungan dengan perempuan, dan sebagainya. Diikutkannya orang ini karena ia cukup menguasai berbagai hal untuk melumpuhkan Drakula. Van Helsing sendiri ketika akan diberangkatkan telah diberi wejangan oleh pemimpin biarawan mengenai hal-hal penting berkaitan dengan misinya kali ini. Selain itu, Van Helsing juga dibekali berbagai perlengkapan untuk melumpuhkan Drakula, antara lain: panah yang dirancang khusus untuk mengalahkan drakula, air suci dari gereja, salib, dan mungkin masih banyak lagi.

Singkat cerita, terjadilah pertarungan antara Van Helsing (ditemani Anna dan si lelaki dari perkumpulan biarawan) melawan Drakula (dan juga pengikutnya). Ketika terjadi pertarungan, ternyata Drakula tidak mempan dikalahkan dengan berbagai perlengkapan yang dibawa oleh Van Helsing. Dan ternyata Anna sudah mengetahui hal ini dari beberapa kali pertempurannya melawan Drakula dan pengikutnya. Inilah yang mungkin membuat Van Helsing agak kesal dengan Anna karena tidak memberitahunya terlebih dahulu (lebih awal).

Yang membuat film ini menarik karena ada beberapa sisipan cerita yang patut menjadi pesan berharga bagi siapa pun (mungkin lebih tepatnya disebut sebagai pesan religi). Misalkan, si lelaki yang menemani Van Helsing, seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa ia bukanlah seorang biarawan. Si lelaki ini, pada suatu ketika di dalam film ini melakukan hubungan seks di luar nikah dengan seorang perempuan (lebih tepatnya perzinahan). Walaupun dia tergabung dalam perkumpulan biarawan, sungguh pun menurut pengakuannya bahwa dia bukanlah seorang biarawan, ternyata si lelaki ini bukanlah seorang penganut Agama Kristen yang taat.

Di sisi yang lain dalam perburuannya mengalahkan Drakula, Van Helsing dan Anna terperosok ke suatu tempat. Tempatnya cukup angker. Menurut perkiraan Van Helsing (berdasarkan pengalamannya) bahwa tempat itu adalah kediaman makhluk yang cukup menyeramkan (mungkin semacam makhluk iblis). Tapi anehnya, di tempat itu juga ditemukan Injil. Karena itulah, Van Helsing memperkirakan bahwa yang tinggal di tempat itu adalah manusia yang baik, karena kalau yang tinggal di situ adalah makhluk iblis ataupun manusia jahat, besar kemungkinan takkan ada Kitab Injil di tempat itu.

Tak lama kemudian, muncullah sesosok makhluk yang menyeramkan dari tempat itu. Singkat cerita, ternyata makhluk itu bernama Frankenstein. Makhluk ini adalah semacam makhluk yang diciptakan oleh manusia. Terjadilah pertarungan antara Van Helsing dengan Frankenstein. Dalam pertarungan ini barulah diketahui bahwa Frankenstein adalah makhluk yang baik, sehingga wajar saja di tempatnya terdapat Kitab Injil. Kemudian diketahui juga, bahwa Frankenstein pun menjadi incaran Drakula untuk dijadikan semacam tumbal demi menghidupkan anak-anak Drakula. Karena itulah, Frankenstein harus diselamatkan agar Drakula tidak berkembang biak.

Dalam perjalanan menuju Roma (Italia) demi menyelamatkan Frankenstein, terjadilah pertarungan antara Van Helsing melawan dua orang istri Drakula dan manusia serigala (yang tak lain adalah abangnya Anna). Dalam pertarungan ini, seorang istri Drakula dan manusia serigala memang dapat dikalahkan, tapi harga yang harus dibayar adalah tersengatnya Van Helsing oleh manusia serigala. Karena itulah, Van Helsing dipastikan juga akan menjadi manusia serigala. Tak lama kemudian, Anna pun dapat ditangkap (disandera) oleh seorang istri Drakula yang masih hidup. Maksud disanderanya Anna adalah untuk ditukar dengan Frankenstein.

Bergulirlah terus cerita ini, hingga kemudian terjadilah drama penukaran tersebut dalam suatu gedung yang di dalamnya sedang berlangsung pesta (kelihatannya semacam pesta dansa). Van Helsing sendiri berencana akan mengelabui Drakula dalam penukaran ini, yaitu Frankenstein dipertahankan, sedangkan Anna diusahakan sedemikian rupa agar bisa terlepas dari sanderaan Drakula. Namun tentunya tak semudah itu. Drakula ternyata sudah dapat membaca taktik dan gelagat pengelabuan Van Helsing. Karena itulah, Drakula pun berencana mempertahankan Anna dalam sanderaannya, dan berusaha dengan cara apapun untuk mendapatkan Frankenstein. Apalagi Drakula pun berencana menjadikan Anna sebagai istrinya.

