Minggu, 11 Mei 2008

[Cerpen] Negeri Harapan


Malam itu di Negeri Sungai, aku terbangun. Baru saja aku memimpikan berada di negeri yang hutan belantaranya bukanlah pohon-pohon, namun adalah gedung-gedung yang menjulang tinggi. Jalan rayanya tak ubah seperti rimba raya. Ada juga jalan-jalan yang seperti kapsul.

Baru kali ini aku melakukan perjalanan dengan pesawat. Ketika mendarat di bandara negeri itu, kelap-kelip cahaya lampunya menambah indah suasana. Di bandara, aku langsung dijemput oleh sebuah mobil. Aku pun dibawa berjalan-jalan mengitari Negeri Harapan itu.

Waw …, indah nian negeri ini. Sangat berbeda dengan Negeri Sungaiku. Gedung-gedungnya menantang langit. Jalan-jalannya bersusun-susun. Lampu-lampunya terang-benderang. Andai aku dapat berlama-lama di negeri ini.

Tiba-tiba aku terbangun. Aku pun heran. Sepertinya ada yang janggal.

Tempat ‘ku terbangun ini, sungguh memang bukan kamar di rumahku yang ada di Negeri Sungai. Aku kenal betul dengan kamar itu. Rasanya baru beberapa saat yang lalu aku tinggalkan. Sehingga tak mungkin aku terlupa dengan kamar itu.

Kalau ini memang bukan kamarku, lantas kamar siapa? Di rumah siapa?

Atau memang aku masih bermimpi? Tapi sebegitu nyatakah seperti ini?

“Au …, sakitnya …,” mulutku berteriak, setelah ‘ku cubit lenganku untuk memastikan, mimpi atau nyatakah semua ini.

Lalu ‘ku tampar mukaku untuk memastikan lagi.

“Aduh …,” kembali ‘ku berteriak.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka.

“Dhani, sudah pagi nih. Katanya kamu minta dibangunkan,” ujar orang yang masuk ke kamar.

“Hah …,” ujarku lirih, sambil melihat heran ke orang itu.

“Hei …, mengapa Dhani? Kamu seperti orang yang kebingungan.”

Kemudian orang itu keluar dari kamar. Tapi buru-buru kupanggil, “Wan … Wawan …!”

Kemudian orang itu menoleh ke arahku, “Ada apa Dhani?”

Wawan …? Benarkah orang yang kupanggil tadi bernama Wawan? tanyaku di dalam hati.

“He … Dhani … ada apa …?”

“Wa … wan!” aku tergagap.

“Iya, mengapa kamu sedari tadi memanggilku?”

Kiranya benar, orang itu bernama Wawan.

“Begini maksudku, Wan. Air untuk berwudhu’ ada kan?”

“Ya … adalah. Kamu ini seperti orang yang linglung saja. Ah … sudahlah. Cepatlah kamu Shalat Shubuh! Mumpung matahari belum terlalu tinggi.”

Lalu orang yang bernama Wawan itu pun keluar dari kamar. Sementara kepalaku berputar-putar, pusing tak karuan. Entah apa yang ‘ku alami ini.

* * *

Sudah begitu lamanya aku berada di negeri yang semakin tak ‘ku pahami ini. Negeri yang semakin hari semakin semrawut, tidak aman, dan juga tidak nyaman.

Di Negeri Harapan ini, pernah suatu waktu aku bermimpi bergelut di suatu perkumpulan. Entah berapa lama aku bermimpi itu. Hari-hari yang begitu panjang ‘ku lalui di dalam mimpi itu. Hingga suatu saat aku dipercayakan untuk menjadi pimpinan perkumpulan itu. Sungguh sesuatu yang di luar khayalanku. Aku memang pernah berkhayal untuk bisa bergelut di perkumpulan itu. Tapi hanya sekedar bisa bergelut di sana, bukan menjadi pemimpinnya. Tapi yang ‘ku dapatkan ternyata lebih dari yang ‘ku khayalkan.

Suatu saat aku tersadar dari mimpi panjang itu. Aku tersadar di Negeri Harapan.

Ah, mengapa masih di Negeri Harapan? Tapi sudahlah. Ini mungkin sudah menjadi garisan. Yang harus ‘ku lakukan hanyalah menjalankannya. Aku tak lebih hanyalah salah seorang pemain drama kolosal. Yang ‘ku jalani hanyalah sedikit dari skenario alam raya ini.

Aku harus berkejar-kejaran dan berebut-rebutan dengan orang lain untuk menjadi yang terbaik. Kadang aku yang menang, orang lain yang kalah. Atau sebaliknya, orang lain yang menang, aku yang kalah. Untuk mencapai semua itu, harus rela bersikut-sikutan, atau tak jarang harus bercakar-cakaran. Demi menjadi yang terbaik.

