Hikayat Dunia

Kita hanya pengumpul remah-remah | Dari khazanah yang pernah ada | Kita tak lebih hanya penjaga | Dari warisan yang telah terkecai ||

Pontianak Singgah Palembang

Daripada terus berpusing-pusing di atas Negeri Pontianak, yang itu tentu akan menghabiskan bahan bakar, maka lebih baik pesawat singgah dahulu ke bandar udara terdekat. Sesuai pemberitahuan dari awak pesawat, bandar udara terdekat adalah Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Negeri Palembang.

Mudék ke Ulu

Pasangan dari kate “ulu” ielah “mudék”. Kate “mudék” beakar kate dari kate “udék”. Udék bemakne "sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber)", "daerah di ulu sungai", juga’ bemakne "kampong halaman (tempat beasal-muasal)".

Soal Nama Negeri Kita

Belakangan ini kiranya ramai yang berpendapat ini dan itu mengenai asal usul dan makna nama "pontianak" kaitannya dengan Negeri Pontianak. Tapi apakah semua yang didedahkan itu betul-betul dipahami oleh masyarakat Pontianak?

Kampong Timbalan Raje Beserta Para Pemukanya [Bagian-3]

Selain banyak menguasai berbagai bidang keilmuan, beliau juga banyak memegang peran dalam kehidupan kemasyarakatan. H.M. Kasim Mohan yang merupakan anak sulong (tertua) dari pasangan Muhammad Buraa'i dan Ruqayyah ini merupakan seorang Pejuang di masanya.

Musik Motivasi Setahun Silam

“Satu Kursi untuk Seniman”, begitu tagline kampanyenya. Tekadnya untuk memajukan Kalbar lewat industri kreatif tentu patut diapresiasi. Melalui industri kreatif diharapkannya dapat menjadi jembatan menjulangkan budaya yang memayungi Kalimantan Barat.

Sultan Pontianak; Umara' dan 'Ulama

Kegemilangan Negeri Pontianak salah satunya diasbabkan kepemimpinan para Sultan-nya yang arif dan bijaksana. Sultan-Sultan Pontianak selama masa bertahtanya rata-rata memiliki dua peranan, yaitu berperan sebagai umara', sekaligus berperan sebagai 'ulama.

Puisi Buya Hamka untuk Muhammad Natsir

Kepada Saudaraku M. Natsir | Meskipun bersilang keris di leher | Berkilat pedang di hadapan matamu | Namun yang benar kau sebut juga benar ||

Rabu, 31 Desember 2008

2008 dalam Kenangan

Januari

Pada Januari 2008 ini ada satu peristiwa yang cukup menyita perhatian bangsa Indonesia, terutama oleh media massa, yaitu peristiwa wafatnya Mantan Presiden Soeharto (tepatnya pada tanggal 27 Januari 2008). Ya, wajar saja, mantan presiden gitu lho. Namun jika diingat lagi, perhatian media massa ketika itu sangat berlebihan.



Sebulan sebelum wafatnya Pak Harto, juga telah wafat mantan Perdana Meneri Pakistan (tepatnya pada tanggal 27 Desember 2007). Ya, benar, Benazir Bhutto namanya. Beliau tewas dalam serangan bom dan senjata api di Rawalpindi, dekat Islamabad, setelah menghadiri rapat akbar di Lapangan Liaquat National Bagh sebagai bagian dari kampanye pemilihan umum. Selain terbunuhnya Benazir Bhutto, setidaknya 15 orang lainnya tewas dan beberapa korban luka-luka dari insiden ini.

Perpolitikan di Pakistan ketika itu memang sedang panas-panasnya, karena rezim militer ketika itu (Presiden Pervez Musharraf) semakin represif. Setelah delapan tahun diasingkan ke luar Pakistan, Benazir Bhutto kembali ke tanah airnya untuk mengakhiri kekuasaan Presiden Pervez Musharraf. Benazir Bhutto yang sebelumnya diasingkan oleh penguasa, kemudian mendapat dukungan yang besar dari rakyatnya untuk menjadi oposisi dan ke depannya kembali memimpin Pakistan.



Benazir Bhutto adalah putri dari mantan Perdana Menteri Pakistan yang digulingkan, yaitu Zulfikar Ali Bhutto, yang dihukum mati ketika diturunkan. Penyebab kematian Benazir Bhutto adalah karena dibunuh oleh lawan politiknya. Bagi rakyat Pakistan, Benazir Bhutto adalah pahlawan dan martir demokrasi.


Jadi, apakah perbedaan antara wafatnya Soeharto (mantan Presiden Indonesia) dengan Benazir Bhutto (mantan Perdana Menteri Pakistan)? Apa pula persamaannya? Apa pula persamaan dan perbedaan antara kedua tokoh mantan pemimpin negara tersebut? Cari saja sendiri jawabannya.

Februari


Awal Februari 2008, Jakarta dirundung hujan seharian penuh (termasuk juga Ciputat). Bahkan musim hujan ini berlangsung hingga pertengahan Februari. Suhu sangat dingin sekali. Jangankan malam, siang pun masih begitu dingin. Sudah hampir seperti suhu di daerah Puncak-Bogor-Jawa Barat. Bukan hanya itu, cahaya (dan juga panas) matahari pun tak keluar. Sehingga kalau menjemur pakaian, seminggu baru kering.

Ingat hujan, maka aku ingat Pontianak, karena mayoritas warga Pontianak mengkonsumsi air hujan untuk minum dan masak. Dalam hal ini, tentunya berbeda dengan Jakarta. Air hujan di Jakarta memang tidak sejernih air hujan di Pontianak. Entah apalah sebabnya. Mungkin karena polusi udara Jakarta yang sudah di luar ambang batas, sehingga air hujannyapun tidak jernih alias kotor. Wajar saja orang Jakarta tidak mengkonsumsi air hujan, beda dengan orang Pontianak.

Maret

Berbanding terbalik dengan bulan Februari, maka di bulan Maret Jakarta dan sekitarnya begitu cerah. Cuaca cukup panas di bulan ini. Kehidupan warga Jakarta berdetak dengan kencangnya, tak terkecuali aku sebagai perantau.

Menjelang akhir Maret, warga Jakarta mengalami kelangkaan minyak tanah. Warga menjerit, karena selain langka, harga minyak tanah juga melambung tinggi, hingga mencapai angka Rp. 8.000. Entah mau jadi apa negara ini. Pemerintah ketika itu berencana menarik subsidi minyak tanah. Walaupun baru rencana, namun minyak tanah ketika itu sulit sekali untuk didapatkan. Subsidi minyak tanah ditarik, kemudian diganti dengan gas, begitu rencana pemerintahan ketika itu.

Dengan keadaan ini, ada saja pihak-pihak yang memanfaatkannya untuk mengeruk keuntungan. Lagi-lagi yang menderita adalah rakyat kebanyakan. Implikasinya kemudian adalah harga-harga kebutuhan lainnya juga beranjak naik. Indonesia semakin terpuruk saja. Perekonomian yang seperti ini juga berimbas pada bidang-bidang kehidupan yang lainnya.

Pada bulan ini Indonesia juga sedang dilanda Demam Film Ayat-Ayat Cinta, yang bahkan di dekat kosanku wabah ini menjalar hingga ke mimbar khutbah Jum'at. Menurut khatibnya ketika itu, bahwa film tersebut penuh dengan nilai-nilai kebaikan. Untungnya sebelum itu aku sudah pernah membaca Novel Ayat-ayat Cinta, sehingga apa yang dikhotbahkan oleh Sang Khatib mengenai film Ayat-ayat Cinta itu tak terlalu asing bagiku, dan aku sudah memiliki penilaian sendiri mengenai Novel tersebut.

April

Pada bulan-bulan ini, Indonesia sedang dilanda demam novel, tak terkecuali kampusku (UIN Jakarta). Dalam sebulanan, ada saja kegiatan seperti seminar, bedah buku, bedah film, dan semacamnya. Ayat-ayat Cinta, Tetralogi Laskar Pelangi, Ketika Cinta Bertasbih, dan masih banyak lagi yang lainnya. Tapi memang diakui, tak ada yang lebih heboh dibandingkan fenomena Ayat-ayat Cinta, terutama filmnya, yang menurut sebagian orang lebih banyak mengekspos sisi poligaminya. Bagi yang sudah membaca novelnya, maka akan dikecewakan ketika menonton filmnya. Tanya kenapa? Tentunya anda lebih tahu dari saya.