Masing-masing pihak akhirnya mendapatkan setengah yang diusahakannya, namun harus dibayar mahal dengan kehilangan yang harus dipertahankannya. Van Helsing dapat menyelamatkan Anna dari sanderaan Drakula, namun di sisi yang lain, Frankenstein dapat ditangkap oleh konco-konconya Drakula. Kalau sudah seperti ini, berarti penukaran yang direncanakan dari awal kemudian menjadi kenyataan, namun saja harus melalui suatu pertarungan, karena masing-masing pihak bermaksud mempertahankan apa yang sudah ada di tangannya.

Belakang kemudian diketahui bahwa yang dapat mengalahkan Drakula adalah manusia serigala. Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa karena pernah digigit oleh manusia serigala, maka Van Helsing kemungkinan besar juga bisa menjadi manusia serigala. Karena itu pula, sebagai manusia serigala, Van Helsing mempunyai kekuatan untuk mengalahkan Drakula. Namun di sisi yang lain, Van Helsing juga harus mengobati (menyembuhkan) dirinya agar tidak menjadi manusia serigala. Karena kalau sudah menjadi manusia serigala, maka Van Helsing akan selalu memangsa dan membunuh manusia. Dan ternyata yang memiliki obat tersebut adalah Drakula. Hal ini diketahui dari pemberitahuan Frankenstein.

Yang menarik dari cerita film ini juga karena konflik yang terjadi di dalamnya. Setelah habis satu konflik, maka akan hadir lagi konflik yang lain. Jika dicermati lagi, film ini tidak seperti film-film horor lainnya, karena di dalamnya juga terjadi adegan action, dan juga bertaburan pesan-pesan ajaran kemanusiaan (humanisme) dan religiusitas (terutama religiusitas Kristen). Yang pasti menurutku bahwa film ini layak ditonton, apa pun agama dan keyakinan anda, apapun partai politik dan ideologi yang anda anut, serta apapun ras dan kebangsaan anda.

Setelah melalui pertarungan sengit, akhirnya Drakula dapat dikalahkan oleh Van Helsing. Dalam pertarungan ini, Van Helsing juga berubah menjadi manusia serigala. Oleh karenanya, Van Helsing yang sudah berubah menjadi manusia serigala itu bisa membunuh Drakula. Sungguh seru. Kadang-kadang pada saat sudah hampir dapat membunuh Drakula, tiba-tiba Van Helsing berubah lagi menjadi manusia biasa. Namun tragisnya, Anna akhirnya tewas dalam usahanya membantu Van Helsing mengalahkan Drakula.

Di akhir film, tampak di langit wajah Anna yang sedang tersenyum. Mungkin ia dan keluarganya telah masuk ke surga. Selain itu, di laut juga terlihat Frankenstein yang sedang berperahu. Entah dia akan menuju ke mana. Yang pasti ia pergi untuk menyisihkan dirinya dari masyarakat yang selama ini menistakannya dan menganggapnya sebagai makhluk jahat. Mungkin ia mencari kebahagiaannya di belahan bumi yang lain yang jauh dari hiruk-pikuk manusia. Kebenaran dan kebaikan pasti dapat mengalahkan kejahatan dan keburukan. Itulah kesimpulan yang mungkin dapat ditarik dari film ini.

Sebenarnya agak aneh kalau aku menulis mengenai cerita film horor seperti yang sedang anda baca kini. Tapi setelah kurenungkan lagi, ternyata memang ada sisi diriku yang lain yang itu kemudian membawaku untuk juga tertarik pada cerita-cerita berbau horor, mencekam, menakutkan, dan mistis, walaupun dalam hal ini aku mempunyai keyakinan yang agak berbeda dengan kebanyakan orang-orang mengenai dunia mistis, makhluk halus, dan alam gaib.

