Hikayat Dunia

Kita hanya pengumpul remah-remah | Dari khazanah yang pernah ada | Kita tak lebih hanya penjaga | Dari warisan yang telah terkecai ||

Pontianak Singgah Palembang

Daripada terus berpusing-pusing di atas Negeri Pontianak, yang itu tentu akan menghabiskan bahan bakar, maka lebih baik pesawat singgah dahulu ke bandar udara terdekat. Sesuai pemberitahuan dari awak pesawat, bandar udara terdekat adalah Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Negeri Palembang.

Mudék ke Ulu

Pasangan dari kate “ulu” ielah “mudék”. Kate “mudék” beakar kate dari kate “udék”. Udék bemakne "sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber)", "daerah di ulu sungai", juga’ bemakne "kampong halaman (tempat beasal-muasal)".

Soal Nama Negeri Kita

Belakangan ini kiranya ramai yang berpendapat ini dan itu mengenai asal usul dan makna nama "pontianak" kaitannya dengan Negeri Pontianak. Tapi apakah semua yang didedahkan itu betul-betul dipahami oleh masyarakat Pontianak?

Kampong Timbalan Raje Beserta Para Pemukanya [Bagian-3]

Selain banyak menguasai berbagai bidang keilmuan, beliau juga banyak memegang peran dalam kehidupan kemasyarakatan. H.M. Kasim Mohan yang merupakan anak sulong (tertua) dari pasangan Muhammad Buraa'i dan Ruqayyah ini merupakan seorang Pejuang di masanya.

Musik Motivasi Setahun Silam

“Satu Kursi untuk Seniman”, begitu tagline kampanyenya. Tekadnya untuk memajukan Kalbar lewat industri kreatif tentu patut diapresiasi. Melalui industri kreatif diharapkannya dapat menjadi jembatan menjulangkan budaya yang memayungi Kalimantan Barat.

Sultan Pontianak; Umara' dan 'Ulama

Kegemilangan Negeri Pontianak salah satunya diasbabkan kepemimpinan para Sultan-nya yang arif dan bijaksana. Sultan-Sultan Pontianak selama masa bertahtanya rata-rata memiliki dua peranan, yaitu berperan sebagai umara', sekaligus berperan sebagai 'ulama.

Puisi Buya Hamka untuk Muhammad Natsir

Kepada Saudaraku M. Natsir | Meskipun bersilang keris di leher | Berkilat pedang di hadapan matamu | Namun yang benar kau sebut juga benar ||

Rabu, 31 Desember 2008

2008 dalam Kenangan

Januari

Pada Januari 2008 ini ada satu peristiwa yang cukup menyita perhatian bangsa Indonesia, terutama oleh media massa, yaitu peristiwa wafatnya Mantan Presiden Soeharto (tepatnya pada tanggal 27 Januari 2008). Ya, wajar saja, mantan presiden gitu lho. Namun jika diingat lagi, perhatian media massa ketika itu sangat berlebihan.



Sebulan sebelum wafatnya Pak Harto, juga telah wafat mantan Perdana Meneri Pakistan (tepatnya pada tanggal 27 Desember 2007). Ya, benar, Benazir Bhutto namanya. Beliau tewas dalam serangan bom dan senjata api di Rawalpindi, dekat Islamabad, setelah menghadiri rapat akbar di Lapangan Liaquat National Bagh sebagai bagian dari kampanye pemilihan umum. Selain terbunuhnya Benazir Bhutto, setidaknya 15 orang lainnya tewas dan beberapa korban luka-luka dari insiden ini.

Perpolitikan di Pakistan ketika itu memang sedang panas-panasnya, karena rezim militer ketika itu (Presiden Pervez Musharraf) semakin represif. Setelah delapan tahun diasingkan ke luar Pakistan, Benazir Bhutto kembali ke tanah airnya untuk mengakhiri kekuasaan Presiden Pervez Musharraf. Benazir Bhutto yang sebelumnya diasingkan oleh penguasa, kemudian mendapat dukungan yang besar dari rakyatnya untuk menjadi oposisi dan ke depannya kembali memimpin Pakistan.



Benazir Bhutto adalah putri dari mantan Perdana Menteri Pakistan yang digulingkan, yaitu Zulfikar Ali Bhutto, yang dihukum mati ketika diturunkan. Penyebab kematian Benazir Bhutto adalah karena dibunuh oleh lawan politiknya. Bagi rakyat Pakistan, Benazir Bhutto adalah pahlawan dan martir demokrasi.


Jadi, apakah perbedaan antara wafatnya Soeharto (mantan Presiden Indonesia) dengan Benazir Bhutto (mantan Perdana Menteri Pakistan)? Apa pula persamaannya? Apa pula persamaan dan perbedaan antara kedua tokoh mantan pemimpin negara tersebut? Cari saja sendiri jawabannya.

Februari


Awal Februari 2008, Jakarta dirundung hujan seharian penuh (termasuk juga Ciputat). Bahkan musim hujan ini berlangsung hingga pertengahan Februari. Suhu sangat dingin sekali. Jangankan malam, siang pun masih begitu dingin. Sudah hampir seperti suhu di daerah Puncak-Bogor-Jawa Barat. Bukan hanya itu, cahaya (dan juga panas) matahari pun tak keluar. Sehingga kalau menjemur pakaian, seminggu baru kering.

Ingat hujan, maka aku ingat Pontianak, karena mayoritas warga Pontianak mengkonsumsi air hujan untuk minum dan masak. Dalam hal ini, tentunya berbeda dengan Jakarta. Air hujan di Jakarta memang tidak sejernih air hujan di Pontianak. Entah apalah sebabnya. Mungkin karena polusi udara Jakarta yang sudah di luar ambang batas, sehingga air hujannyapun tidak jernih alias kotor. Wajar saja orang Jakarta tidak mengkonsumsi air hujan, beda dengan orang Pontianak.

Maret

Berbanding terbalik dengan bulan Februari, maka di bulan Maret Jakarta dan sekitarnya begitu cerah. Cuaca cukup panas di bulan ini. Kehidupan warga Jakarta berdetak dengan kencangnya, tak terkecuali aku sebagai perantau.

Menjelang akhir Maret, warga Jakarta mengalami kelangkaan minyak tanah. Warga menjerit, karena selain langka, harga minyak tanah juga melambung tinggi, hingga mencapai angka Rp. 8.000. Entah mau jadi apa negara ini. Pemerintah ketika itu berencana menarik subsidi minyak tanah. Walaupun baru rencana, namun minyak tanah ketika itu sulit sekali untuk didapatkan. Subsidi minyak tanah ditarik, kemudian diganti dengan gas, begitu rencana pemerintahan ketika itu.