Mei
Bulan ini juga merupakan bulan yang penuh dengan kecam-mengecam. Apalagi kalau bukan kecam-mengecam mengenai keberadaan Ahmadiyah. Sebenarnya aku tak terlalu suka dengan keadaan ini. Betapa tidak, di tengah carut marut negeri ini, ternyata masih ada kecam-mengecam berkaitan dengan ajaran agama (kaitannya dengan Ahmadiyah yang dianggap oleh kalangan tertentu sebagai ajaran sesat). Tak cukup hanya dengan kecam-mengecam, bahkan di beberapa daerah sudah terjadi kekerasan terhadap para pengikut Aliran Ahmadiyah yang jumlahnya tak sedikit tersebut, sedangkan para pengikut Aliran Ahmadiyah itu juga adalah bagian dari bangsa yang "besar?" ini. Mereka adalah rakyat Indonesia, juga merupakan saudara kita sebangsa, senegara, setanah air, dan seagama.

Yang harus selalu diingat pula, bahwa negara ini sedang carut-marut, rakyatnya kebanyakan sedang berada dalam penderitaan hidup. Mengapa pula carut-marut dan penderitaan bangsa ini harus ditambah lagi dengan carut-marut dan penderitaan yang lainnya.

Pada tanggal 20 Mei 2008 tepat seabad kebangkitan nasional dan juga bertepaan dengan ulang tahunku yang ke-27. Jika Kebangkitan Nasional dirayakan dengan begitu meriah dan kolosalnya, maka ulang tahunku adalah kebalikannya, tak ada perayaan khusus, bahkan aku sendiri pun tak terlalu mempedulikannya.

Seabad Kebangkitan Nasional yang dirayakan begitu meriah itu berlangsung di Gelora Bung Karno, dan berselang sehari kemudian di tempat yang sama berlangsung pertandingan sepakbola antara kesebelasan Indonesia versus Buyern Munchen yang menghasilkan kekalahan telak bagi kesebelasan Indonesia.

Kubaca di koran, bahwa gara-gara perhelatan akbar seabad kebangkitan nasional tersebut, rumput di lapangan Gelora Bung Karno menjadi rusak, sehingga hal ini agak sedikit mengganggu kenyamanan para pemain sepakbola beraksi di atasnya ketika pertandingan sepak bola antara kesebelasan Indonesia versus Buyern Munchen besoknya. Mungkin ini hanya pernyataan menghibur diri atas kekalahan kesebelasan Indonesia.

Menurutku, perhelatan akbar seabad kebangkitan nasional itu terlalu wah dan membuang-buang uang negara di tengah kesulitan hidup rakyat menghadapi kenaikan harga BBM. Seharusnya pemerintahan yang dalam hal ini sebagai pihak penyelenggara acara tersebut lebih memperlihatkan keprihatinan atas kondisi negeri ini, bukannya melakukan acara yang membuang-buang duit itu. Ya, kalaupun tetap ingin melaksanakan acara tersebut, sebaiknya dilaksanakan agak lebih sederhana.

Juni

Awal Juni 2008 ditandai dengan Insiden Monas. Tanggal 1 Juni 2008 layak dikenang bukan saja sebagai hari lahirnya Pancasila, tetapi juga hari berkabung dan berbelasungkawa karena tindakan “hooliganistik” dan “vandalistis” yang dilakukan oleh FPI (Front Pembela Islam) atas sejumlah warga yang tergabung dalam AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan). Kekerasan yang memalukan dan memilukan ini terjadi persis pada hari lahirnya Pancasila, dan menimpa sebuah kelompok yang justru ingin menegakkan semangat dasar Pancasila, yaitu menghormati kebhinekaan dan keragaman yang menjadi ciri-khas negeri kita.



Cermatilah, bahwa anarki ada di mana-mana. Pada bulan ini, layar kaca kita menyuguhkan mengenai hal itu. Anarki semakin menjadi-jadi, tak pilih orang, tak pilih tempat, dan tak pilih waktu. Siapa pun kini bisa melakukan anarki, dengan tujuan apapun itu. Siapapun kini yang ingin memperjuangkan hak dan menyuarakan pendapatnya, serta berbagai kepentingan lainnya, maka anarki adalah salah satu yang harus dilakukan.

Lihatlah, para demonstran melakukan anarki agar aspirasi mereka didengar oleh penguasa dan pihak-pihak yang mereka tuju. Sedangkan pihak yang dituju pun akan melakukan anarki juga, yaitu untuk menghalau para demonstran tersebut. Anarki dibalas dengan anarki. Kalau sudah seperti ini, maka sudah dapat dipastikan tak akan ditemui suatu penyelesaian yang baik selain daripada ketidakpuasan dan luka yang menganga di semua pihak yang terlibat anarki ini.

Anarki pun kini bisa dalam bentuk yang beraneka ragam. Anarki bukan saja hanya berbentuk fisik (adu jotos, dsb), tapi juga bisa berbentuk yang lainnya. Jadi memang, anarki kini di ada mana-mana, dalam bentuk yang beraneka ragam pula, bisa dilakukan oleh siapa saja, dan dan pada waktu kapan saja.

Damai lah selalu duniaku. Semoga anarki takkan ada lagi. Damai di hati. Damai di bumi. Damailah selalu. Puji Tuhan.

Juli
Pada bulan ini, Indonesia masih terpuruk. BBM masih mahal, rakyat masih mengantri untuk sekedar membeli minyak tanah, gas elpiji juga susah didapatkan (selain juga harganya tak murah-murah amat), dan sedikit demi sedikit (tapi pasti) harga-harga barang dan juga harga-harga lainnya beranjak naik, rakyat menjerit, orang miskin semakin banyak, pengangguran semakin meningkat, dan masih banyak lagi deretan penderitaan lainnya. Dalam deretan negara termiskin di dunia, mungkin Indonesia termasuk di dalamnya.

Agustus

Inilah bulan yang begitu banyak momen di dalamnya. Menyebut Agustus, memori kita pasti langsung mengaitkannya dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Bagi para pemirsa televisi, maka Agustus juga merupakan hari ulang tahun beberapa stasiun televisi, yang biasanya acara televisi pada bulan ini bagus-bagus.

September


Memasuki awal September tahun ini bersamaan dengan dimulainya ibadah puasa Ramadhan oleh Umat Islam. Alhamdulillah, di Indonesia pada Ramadhan kali ini tidak ada perbedaan mengenai awal waktu pelaksanaannya. Baik pemerintah maupun mayoritas ormas-ormas Islam menyepakati 1 Ramadhan 1429 H jatuh pada tanggal 1 September 2008 M.

Pada bulan ini, Asif Ali Zardari (suami Almarhum Bernazir Bhutto) terpilih menjadi Presiden Pakistan melalui kendaraan People Power Party (PPP) menggantikan Pervez Musharraf.

Pada pertengahan bulan ini (tepatnya tanggal 15 September 2008),yaitu di tengah kita menjalani ibadah puasa ramadhan, negeri ini dikejutkan dengan Tragedi Pembagian Zakat di Pasuruan-Jawa Timur yang merenggut nyawa sebanyak 21 orang dan beberapa orang lainnya luka-luka.




Di negeri yang katanya kaya raya ini, ternyata kita masih harus menyaksikan tragedi yang memilukan ini. Memilukan karena tragedi ini terjadi di Bulan Ramadhan. Memilukan karena kisah sedih ini menimpa para orang miskin. Memilukan karena tragedi ini adalah tragedi pembagian zakat. Memilukan, karena kita hanya bisa menangis melihatnya, tanpa bisa melakukan apa-apa. Mudah-mudahan takkan terjadi lagi kejadian seperti ini di masa mendatang.

Oktober

Setelah sebulan penuh menunaikan ibadah puasa Ramadhan, tepat pada tanggal 1 Oktober 2008 yang bertepatan dengan 1 Syawwal 1429 H, Umat Islam merayakan Idul Fitri. Seperti halnya 1 Ramadhan, maka 1 Syawwal kali ini juga tidak ada perbedaan, baik oleh pemerintah, maupun mayoritas ormas-ormas Islam.