Aku lahir dan dibesarkan di kota yang paling menyeramkan namanya di muka bumi ini. Kiranya mungkin tak ada nama kota yang seseram nama kota kelahiranku di alam dunia ini, kecuali hanya di dalam cerita-cerita fiksi. Kota Hantu, begitulah kiranya nama kotaku jika diartikan. Di dalam Bahasa Melayu, pontianak / puntianak artinya adalah hantu perempuan yang suka mengambil anak kecil atau mengganggu orang beranak. Di dalam Bahasa Indonesia mungkin disebut hantu kuntilanak. Di dalam legenda masyarakat Melayu Pontianak, bahwa hantu pontianak ini biasanya berdiam di poko’ / pokok (pohon) punti (ponti). Pohon ini biasanya berada di areal pemakaman (pekuburan), pohonnya rindang seperti pohon beringin, tapi sangat menyeramkan ketika kita lewat di dekatnya pada malam hari.

Untuk lebih jelasnya, silakan baca entri yang kudapatkan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berikut ini:

1 punti n pisang (raja)

2 punti n 1 (ikan ---) nama ikan laut; 2 (ular ---): nama ular

puntianak n hantu perempuan (suka mengambil anak kecil atau mengganggu orang beranak)

kuntilanak n hantu yang konon berkelamin perempuan dan suka mengambil anak kecil atau mengganggu perempuan yang baru saja melahirkan

Ternyata, punti juga berarti pisang (raja), mungkin maksudnya pisang raja. Hahaha, pantas saja di Pontianak banyak sekali pisang. Tapi masyarakat Pontianak tidak menyebut Pisang Raja dengan sebutan Punti atau Pisang Punti, melainkan Pisang Raja saja. Malahan kini di Jakarta dikenal Pisang Pontianak atau Pisang Ponti, yaitu pisang goreng (biasanya berbentuk seperti kipas) yang digoreng dengan balutan adonan tepung terigu atau tepung gandum (masyarakat Pontianak menyebutnya tepong gandom atau tepong gendom). Setelah jadi pisang goreng, kemudian diolesi serikaya, selai, ataupun olesan-olesan lainnya. Ternyata di Pontianak tak ada yang namanya Pisang Pontianak (Pisang Ponti) atau Pisang Goreng Pontianak (Pisang Goreng Ponti), namun masyarakat Pontianak hanya menyebutnya pisang goreng ataupun goreng pisang (biasanya mayarakat Pontianak mengucapkannya Goreng Pisang).

Masyarakat Pontianak memang suka membalik-balik kata-kata yang seperti ini, tergantung enaknya diucapkan seperti apa. Misalkan: keladi goreng menjadi goreng keladi, ubi goreng menjadi goreng ubi, dan semacamnya. Masyarakat Jakarta mengenal keladi dengan sebutan talas. Sedangkan ubi yang biasa dikenal oleh orang Pontianak, maka di Jakarta disebut singkong. Namun sayangnya selama ini tak pernah kudapati penjual gorengan di Jakarta yang menjual goreng keladi (talas) seperti halnya di Pontianak. Sedangkan goreng ubi (singkong) di Jakarta selama ini kudapati tak ada yang seenak goreng ubi (singkong) di Pontianak.

Tapi patut dicermati, jika orang Jakarta menyebut ubi, maka yang dimaksudkan adalah ubi cine (ubi jalar) seperti halnya yang dikenal di Pontianak. Sedangkan singkong yang dikenal di Jakarta, maka orang Pontianak menyebutnya ubi kayu’. Selanjutnya, berkaitan dengan keladi (talas), maka di Pontianak terdapat beberapa varietas keladi (talas). Yang selama ini kuketahui adalah Keladi Seghawak (serawak) dan Keladi Bighah (birah). Di antara kedua keladi ini, yang biasa dimakan adalah keladi seghawak. Sedangkan keladi bighah karena terlalu gatal, maka jarang dimakan. Gatalnya bukan main, karena sangat gatal. Oleh sebab itu, masyarakat Pontianak menyebut perempuan kegatalan ataupun perempuan genit dengan sebutan peghempuan (perempuan) bighah.

Selain itu ada lagi keladi yang biasanya dijadikan sayuran, tapi sepertinya tak ada sebutan khusus untuk keladi yang seperti ini. Kalau keladi seghawak biasanya dijadikan sebagai goreng keladi, namun tak jarang juga dijadikan sayuran. Sayo' Keladi (sayur keladi), itulah namanya. Masakan khas masyarakat Melayu Kota Pontianak yang kemungkinan masakan ini hanya ada di Kota Pontianak dan sekitarnya. Selain batang, daun, dan buah (umbi) nya yang dijadikan sayuran, masyarakat Pontianak juga tak jarang menjadikan akarnya sebagai sayuran. Akar keladi ini biasa disebut oleh orang Pontianak sebagai sulogh keladi (sulur keladi).