Dengan keadaan ini, ada saja pihak-pihak yang memanfaatkannya untuk mengeruk keuntungan. Lagi-lagi yang menderita adalah rakyat kebanyakan. Implikasinya kemudian adalah harga-harga kebutuhan lainnya juga beranjak naik. Indonesia semakin terpuruk saja. Perekonomian yang seperti ini juga berimbas pada bidang-bidang kehidupan yang lainnya.

Pada bulan ini Indonesia juga sedang dilanda Demam Film Ayat-Ayat Cinta, yang bahkan di dekat kosanku wabah ini menjalar hingga ke mimbar khutbah Jum'at. Menurut khatibnya ketika itu, bahwa film tersebut penuh dengan nilai-nilai kebaikan. Untungnya sebelum itu aku sudah pernah membaca Novel Ayat-ayat Cinta, sehingga apa yang dikhotbahkan oleh Sang Khatib mengenai film Ayat-ayat Cinta itu tak terlalu asing bagiku, dan aku sudah memiliki penilaian sendiri mengenai Novel tersebut.

April

Pada bulan-bulan ini, Indonesia sedang dilanda demam novel, tak terkecuali kampusku (UIN Jakarta). Dalam sebulanan, ada saja kegiatan seperti seminar, bedah buku, bedah film, dan semacamnya. Ayat-ayat Cinta, Tetralogi Laskar Pelangi, Ketika Cinta Bertasbih, dan masih banyak lagi yang lainnya. Tapi memang diakui, tak ada yang lebih heboh dibandingkan fenomena Ayat-ayat Cinta, terutama filmnya, yang menurut sebagian orang lebih banyak mengekspos sisi poligaminya. Bagi yang sudah membaca novelnya, maka akan dikecewakan ketika menonton filmnya. Tanya kenapa? Tentunya anda lebih tahu dari saya.

Mei
Bulan ini juga merupakan bulan yang penuh dengan kecam-mengecam. Apalagi kalau bukan kecam-mengecam mengenai keberadaan Ahmadiyah. Sebenarnya aku tak terlalu suka dengan keadaan ini. Betapa tidak, di tengah carut marut negeri ini, ternyata masih ada kecam-mengecam berkaitan dengan ajaran agama (kaitannya dengan Ahmadiyah yang dianggap oleh kalangan tertentu sebagai ajaran sesat). Tak cukup hanya dengan kecam-mengecam, bahkan di beberapa daerah sudah terjadi kekerasan terhadap para pengikut Aliran Ahmadiyah yang jumlahnya tak sedikit tersebut, sedangkan para pengikut Aliran Ahmadiyah itu juga adalah bagian dari bangsa yang "besar?" ini. Mereka adalah rakyat Indonesia, juga merupakan saudara kita sebangsa, senegara, setanah air, dan seagama.

Yang harus selalu diingat pula, bahwa negara ini sedang carut-marut, rakyatnya kebanyakan sedang berada dalam penderitaan hidup. Mengapa pula carut-marut dan penderitaan bangsa ini harus ditambah lagi dengan carut-marut dan penderitaan yang lainnya.

Pada tanggal 20 Mei 2008 tepat seabad kebangkitan nasional dan juga bertepaan dengan ulang tahunku yang ke-27. Jika Kebangkitan Nasional dirayakan dengan begitu meriah dan kolosalnya, maka ulang tahunku adalah kebalikannya, tak ada perayaan khusus, bahkan aku sendiri pun tak terlalu mempedulikannya.

Seabad Kebangkitan Nasional yang dirayakan begitu meriah itu berlangsung di Gelora Bung Karno, dan berselang sehari kemudian di tempat yang sama berlangsung pertandingan sepakbola antara kesebelasan Indonesia versus Buyern Munchen yang menghasilkan kekalahan telak bagi kesebelasan Indonesia.

Kubaca di koran, bahwa gara-gara perhelatan akbar seabad kebangkitan nasional tersebut, rumput di lapangan Gelora Bung Karno menjadi rusak, sehingga hal ini agak sedikit mengganggu kenyamanan para pemain sepakbola beraksi di atasnya ketika pertandingan sepak bola antara kesebelasan Indonesia versus Buyern Munchen besoknya. Mungkin ini hanya pernyataan menghibur diri atas kekalahan kesebelasan Indonesia.

Menurutku, perhelatan akbar seabad kebangkitan nasional itu terlalu wah dan membuang-buang uang negara di tengah kesulitan hidup rakyat menghadapi kenaikan harga BBM. Seharusnya pemerintahan yang dalam hal ini sebagai pihak penyelenggara acara tersebut lebih memperlihatkan keprihatinan atas kondisi negeri ini, bukannya melakukan acara yang membuang-buang duit itu. Ya, kalaupun tetap ingin melaksanakan acara tersebut, sebaiknya dilaksanakan agak lebih sederhana.

Juni

Awal Juni 2008 ditandai dengan Insiden Monas. Tanggal 1 Juni 2008 layak dikenang bukan saja sebagai hari lahirnya Pancasila, tetapi juga hari berkabung dan berbelasungkawa karena tindakan “hooliganistik” dan “vandalistis” yang dilakukan oleh FPI (Front Pembela Islam) atas sejumlah warga yang tergabung dalam AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan). Kekerasan yang memalukan dan memilukan ini terjadi persis pada hari lahirnya Pancasila, dan menimpa sebuah kelompok yang justru ingin menegakkan semangat dasar Pancasila, yaitu menghormati kebhinekaan dan keragaman yang menjadi ciri-khas negeri kita.



Cermatilah, bahwa anarki ada di mana-mana. Pada bulan ini, layar kaca kita menyuguhkan mengenai hal itu. Anarki semakin menjadi-jadi, tak pilih orang, tak pilih tempat, dan tak pilih waktu. Siapa pun kini bisa melakukan anarki, dengan tujuan apapun itu. Siapapun kini yang ingin memperjuangkan hak dan menyuarakan pendapatnya, serta berbagai kepentingan lainnya, maka anarki adalah salah satu yang harus dilakukan.

Lihatlah, para demonstran melakukan anarki agar aspirasi mereka didengar oleh penguasa dan pihak-pihak yang mereka tuju. Sedangkan pihak yang dituju pun akan melakukan anarki juga, yaitu untuk menghalau para demonstran tersebut. Anarki dibalas dengan anarki. Kalau sudah seperti ini, maka sudah dapat dipastikan tak akan ditemui suatu penyelesaian yang baik selain daripada ketidakpuasan dan luka yang menganga di semua pihak yang terlibat anarki ini.