Akhir Oktober 2008 berlangsung Pemilihan Walikota Pontianak-Kalimantan Barat dengan jumlah 7 pasangan kandidat (kebetulan waktu itu aku lagi berada di sana). Bersamaan dengan Pemilihan Walikota Pontianak, juga berlangsung Pemilihan Bupati di Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Pontianak, dan Kabupaten Sanggau (semuanya di Provinsi Kalimantan Barat). Yang terbanyak kandidatnya adalah Kabupaten Kubu Raya, yaitu sebanyak 8 kandidat, mungkin yang terbanyak dalam sejarah PILKADA di Indonesia.

November

Di bulan ini, Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudera menghadapi eksekusi mati. Ketiga pelaku pengeboman di Bali pada 12 Oktober 2002 ini dieksekusi pada tanggal 9 November 2008. Bertahun-tahun mereka mendekam di LP Nusakambangan. Pemerintah memutuskan tanggal 9 November 2008 untuk mengeksekusi ketiganya.

Yang patut dicermati, bahwa hampir semua media massa memberikan liputan khusus terhadap eksekusi mati narapidana terorisme ini. Bukan hanya itu, ternyata di kampung halaman mereka, mayat ketiga teroris ini disambut, disemayamkan, dan dimakamkan bak pahlawan. Dalam hal ini, menurutku media massa sudah terlalu berlebih-lebihan memblow-up berita mengenai hal ini. Kesan yang hadir memang seperti itu. Dapatkah kita menerima, bahwa pelaku pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak berdosa kemudian dielu-elukan bagaikan mereka itu pahlawan? Di sinilah peran media massa. Dalam menampilkan suatu kejadian, media massa seharusnya pada tataran yang wajar-wajar saja, seperti halnya menampilkan kejadian-kejadian lainnya.

Pada bulan ini, dunia juga menyaksikan terpilihnya Barrack Obama dari Partai Demokrat sebagai presiden Amerika Serikat. Pada tanggal 4 November 2008 Barack Obama sukses mengalahkan rivalnya, Senator John McCain dari Partai Republik dan menjadi presiden Amerika Serikat ke-44 dan orang kulit hitam pertama yang menjadi presiden Amerika Serikat.

Tanggal 26 November 2008 adalah hari yang tragis bagi India. Hotel Taj Mahal yang menjadi ikon kota Mumbai hancur oleh serangan aksi teror yang dilakukan oleh kelompok militan Lashkar-e-Taiba. Kelompok militan ini disinyalir sebagai kelompok yang bermarkas di Pakistan. Dalam aksinya di Mumbai, kelompok ini telah menewaskan 195 orang, termasuk kepala pasukan antiteror India.

Desember

Pada Desember 2008 ini dilangsungkannya Piala AFF 2008. Berbeda dengan Piala Asia pada 2007, maka prestasi Indonesia pada Piala AFF cukup mengecewakan.

Di bulan ini juga sedang terjadi krisis politik di negara Thailand. Sepertinya, baru beberapa bulan yang lalu Thailand memiliki Perdana Menteri baru, setelah Perdana Menteri sebelumnya diturunkan karena menjadi pemandu acara kuliner pada salah satu televisi di negeri itu. Desember 2008 ini, kembali kita mendengar berita yang tidak mengenakkan dari Negeri Gajah Putih ini. Para demonstran menuntut perdana menteri yang baru untuk turun dari jabatannya. Bandara pun lumpuh total karena diduduki oleh para demonstran. Berbanding terbalik dengan keadaan negaranya yang sedang terjadi krisis politik, maka kesebelasan Thailand pada Piala AFF 2008 menunjukkan prestasi (dan juga permainan) yang mengagumkan.

Hampir di akhir 2008, kiranya terlalu banyak hal-hal yang dil luar dugaan terjadi di dunia ini. Di bulan ini terjadi aksi pelemparan sepatu oleh seorang wartawan Irak terhadap George Walker Bush (Presiden Amerika Serikat) yang sedang berpidato di Irak. Mungkin banyak yang tidak mengira, bahwa hal ini akan terjadi. Seorang presiden negara adidaya dilempar sepatu oleh seorang wartawan. Sungguh kejadian yang menggelikan syaraf humor kita. Apalagi kejadian ini terjadi pada akhir-akhir masa jabatan Sang Presiden, dan hal ini terjadi di negara yang selama ini diduduki oleh negara adidaya tersebut.

Yang juga cukup menyita perhatian Indonesia di akhir 2009 ini adalah mengenai UU BHP (Undang Undang Badan Hukum Pendidikan). Banyak pihak yang kontra terhadap UU BHP ini, namun banyak juga yang pro. Entah apa alasan yang pro terhadap UU BHP tersebut. Yang pasti, UU BHP ini akan semakin mengukuhkan komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan, sehingga pendidikan hanya dimungkinkan bagi orang-orang yang berpunya, sedangkan orang-orang miskin cukup gigit jari saja.

Di akhir 2008 ini kita juga dikejutkan dengan aksi barbar Israel terhadap Palestina. Negeri para Nabi ini (Palestina) dibombardir habis-habisan oleh Israel. Hingga kini, telah banyak berjatuhan korban di Palestina. Inilah salah satu kebiadaban di zaman modern kini. Kiranya hanya simpati yang bisa kita berikan kepada Palestina, entah yang lain. Mudah-mudahan semakin banyak pihak yang bersimpati dan memberikan bantuan kepada Palestina. Puji Tuhan, semoga dunia damai selalu.

)_ _ _(

Sebenarnya masih begitu banyak momen-momen penting di tahun 2008, namun kadang kita sering terlupa untuk mencatatnya. Jangankan apa yang telah terjadi di dunia ini (paling tidak apa yang telah terjadi di negeri ini), apa yang telah terjadi dan kita lalui secara pribadi saja kadang begitu mudah kita lupakan. Ini tak lain karena kita tidak mencatatnya, tidak menulisnya di dalam ingatan kita. Ini tak lain karena kita menganggap apa-apa yang telah terjadi itu tak terlalu penting untuk diingat, dicatat, dan ditulis, sehingga ke depannya kita mudah sekali jatuh pada kesalahan yang sama.

Mudah-mudahan apa yang telah terjadi pada tahun 2008 akan menjadi refleksi bagi tiap-tiap kita untuk menyongsong dan menjalani tahun 2009.

Mau tahu apa yang akan terjadi pada tahun 2009? Tanyakan saja kepada paranormal (atau mungkin kepada para tidak normal), ketik: reg [spasi] ramal, kirim ke 9090. Namun jangan kecewa jika anda mendapatkan jawaban yang tidak memuaskan dari ramalan tersebut. Rasulullah mengatakan, bahwa peramal adalah orang yang paling tak dapat dipercayai.

Selamat tinggal 2008, selamat datang 2009. Sejarah manusia akan terus berjalan. [Hanafi Mohan - Ciputat, Desember 2008]


Sumber gambar:
http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:MsBenazirBhutto.jpg
http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Soeharto.jpg
http://lifeisbeautifulwithmimit.blogspot.com/2008/06/fpi-insiden-monas-dan-keyakinan.html
http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/16/12065970/tragedi.zakat.pasuruan.jangan.terulang.lagi

Selasa, 16 Desember 2008

Cak Nur; Cendekiawan yang Rendah Hati



Ketertarikan kita kepada seseorang kadang begitu anehnya. Tak jarang pula hal tersebut berawal dari ketidaksukaan kita kepada orang itu. Dan ketertarikan jenis inilah yang aku rasakan ketika mengenal Nurcholish Madjid (Cak Nur). Semenjak aku masih berada di Pontianak yaitu saat masih bersekolah di SMK Teknologi (dulunya STM) di kota kelahiranku tersebut, sosok yang satu ini memang sudah kukenal. Aku lupa persisnya ketika pertama kali mengenal Cak Nur. Mungkin bisa jadi dari koran-koran yang pernah kubaca, atau mungkin juga dari pemberitaan televisi. Apalagi di masa-masa hampir tumbangnya rezim Orde Baru, seingatku Cak Nur begitu seringnya muncul di media massa sebagai tokoh nasional yang sering mengeluarkan pendapat berkenaan dengan masa depan Indonesia yang sedang berada di ambang kehancuran ketika itu.