Ternyata bukan hanya keladi yang dijadikan sayuran, namun nenas (nanas) pun juga bisa dijadikan sayuran oleh masyarakat Pontianak. Bahkan jenisnya bermacam-macam. Ada yang dimasak bersama ikan, namanya adalah Sayo' Asam Pedas (sayur asam pedas). Ada juga yang dimasak bersantan, namanya yaitu Sayo' Pacri Nenas (sayur pacri nanas). Sayo' Pacri Nenas ini biasanya menjadi hidangan istimewa pada resepsi pernikahan. Selain itu, nenas (nanas) pun biasanya dijadikan sebagai campuran sambal, namanya yaitu Sambal Nenas. Selain itu juga biasa dijadikan sebagai acar. Minuman pun tak luput ada yang dibuat dari bahan nenas, namanya yaitu Ae' Ghojak / Ae' Ghujak (air rujak).

Bukan hanya keladi dan nenas yang biasa dijadikan sayuran oleh masyarakat Pontianak, deghian (durian), asam (mangga), belimbing buloh (belimbing buluh), dan belimbing manis pun juga biasa dijadikan sebagai teman makan nasi. Kalau yang dari durian namanya yaitu tempoyak, yaitu durian yang dipekasam (difermentasi). Kalau asam (mangga), belimbing buloh, dan belimbing manis biasanya dijadikan sebagai bahan campuran sambal.

Berkaitan dengan bahan makanan yang dipekasam (pekasam = makanan perangsang selera yang terbuat dari ikan, daging, ataupun buah-buahan yang diasinkan ataupun diasamkan, lalu dijemur atau disimpan agak lama), maka orang-orang Kalimantan sangat ahli dalam hal ini. Ada tencalok (yang terbuat dari udang halus yang dipekasam), ale-ale (kerang yang dipekasam), budu' / laba' (ikan yang dipekasam), dan yang paling dahsyat rasanya adalah ikan pekasam.

Jika budu' / laba' dipekasamnya hingga tak berbentuk ikan lagi (hancur dan mencair), maka ikan pekasam masih berbentuk ikan, sehingga ikan pekasam lebih mirip ikan busuk dan baunya pun busuk menyengat. Jika bahan makanan yang dipekasam lainnya bisa langsung dimakan, maka ikan pekasam harus dimasak dahulu (biasanya digoreng layaknya seperti ikan asin).

Dan memang diakui, bahwa semua bahan makanan yang dipekasam memang cenderung berbau busuk. Karena itulah, bagi orang yang tak terbiasa memakannya, mungkin akan muntah. Namun bagi yang biasa memakannya, maka akan menjadi hidangan istimewa dan menambah nafsu makan ketika menyantapnya.

Tidak habis di situ saja teror makanan ala orang-orang Kalimantan, masih banyak lagi deretan makanan lainnya yang super dahsyat rasanya. Ada telo' asin busu' (telur asin busuk), belacan, boto', bubogh pedas (bubur pedas), mie sagu' (mie sagu), bubogh asughah (bubur 'asyura), dan tentunya masih banyak lagi.

Begitulah Kota Pontianak, kota hantu di Bumi Khatulistiwa Bertuah, kota seribu sungai dan seribu parit di Bumi Kalimantan. Ternyata bukan namanya saja yang menyeramkan, namun makanannya pun mempunyai rasa yang meneror setiap lidah yang mencicipinya. Tak salah kiranya pendiri Kota Pontianak menamai kota ini seangker itu. ***

[Hanafi Mohan-Ciputat, Selasa-Kamis, 27-29 Oktober 2009]


Sumber: http://hanafimohan.blogspot.com/

Jumat, 21 Agustus 2009

[Cerbung Senja Merah Jingga] 24- Juru Kisah

Berkisah adalah satu dari sekian banyak kegemaran orang Pontianak. Aku adalah satu dari sekian banyak anak Melayu yang beruntung, karena dilahirkan dan hidup di dalam keluarga yang suka berkisah. Hingga banyak cerita-cerita orang terdahulu, baik itu legenda ataupun nyata telah sering aku dengar semenjak masa kecilku.

