Minggu, 22 Juni 2008

[Cerpen] Kebahagiaan Itu


Kiranya dalam dua Minggu terakhir ini adalah saat yang begitu berbahagia bagiku. Kebahagiaan itu membuncah-buncah, hingga tak dapat lagi kutahan, dan ingin rasanya kumembagi kepada siapa saja. Di minggu-minggu yang lalu kebahagiaan itu telah perlahan-lahan mendekatiku. Ya …, cerpenku sudah dimuat di Tabloid Majemuk, itulah kebahagiaan di minggu-minggu yang lalu. Kebahagiaan yang telah tersemai itu kemudian terus kusirami, kupupuk, kupelihara, hingga menimbulkan ketenangan di jiwa ini, hingga melahirkan semangat hidupku.

Berita bahagia ini kuberitahu kepada para sahabatku sekitar seminggu yang lalu. Sahabat, hingga kapanpun akanlah tetap menjadi sahabat. Sahabat terbaik, kiranya tak semua sahabat adalah sahabat terbaik bagi kita. Tapi seburuk-buruknya sahabat, tetaplah sebagai sahabat, yang mana tali silaturahim itu harus terus terjalin, terikat, dan terpaut erat hingga ruh berpisah dari jasad.

Mereka para sahabatku itu memberikan support yang begitu berarti bagiku. Mereka berkata, “Selamat temanku, akhirnya berhasil juga kau menjadi penulis. Tak percuma usaha yang telah kau lakukan selama ini. Teruslah konsisten, kawan. Kami para sahabatmu ikut berbahagia akan berita ini. Kami bangga dan bahagia, ternyata ada juga teman kami yang menjadi penulis, yang hal itu tak dapat kami lakukan. Hanya kaulah kiranya di antara kita yang bisa mencapai hal itu.”

Ketika menuliskan kata demi kata di tulisan ini, kurasakan betapa menyesak seluruh isi dada ini, hingga tanpa terasa mengalir pelan dari sudut mataku titik-titik air mata kebahagiaan itu. Sementara di telingaku terus mengalun lagu-lagu syahdu dari Jazirah Arabia. Lagu-lagu Arabia ini menyelusup pelan dan perlahan ke relung sepi hatiku, menghapus segala remuk-redam dan gundah-gulana semesta jiwa ini. Semua ini semakin menambah kesyahduan di tengah malam yang hening ini ketika kumengetikkan tulisan ini huruf demi huruf, hinggga kemudian terangkai menjadi kata demi kata, hingga kemudian terjalin menjadi kalimat demi kalimat, hingga kemudian terbingkai menjadi paragraf demi paragraf, hingga kemudian sepertinya jari-jariku tak pernah mau berhenti menari-nari di atas tuts keyboards.

Dalam beberapa tahun ini ketika satu persatu di antara kami lulus dari perkuliahan, maka kami sudah jarang sekali bertemu, terutama aku yang begitu jarangnya bertemu dengan sahabat-sahabatku. Aku dianggap sebagai anak hilang oleh mereka. Entah mengapa, dalam beberapa tahun ini begitu dalam sekali deraan-deraan hidup yang kurasakan. Kolaps, kemudian merangkak perlahan-lahan, kemudian aku berusaha bangkit, lalu berjalan tertatih-tatih. Tak lama kemudian terjatuh lagi, dan kemudian berusaha bangkit lagi, lalu terjatuh dan bangkit lagi silih berganti. Ketika berada pada titik nadir itu, selaksa hidupku pecah berderai berkeping-keping. Dari sinilah, aku perlahan-lahan menjauh dari para sahabatku. Bukannya aku benci dengan mereka, tapi memang keadaanku lagi tak memungkinkan untuk selalu bersama-sama dengan mereka.

Malam yang lalu (Selasa malam Rabu) kami bertemu lagi. Tak ada kiranya yang paling membahagiakan di antara kami selain daripada bernostalgia akan masa-masa yang telah lewat, yaitu masa-masa ketika kami masih sering bersama-sama ketika menuntut ilmu sebagai mahasiswa tingkat awal, hingga tingkat pertengahan, hingga tingkat akhir ketika kami bersama-sama berbaur di masyarakat saat Kuliah Kerja Sosial (KKS). Nostalgia-nostalgia terindah itu melesat keluar dari memori kolektif kami. Begitu bersemangatnya kami saling bercerita, kadang kami tertawa bahagia mengingat kenangan indah yang pernah kami ukir bersama itu.