Aku sering bertanya-tanya pada diriku sendiri ketika itu, siapa Cak Nur ini sebenarnya? Begitu pentingkah dirinya, sehingga ia sering dimintai pendapat mengenai bangsa ini? Apalagi yang sering kudengar ketika itu, bahwa Cak Nur sering mengeluarkan pendapat yang kontroversial mengenai Islam, yang ini semakin menambah ketidaksukaanku kepada tokoh yang satu ini. Begitulah perkenalanku kepada Cak Nur, hingga di saat lain, ketika aku sudah berada di Jakarta untuk melanjutkan studiku, keadaan berkata lain. Tokoh yang tidak aku sukai ini lambat laun kemudian menyita perhatianku, hingga ia menjadi salah seorang tokoh nasional yang aku kagumi.

Kampus tempatku menuntut ilmu, yaitu UIN Jakarta (waktu itu masih bernama IAIN Jakarta), seakan-akan memberikanku ruang yang begitu luas untuk mengenal lebih jauh sosok yang satu ini. Setelah membaca beberapa buku yang ditulisnya, aku menjadi semakin mengenal Cak Nur. Pemikiran-pemikirannya memberikan pencerahan bagiku. Konsep-konsep Islam yang selama ini telah dikenal oleh Umat Islam, tapi melalui Cak Nur, konsep-konsep tersebut kembali diulas, seakan-akan aku kembali lagi dari awal mengenal Islam yang telah kuanut semenjak lahir.

Ulasan-ulasannya tersebut pada satu sisi begitu sederhana, tapi memberikan pemahaman yang baru bagiku. Cak Nur mendedahkannya dari sisi yang lain, yang mungkin selama ini tak terlalu menjadi perhatian dari para penceramah agama yang biasa aku dengar di masjid ketika Shalat Jum'at. Sebut saja misalkan konsep syari'ah, jihad, syirik, keadilan, dan konsep-konsep lainnya yang seakan-akan selama ini sudah kuketahui, karena aku adalah Umat Islam. Tapi setelah membaca berbagai pemikirannya, seakan-akan aku baru mengetahui ajaran agama yang kuanut ini. Pemikirannya juga memperlihatkan kepadaku sisi yang lain dari Islam, yaitu Islam sebagai agama yang damai dan rahmatan lil alamin.

Kekaguman kepada Cak Nur juga telah membawaku untuk beraktivitas di organisasi mahasiswa yang dahulunya pernah dipimpin oleh Cak Nur, yaitu HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Di organisasi ini semakin memberikanku ruang yang begitu luas untuk mendalami lebih jauh pemikiran-pemikiran Cak Nur. Apalagi belakangan setelah semakin intens bergelut di HMI, barulah kuketahui, bahwa beliau adalah perumus ideologi organisasi mahasiswa Islam ini. Begitu mengagumkan juga, karena ideologi tersebut dirumuskannya ketika ia masih pemuda sepertiku.

Suatu ketika, waktu itu adalah acara pengukuhan BEM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, aku mendapatkan kesempatan yang begitu berharga, karena dapat bertatapan langsung dengan tokoh yang kukagumi ini. Pada acara tersebut, Cak Nur diminta untuk berorasi mengenai kenegaraan dan kebangsaan. Ketika mendengar orasinya itu, aku semakin yakin, bahwa kekagumanku kepada tokoh yang satu ini tidaklah salah. Beliau begitu berbeda, begitu mempesona, dan penuh dengan kharisma. Orasinya begitu mendalam, sedalam pemahamannya terhadap kondisi bangsa ini. Dan satu yang selalu kuingat, yaitu suaranya begitu syahdu, lembut, dan penuh dengan kedamaian, berbeda dengan suara kebanyakan para penceramah agama yang menggelegar-gelegar dan menyambar-nyambar bagaikan guntur dan petir dari langit.

Suaranya yang tak terlalu nyaring dan juga tak terlampau pelan itu membawaku (dan mungkin juga hadirin yang hadir ketika itu) kepada pemahaman yang baru mengenai bangsa ini. Selain tulisan-tulisannya begitu enak dibaca, orasinya pun begitu nyaman didengar. Menurutku, beliau adalah seorang penulis yang bagus, sekaligus juga seorang orator ulung. Ini mungkin adalah pertemuanku untuk pertama dan terakhir kalinya dengan Cak Nur, karena setelah itu aku tak pernah lagi bertatapan langsung dengannya, paling-paling hanya melalui televisi yang pernah menayangkan ceramah-ceramah agama yang disampaikannya.

Menurutku, beliau adalah sosok yang begitu rendah hati dan tulus. Ia tidak lantas menggurui, walaupun ilmu dan pemahamannya begitu mendalam. Ungkapan-ungkapannya juga tidak cenderung untuk melecehkan orang atau aliran yang tak sepaham dengannya. Beliau juga tidak mengeluarkan kata-kata pedas ketika mengkritisi sesuatu yang tidak disetujuinya, cenderung tidak tendensius dan tidak pula menghakimi, melainkan ia selalu berkata santun. Kiranya jarang sekali ditemui seorang intelektual yang seperti beliau. Ia bukan hanya dihormati oleh kawan, juga disegani oleh orang-orang yang berseberangan pendapat dengannya. Hal ini mungkin karena kharisma intelektualnya juga sejalan dengan akhlaknya yang luhur, baik ketika menulis, berkata, bahkan ketika bertindak.

Pada suatu kesempatan saat aku menjadi Sekretaris Umum HMI Cabang Ciputat pada hari Senin 29 Agustus 2005, ketika itu adalah hari terakhir pelaksanaan RAKORNAS (Rapat Koordinasi Nasional) LKMI (Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam) yang dilaksanakan di Pontianak-Kalimantan Barat yang tak lain adalah kota kelahiranku. Delegasi dari HMI Cabang Ciputat adalah aku bersama dua orang kader HMI Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta. Hari terakhir RAKORNAS LKMI tersebut kami habiskan untuk jalan-jalan di Kota Pontianak, sekaligus aku juga mengenalkan Kota Pontianak kepada beberapa teman peserta RAKORNAS LKMI yang notabene bukan berasal dari Pontianak.

Ketika itu kami sedang berada di dalam mobil setelah beberapa teman membeli oleh-oleh untuk dibawa ke kota mereka masing-masing. Saat itu kira-kira pukul tiga sore, ponselku berbunyi, yang menandakan ada SMS yang masuk. Lalu tanpa menunggu lama, langsung kubaca SMS tersebut. Ternyata suatu berita yang begitu mengejutkan bagiku dari seorang teman seperjuanganku di HMI KOMFASTEK (Komisariat Fakultas Sains & Teknologi dan Ekonomi). Berita tersebut tak hanya mengejutkanku, tetapi juga mengejutkan teman-teman HMI lainnya yang ketika itu semobil denganku. Cak Nur telah berpulang ke rahmatullah, begitulah isi dari SMS tersebut.

Aku bukan hanya terkejut, tapi juga kehilangan seorang tokoh panutan. Seorang yang setiap curahan pemikirannya adalah oase bagi kehidupanku. Pemikirannya yang oleh sebagian orang begitu kontroversial, tetapi bagiku telah memberikan pencerahan yang begitu berharga. Setiap untaian pemikirannya adalah untaian penunjuk jalan bagi bangsa yang berada di ambang kehancuran ini. Ia adalah pemikir yang memiliki moralitas yang begitu tinggi. Selain sebagai pembaharu Islam, ia juga adalah seorang negarawan yang begitu mencintai negerinya. Dan pesona dirinya yang tak pernah kulupakan, bahwa ia adalah sosok yang rendah hati dan tulus.

Melalui tulisannya, Cak Nur tak jarang mengingatkan untuk tidak mengkultuskan seseorang. Semoga juga kekagumanku kepadanya tidak terjerumus kepada pengkultusan yang sering ia wanti-wanti untuk dihindari itu. Dan memang selayaknya kita menghargai Cak Nur karena nilai-nilai kemanusiaannya yang begitu tinggi. Cak Nur hanya manusia biasa, penghargaan kepadanya tak lebih karena ia telah memberikan kontribusi yang begitu besar kepada umat dan bangsa ini. Sumbangsih positif dari pemikirannya juga sudah sepatutnya untuk diapresiasi dengan baik. Terlepas dari itu, pemikirannya juga tak menutup kemungkinan untuk dikritisi. Dan aku yakin, begitu pulalah yang diinginkan oleh Cak Nur, bahwa generasi kini jangan hanya membeo kepada pemikiran yang telah ia lontarkan.