Ayahku adalah salah satu sosok yang fasih dalam berkisah ini. Beliau mendidik kami anak-anaknya melalui metode berkisah. Ayahku adalah seorang guru, lebih tepatnya yaitu guru agama Islam (ustadz), sehingga beliau memang pandai dalam bertutur kata, sayangnya beliau tidak sampai menjadi penceramah. Secara tidak kami sadari, bahwa dalam kisah-kisahnya, ayah telah mentransfer ilmu pengetahuannya kepada kami. Kalau memang ketika itu ayah secara sengaja ingin mengajar kami mengenai suatu ilmu, mungkin saja kami akan berat menerimanya. Tapi ayah telah melakukan semua itu melalui cara yang begitu baik, yaitu berkisah, sehingga kami tanpa sadar sudah menyerap ilmu yang diberikannya.

Di masa mudanya, ayah adalah seorang aktivis. Ini juga kuketahui dari kisahnya, dan juga dari koleksi buku yang dimilikinya. Menurut ceritanya, bahwa di masa muda, beliau pernah terlibat aktif sebagai anggota Partai Masyumi, yaitu partai Islam yang mengusung ide-ide modernisme dengan tokohnya yang terkenal, yaitu Muhammad Natsir.

Sedari aku kecil, ayah sudah menuturkan kisah mengenai tokoh Masyumi yang satu ini, juga tokoh-tokoh Masyumi dan tokoh-tokoh Islam lainnya seperti Buya Hamka. Tak jarang juga beliau menuturkan kisah para ilmuwan Islam terkemuka, seperti Imam Madzhab Empat (Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi'i, dan Imam Hambali), Imam Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha, tak terkecuali juga ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya. Kisah para Nabi, juga kisah Nabi Muhammad dan para sahabatnya, serta kisah para tabi'in dan tabi'it tabi'in juga tak jarang ia tuturkan kepada kami. Selain itu, kisah para tokoh Indonesia seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Mr. Muhammad Roem, Kasman Singodimejo, dan tokoh-tokoh Indonesia lainnya juga tak luput ia kisahkan.

Dari kisah-kisahnya itu, secara tidak sadar telah membiusku untuk meraih pendidikan tinggi dan selalu menuntut ilmu. Melalui kisah-kisahnya, ayah juga telah menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan keislaman pada kami anak-anaknya, tak terkecuali aku yang masih belia ketika itu.

Di antara saudara-saudaranya, maka ayah adalah orang yang paling suka membaca. Ini kuketahui dari koleksi bukunya yang cukup banyak. Dalam ilmu keislaman, maka di antara saudara-saudaranya, ayahlah yang paling terpelajar.

Beliau adalah sosok yang selalu haus ilmu. Pendidikan formal (sekolah umum) yang beliau jalani mungkin tak terlalu tinggi, karena memang di masa mudanya, sekolah umum masih begitu langka, dan keluarga ayah juga bukan keluarga yang tingkat perekonomiannya tinggi. Pada masa mudanya, mungkin hanya orang-orang yang perkonomiannya mapanlah yang bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang pendidikan yang tinggi.

Apa yang terjadi pada masa muda ayahku tentunya tak dapat disamakan dengan masa kini. Pendidikan tentunya tak hanya didapatkan dari pendidikan formal seperti sekarang ini. Orang-orang ketika itu mungkin lebih mudah dan lebih senang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah agama seperti madrasah, dan pendidikan jenis inilah yang dilalui oleh ayah. Selain bersekolah di madrasah, ayah juga berguru secara pribadi kepada sembilan orang guru. Ketika di masanya tradisi tulis menulis masih begitu minim, maka ayah telah mendobrak hal itu. Beliau suka menulis, walaupun tulisannya hanya sebatas ilmu keislaman. Tapi hal tersebut cukuplah menyatakan, bahwa ayah adalah sosok yang cukup sadar akan arti pentingnya pendidikan dan budaya menulis.

Aku selalu mengenang ayah dalam kenangan yang begitu indah. Beliau menjadikan anak-anaknya sebagai sahabat. Beliau mendidik anak-anaknya dengan cara-cara yang demokratis dan penuh kasih sayang. Beliau telah menumbuhkan tradisi ilmu di dalam keluarga kami semenjak kami berusia belia.

Setiap pembagian raport ketika aku SD, selalu mengembang senyum di wajah ayah, karena aku selalu mendapatkan peringkat pertama. Entah apa yang ada di benaknya ketika itu. Tapi bagiku, semua itu sudah menjadi dorongan positif untuk terus berprestasi di dalam pendidikan. Aku merasa puas ketika itu sudah bisa mempersembahkan sesuatu yang terbaik kepada orang tuaku. Dari sinilah aku tahu, bahwa kedua orang tuaku begitu mendukung pendidikan anak-anaknya. Dari sinilah aku tahu, bahwa kedua orang tuaku tidak seperti orang tua-orang tua lainnya di lingkungan kampongku. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, kedua orang tuaku tetap bertekad kuat untuk menyekolahkan anak-anaknya. Dan aku merasa beruntung dalam hal ini telah mendapatkan orang tua seperti mereka.