Anarki pun kini bisa dalam bentuk yang beraneka ragam. Anarki bukan saja hanya berbentuk fisik (adu jotos, dsb), tapi juga bisa berbentuk yang lainnya. Jadi memang, anarki kini di ada mana-mana, dalam bentuk yang beraneka ragam pula, bisa dilakukan oleh siapa saja, dan dan pada waktu kapan saja.

Damai lah selalu duniaku. Semoga anarki takkan ada lagi. Damai di hati. Damai di bumi. Damailah selalu. Puji Tuhan.

Juli
Pada bulan ini, Indonesia masih terpuruk. BBM masih mahal, rakyat masih mengantri untuk sekedar membeli minyak tanah, gas elpiji juga susah didapatkan (selain juga harganya tak murah-murah amat), dan sedikit demi sedikit (tapi pasti) harga-harga barang dan juga harga-harga lainnya beranjak naik, rakyat menjerit, orang miskin semakin banyak, pengangguran semakin meningkat, dan masih banyak lagi deretan penderitaan lainnya. Dalam deretan negara termiskin di dunia, mungkin Indonesia termasuk di dalamnya.

Agustus

Inilah bulan yang begitu banyak momen di dalamnya. Menyebut Agustus, memori kita pasti langsung mengaitkannya dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Bagi para pemirsa televisi, maka Agustus juga merupakan hari ulang tahun beberapa stasiun televisi, yang biasanya acara televisi pada bulan ini bagus-bagus.

September


Memasuki awal September tahun ini bersamaan dengan dimulainya ibadah puasa Ramadhan oleh Umat Islam. Alhamdulillah, di Indonesia pada Ramadhan kali ini tidak ada perbedaan mengenai awal waktu pelaksanaannya. Baik pemerintah maupun mayoritas ormas-ormas Islam menyepakati 1 Ramadhan 1429 H jatuh pada tanggal 1 September 2008 M.

Pada bulan ini, Asif Ali Zardari (suami Almarhum Bernazir Bhutto) terpilih menjadi Presiden Pakistan melalui kendaraan People Power Party (PPP) menggantikan Pervez Musharraf.

Pada pertengahan bulan ini (tepatnya tanggal 15 September 2008),yaitu di tengah kita menjalani ibadah puasa ramadhan, negeri ini dikejutkan dengan Tragedi Pembagian Zakat di Pasuruan-Jawa Timur yang merenggut nyawa sebanyak 21 orang dan beberapa orang lainnya luka-luka.




Di negeri yang katanya kaya raya ini, ternyata kita masih harus menyaksikan tragedi yang memilukan ini. Memilukan karena tragedi ini terjadi di Bulan Ramadhan. Memilukan karena kisah sedih ini menimpa para orang miskin. Memilukan karena tragedi ini adalah tragedi pembagian zakat. Memilukan, karena kita hanya bisa menangis melihatnya, tanpa bisa melakukan apa-apa. Mudah-mudahan takkan terjadi lagi kejadian seperti ini di masa mendatang.

Oktober

Setelah sebulan penuh menunaikan ibadah puasa Ramadhan, tepat pada tanggal 1 Oktober 2008 yang bertepatan dengan 1 Syawwal 1429 H, Umat Islam merayakan Idul Fitri. Seperti halnya 1 Ramadhan, maka 1 Syawwal kali ini juga tidak ada perbedaan, baik oleh pemerintah, maupun mayoritas ormas-ormas Islam.

Akhir Oktober 2008 berlangsung Pemilihan Walikota Pontianak-Kalimantan Barat dengan jumlah 7 pasangan kandidat (kebetulan waktu itu aku lagi berada di sana). Bersamaan dengan Pemilihan Walikota Pontianak, juga berlangsung Pemilihan Bupati di Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Pontianak, dan Kabupaten Sanggau (semuanya di Provinsi Kalimantan Barat). Yang terbanyak kandidatnya adalah Kabupaten Kubu Raya, yaitu sebanyak 8 kandidat, mungkin yang terbanyak dalam sejarah PILKADA di Indonesia.

November

Di bulan ini, Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudera menghadapi eksekusi mati. Ketiga pelaku pengeboman di Bali pada 12 Oktober 2002 ini dieksekusi pada tanggal 9 November 2008. Bertahun-tahun mereka mendekam di LP Nusakambangan. Pemerintah memutuskan tanggal 9 November 2008 untuk mengeksekusi ketiganya.

Yang patut dicermati, bahwa hampir semua media massa memberikan liputan khusus terhadap eksekusi mati narapidana terorisme ini. Bukan hanya itu, ternyata di kampung halaman mereka, mayat ketiga teroris ini disambut, disemayamkan, dan dimakamkan bak pahlawan. Dalam hal ini, menurutku media massa sudah terlalu berlebih-lebihan memblow-up berita mengenai hal ini. Kesan yang hadir memang seperti itu. Dapatkah kita menerima, bahwa pelaku pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak berdosa kemudian dielu-elukan bagaikan mereka itu pahlawan? Di sinilah peran media massa. Dalam menampilkan suatu kejadian, media massa seharusnya pada tataran yang wajar-wajar saja, seperti halnya menampilkan kejadian-kejadian lainnya.

Pada bulan ini, dunia juga menyaksikan terpilihnya Barrack Obama dari Partai Demokrat sebagai presiden Amerika Serikat. Pada tanggal 4 November 2008 Barack Obama sukses mengalahkan rivalnya, Senator John McCain dari Partai Republik dan menjadi presiden Amerika Serikat ke-44 dan orang kulit hitam pertama yang menjadi presiden Amerika Serikat.

Tanggal 26 November 2008 adalah hari yang tragis bagi India. Hotel Taj Mahal yang menjadi ikon kota Mumbai hancur oleh serangan aksi teror yang dilakukan oleh kelompok militan Lashkar-e-Taiba. Kelompok militan ini disinyalir sebagai kelompok yang bermarkas di Pakistan. Dalam aksinya di Mumbai, kelompok ini telah menewaskan 195 orang, termasuk kepala pasukan antiteror India.

Desember

Pada Desember 2008 ini dilangsungkannya Piala AFF 2008. Berbeda dengan Piala Asia pada 2007, maka prestasi Indonesia pada Piala AFF cukup mengecewakan.