Cak Nur telah mengukir sejarahnya yang indah dan menawan di atas lontar kehidupan dengan tinta emas yang berkilauan. Generasi kini tentunya harus melakukan pencapaian-pencapaian yang lebih dari itu. Bukan hanya sekedar membeo, tapi melakukan apresiasi kreatif dan kritis terhadap khazanah intelektual yang telah dipersembahkannya. Sehingga dari apresiasi tersebut akan memunculkan inovasi terbaru yang lebih berarti untuk kehidupan umat dan bangsa ini di masa kini dan akan datang. Jika Cak Nur adalah pendaki yang telah mencapai puncaknya, maka kita tentunya tak ingin hanya menatap Cak Nur dari kejauhan sembari mengelu-elukan kebesarannya. Lebih tragis lagi jika Cak Nur kemudian diberhalakan, serta pemikirannya didewa-dewakan. Hingga kemudian generasi penerusnya tak lebih hanyalah menjadi generasi yang tenggelam dalam kejumudan. [Hanafi Mohan / Ciputat, Mei 2008]



Sumber Foto:

- http://fadlanous.blogspot.com/

- http://lintang2010.wordpress.com/

- http://syafiqjawad.wordpress.com/

Jumat, 12 Desember 2008

Sekolah di Masa Kecil

SD Negeri 11 Pontianak Timur, itulah sekolah yang pertama kali kumasuki selama hidupku (tahun 1988). Guru-guru yang begitu menawan ada di sekolah dasar kampungku ini. Kepala sekolahnya adalah Pak Kasdi, yang beberapa tahun kemudian digantikan oleh Ibu Zaleha.

Guru kelas 1 adalah Ibu Maemunah (kalau tak salah), yang beberapa bulan atau mungkin setahun kemudian diganti oleh Ibu Siti Hawa.

Ibu Maemunah adalah guru yang cukup garang menurutku dan teman-temanku ketika itu. Sedangkan Ibu Siti Hawa adalah guru yang tak terlalu garang, walaupun mungkin ada juga hal-hal yang tak kami sukai darinya.

Melalui tangan dingin mereka lah, kami para anak Melayu yang buta aksara ini lambat-laun menjadi bisa membaca, menulis, dan berhitung. Begitu besar jasa mereka kepada kami, yang mungkin hingga kini tak pernah bisa kami balas.

Pada kelas berikutnya, semakin bertambahlah guru kami. Ada Ibu Selvi yang mengajar Bahasa Indonesia, Ibu Nurhayati yang mengajar Matematika dan IPA (dan mungkin masih banyak lagi mata pelajaran yang ia ajar, karena seorang guru SD biasanya memang memegang lebih dari satu mata pelajaran), Ibu Netty mengajar Agama Islam, Pak Raqib yang mengajar Olahraga, dan beberapa guru lainnya yang aku sudah lupa nama-namanya, beberapa guru juga ada yang dipindahkan ke sekolah lain yang kemudian diganti oleh guru yang baru. Ada satu lagi yang tak pernah kulupa, yaitu pembantu sekolah kami yang biasa dipanggil Pak Dolah. Orangnya lucu, kadang juga suka ngomel, tapi dia baik, kami biasa membantu pekerjaannya (atau lebih tepatnya dialah yang minta dibantu). Yang pasti hal-hal yang bisa kami kerjakan, seperti mengangkat meja dan bangku, lemari, mencuci gelas dan piring.

Walaupun Pak Dolah hanya seorang pembantu sekolah, tapi ia sudah kami anggap sebagai guru dan orang tua kami. Melalui mulutnya, kami diberi nasehat yang begitu berarti bagi kehidupan kami. Ia juga sering bercerita mengenai anaknya yang sudah berhasil menjadi sarjana. Melalui Pak Dolah, semangat kami terlecuti untuk menjadi orang yang berpendidikan tinggi, yang berguna bagi umat dan bangsa, dan juga bagi orang tua kami. [Hanafi Mohan]

Rabu, 10 Desember 2008

Kolam Renang di Lapangan Bola


Masa SD adalah masa yag menyenangkan bagiku (dan mungkin juga bagi teman-temanku). Seakan-akan kami tak punya beban kehidupan selain daripada harus belajar tekun, dan yang pasti belajar tersebut membuat kepala kami pusing. Sehingga waktu yang kami sukai dan kami tunggu-tunggu adalah ketika lonceng istirahat berdentang sebanyak tiga kali yang menandakan waktu istirahat. Ketika istirahat, maka kami akan bermain di lapangan sekolah dengan berbagai macam permainan. Main bola, gelasen (galah hadang/galah panjang), main guli (kelerang/gundu), dan masih banyak lagi permainan lainnya. Kalau sudah jemu dengan lapangan sekolah, maka kami akan menjadikan hutan dekat sekolah sebagai tempat alternatif untuk bermain permainan yang lebih menantang, seperti main perang-perangan. Selain waktu istirahat, jam pelajaran olah raga juga ditunggu-tunggu, karena waktu luang untuk bermainnya agak lebih panjang.

Kalau Pontianak sedang mengalami air pasang yang memang rutin setiap tahun itu, maka kami begitu bergembira, karena bisa bermain air dengan riang-gembira di lapangan SD yang dipenuhi air. Lapangan sepak bola SD kami memang multifungsi. Bisa untuk bermain bola, senam pagi, upacara bendera, dan kalau lagi air pasang bisa menjadi kolam renang. Karena tak terlalu terawat, lebih seringnya lapangan ini menjadi taman bunga di depan sekolah kami. Jauh dari yang dibayangkan, taman bunga ini isinya bukanlah bunga-bunga yang berbau harum semerbak dengan warnanya yang indah menawan, tapi tak lain isinya adalah semak-belukar dengan rumputnya yang miang dan berduri., yang kalau hujan tanahnya menjadi becek, kemudian menjadi tempat yang paling indah bagi kodok untuk bertelur. []

Kota yang Dibelah Oleh Sungai

Eee … sampan laju, sampan laju daghi ile’ sampai ke ulu

Sungai Kapuas, sunggoh panjang daghi dulo’ membelah kote

Eee... tak disangke, tak disangke dulo’ utan menjadi kote

Ghamai pendudoknye, Pontianak name kotenye


Dua bait awal lagu daerah Pontianak yang berjudul “Ae’ Kapuas” ini menggambarkan Kota Pontianak yang begitu lekat dengan Sungai Kapuas yang merupakan sungai terpanjang di Indonesia. Pontianak adalah kota yang wilayahnya dipisahkan oleh Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Landak yang tak lain adalah anak sungai dari Sungai Kapuas. Sungai Kapuas Besar memisahkan Pontianak Barat dengan Pontianak Utara. Untuk menuju ke Pontianak Utara dari Pontianak Barat (atau sebaliknya) bisa secara langsung menggunakan feri penyeberangan sungai. Sungai Kapuas Kecil memisahkan Pontianak Selatan dengan Pontianak Timur dengan penghubungnya berupa jembatan yang dikenal dengan sebutan Jembatan Kapuas. Sungai Landak memisahkan Pontianak Utara dengan Pontianak Timur dengan penghubungnya berupa jembatan yang dikenal dengan sebutan Jembatan Landak. Sedangkan Pontianak Selatan menyatu satu daratan dengan Pontianak Barat. Pemisah kedua wilayah tersebut hanyalah sebuah parit yang disebut Parit Besar.

Dalam Bahasa Melayu, Pontianak artinya hantu kuntilanak. Penamaan ini sesuai dengan sejarah ketika berdirinya kota pesisir sungai ini dua abad yang silam. Konon ketika itu, pendiri kota ini yaitu Syarif Abdurrahman Al-Qadri, bersama-sama dengan rombongannya yang melakukan perjalanan dari Mempawah untuk mencari daerah baru yang akan dijadikan kerajaan sampai di wilayah utara Pontianak yang kemudian dikenal sebagai kawasan Batulayang. Ketika sampai di wilayah Batulayang inilah, rombongan Syarif Abdurrahman Al-Qadri yang melakukan perjalanan dengan menggunakan kapal tiba-tiba mendapat gangguan dari makhluk halus sejenis hantu kuntilanak. Berdasarkan petunjuk yang didapat, Syarif Abdurrahman Al-Qadri kemudian memerintahkan kepada rombongannya untuk bermalam di tempat itu, karena daerah yang akan dituju sudah semakin dekat. Berdasarkan petunjuk yang didapat juga, Syarif Abdurrahman memerintahkan kepada rombongannya untuk menembakkan meriam, yang selain untuk mengusir gangguan hantu kuntilanak, juga untuk menjadikan penanda jatuhnya peluru meriam itu sebagai tempat yang akan mereka bangun sebagai wilayah kesultanan.