Musik Arabia terus mengalun syahdu. Kadang suara orkestrasi biola yang mengiris-ngiris bertingkah-tingkahan dengan suara synth string yang memukau. Belum lagi suara merdu para biduanita Arabia yang begitu menyentuh kalbu yang berkelindanan dengan harmoni suara gitar dan piano yang diiringi dengan hentakan-hentakan drum yang dinamis yang ditingkahi bermacam-ragam suara perkusi.

Entah mengapa, baru kali ini kurasakan sensasi menulis yang begitu luar-biasa. Tulisanku mengalir begitu rupa seiring seirama dengan lantunan musik Arabia yang memikat jiwa dan semesta intuisi. Setiap kata yang kutuliskan mengalir pelan, kadang juga deras, sementara telingaku menikmati musik Arabia dengan berjuta-juta rasa. Beraneka-macam rasa pun silih berganti ketika mendengar musik ini, seiring dengan silih bergantinya pula kata-kataku mengalir sedemikian hingga bertukar pelan dengan deras.

* * *

Setelah puas saling bertukar cerita, perut kami pun terasa lapar. Jam telah menunjukkan sekitar pukul 12 malam. Ada-ada saja ide kreatif yang diungkapkan seorang sahabatku yang biasa kami panggil dengan panggilan “Bembeng”. Kebetulan di antara kami ketika itu ada seorang teman yang telah memiliki pekerjaan yang lumayan, dan yang pasti gajinya lumayan pula. Kami biasa memanggilnya dengan panggilan yang begitu gagah, yaitu “Rambo”.

Nah, Bembeng pun mengungkapkan kepada Rambo, “Bo, tak terasa hari semakin merangkak malam, sementara obrolan kita pun semakin serunya..Seperti kita ketahui, di tengah malam seperti ini adalah saat di mana Tuhan menurunkan berkah yang tak terhingga, pintu langit pun dibukakan selebar-lebarnya oleh Yang Maha Kuasa. Di malam seperti ini Tuhan juga mengutus para malaikat ke bumi, yang mana malaikat itu membentangkan sayapnya lebar-lebar menaungi bumi dari ujung timur hingga ke ujung barat. Tapi seiring dengan itu pula, semakin malam perut ini semakin terasa lapar pula. Alangkah lebih indahnya di depan kita ini terhampar makanan yang bisa mengusir lapar itu, sehingga kita bisa tetap mereguk keberkahan yang diturunkan Tuhan di tengah malam yang sunyi-senyap ini. Untuk mereguk keberkahan itu bersama-sama, alangkah indahnya bagi yang telah mendapatkan keberkahan di antara kita berempat ini bersedia dengan penuh keikhlasan membagi keberkahan tersebut untuk kita bersama. Hitung-hitung sebagai rasa kesyukuran atas berkah yang telah direguknya.”

Untungnya Rambo langsung mengerti akan perkataan Bembeng yang berpanjang lebar dan terjalin indah itu. “Ya udah, ayo kita cari makan sekarang di seantero Ciputat ini,” berkata Rambo dengan segenap pengertian, yang itu dapat kami menggerti pula bahwa Rambo lah yang akan mentraktir.

Kami berempat pun saling berpandangan. Rambo pun berkata lagi, “Bagaimana? Setujukah kalian?”

Aku pun menyahut, “Selama itu untuk kebaikan kita bersama, maka Aan (aku) akan setuju-setuju saja.”

Tak lama kemudian, temanku yang satu lagi yang bernama Bulet pun memberikan persetujuan yang sama, “Bulet insya Allah akan setuju juga ketika hal tersebut lebih banyak manfaat dibandingkan mudharatnya.”

Sementara Bembeng jangan ditanyakan lagi, karena dialah pengusul ide yang kreatif ini di saat kami menderita penyakit kelaparan kolektif. “Ya udah, ayolah kita ke mana (maksudnya, marilah kita segera pergi mencari makan ke tempat yang menyediakan makanan tersebut).”

Aku, Bulet, dan Rambo kemudian menyanyikan koor yang sama dan serentak tanpa adanya aba-aba dari Conductor “Ayo!” dengan nada sama-sama mengajak.