Di bulan ini juga sedang terjadi krisis politik di negara Thailand. Sepertinya, baru beberapa bulan yang lalu Thailand memiliki Perdana Menteri baru, setelah Perdana Menteri sebelumnya diturunkan karena menjadi pemandu acara kuliner pada salah satu televisi di negeri itu. Desember 2008 ini, kembali kita mendengar berita yang tidak mengenakkan dari Negeri Gajah Putih ini. Para demonstran menuntut perdana menteri yang baru untuk turun dari jabatannya. Bandara pun lumpuh total karena diduduki oleh para demonstran. Berbanding terbalik dengan keadaan negaranya yang sedang terjadi krisis politik, maka kesebelasan Thailand pada Piala AFF 2008 menunjukkan prestasi (dan juga permainan) yang mengagumkan.

Hampir di akhir 2008, kiranya terlalu banyak hal-hal yang dil luar dugaan terjadi di dunia ini. Di bulan ini terjadi aksi pelemparan sepatu oleh seorang wartawan Irak terhadap George Walker Bush (Presiden Amerika Serikat) yang sedang berpidato di Irak. Mungkin banyak yang tidak mengira, bahwa hal ini akan terjadi. Seorang presiden negara adidaya dilempar sepatu oleh seorang wartawan. Sungguh kejadian yang menggelikan syaraf humor kita. Apalagi kejadian ini terjadi pada akhir-akhir masa jabatan Sang Presiden, dan hal ini terjadi di negara yang selama ini diduduki oleh negara adidaya tersebut.

Yang juga cukup menyita perhatian Indonesia di akhir 2009 ini adalah mengenai UU BHP (Undang Undang Badan Hukum Pendidikan). Banyak pihak yang kontra terhadap UU BHP ini, namun banyak juga yang pro. Entah apa alasan yang pro terhadap UU BHP tersebut. Yang pasti, UU BHP ini akan semakin mengukuhkan komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan, sehingga pendidikan hanya dimungkinkan bagi orang-orang yang berpunya, sedangkan orang-orang miskin cukup gigit jari saja.

Di akhir 2008 ini kita juga dikejutkan dengan aksi barbar Israel terhadap Palestina. Negeri para Nabi ini (Palestina) dibombardir habis-habisan oleh Israel. Hingga kini, telah banyak berjatuhan korban di Palestina. Inilah salah satu kebiadaban di zaman modern kini. Kiranya hanya simpati yang bisa kita berikan kepada Palestina, entah yang lain. Mudah-mudahan semakin banyak pihak yang bersimpati dan memberikan bantuan kepada Palestina. Puji Tuhan, semoga dunia damai selalu.

)_ _ _(

Sebenarnya masih begitu banyak momen-momen penting di tahun 2008, namun kadang kita sering terlupa untuk mencatatnya. Jangankan apa yang telah terjadi di dunia ini (paling tidak apa yang telah terjadi di negeri ini), apa yang telah terjadi dan kita lalui secara pribadi saja kadang begitu mudah kita lupakan. Ini tak lain karena kita tidak mencatatnya, tidak menulisnya di dalam ingatan kita. Ini tak lain karena kita menganggap apa-apa yang telah terjadi itu tak terlalu penting untuk diingat, dicatat, dan ditulis, sehingga ke depannya kita mudah sekali jatuh pada kesalahan yang sama.

Mudah-mudahan apa yang telah terjadi pada tahun 2008 akan menjadi refleksi bagi tiap-tiap kita untuk menyongsong dan menjalani tahun 2009.

Mau tahu apa yang akan terjadi pada tahun 2009? Tanyakan saja kepada paranormal (atau mungkin kepada para tidak normal), ketik: reg [spasi] ramal, kirim ke 9090. Namun jangan kecewa jika anda mendapatkan jawaban yang tidak memuaskan dari ramalan tersebut. Rasulullah mengatakan, bahwa peramal adalah orang yang paling tak dapat dipercayai.

Selamat tinggal 2008, selamat datang 2009. Sejarah manusia akan terus berjalan. [Hanafi Mohan - Ciputat, Desember 2008]


Sumber gambar:
http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:MsBenazirBhutto.jpg
http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Soeharto.jpg
http://lifeisbeautifulwithmimit.blogspot.com/2008/06/fpi-insiden-monas-dan-keyakinan.html
http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/16/12065970/tragedi.zakat.pasuruan.jangan.terulang.lagi

Selasa, 16 Desember 2008

Cak Nur; Cendekiawan yang Rendah Hati



Ketertarikan kita kepada seseorang kadang begitu anehnya. Tak jarang pula hal tersebut berawal dari ketidaksukaan kita kepada orang itu. Dan ketertarikan jenis inilah yang aku rasakan ketika mengenal Nurcholish Madjid (Cak Nur). Semenjak aku masih berada di Pontianak yaitu saat masih bersekolah di SMK Teknologi (dulunya STM) di kota kelahiranku tersebut, sosok yang satu ini memang sudah kukenal. Aku lupa persisnya ketika pertama kali mengenal Cak Nur. Mungkin bisa jadi dari koran-koran yang pernah kubaca, atau mungkin juga dari pemberitaan televisi. Apalagi di masa-masa hampir tumbangnya rezim Orde Baru, seingatku Cak Nur begitu seringnya muncul di media massa sebagai tokoh nasional yang sering mengeluarkan pendapat berkenaan dengan masa depan Indonesia yang sedang berada di ambang kehancuran ketika itu.

Aku sering bertanya-tanya pada diriku sendiri ketika itu, siapa Cak Nur ini sebenarnya? Begitu pentingkah dirinya, sehingga ia sering dimintai pendapat mengenai bangsa ini? Apalagi yang sering kudengar ketika itu, bahwa Cak Nur sering mengeluarkan pendapat yang kontroversial mengenai Islam, yang ini semakin menambah ketidaksukaanku kepada tokoh yang satu ini. Begitulah perkenalanku kepada Cak Nur, hingga di saat lain, ketika aku sudah berada di Jakarta untuk melanjutkan studiku, keadaan berkata lain. Tokoh yang tidak aku sukai ini lambat laun kemudian menyita perhatianku, hingga ia menjadi salah seorang tokoh nasional yang aku kagumi.

Kampus tempatku menuntut ilmu, yaitu UIN Jakarta (waktu itu masih bernama IAIN Jakarta), seakan-akan memberikanku ruang yang begitu luas untuk mengenal lebih jauh sosok yang satu ini. Setelah membaca beberapa buku yang ditulisnya, aku menjadi semakin mengenal Cak Nur. Pemikiran-pemikirannya memberikan pencerahan bagiku. Konsep-konsep Islam yang selama ini telah dikenal oleh Umat Islam, tapi melalui Cak Nur, konsep-konsep tersebut kembali diulas, seakan-akan aku kembali lagi dari awal mengenal Islam yang telah kuanut semenjak lahir.