Simpang tiga pertemuan Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Landak adalah tempat jatuhnya peluru meriam yang ditembakkan oleh rombongan Syarif Abdurrahman. Kawasan Simpang Tiga itu kemudian dikenal dengan nama Kampung Beting yang termasuk di dalam wilayah Kelurahan Dalam Bugis. Di kawasan inilah untuk pertama kalinya didirikan bangunan berupa masjid di Kota Pontianak yang ketika itu masih hutan belantara. Masjid yang merupakan bangunan pertama di Kota Pontianak itu kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman. Tak jauh dari Masjid Jami’ Kesultanan Pontianak itu kemudian didirikan Istana Qadriah Kesultanan Pontianak. Hingga kini, kedua bangunan bersejarah di Kota Pontianak itu masih tetap kokoh berdiri.

Pontianak memang dikenal sebagai Kota Air. Dengan Sungai Kapuas dan Sungai Landak sebagai sungai yang membelah kota serta puluhan parit (kanal) yang bermuara ke kedua sungai tersebut. Sekilas seperti Kota Venezia di Italia, atau Kota Amsterdam di Belanda. Sungai dan Parit menjadi salah satu jalur transportasi terpenting di Kota Khatulistiwa ini. Dari sampan kayu yang berukuran kecil hingga kapal-kapal berukuran besar bisa melalui Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Dan ada lagi satu alat transportasi angkutan barang yang cukup unik, yaitu Bandong. Merupakan kapal kayu yang berbentuk seperti rumah, yang bisa memuat dan mengangkut barang dalam jumlah yang cukup besar. Bandong ini biasanya dipergunakan untuk mengangkut barang melalui sungai ke daerah-daerah yang berada di hulu Sungai Kapuas dan Sungai Landak, dan daerah pedalaman lainnya di Kalimantan Barat. Kapal, motor air, dan bandong, baik yang berlabuh di pinggir sungai maupun yang sedang berjalan menyusuri sungai akan sering kita temui jika kita sedang berada di pinggiran sungai, dan tentunya akan menjadi pemandangan yang begitu menarik Belum lagi sampan dan speed boat yang lalu-lalang membawa penumpang menyeberangi sungai. Juga kehidupan masyarakat pesisir sungai yang tak kalah menariknya. Semua hal itu menjadikan keunikan tersendiri bagi Kota Pontianak. Namun sayang, semua keunikan itu belum digarap dan dikelola dengan baik oleh pemerintahan daerah setempat dan pihak-pihak lain yang terkait sehingga bisa menjadi wisata air yang akan menarik para wisatawan berkunjung ke Kota Khatulistiwa ini.

Pontianak adalah kesultanan terakhir yang didirikan di Provinsi Kalimantan Barat di masa lalu. Pontianak didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri yang sekaligus menjadi Sultan pertama di Kesultanan Pontianak ketika itu. Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri adalah putera seorang ulama terkenal di Kalimantan Barat yang bernama Habib Husain. Habib Husain ini berasal dari Negeri Hadralmaut-Yaman Selatan. Berdasarkan silsilahnya, Habib Husain ini merupakan keturunan Nabi Muhammad. Ketika di Kalimantan Barat, Habib Husain sempat menjadi ulama yang menyebarkan ilmu keislamannya di Kesultanan Matan dan Kesultanan Mempawah. Syarif Abdurrahman sendiri adalah putera dari perkawinannya dengan perempuan di Kesultanan Matan.

Beberapa kesultanan lainnya yang lebih dahulu didirikan di Kalimantan Barat di antaranya adalah: Kesultanan Tangjungpura, Kesultanan Matan, dan Kesultanan Sukadana di Kabupaten Ketapang (kini dimekarkan menjadi Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara), Kesultanan Sambas di Kabupaten Sambas, Kesultanan Mempawah dan Kesultanan Kubu di Kabupaten Pontianak, Kesultanan Landak di Kabupaten Landak, Kesultanan Sintang di Kabupaten Sintang, dan Kesultanan Sanggau di Kabupaten Sanggau. Walaupun didirikan paling akhir, namun karena letaknya yang strategis pada jalur perdagangan telah menjadikan Pontianak sebagai kota pelabuhan sekaligus sentra perdagangan dan sentra pemerintahan di Provinsi Kalimantan Barat.

Penduduknya yang heterogen telah menjadikan Pontianak sebagai kota yang kosmopolitan. Penduduk Pontianak rata-rata adalah penduduk pendatang, karena tadinya Pontianak hanyalah hutan belantara. Setelah berdirinya Kesultanan Pontianak, maka berdatanganlah orang-orang dari luar Kota Pontianak. Nama-nama kampung dan tempat yang ada di Pontianak menggambarkan asal daerah penduduk yang ada di tempat itu. Misalkan: Kampung Banjar Serasan menunjukkan bahwa penduduk yang ada di tempat itu berasal dari Banjarmasin dan Pulau Serasan. Kampung Bangka Belitung menunjukkan bahwa penduduk yang ada di tempat itu berasal dari Kepulauan Bangka Belitung. Kampung Tambelan Sampit menunjukkan penduduk yang ada di tempat itu berasal dari Pulau Tambelan di Kepulauan Riau dan Sampit di Kalimantan Tengah. Kampung Saigon menunjukkan penduduk yang ada di tempat itu berasal dari Saigon-Vietnam. Kampung Kamboja menunjukkan penduduknya berasal dari Negeri Kamboja. Dan beberapa kampung lainnya seperti Kampung Kuantan, Kampung Arab, Kampung Jawa, Kampung Bali, Siantan, dan Kampung Dalam Bugis. Beberapa nama tempat tersebut memang diakui berdasarkan kaitan daerah asal penduduk yang ada di kawasan tersebut. Namun apa yang telah saya tuliskan tersebut mungkin juga agak kurang valid, sehingga patut dilakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai asal daerah penduduk yang ada di kawasan-kawasan tersebut. Seperti penamaan beberapa kawasan mungkin saja bukan karena penduduk yang ada di kawasan tersebut berasal dari daerah yang kemudian dijadikan sebagai nama kawasan tersebut, karena mungkin saja ada hubungan lain, misalkan hubungan perdagangan di masa lalu di mana penduduk yang ada di tempat itu pernah berdagang atau berlayar ke suatu tempat, sehingga mereka menamakan kawasan tempat tinggal mereka berdasarkan tempat yang pernah mereka singgahi ketika melakukan pelayaran atau perdagangan tersebut. Atau mungkin juga ada hal-hal lainnya, sehingga terciptalah nama tersebut. Apa yang telah saya tuliskan di atas tak lebih hanyalah ingin menunjukkan heterogenitas Kota Pontianak. Penelitian yang mendalam lagi mengenai hal ini saya rasa begitu pentingnya.

Selain dikenal sebagai kota yang dibelah oleh sungai, Pontianak juga dikenal sebagai kota yang pas dilalui oleh garis khatulistiwa (equator) nol derajat. Sehingga Pontianak dijuluki sebagai Kota Khatulistiwa. Karena itu, cuaca di kota ini cukup panas dengan sinar mataharinya yang terik menyengat. Tempat berdirinya Tugu Khatulistiwa sebagai penanda ciri khas dan keunikan Kota Pontianak berada di wilayah Siantan Kecamatan Pontianak Utara. Di kawasan Tugu Khatulistiwa ini setiap tahunnya pada saat terjadinya peristiwa kulminasi matahari selalu rutin diadakan event budaya daerah, yaitu Festival Budaya Bumi Khatulistiwa

Mayoritas penduduk Kota Pontianak adalah Melayu dan Tionghoa. Karena merupakan kota pelabuhan, beberapa suku lainnya juga cukup banyak mendiami kota ini. Sedangkan Suku Dayak sebagai salah satu suku asli selain Melayu lebih banyak mendiami daerah-daerah hulu sungai dan pedalaman di Kalimantan Barat. Tapi kini juga tak dapat dipungkiri, bahwa Suku Dayak juga sudah cukup banyak mendiami daerah perkotaan seperti Pontianak.