***

Suatu ketika, ayah pernah bercerita mengenai Imam Syafi'i yang sudah hapal Alquran semenjak berada di dalam kandungan ibunya. Kata ayah, Imam Syafi'i cukup lama berada di dalam kandungan ibunya. Lamanya berada di dalam kandungan itu karena Imam Syafi'i sedang belajar Alquran. Entah benar entah tidak cerita ini. Mungkin ini hanyalah cerita penghibur dari ayahku agar kami anak-anaknya mau belajar Alquran secara tekun.

Ayah juga pernah berkisah mengenai Syeikh Abdul Qadir Jailani, yaitu seorang wali dan sufi yang cukup terkenal yang berasal dari Timur Tengah (lahir di Kota Jailan atau Kailan-Persia tahun 470 H/1077 M, wafat di Kota Baghdad pada tanggal 9 Rabiul akhir 561 H/1166 M). Suatu ketika, ada seorang maling yang akan merampok di rumah Syeikh Abdul Qadir Jaelani. Ketika itu Syeikh Abdul Qadir sedang beribadah, dan si perampok kebetulan ketika itu sedang bersembunyi di bawah tempat Syeikh Abdul Qadir Jaelani beribadah. Di dalam khalwatnya itu, Syeikh Abdul Qadir juga sedang berkomunikasi jarak jauh dengan Wali Qutub (pemimpin para wali). Wali Qutub meminta Syeikh Abdul Qadir mencarikan seorang pengganti wali di suatu tempat. Mungkin karena Syeikh Abdul Qadir sudah mengetahui bahwa di bawah tempatnya sedang berkhalwat itu ada perampok yang sedang bersembunyi atau mungkin di dalam munajatnya ia mendapatkan suatu petunjuk, maka seketika itu juga Syeikh Abdul Qadir menjebol lantai tempat dia berada saat itu. Lalu diangkatnyalah si perampok dan mengatakan kepada Wali Qutub dalam komunikasi jarak jauhnya itu, bahwa ia sudah menemukan calon pengganti wali yang dimaksud oleh Wali Qutub. Tiada lain dan tiada bukan, si perampok itulah yang dijadikan sebagai pengganti wali di tempat yang dimaksud.

Entah cerita ini nyata atau fiktif, bahkan kalaupun fiktif, hingga kini aku tak tahu hikmah dari cerita perampok yang tiba-tiba menjadi wali ini. Mungkin hikmahnya adalah bahwa sejahat apapun seseorang, maka tetap saja orang tersebut memiliki potensi untuk menjadi baik. Dalam kehidupan seseorang, selalu saja ada keajaiban yang bisa menghampirinya.

***

Ah, sungguh ayahku mengagumkan ketika berkisah. Kami seakan-akan tersihir dengan kisah yang dituturkannya. Tapi begitulah cara ayahku mentransformasi ilmunya kepada kami. Bahkan bukan hanya kepada kami, kepada para muridnya yang lain pun yang rata-rata sudah berusia dewasa, ayah tetap tak ketinggalan menyampaikan kisah-kisah. Seakan-akan ayah tak pernah kehabisan stok cerita, ada saja cerita yang ia sampaikan. Dan yang patut diingat, para muridnya akan asyik berjam-jam mengikuti pelajaran yang diberikan ayahku. Entah karena pelajarannya, atau karena kisahnya yang membuat para murid ayahku betah berlama-lama duduk di ruang tamu rumahku mengikuti pelajaran ayah.

Kadang murid-murid ayah datang ke rumah, atau terkadang juga ayahlah yang mendatangi murid-muridnya. Muridnya berasal dari berbagai kalangan. Aku sendiri sering menemani ayah mendatangi muridnya di pasar, karena memang ada sebagian muridnya yang berprofesi sebagai pedagang. Entah bagaimana caranya ayah memberikan pelajaran kepada muridnya yang kadang melayani pembeli dan mengurus barang dagangannya. Tapi yang pasti, ayah punya cara tersendiri untuk hal itu.