Seorang temanku berkata, “Kau itu terlalu berlebih-lebihan untuk menjadi yang terbaik. Hingga segenap waktu dan energimu kau habiskan hanya untuk mencapai predikat yang terbaik itu. Sedangkan di dunia ini banyak hal yang bisa dilakukan tanpa harus menjadi yang terbaik.”

Tapi aku merasa enjoy melakukan semua itu. Walaupun semua waktu, energi, bahkan uang ‘ku habiskan demi menjadi yang terbaik.

* * *

Hingga suatu saat, aku berada pada titik nadir. Aku yang sudah terbiasa berlari berkejar-kejaran dan melesat mencapai semua keinginan, kini hanya bisa tertatih-tatih merangkaki waktu.

Aku tertekan. Tak tentu arah tujuanku. Bahkan sebenarnya aku kehilangan arah. Negeri Harapan yang nian indah dan menjanjikan segala kesenangan, kini bagiku tak lebih hanya bagaikan rimba belantara. Aku tersesat di tengah rimba yang tak berujung-pangkal.

Kini, aku hanya berharap bisa keluar dari semua kungkungan ini. Aku ingin seperti dulu bagaikan elang yang terbang bebas di angkasa. Bahkan di sanubari terdalam, aku ingin kembali berada di negeri tempatku berasal. Yaitu negeri yang mengalir sungai-sungai panjang nan lebar. Sungguh negeri yang damai.

Tapi bagaimana mungkin aku bisa kembali lagi ke negeri asalku itu? Kalaupun mungkin, bagaimana caranya? Sedangkan keberadaanku di Negeri Harapan ini pun tanpa terlebih dahulu ‘ku rencanakan. Tiba-tiba saja aku sudah berada di negeri yang sebelumnya hanya menjadi khayalanku ini.

Oh ya, mimpi …. Aku baru ingat, masuknya aku ke Negeri Harapan ini tak lain melalui mimpi. Sehingga sampai kapanpun, negeri ini tetaplah negeri mimpi, bukanlah negeri yang benar-benar nyata. Karena ini mimpi, maka aku harus terbangun lagi di negeri asalku, tempat di mana aku memimpikan Negeri Harapan ini. Masih dengan pertanyaan lamaku, mungkinkah ini semua hanyalah mimpi? Sedangkan yang ‘ku alami selama ini benar-benar nyata. ‘Ku usir semua pikiran yang sudah usang itu.

‘Ku susun rencana untuk melakukan semua itu. Segenap pikiran, perasaan, dan energi ‘ku curahkan untuk kembali lagi ke negeri asalku. Untuk menggapainya, apapun halangan dan rintangan akan ‘ku terjang, dengan sisa-sisa tenagaku yang kini mulai terkumpul lagi.

Melintang patah, terbujur lalu.

* * *

Pelan-pelan terbuka mataku. Cahaya putih menyilaukan menerobos memasuki kamar. Lalu ‘ku dengar suara-suara yang memang tak asing bagiku. Tapi sepertinya, suara-suara itu sudah lama sekali tak pernah ‘ku dengar. Dan … aku terpana melihat tempatku terbangun kini. Ya …, tempat yang begitu ‘ku kenal.

Aku pun langsung menuju ke jendela. Terang-benderang di luar sana. Motor air berlalu-lalang di sungai yang ada di depan mataku dengan suaranya yang khas. Sampan tradisional yang satu persatu melintas membawa dan menyeberangkan penumpang. Belum lagi suara kokok ayam yang bersahut-sahutan, menambah ramainya suasana sepagi ini. Angin sungai yang sejuk membelai wajahku. Aku masih asyik dengan semua ini.

Pintu kamar pun terbuka. Lalu muncul sesosok perempuan.

“Sudah bangun rupanya, Bang. Lelap sekali Za lihat Abang tidur tadi.”

“Za …,” aku masih terpaku dengan sosok perempuan itu.

“Bang, ada apa? Mengapa tercengang seperti itu melihat Liza? Adakah yang aneh?”

“Liza …, kaukah ini?”

“Ada apa gerangan, Bang? Tak ingatkah Abang, bahwa hari ini adalah ulang tahun ke lima perkawinan kita? Lihatlah kalender itu!” perempuan yang mengaku sebagai istriku itu menunjuk ke arah yang dimaksud di dinding kamar.

“Sudah Za tandai tanggal itu dengan spidol merah, Bang. Agar kita selalu ingat tanggal bersejarah itu,” kembali perempuan yang bernama Liza itu berucap.