Ulasan-ulasannya tersebut pada satu sisi begitu sederhana, tapi memberikan pemahaman yang baru bagiku. Cak Nur mendedahkannya dari sisi yang lain, yang mungkin selama ini tak terlalu menjadi perhatian dari para penceramah agama yang biasa aku dengar di masjid ketika Shalat Jum'at. Sebut saja misalkan konsep syari'ah, jihad, syirik, keadilan, dan konsep-konsep lainnya yang seakan-akan selama ini sudah kuketahui, karena aku adalah Umat Islam. Tapi setelah membaca berbagai pemikirannya, seakan-akan aku baru mengetahui ajaran agama yang kuanut ini. Pemikirannya juga memperlihatkan kepadaku sisi yang lain dari Islam, yaitu Islam sebagai agama yang damai dan rahmatan lil alamin.

Kekaguman kepada Cak Nur juga telah membawaku untuk beraktivitas di organisasi mahasiswa yang dahulunya pernah dipimpin oleh Cak Nur, yaitu HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Di organisasi ini semakin memberikanku ruang yang begitu luas untuk mendalami lebih jauh pemikiran-pemikiran Cak Nur. Apalagi belakangan setelah semakin intens bergelut di HMI, barulah kuketahui, bahwa beliau adalah perumus ideologi organisasi mahasiswa Islam ini. Begitu mengagumkan juga, karena ideologi tersebut dirumuskannya ketika ia masih pemuda sepertiku.

Suatu ketika, waktu itu adalah acara pengukuhan BEM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, aku mendapatkan kesempatan yang begitu berharga, karena dapat bertatapan langsung dengan tokoh yang kukagumi ini. Pada acara tersebut, Cak Nur diminta untuk berorasi mengenai kenegaraan dan kebangsaan. Ketika mendengar orasinya itu, aku semakin yakin, bahwa kekagumanku kepada tokoh yang satu ini tidaklah salah. Beliau begitu berbeda, begitu mempesona, dan penuh dengan kharisma. Orasinya begitu mendalam, sedalam pemahamannya terhadap kondisi bangsa ini. Dan satu yang selalu kuingat, yaitu suaranya begitu syahdu, lembut, dan penuh dengan kedamaian, berbeda dengan suara kebanyakan para penceramah agama yang menggelegar-gelegar dan menyambar-nyambar bagaikan guntur dan petir dari langit.

Suaranya yang tak terlalu nyaring dan juga tak terlampau pelan itu membawaku (dan mungkin juga hadirin yang hadir ketika itu) kepada pemahaman yang baru mengenai bangsa ini. Selain tulisan-tulisannya begitu enak dibaca, orasinya pun begitu nyaman didengar. Menurutku, beliau adalah seorang penulis yang bagus, sekaligus juga seorang orator ulung. Ini mungkin adalah pertemuanku untuk pertama dan terakhir kalinya dengan Cak Nur, karena setelah itu aku tak pernah lagi bertatapan langsung dengannya, paling-paling hanya melalui televisi yang pernah menayangkan ceramah-ceramah agama yang disampaikannya.

Menurutku, beliau adalah sosok yang begitu rendah hati dan tulus. Ia tidak lantas menggurui, walaupun ilmu dan pemahamannya begitu mendalam. Ungkapan-ungkapannya juga tidak cenderung untuk melecehkan orang atau aliran yang tak sepaham dengannya. Beliau juga tidak mengeluarkan kata-kata pedas ketika mengkritisi sesuatu yang tidak disetujuinya, cenderung tidak tendensius dan tidak pula menghakimi, melainkan ia selalu berkata santun. Kiranya jarang sekali ditemui seorang intelektual yang seperti beliau. Ia bukan hanya dihormati oleh kawan, juga disegani oleh orang-orang yang berseberangan pendapat dengannya. Hal ini mungkin karena kharisma intelektualnya juga sejalan dengan akhlaknya yang luhur, baik ketika menulis, berkata, bahkan ketika bertindak.

Pada suatu kesempatan saat aku menjadi Sekretaris Umum HMI Cabang Ciputat pada hari Senin 29 Agustus 2005, ketika itu adalah hari terakhir pelaksanaan RAKORNAS (Rapat Koordinasi Nasional) LKMI (Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam) yang dilaksanakan di Pontianak-Kalimantan Barat yang tak lain adalah kota kelahiranku. Delegasi dari HMI Cabang Ciputat adalah aku bersama dua orang kader HMI Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta. Hari terakhir RAKORNAS LKMI tersebut kami habiskan untuk jalan-jalan di Kota Pontianak, sekaligus aku juga mengenalkan Kota Pontianak kepada beberapa teman peserta RAKORNAS LKMI yang notabene bukan berasal dari Pontianak.

Ketika itu kami sedang berada di dalam mobil setelah beberapa teman membeli oleh-oleh untuk dibawa ke kota mereka masing-masing. Saat itu kira-kira pukul tiga sore, ponselku berbunyi, yang menandakan ada SMS yang masuk. Lalu tanpa menunggu lama, langsung kubaca SMS tersebut. Ternyata suatu berita yang begitu mengejutkan bagiku dari seorang teman seperjuanganku di HMI KOMFASTEK (Komisariat Fakultas Sains & Teknologi dan Ekonomi). Berita tersebut tak hanya mengejutkanku, tetapi juga mengejutkan teman-teman HMI lainnya yang ketika itu semobil denganku. Cak Nur telah berpulang ke rahmatullah, begitulah isi dari SMS tersebut.

Aku bukan hanya terkejut, tapi juga kehilangan seorang tokoh panutan. Seorang yang setiap curahan pemikirannya adalah oase bagi kehidupanku. Pemikirannya yang oleh sebagian orang begitu kontroversial, tetapi bagiku telah memberikan pencerahan yang begitu berharga. Setiap untaian pemikirannya adalah untaian penunjuk jalan bagi bangsa yang berada di ambang kehancuran ini. Ia adalah pemikir yang memiliki moralitas yang begitu tinggi. Selain sebagai pembaharu Islam, ia juga adalah seorang negarawan yang begitu mencintai negerinya. Dan pesona dirinya yang tak pernah kulupakan, bahwa ia adalah sosok yang rendah hati dan tulus.