Menurut cerita ayah, bahwa di masa mudanya, beliau juga adalah pedagang. Karena itulah, ayah banyak memiliki kenalan dari kalangan pedagang. Cara berdagang yang dilakoni ayah juga begitu uniknya. Setidaknya hal ini aku dapatkan dari kisah beliau sendiri. Ketika masa mudanya, ayah menjadi tangan kanan pamannya dalam berdagang. Perdagangan yang berlangsung sungguh di luar apa yang kita pikirkan selama ini. Bahkan boleh dikatakan dengan modal uang yang cukup minim. Modal yang paling diperlukan dalam perdagangan yang dilakoni ayahku itu lebih banyaknya adalah modal kecerdikan, serta juga keberanian. Ajang perdagangannya adalah di atas Sungai Kapuas.

Dengan menggunakan sampan, mereka (ayahku dan pamannya) berkayuh mendatangi para pedagang lainnya yang juga bersampan. Macam-macam pedagang yang mereka datangi, di antaranya adalah pedagang kelapa. Seakan-akan sebagai pembeli, mereka menawar barang dagangan tersebut dalam jumlah yang banyak, dan tentunya dengan harga tawaran yang diperkirakan akan mendatangkan keuntungan jika barang tersebut dijual lagi. Tentunya pedagang kelapa itu bergembira sekali, karena ada yang akan membeli dagangannya dalam jumlah yang banyak. Tawar-menawar pun terjadi, hingga harga pun disepakati. Pembayaran tidak dilakukan di tempat, melainkan baru akan dibayarkan ketika barang telah dimuat ke kapal. Memangnya kapal siapa, sedangkan mereka (ayahku dan pamannya) hanya bersampan? Tentunya bukan kapal milik mereka, melainkan kapal milik orang lain. Mengapa bisa seperti itu? Nah, di sinilah cerita uniknya.

Setelah itu, mereka berkayuh menuju kapal ataupun motor bandong yang sedang berlabuh yang mungkin sebelumnya telah mereka ketahui akan membeli kelapa dalam jumlah yang banyak. Transaksi kembali terjadi. Kini transaksi yang berlangsung adalah dengan pemilik kapal. Tawar menawar pun terjadi, hingga harga pun disepakati. Tentunya harga jual yang mereka tawarkan kepada pemilik kapal lebih tinggi dibandingkan harga jual dari pedagang kelapa. Setelah itu, mereka pun kembali mendatangi pedagang kelapa untuk segera memuat kelapa jualannya ke atas kapal. Setelah kelapa dimuat oleh pedagang kelapa ke atas kapal, maka mereka pun kembali mendatangi pemilik kapal untuk mengambil uang pembayaran dari pemilik kapal. Setelah itu, barulah mereka membayarkan uang tersebut kepada pedagang kelapa, yang tentunya dari pembayaran itu mereka sudah mendapatkan keuntungan yang lumayan.

Lihatlah, ayahku dan pamannya telah melakoni perdagangan yang cukup unik. Mereka tidak bermodal uang sedikit pun, kecuali hanyalah bermodalkan keberanian, kecerdikan, dan kepercayaan dari pedagang kelapa dan pemilik kapal. Tenaga yang mereka keluarkan pun begitu minimnya, karena yang memuat kelapa tersebut ke kapal bukanlah mereka, melainkan pedagang kelapalah yang langsung memuatnya ke kapal. Dalam hal ini, pedagang kelapa puas, pemilik kapal juga puas. Pedagang kelapa merasa puas karena barang dagangannya telah terjual dalam jumlah yang lumayan banyak, sedangkan pemilik kapal merasa puas karena kapalnya telah terisi dengan barang yang diinginkannya tanpa harus bersusah payah mencari barang tersebut kepada para pedagang.

Mengapakah pedagang kelapa dan pemilik kapal bisa percaya kepada mereka? Mungkin bisa jadi pedagang kelapa mengira bahwa pemilik kapal itu adalah ayahku dan pamannya, atau setidaknya mengira bahwa mereka adalah pekerja ataupun orang kepercayaan ataupun orang yang memiliki otoritas tertentu di kapal tersebut. Sedangkan pemilik kapal mungkin mengira, bahwa yang memiliki dagangan kelapa itu adalah mereka, dan pedagang kelapa yang memuat kelapa tersebut ke kapalnya tak lain adalah pekerja ataupun pesuruh dari ayahku dan pamannya.

***

Pada waktu yang lain, ayah juga pernah berkisah mengenai seorang anak yang ingin belajar di suatu madrasah (sekolah). Setting cerita ini adalah di Timur Tengah. Entah karena apa, mungkin karena keluarganya tidak mampu, si anak pun kemudian tak dapat bersekolah. Karena tekad si anak yang begitu kuat untuk menuntut ilmu, maka si anak pun hanya mendengarkan pelajaran dari kolong ruangan kelas di madrasah itu tanpa diketahui oleh si guru dan murid-murid yang berada di dalam ruangan belajar tersebut.