Lalu perempuan yang mengaku sebagai istriku itu pun keluar dari kamar.

Aku pun melihat ke kalender yang dimaksud. Sangat jelas sekali tanggal yang ditandai dengan spidol merah itu … 15. Bulan Mei tahun 2015.

Kawin …? Aku masih tak mengerti.

Lalu perempuan bernama Liza yang mengaku sebagai istriku itu pun masuk lagi ke kamar membawa seorang anak kecil. Sepertinya lelaki. Anak itu berseragam TK.

“Raushan, salaman dulu dengan Ayah! Setelah itu Raushan baru berangkat ke sekolah,” ujar Liza kepada anak kecil itu.

Lalu anak itu menyalami dan mencium tanganku. Aku masih bingung dengan keadaan ini.

“Anak siapa, Za?”

“Abang ini bergurau saja dari tadi. Lebih baik Abang cepat mandi sana! Kebetulan air sungai sedang pasang,” kemudian Liza dan si kecil Raushan itu pun segera keluar dari kamar.

Nyata atau mimpikah semua ini? Ada sedikit rasa bahagia, karena aku dapat kembali lagi ke negeri asalku, yaitu Negeri Sungai. Namun aku masih setengah tak percaya dengan semua ini. Kepalaku terus berputar-putar memikirkannya.

* * *

Suatu pagi aku terbangun. Hening …, sehening hatiku yang damai. Ya … hening. Benar-benar tak ada suara seperti pagi biasanya.

Dan …, mengapa sepagi ini matahari tak menerobos masuk seperti biasanya? Adakah yang aneh? Adakah yang janggal dengan hari ini?

‘Ku lihat di sebelahku …, Liza …? Mana Liza istriku, yang biasanya menemani tidurku? Apakah ia sudah bangun? Atau …

“Za … Liza …,” ‘ku panggil-panggil istriku itu. Namun tak kunjung ada yang menyahut.

“Za …,” aku terus memanggilnya.

Mataku masih sayup. Sepertinya nyawaku belum berkumpul semuanya.

Tapi ‘ku lihat … lemari itu, rak buku itu …

Sekali lagi ‘ku panggil istriku. Namun lagi-lagi tetap sama, tak ada sahutan sedikit pun.

“Dhani …, kamu ini mengapa? Tingkahmu semakin aneh saja dari tadi ‘ku perhatikan.”

“Wawan, kau kah?” masih dengan kebingunganku.

“Kamu ini seperti orang yang linglung saja. Ah … sudahlah. Cepatlah kau Shalat Shubuh! Mumpung matahari belum terlalu tinggi. Oh ya …, dari tadi ‘ku dengar HP-mu berbunyi. Mungkin ada telepon masuk tadi. Atau mungkin SMS. Cobalah kamu lihat!”

Lalu ‘ku raih HP yang tak jauh letaknya dariku itu. Ada SMS rupanya. Lalu ‘ku buka SMS itu.

Slamat ULTAH kwanku. Moga ttap tgar & truslah brkrya. (ANDREAS)

“Tanggal berapa sekarang ini, Wan?”

“Tanggal dua puluh.”

“Bulan apa?” kembali ku bertanya.

“Kamu ini sama bulan saja sudah lupa. Bulan Mei sekarang ini, Dhan,” ucap Wawan dengan tegas.

“Jangan kamu bertanya tahun berapa ini! Keterlaluan kalau sama tahun saja lupa. Kamu lihat saja kalender tuh!” kembali Wawan berucap dengan tegas, sambil menunjukkan kalender yang dimaksud yang tertempel di dinding kamar.

Aku pun langsung menuju ke kalender yang dimaksud. Kucari tanggal yang dimaksud, yaitu 20 Mei, seperti yang dikatakan Wawan tadi. Dan ternyata kini tahun 2007, Hari Minggu.

Setelah itu, ‘ku buka jendela yang ada di kamar. Hanya tembok-tembok tinggi yang ‘ku lihat. Pantas saja sinar matahari pagi tak masuk ke kamar. Sinar itu mungkin terhalang oleh tembok-tembok tinggi yang ‘ku lihat kini.

Tak ada sungai. Tak terlihat motor air yang lalu lalang dengan suara khasnya. Tak ada sampan. Tak terdengar kokok ayam yang bersahut-sahutan. Tak ada angin sungai yang sejuk membelai wajahku.

Dan juga tak ada … Za …. [-,-]



Hanafi Mohan
Sedap Malam - Pisangan Ciputat
Senin 7 Mei – Selasa 8 Mei 2007


Kepada Sahabatku



Sumber Gambar: http://intisari-online.com/

0 ulasan:

Posting Komentar