Melalui tulisannya, Cak Nur tak jarang mengingatkan untuk tidak mengkultuskan seseorang. Semoga juga kekagumanku kepadanya tidak terjerumus kepada pengkultusan yang sering ia wanti-wanti untuk dihindari itu. Dan memang selayaknya kita menghargai Cak Nur karena nilai-nilai kemanusiaannya yang begitu tinggi. Cak Nur hanya manusia biasa, penghargaan kepadanya tak lebih karena ia telah memberikan kontribusi yang begitu besar kepada umat dan bangsa ini. Sumbangsih positif dari pemikirannya juga sudah sepatutnya untuk diapresiasi dengan baik. Terlepas dari itu, pemikirannya juga tak menutup kemungkinan untuk dikritisi. Dan aku yakin, begitu pulalah yang diinginkan oleh Cak Nur, bahwa generasi kini jangan hanya membeo kepada pemikiran yang telah ia lontarkan.

Cak Nur telah mengukir sejarahnya yang indah dan menawan di atas lontar kehidupan dengan tinta emas yang berkilauan. Generasi kini tentunya harus melakukan pencapaian-pencapaian yang lebih dari itu. Bukan hanya sekedar membeo, tapi melakukan apresiasi kreatif dan kritis terhadap khazanah intelektual yang telah dipersembahkannya. Sehingga dari apresiasi tersebut akan memunculkan inovasi terbaru yang lebih berarti untuk kehidupan umat dan bangsa ini di masa kini dan akan datang. Jika Cak Nur adalah pendaki yang telah mencapai puncaknya, maka kita tentunya tak ingin hanya menatap Cak Nur dari kejauhan sembari mengelu-elukan kebesarannya. Lebih tragis lagi jika Cak Nur kemudian diberhalakan, serta pemikirannya didewa-dewakan. Hingga kemudian generasi penerusnya tak lebih hanyalah menjadi generasi yang tenggelam dalam kejumudan. [Hanafi Mohan / Ciputat, Mei 2008]



Sumber Foto:

- http://fadlanous.blogspot.com/

- http://lintang2010.wordpress.com/

- http://syafiqjawad.wordpress.com/

Jumat, 12 Desember 2008

Sekolah di Masa Kecil

SD Negeri 11 Pontianak Timur, itulah sekolah yang pertama kali kumasuki selama hidupku (tahun 1988). Guru-guru yang begitu menawan ada di sekolah dasar kampungku ini. Kepala sekolahnya adalah Pak Kasdi, yang beberapa tahun kemudian digantikan oleh Ibu Zaleha.

Guru kelas 1 adalah Ibu Maemunah (kalau tak salah), yang beberapa bulan atau mungkin setahun kemudian diganti oleh Ibu Siti Hawa.

Ibu Maemunah adalah guru yang cukup garang menurutku dan teman-temanku ketika itu. Sedangkan Ibu Siti Hawa adalah guru yang tak terlalu garang, walaupun mungkin ada juga hal-hal yang tak kami sukai darinya.

Melalui tangan dingin mereka lah, kami para anak Melayu yang buta aksara ini lambat-laun menjadi bisa membaca, menulis, dan berhitung. Begitu besar jasa mereka kepada kami, yang mungkin hingga kini tak pernah bisa kami balas.

Pada kelas berikutnya, semakin bertambahlah guru kami. Ada Ibu Selvi yang mengajar Bahasa Indonesia, Ibu Nurhayati yang mengajar Matematika dan IPA (dan mungkin masih banyak lagi mata pelajaran yang ia ajar, karena seorang guru SD biasanya memang memegang lebih dari satu mata pelajaran), Ibu Netty mengajar Agama Islam, Pak Raqib yang mengajar Olahraga, dan beberapa guru lainnya yang aku sudah lupa nama-namanya, beberapa guru juga ada yang dipindahkan ke sekolah lain yang kemudian diganti oleh guru yang baru. Ada satu lagi yang tak pernah kulupa, yaitu pembantu sekolah kami yang biasa dipanggil Pak Dolah. Orangnya lucu, kadang juga suka ngomel, tapi dia baik, kami biasa membantu pekerjaannya (atau lebih tepatnya dialah yang minta dibantu). Yang pasti hal-hal yang bisa kami kerjakan, seperti mengangkat meja dan bangku, lemari, mencuci gelas dan piring.

Walaupun Pak Dolah hanya seorang pembantu sekolah, tapi ia sudah kami anggap sebagai guru dan orang tua kami. Melalui mulutnya, kami diberi nasehat yang begitu berarti bagi kehidupan kami. Ia juga sering bercerita mengenai anaknya yang sudah berhasil menjadi sarjana. Melalui Pak Dolah, semangat kami terlecuti untuk menjadi orang yang berpendidikan tinggi, yang berguna bagi umat dan bangsa, dan juga bagi orang tua kami. [Hanafi Mohan]

Rabu, 10 Desember 2008

Kolam Renang di Lapangan Bola


Masa SD adalah masa yag menyenangkan bagiku (dan mungkin juga bagi teman-temanku). Seakan-akan kami tak punya beban kehidupan selain daripada harus belajar tekun, dan yang pasti belajar tersebut membuat kepala kami pusing. Sehingga waktu yang kami sukai dan kami tunggu-tunggu adalah ketika lonceng istirahat berdentang sebanyak tiga kali yang menandakan waktu istirahat. Ketika istirahat, maka kami akan bermain di lapangan sekolah dengan berbagai macam permainan. Main bola, gelasen (galah hadang/galah panjang), main guli (kelerang/gundu), dan masih banyak lagi permainan lainnya. Kalau sudah jemu dengan lapangan sekolah, maka kami akan menjadikan hutan dekat sekolah sebagai tempat alternatif untuk bermain permainan yang lebih menantang, seperti main perang-perangan. Selain waktu istirahat, jam pelajaran olah raga juga ditunggu-tunggu, karena waktu luang untuk bermainnya agak lebih panjang.