Tanpa menunggu aba-aba dari siapa pun, kami kemudian sama-sama beranjak menuju ke luar dari kosan Bulet tempat kami berada ketika itu. Rambo kebetulan membawa mobil, jadi wisata kuliner kami di tengah malam ketika itu menjadi lebih menarik lagi. Tujuan kami adalah tempat makan yang representatif dan nyaman, kalau bisa ada hiburan musiknya. Mungkin sejenis restoran, rumah makan, atau kafe yang agak lumayan mewah dan cukup berkelas.

* * *

Menyusuri semesta Ciputat dengan menggunakan mobil di tengah malam kiranya begitu mengasyikkan, apalagi jalan raya sepanjang kawasan Selatan Jakarta begitu lengangnya di tengah malam yang penuh berkah ini.

Pikiranku mengembara pada sebuah novel yang pernah kubaca. Pada suatu bagian dari novel tersebut menggambarkan perjalanan wisata kuliner yang dialami oleh sekelompok mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di suatu kota di Timur Tengah, yang dapat pula dikatakan bahwa kota ini sebenarnya sudah termasuk dalam wilayah Benua Afrika.

Untuk mendapatkan sensasi mengenai novel tersebut, maka ketika mengetikkan kata demi kata yang berhubungan dengan pengembaraan pikiranku ini, maka kemudian Winamp di komputer langsung kupaksa untuk menyetel soundtrack film yang mengangkat kisah dari novel tersebut.

Mahasiswa-mahasiswa pada novel tersebut umumnya digambarkan sebagai mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Ketika itu mereka diajak oleh tetangga apartemen mereka yang merupakan warga pribumi di kota tersebut untuk merayakan ulang tahun istri dan anak lelakinya di sebuah Restoran Mewah untuk ukuran kota itu.

Tentu saja para mahasiswa Indonesia itu kaget bercampur bahagia. Kaget, karena seumur-umurnya mereka memang belum pernah makan di Restoran Mewah. Bahagia sudah pasti, karena di tengah kesulitan yang mereka alami di negeri rantau itu, ternyata masih ada juga orang yang berbaik hati kepada mereka, sehingga mereka bisa makan enak di sebuah restoran mewah.

Mereka pergi menggunakan mobil seperti halnya wisata kuliner yang sedang kualami ini. Yang paling kuingat adalah bahwa mereka menggunakan pakaian seadanya. Ada yang menggunakan celana training (celana untuk olah raga), ada yang hanya memakai baju kaos, dan ada juga yang memakai baju kemeja, tapi kemejanya itu kumal dan tak rapi. Paling hanya satu di antara mahasiswa tersebut yang benar-benar siap untuk pergi, pakaiannya rapi, yang pasti digambarkan begitu sempurnanya di novel tersebut, karena mahasiswa yang satu ini adalah tokoh utamanya. Dan yang harus selalu diingat, bahwa anak perempuan dari tetangga apartemen mahasiswa Indonesia ini kemudian jatuh cinta setengah mati dengan mahasiswa yang sangat sempurna itu. Bahkan ketika di restoran mewah tersebut, si mahasiswa yang sangat sempurna itu diajak berdansa oleh anak perempuan tetangganya ini. Namun sayang, si mahasiswa yang sangat sempurna ini begitu jaimnya (jaga image), karena ia kemudian menolak ajakan anak perempuan dari tetangganya itu.

* * *

Ah, begitu indahnya perjalanan wisata kuliner di tengah malam ini kurasakan, bagaikan cerita di novel tersebut, walaupun tak persis-persis amat. Tapi satu kesamaannya, dan paling minimal sekali adalah aku, karena sahabat-sahabatku yang lain termasuk orang berada dan memang berasal dari Jakarta dan sekitarnya. Sementara aku sama halnya dengan mahasiswa Indonesia seperti di novel tersebut, yaitu perantau dan berasal dari keluarga menengah ke bawah, naik mobil pun begitu jarangnya. Tapi walaupun begitu, keadaanku kini bersama ketiga sahabatku hampir persis sama dengan yang diceritakan di novel tersebut, yaitu kami sama-sama menggunakan pakaian seadanya. Ada yang pakai celana pendek, pakai baju kaos, dan yang pasti semuanya lusuh dan kucel.