Si anak menyimak dan mencatat setiap pelajaran yang didengarnya dari bawah kelas. Alat tulis yang digunakan anak itu untuk mencatat adalah berupa papan tulis kecil yang kalau catatannya sudah penuh, maka tulisan yang ada di papan tulisnya itu dihapus untuk kemudian digunakan lagi untuk menulis. Jadi jangan disamakan dengan catatan kita sekarang yang itu bisa disimpan dan suatu waktu bisa dibaca lagi, karena alat tulis yang digunakan anak itu tak lebih hanyalah media tulis sementara, untuk kemudian ia menyimpan catatannya itu langsung ke memori otaknya.

Hingga suatu ketika, si guru menanyakan kepada murid-muridnya mengenai suatu hal dari pelajaran yang telah disampaikannya. Ternyata murid-muridnya tak dapat menjawab pertanyaan si guru. Mungkin karena mengetahui jawaban dari pertanyaan si guru, maka anak yang berada di bawah kolong kelas itu pun keluar, kemudian masuk ke dalam kelas. Ia mengatakan, bahwa ia mengetahui jawaban dari pertanyaan si guru. Tentu saja guru dan murid-murid yang berada di dalam kelas menjadi heran akan hal ini. Berkat kebijaksanaan si guru, maka si anak itu pun dipersilakan untuk menjawab pertanyaan yang dimaksud. Dan ternyata, jawaban dari si anak itu benar. Entah cerita ini benar atau fiktif belaka, tapi yang pasti ayah hanya sekedar berkisah yang mungkin di dalam kisahnya itu ada hikmah yang bisa diambil.

Tentang cerita ayah mengenai Syeikh Abdul Qadir Jailani yang menjebol lantai rumahnya, belakangan kiranya ada pertanyaan yang menggelayuti diriku. Apakah benar rumah Syeikh Abdul Qadir Jailani itu seperti halnya rumah kami orang-orang Pontianak yang berupa rumah panggung, yaitu rumah yang tidak langsung terletak di atas tanah, melainkan ada tiang yang memisahkan lantai rumah dengan tanah, sehingga ada bagian yang lowong di bawah rumah. Karena itulah, rumah orang Pontianak selalu ada kolongnya (kolong rumah). Sedangkan kita ketahui bersama, bahwa rumah orang-orang di Timur Tengah adalah rumah yang terletak di atas tanah, bukanlah seperti rumah kami orang-orang Pontianak. Sepertinya ayah agak kurang teliti ketika mengisahkan cerita tersebut. Atau memang disengaja seperti itu, sehingga alam pikiran kami bisa langsung nyambung dengan membayangkan bahwa rumah Syeikh Abdul Qadir Jailani itu sama halnya seperti rumah masyarakat Pontianak yang ada kolong rumahnya. Begitu juga dengan cerita si anak yang bersembunyi di bawah kolong kelas untuk menyimak pelajaran dari ruangan kelas yang ada di atasnya. Lagi-lagi ayah agak kurang teliti dalam mengisahkan cerita tersebut, atau memang disengaja seperti yang telah kusebutkan di atas.

Begitulah ayahku, orang tua sekaligus guru bagi kami anak-anaknya. Darinya kami mendapatkan pelajaran hidup melalui kisah-kisah yang dituturkannya. Dan melalui beliau pula kami anak-anaknya tumbuh dalam tradisi ilmu. Tradisi yang kiranya masih begitu langka di kampongku ketika itu, bahkan mungkin masih langka hingga kini. Tradisi yang dihidupkan di dalam keluarga sendiri oleh orang tuanya, yaitu tradisi keilmuan melalui media berkisah. Bagiku, sungguh apa yang telah dilakukan oleh ayahku itu adalah suatu terobosan kreatif di dalam keluarga kami yang bersahaja. Orang tua memang selayaknya juga menjadi guru dan pendidik bagi anak-anaknya. Dan didikan itu penuh dibaluti dengan nuansa demokratis dan kasih sayang yang kiranya kini pun masih jarang kita jumpai, bahkan di dunia pendidikan modern sekali pun. #*#


[Hanafi Mohan – Ciputat, medio Februari-medio Agustus 2009]


Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar Isi

Sumber: http://hanafimohan.blogspot.com/