Kalau Pontianak sedang mengalami air pasang yang memang rutin setiap tahun itu, maka kami begitu bergembira, karena bisa bermain air dengan riang-gembira di lapangan SD yang dipenuhi air. Lapangan sepak bola SD kami memang multifungsi. Bisa untuk bermain bola, senam pagi, upacara bendera, dan kalau lagi air pasang bisa menjadi kolam renang. Karena tak terlalu terawat, lebih seringnya lapangan ini menjadi taman bunga di depan sekolah kami. Jauh dari yang dibayangkan, taman bunga ini isinya bukanlah bunga-bunga yang berbau harum semerbak dengan warnanya yang indah menawan, tapi tak lain isinya adalah semak-belukar dengan rumputnya yang miang dan berduri., yang kalau hujan tanahnya menjadi becek, kemudian menjadi tempat yang paling indah bagi kodok untuk bertelur. []

Kota yang Dibelah Oleh Sungai

Eee … sampan laju, sampan laju daghi ile’ sampai ke ulu

Sungai Kapuas, sunggoh panjang daghi dulo’ membelah kote

Eee... tak disangke, tak disangke dulo’ utan menjadi kote

Ghamai pendudoknye, Pontianak name kotenye


Dua bait awal lagu daerah Pontianak yang berjudul “Ae’ Kapuas” ini menggambarkan Kota Pontianak yang begitu lekat dengan Sungai Kapuas yang merupakan sungai terpanjang di Indonesia. Pontianak adalah kota yang wilayahnya dipisahkan oleh Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Landak yang tak lain adalah anak sungai dari Sungai Kapuas. Sungai Kapuas Besar memisahkan Pontianak Barat dengan Pontianak Utara. Untuk menuju ke Pontianak Utara dari Pontianak Barat (atau sebaliknya) bisa secara langsung menggunakan feri penyeberangan sungai. Sungai Kapuas Kecil memisahkan Pontianak Selatan dengan Pontianak Timur dengan penghubungnya berupa jembatan yang dikenal dengan sebutan Jembatan Kapuas. Sungai Landak memisahkan Pontianak Utara dengan Pontianak Timur dengan penghubungnya berupa jembatan yang dikenal dengan sebutan Jembatan Landak. Sedangkan Pontianak Selatan menyatu satu daratan dengan Pontianak Barat. Pemisah kedua wilayah tersebut hanyalah sebuah parit yang disebut Parit Besar.

Dalam Bahasa Melayu, Pontianak artinya hantu kuntilanak. Penamaan ini sesuai dengan sejarah ketika berdirinya kota pesisir sungai ini dua abad yang silam. Konon ketika itu, pendiri kota ini yaitu Syarif Abdurrahman Al-Qadri, bersama-sama dengan rombongannya yang melakukan perjalanan dari Mempawah untuk mencari daerah baru yang akan dijadikan kerajaan sampai di wilayah utara Pontianak yang kemudian dikenal sebagai kawasan Batulayang. Ketika sampai di wilayah Batulayang inilah, rombongan Syarif Abdurrahman Al-Qadri yang melakukan perjalanan dengan menggunakan kapal tiba-tiba mendapat gangguan dari makhluk halus sejenis hantu kuntilanak. Berdasarkan petunjuk yang didapat, Syarif Abdurrahman Al-Qadri kemudian memerintahkan kepada rombongannya untuk bermalam di tempat itu, karena daerah yang akan dituju sudah semakin dekat. Berdasarkan petunjuk yang didapat juga, Syarif Abdurrahman memerintahkan kepada rombongannya untuk menembakkan meriam, yang selain untuk mengusir gangguan hantu kuntilanak, juga untuk menjadikan penanda jatuhnya peluru meriam itu sebagai tempat yang akan mereka bangun sebagai wilayah kesultanan.

Simpang tiga pertemuan Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Landak adalah tempat jatuhnya peluru meriam yang ditembakkan oleh rombongan Syarif Abdurrahman. Kawasan Simpang Tiga itu kemudian dikenal dengan nama Kampung Beting yang termasuk di dalam wilayah Kelurahan Dalam Bugis. Di kawasan inilah untuk pertama kalinya didirikan bangunan berupa masjid di Kota Pontianak yang ketika itu masih hutan belantara. Masjid yang merupakan bangunan pertama di Kota Pontianak itu kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman. Tak jauh dari Masjid Jami’ Kesultanan Pontianak itu kemudian didirikan Istana Qadriah Kesultanan Pontianak. Hingga kini, kedua bangunan bersejarah di Kota Pontianak itu masih tetap kokoh berdiri.

Pontianak memang dikenal sebagai Kota Air. Dengan Sungai Kapuas dan Sungai Landak sebagai sungai yang membelah kota serta puluhan parit (kanal) yang bermuara ke kedua sungai tersebut. Sekilas seperti Kota Venezia di Italia, atau Kota Amsterdam di Belanda. Sungai dan Parit menjadi salah satu jalur transportasi terpenting di Kota Khatulistiwa ini. Dari sampan kayu yang berukuran kecil hingga kapal-kapal berukuran besar bisa melalui Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Dan ada lagi satu alat transportasi angkutan barang yang cukup unik, yaitu Bandong. Merupakan kapal kayu yang berbentuk seperti rumah, yang bisa memuat dan mengangkut barang dalam jumlah yang cukup besar. Bandong ini biasanya dipergunakan untuk mengangkut barang melalui sungai ke daerah-daerah yang berada di hulu Sungai Kapuas dan Sungai Landak, dan daerah pedalaman lainnya di Kalimantan Barat. Kapal, motor air, dan bandong, baik yang berlabuh di pinggir sungai maupun yang sedang berjalan menyusuri sungai akan sering kita temui jika kita sedang berada di pinggiran sungai, dan tentunya akan menjadi pemandangan yang begitu menarik Belum lagi sampan dan speed boat yang lalu-lalang membawa penumpang menyeberangi sungai. Juga kehidupan masyarakat pesisir sungai yang tak kalah menariknya. Semua hal itu menjadikan keunikan tersendiri bagi Kota Pontianak. Namun sayang, semua keunikan itu belum digarap dan dikelola dengan baik oleh pemerintahan daerah setempat dan pihak-pihak lain yang terkait sehingga bisa menjadi wisata air yang akan menarik para wisatawan berkunjung ke Kota Khatulistiwa ini.

Pontianak adalah kesultanan terakhir yang didirikan di Provinsi Kalimantan Barat di masa lalu. Pontianak didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri yang sekaligus menjadi Sultan pertama di Kesultanan Pontianak ketika itu. Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri adalah putera seorang ulama terkenal di Kalimantan Barat yang bernama Habib Husain. Habib Husain ini berasal dari Negeri Hadralmaut-Yaman Selatan. Berdasarkan silsilahnya, Habib Husain ini merupakan keturunan Nabi Muhammad. Ketika di Kalimantan Barat, Habib Husain sempat menjadi ulama yang menyebarkan ilmu keislamannya di Kesultanan Matan dan Kesultanan Mempawah. Syarif Abdurrahman sendiri adalah putera dari perkawinannya dengan perempuan di Kesultanan Matan.