Sepanjang menelusuri kawasan Selatan Jakarta, ternyata tak ada lagi restoran, rumah makan, atau kafe yang masih buka di tengah malam seperti ini. Jangankan restoran, rumah makan mewah, ataupun kafe berkelas, tempat makan yang biasa-biasa saja seperti warung pecel lele dan sejenisnya yang biasanya berada di pinggir jalanpun sepertinya sudah tak ada lagi yang masih buka dan berjualan. Tapi kami tak kenal menyerah, sehingga kami terus saja menelusuri jalan raya mencari restoran, rumah makan, atau kafe yang dimaksud.

Lain diharap, lain pula kenyataan. Dalam penelusuran ini, akhirnya kamipun menyerah, karena perut kami memang sudah tak dapat lagi diajak kompromi.

Hingga pada suatu ketika terlihatlah ada Warung Pecel Lele di suatu sisi jalan yang kami lewati. Karena perut kami memang sudah lapar, ya sudah, tak ada rotan, akar pun jadi. Tak ada Restoran Mewah, Warung Pecel Lele pun jadi. Maka berhentilah kami di Warung tersebut. Kamipun memesan makanan menurut selera kami sesuai dengan menu yang disediakan Warung Pecel Lele tersebut. Sambil menunggu makanan, kamipun berbincang-bincang.

Dalam pikiranku berharap, andai Wisata Kuliner ini dilengkapi dengan adanya seorang perempuan muda cantik yang jatuh cinta kepadaku, yang kemudian dia mengajakku berdansa, tentunya aku takkan menolaknya, tak seperti mahasiswa sempurna yang menjadi tokoh utama di novel tersebut yang kemudian menolak dan jaim (jaga image). Tapi itu hanya kelebat pikiranku. Kalaupun ada kejadian seperti di novel tersebut, aku rasa akan sulit sekali harapanku menjadi kenyataan. Yang ada malahan jantungku akan berdegup kencang, tubuhku akan bergetar hebat, yang pasti dag dig dug tak karuan, karena aku bukanlah tipikal lelaki romantis, lebih tepatnya aku adalah tipikal lelaki yang dingin yang tak pernah cocok dijadikan sebagai karakter tokoh utama suatu drama romatis. Selain itu, aku bukan pula tipikal lelaki yang menjadi idaman setiap perempuan. Jika harapanku ini menjadi kenyataan, kiranya tak ada yang dapat diucapkan selain daripada kata mutiara yang sering diucapkan oleh Naga Bonar, "Apa kata dunia???"

* * *

Besok siangnya, hadirlah kebahagiaan lain di hatiku. Sebuah Cerpen yang baru kutulis dalam jangka waktu dua bulan ini kusuruh Bembeng untuk membacanya. Sebelumnya Bembeng juga membaca puisi-puisiku yang di antaranya Bembeng begitu tahu sekali sejarah terciptanya puisi tersebut, karena beberapa puisi tersebut ada yang kucipta khusus untuk dijadikan sebagai bait lagu, yang kemudian lagu itu kami mainkan di band kami. Yang pasti, begitu banyak sekali komentar Bembeng tentang puisiku yang menghadirkan nostalgia terindah bagiku.

Dan satu berita dari Bembeng yang membuatku bahagia, bahwa seorang perempuan yang menjadi inspirasi puisi-puisiku kini sedang sendiri alias jomblo. Yang pasti, Bembeng menyemangatiku untuk terus mengejar cintaku terhadap perempuan yang dimaksud.

Ah, bisa aja Bembeng, benakku berkata. Malu-malu mau sih aku ini. Atau mungkin malu-maluin, he he he…, aku tertawa sendiri.

Mengenai Cerpen terbaruku itu, Bembeng tertawa terkekeh-kekeh, karena ceritanya adalah campuran humor, drama romantis, dan kesedihan.

Sampai di sini, aku bingung mau menuliskan apa lagi. Karena hari sudah pagi, aku belum tidur, sementara ide ceritaku sudah habis dan mentok.

Ya sudah, sampai di sini saja ceritanya. Ini hanyalah refleksi kebahagiaanku dalam dua minggu ini.

Sementara kini di telingaku mengalun lagu Arabia yang begitu khidmat dan syahdu yang dinyanyikan seorang biduan yang suaranya begitu merdu. Musiknya begitu hening …, hening …, hening …, dan kemudian berhenti. [Aan]


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hanafi Mohan
Ciputat – Kamis, 19 Juni 2008, 02.14 – 06.24 WIB
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -



Sumber Gambar: http://bulansubuh.blogspot.com/

0 ulasan:

Posting Komentar