Secara umum, bahasa pergaulan sehari-hari di Pontianak adalah Bahasa Melayu, yang juga dipergunakan secara luas di seluruh Kalimantan Barat. Hal ini membedakan Kalimantan Barat dengan tiga provinsi lainnya di Pulau Kalimantan, yaitu Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Di tiga provinsi tersebut, bahasa pergaulannya adalah Bahasa Banjar. Walaupun Bahasa Banjar masih termasuk rumpun Bahasa Melayu, namun tak dapat dipungkiri juga, bahwa terdapat perbedaan mendasar antara Bahasa Melayu dengan Bahasa Banjar.

Secara geografis, Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi yang berbatasan darat secara langsung dengan Malaysia Timur (Kalimantan Bagian Utara). Hal ini telah menjadikan Pontianak sebagai ibu kota Kalimantan Barat memiliki peranan strategis dalam hubungan antara dua negara serumpun (Indonesia dan Malaysia). Selain dengan Malaysia, Kalimantan Barat juga berhubungan erat dengan Negara Brunei Darussalam yang juga berada di Kalimantan Bagian Utara. Apalagi di masa lalu, beberapa kesultanan di Kalimantan Barat memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan Kesultanan Brunei Darussalam.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, bahwa bagi yang sudah pernah berkunjung ke Kota Pontianak dan kemudian meminum air Sungai Kapuas, maka orang tersebut akan begitu sulit sekali untuk melupakan kota sungai yang begitu unik ini.

Berikut ini adalah bait terakhir dari lagu “Ae’ Kapuas” yang menggambarkan hal tersebut:

Sungai Kapuas punye ceghite, bile kite minom ae’nye

Walaupon pegi jaoh ke mane, sungguh susah nak ngelupa’kannye

Eee… Kapuas, eee … Kapuas [-,-]

Rabu, 10 September 2008

Penghujung Agustus di Republik Dangdut

Begitu inginnya aku menulis. Kadang mudah, namun tak jarang pula begitu sulitnya mendapatkan inspirasi untuk menulis. Hal ini sungguh kurasakan di bulan Agustus ini. Sebenarnya aku ingin sekali menghasilkan begitu banyak tulisan di bulan ini. Begitu banyak momen-momen penting di bulan Agustus: HUT RI, HUT TVRI, HUT RCTI, HUT SCTV, dan rumah makan siap saji yang kulalui kemarin, namanya juga ada HUT-nya (Pizza Hut).

Ya, begitu banyaknya momen penting di bulan ini, sehingga tak salah jika aku ingin menghasilkan begitu banyak tulisan di bulan yang penuh berkah ini. Apalagi pada tanggal 17 Agustus yang lalu, aku juga mengikuti suatu pelatihan menulis, dan setelah itu langsung touring bersama teman-temanku ke Gunung Salak. Inspirasi memang begitu banyaknya, tapi tak satupun dari inspirasi itu yang menurutku pas untuk dijadikan tulisan. Memang ada beberapa tulisan yang sudah kubuat, tapi aku merasa tulisan tersebut belumlah layak untuk diposting ke blog tercinta ini.

Dalam seminggu ini otakku membeku. Sepulangnya dari Gunung Salak, kakiku rasanya patah-patah. Ini tak lain karena kami juga hiking menuju ke Curug Seribu (masih di kawasan Gunung Salak) yang medannya cukup berat: mendaki, menurun, terjal, licin, belum lagi jalanan batunya yang cukup tajam menusuk telapak kaki. Jika tidak berhati-hati, tentunya kecelakaan sudah menunggu di depan mata.

Beberapa hari sekembalinya dari Gunung Salak, seorang mahasiswa baru di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta meminta bantuanku untuk menemaninya mencari kosan. Seharian mengelilingi kawasan sekitar kampus, akhirnya dapat juga kosan yang pas menurut selera mahasiswa baru itu. Hari Minggu yang lalu bertemu dengan teman kuliahku yang kini sudah lulus dan kerja. Selepas itu, sorenya jalan-jalan ke kawasan Blok M bersama seorang teman karibku. Senin malam kongkow-kongkow dengan teman karibku sambil menikmati suasana pasar malam di dekat rumahnya. Selasa sore bertemu dengan beberapa teman kuliahku sambil nonton film: American Gangster, Kungfu Panda, dan Kawin Kontrak.

Kemarin (Rabu) seharian saja di kosan. Sorenya barulah berkutat lagi di depan komputer mengedit skripsi temanku, sambil mendengarkan lagu arabia. Sebenarnya aku bermaksud pada Rabu malam ini nonton konser Gigi dan Ungu di Senayan. Tiketnya cukup murah, hanya 15.000 rupiah. Beberapa orang teman kutawari untuk menonton konser yang dimaksud, tapi tidak ada yang mau. Akhirnya, batallah menonton konser tersebut.

Setelah berkutat di depan komputer dari sore hingga sekitar pukul 7 malam, selesailah beberapa bahan tambahan yang kumasukkan ke skripsi temanku, itupun sambil ngobrol dengan istri temanku yang singgah sebentar ke kosanku menunggu suaminya, untuk kemudian dia bersama suaminya akan ke Bekasi.

Bosan juga seharian di kosan. Selepas temanku dan istrinya itu beranjak dari kosanku, akupun lantas keluar dari kosan bermaksud menemui seorang temanku di rumahnya. Ketika sampai di depan rumahnya, temanku itu kukontak lagi (pakai HP tentunya), tapi ternyata orangnya tidak ada, mungkin sudah tidur, atau mungkin sedang keluar. Akhirnya aku jalan saja menelusuri Jalan Pesanggrahan (jalan samping kampus UIN Jakarta). Tak disangka-sangka, ketika makan di sebuah warteg yang ada di Jalan Pesanggrahan, bertemulah aku dengan seorang temanku, dulunya kami sama-sama sebagai pengurus cabang organisasi mahasiswa ekstra kampus. Selepas makan, kami pun kongkow-kongkow di sebuah warnet yang tak jauh dari warteg tersebut, sambil temanku itu mencari bahan yang dicarinya menggunakan Mr. Google.

Cukup lama juga pertemuanku dengan temanku itu. Setelah itu, langsung saja aku bermaksud kembali ke kosan, karena hari sudah cukup malam. Ketika hampir mendekati kosan, sayup-sayup kudengar musik yang begitu merakyat di negeri ini. Tapi tak kuhiraukan, langsung saja aku menuju kosan. Perkiraanku, mungkin pentas pertunjukan perayaan 17 Agustusan, karena kebiasaan masyarakat sekitar lingkungan kosanku menutup perayaan 17 Agustusan yang mereka adakan adalah dengan mengadakan pentas pertunjukan musik. Sampai di kosan, musik tersebut masih begitu jelas terdengar. Perkiraanku, tempat pertunjukan musik tersebut mungkin tak jauh dari lingkungan kosanku. Lalu, keluarlah lagi aku mencari tempat pertunjukan musik yang dimaksud. Eh, ternyata benar juga, lokasi pertunjukan tersebut tak jauh dari lingkungan kosanku.

Jika ada pertanyaan, musik apakah yang paling merakyat di republik ini? Tak lain dan tak bukan, jawabannya pasti “dangdut“. Di Jakarta, tak lengkap kiranya perayaan 17 Agustusan tanpa pertunjukan musik yang satu ini, tak terkecuali di Ciputat.

Ternyata, tidak di Pontianak tidak pula di Jakarta, tetap saja musik dangdut yang paling merakyat. Tak jarang musik yang satu ini dicemooh, dihujat, dilarang untuk tampil, bahkan sampai-sampai seorang walikota berseteru dengan seorang artis dangdut gara-gara goyangan si artis katanya bisa menggoyahkan iman dan merusak moral masyarakat. Tapi, tetap saja dangdut yang dicintai dan digemari oleh rakyat republik ini.

Di depan panggung pertunjukan, kulihat begitu banyak orang yang menonton: dari anak-anak yang masih bau kencur hingga orang yang sudah lanjut usia, pria dan perempuan, ibu-ibu rumah tangga hingga bapak-bapak pemimpin rumah tangga, mahasiswa, pejabat RT dan RW setempat, hingga kuli bangunan, tukang ojek, sopir angkot, preman-preman setempat, yang semuanya berbaur di depan panggung pertunjukan musik dangdut.