Beberapa kesultanan lainnya yang lebih dahulu didirikan di Kalimantan Barat di antaranya adalah: Kesultanan Tangjungpura, Kesultanan Matan, dan Kesultanan Sukadana di Kabupaten Ketapang (kini dimekarkan menjadi Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara), Kesultanan Sambas di Kabupaten Sambas, Kesultanan Mempawah dan Kesultanan Kubu di Kabupaten Pontianak, Kesultanan Landak di Kabupaten Landak, Kesultanan Sintang di Kabupaten Sintang, dan Kesultanan Sanggau di Kabupaten Sanggau. Walaupun didirikan paling akhir, namun karena letaknya yang strategis pada jalur perdagangan telah menjadikan Pontianak sebagai kota pelabuhan sekaligus sentra perdagangan dan sentra pemerintahan di Provinsi Kalimantan Barat.

Penduduknya yang heterogen telah menjadikan Pontianak sebagai kota yang kosmopolitan. Penduduk Pontianak rata-rata adalah penduduk pendatang, karena tadinya Pontianak hanyalah hutan belantara. Setelah berdirinya Kesultanan Pontianak, maka berdatanganlah orang-orang dari luar Kota Pontianak. Nama-nama kampung dan tempat yang ada di Pontianak menggambarkan asal daerah penduduk yang ada di tempat itu. Misalkan: Kampung Banjar Serasan menunjukkan bahwa penduduk yang ada di tempat itu berasal dari Banjarmasin dan Pulau Serasan. Kampung Bangka Belitung menunjukkan bahwa penduduk yang ada di tempat itu berasal dari Kepulauan Bangka Belitung. Kampung Tambelan Sampit menunjukkan penduduk yang ada di tempat itu berasal dari Pulau Tambelan di Kepulauan Riau dan Sampit di Kalimantan Tengah. Kampung Saigon menunjukkan penduduk yang ada di tempat itu berasal dari Saigon-Vietnam. Kampung Kamboja menunjukkan penduduknya berasal dari Negeri Kamboja. Dan beberapa kampung lainnya seperti Kampung Kuantan, Kampung Arab, Kampung Jawa, Kampung Bali, Siantan, dan Kampung Dalam Bugis. Beberapa nama tempat tersebut memang diakui berdasarkan kaitan daerah asal penduduk yang ada di kawasan tersebut. Namun apa yang telah saya tuliskan tersebut mungkin juga agak kurang valid, sehingga patut dilakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai asal daerah penduduk yang ada di kawasan-kawasan tersebut. Seperti penamaan beberapa kawasan mungkin saja bukan karena penduduk yang ada di kawasan tersebut berasal dari daerah yang kemudian dijadikan sebagai nama kawasan tersebut, karena mungkin saja ada hubungan lain, misalkan hubungan perdagangan di masa lalu di mana penduduk yang ada di tempat itu pernah berdagang atau berlayar ke suatu tempat, sehingga mereka menamakan kawasan tempat tinggal mereka berdasarkan tempat yang pernah mereka singgahi ketika melakukan pelayaran atau perdagangan tersebut. Atau mungkin juga ada hal-hal lainnya, sehingga terciptalah nama tersebut. Apa yang telah saya tuliskan di atas tak lebih hanyalah ingin menunjukkan heterogenitas Kota Pontianak. Penelitian yang mendalam lagi mengenai hal ini saya rasa begitu pentingnya.

Selain dikenal sebagai kota yang dibelah oleh sungai, Pontianak juga dikenal sebagai kota yang pas dilalui oleh garis khatulistiwa (equator) nol derajat. Sehingga Pontianak dijuluki sebagai Kota Khatulistiwa. Karena itu, cuaca di kota ini cukup panas dengan sinar mataharinya yang terik menyengat. Tempat berdirinya Tugu Khatulistiwa sebagai penanda ciri khas dan keunikan Kota Pontianak berada di wilayah Siantan Kecamatan Pontianak Utara. Di kawasan Tugu Khatulistiwa ini setiap tahunnya pada saat terjadinya peristiwa kulminasi matahari selalu rutin diadakan event budaya daerah, yaitu Festival Budaya Bumi Khatulistiwa

Mayoritas penduduk Kota Pontianak adalah Melayu dan Tionghoa. Karena merupakan kota pelabuhan, beberapa suku lainnya juga cukup banyak mendiami kota ini. Sedangkan Suku Dayak sebagai salah satu suku asli selain Melayu lebih banyak mendiami daerah-daerah hulu sungai dan pedalaman di Kalimantan Barat. Tapi kini juga tak dapat dipungkiri, bahwa Suku Dayak juga sudah cukup banyak mendiami daerah perkotaan seperti Pontianak.

Secara umum, bahasa pergaulan sehari-hari di Pontianak adalah Bahasa Melayu, yang juga dipergunakan secara luas di seluruh Kalimantan Barat. Hal ini membedakan Kalimantan Barat dengan tiga provinsi lainnya di Pulau Kalimantan, yaitu Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Di tiga provinsi tersebut, bahasa pergaulannya adalah Bahasa Banjar. Walaupun Bahasa Banjar masih termasuk rumpun Bahasa Melayu, namun tak dapat dipungkiri juga, bahwa terdapat perbedaan mendasar antara Bahasa Melayu dengan Bahasa Banjar.

Secara geografis, Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi yang berbatasan darat secara langsung dengan Malaysia Timur (Kalimantan Bagian Utara). Hal ini telah menjadikan Pontianak sebagai ibu kota Kalimantan Barat memiliki peranan strategis dalam hubungan antara dua negara serumpun (Indonesia dan Malaysia). Selain dengan Malaysia, Kalimantan Barat juga berhubungan erat dengan Negara Brunei Darussalam yang juga berada di Kalimantan Bagian Utara. Apalagi di masa lalu, beberapa kesultanan di Kalimantan Barat memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan Kesultanan Brunei Darussalam.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, bahwa bagi yang sudah pernah berkunjung ke Kota Pontianak dan kemudian meminum air Sungai Kapuas, maka orang tersebut akan begitu sulit sekali untuk melupakan kota sungai yang begitu unik ini.

Berikut ini adalah bait terakhir dari lagu “Ae’ Kapuas” yang menggambarkan hal tersebut:

Sungai Kapuas punye ceghite, bile kite minom ae’nye

Walaupon pegi jaoh ke mane, sungguh susah nak ngelupa’kannye

Eee… Kapuas, eee … Kapuas [-,-]