Ketika tampil seorang biduanitanya, masih muda, cantik, pakaiannya seksi, para penonton yang ada di depan berjoget dengan riangnya, tak terkecuali biduanita itu juga berjoget, yang entah goyang apa namanya. Sepertinya biduanita yang satu ini masih baru. Hal ini terlihat dari performancenya di depan panggung: kaku, malu-malu, canggung, dan suaranya yang lebih banyak falsnya, musiknya ke barat, suara penyanyinya ke selatan, musik pengiringnya bernada dasar A minor, sementara penyanyinya dengan nada dasar B minor.

Selama penampilan penyanyi tersebut, aku bukannya menikmati lantunan suara dan goyangan pinggulnya, melainkan menutupi mulutku, lalu tersenyum-senyum sendiri. Ternyata penonton yang lain pun sadar akan keganjilan dari si penyanyi. Terdengar teriakan dan sorakan dari para penonton yang kecewa akan penampilan si penyanyi, “Tuuurun, tuuurun, tuuurun ...!“ Mungkin sadar akan performancenya yang tidak memuaskan, si penyanyi pun turun panggung setelah menyanyikan hanya beberapa lagu. Untungnya para penonton tidak sampai melempari si penyanyi dengan botol ataupun kaleng. Pertunjukan cukup damai dan aman, tidak ada keributan, tidak ada penonton yang rese’, pokoknya “piss” deh. Tak seperti konser-konser grup band populer di Indonesia yang kadang penontonnya rusuh, bahkan ada yang sampai meregang nyawa.

Penyanyi-penyanyi selanjutnya cukup memuaskan penonton, bahkan ada penyanyi yang menyanyikan sebuah lagu hingga kurang lebih 20 menit, entah berapa kali lagu tersebut diulang. Yang pasti, sepertinya penonton puas dengan penampilannya, dan entah sudah berapa banyak para penonton memberi saweran kepada penyanyi itu.

Yang tak kalah seru adalah para pemain musiknya. Jika para penyanyi bisa berganti-ganti, maka tidak untuk para pemain musik. Dari awal pertunjukan dimulai, hingga berakhirnya pertunjukan tersebut, merekalah (para pemain musik) yang meramu dan memainkan musik tersebut, tanpa ada yang menggantikannya, istirahat pun hanya beberapa saat saja. Yang paling kusuka dari pertunjukan musik dangdut adalah pemain gendangnya. Tentunya cukup pegal juga tangan si pemain gendang itu. Tapi ia terus memberikan permainan dan pertunjukan yang terbaik, demi menghibur para penonton. Suatu saat, mungkin karena tangan kanannya sudah pegal, maka si pemain gendang tersebut menggantikan tangan kanannya dengan kaki kanannya. Jadilah kini tangan kiri yang memainkan “dang”, sedangkan kaki kanan memainkan “dut”. Jika penonton yang lain asyik berjoget, maka aku cukuplah hanya menggerak-gerakkan kaki mengikuti hentakan irama musiknya.

Yang lebih dominan pada musik dangdut adalah elaborasi atas melodi, bukanlah kerapian harmoni. Bagi rakyat republik ini, musik semacam dangdut akan dengan mudah mengantar kepada pembebasan. Dalam kehidupan sosial, harmoni menjadi suatu persoalan yang begitu kritis. Karena itulah, melodi yang menghanyut-hanyut akan memudahkan terbukanya gerbang jiwa yang lain. Kemudian berjogetlah para pendengarnya.

Itulah musik dangdut. Mulut ini bisa berkata bahwa musik dangdut kampungan, tapi cobalah sedikit saja beri kesempatan hembusan irama dangdut membelai jiwa kita. [Hanafi Mohan]

Ciputat, Kamis – 28 Agustus 2008

Senin, 08 September 2008

Sejarah Menulis dan Primbon Ayahku


Membaca dan menulis adalah dua kegiatan yang saling mengisi. Bagi para penulis, membaca adalah kegiatan yang begitu penting selain daripada kegiatannya menulis. Entah bagi para pembaca yang bukan penulis, apakah menulis juga menjadi bagian tersendiri selain dari kegiatannya membaca. Tapi sedikit banyak biasanya ada keinginan dari pembaca yang bukan penulis untuk juga menulis, walaupun keinginan itu kecil sekali porsinya, dan mungkin hanya muncul di benaknya.
“Sejarah Menulis …,” ah …, begitu besar sekali judul tulisan ini, walaupun isinya hanya kecil dan biasa saja. Keinginan menulis ini muncul begitu saja setelah aku membaca beberapa tulisan Eka Kurniawan di blognya, dan juga membaca biografi kepenulisannya.
Dulu, ketika masih SMP (atau mungkin juga masih SD), bersama abangku, iseng-iseng kami mempelajari buku primbon dan mujarabat milik ayahku (ayahku meninggal dunia ketika aku kelas tiga SMK/STM). Dalam hal mempelajari primbon ini, ternyata abangkulah yang jadi paling jago dan cepat menguasai hitung-hitungan untuk meramal seseorang berdasarkan ilmu perbintangan pada primbon tersebut.
Dari buku primbon dan mujarabat milik ayahku yang aku dan abangku pelajari itulah, aku kemudian mengetahui ramalan mengenai diriku. Diramalkan di situ, bahwa nantinya aku akan menjadi juru tulis. Diramalkan juga, bahwa nantinya aku akan merantau, berlayar, dan beberapa ramalan lainnya.
Terlepas dari benar atau tidaknya ramalan itu, tepat atau tidaknya yang telah termaktub di buku primbon dan mujarabat tersebut, aku kemudian memang merantau ke tanah Jawa, ke Kota Metropolitan Jakarta, dipercayakan menjadi juru tulis, dan sekretaris di organisasi yang pernah kugeluti. Semuanya ini tadinya mungkin hanya menjadi khayalan dan mimpiku. Atau juga mungkin tak pernah kukhayalkan dan mimpikan, namun kemudian perjalanan hidup berkata lain. Aku yang tak lebih hanyalah anak kampung di pesisir Sungai Kapuas Kota Pontianak, dari keluarga yang pas-pasan (atau lebih tepatnya dikatakan sebagai keluarga miskin), kemudian melalui jalan yang tak kusangka-sangka telah membawaku untuk merantau ke Jakarta, kemudian kuliah pada salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta.
Sebelum berangkat ke Jakarta, abangku menghadiahkan sebuah buku yang cukup tebal, yang kemudian buku itu kujadikan sebagai buku diary. Dari sinilah aku mulai rajin menulis diary. Betapa Jakarta merupakan tonggak awal hobiku menulis, dan itu harus kuakui. Semenjak di Jakarta lah, berhubungan dengan pekerjaanku pada sebuah rental komputer milik abang sepupuku, maka menulis menjadi bagian tersendiri dari hidupku. Setiap hari aku mengetik naskah makalah, bahkan skripsi. Kegiatan menyunting tulisan sudah menjadi keseharianku ketika itu, sedangkan saat itu aku belum kuliah.
Dari hobi menulis diary inilah, jari-jariku ringan saja kalau menulis. Ketika kuliah, jika teman-temanku mengalami problem yang begitu akut ketika menulis, maka sebaliknya, aku tidak mengalami problem tersebut.
Kemudian, hobiku menulis beranjak kepada bentuk yang lain, yaitu puisi, dan kemudian juga menulis lirik lagu untuk kumainkan di band kelas yang kugawangi ketika itu. Karena hobi menulis puisi inilah, pernah dua kali aku membacakan puisi karyaku di hadapan orang banyak. Yang pertama adalah ketika acara inaugurasi anggota baru organisasi ekstra kampus yang pernah kugeluti, yang ketika itu tulisanku yang berupa catatan harian juga diumumkan sebagai pemenang pertama lomba penulisan catatan harian yang diadakan oleh pengurus cabang organisasi ekstra kampus yang kugeluti itu. Yang kedua adalah ketika acara malam penutupan kegiatan Kuliah Kerja Sosial (KKS) pada sebuah desa di Provinsi Banten.
Dari hobi menulis puisi, kemudian perjalanan menulisku bergerak ke arah prosa. Tadinya aku tertarik untuk menulis Non Fiksi semacam Essay ataupun Opini. Mencoba beberapa kali menulis Non Fiksi, ternyata kurasakan bahasa tulisanku tak mengalir dengan lancar. Belakangan ini barulah aku menemukan tempat berlabuh yang tepat, yaitu Fiksi. Bahasa tulisanku ternyata bisa mengalir dengan lancar di Fiksi. Tadinya aku juga tak menyangka bisa menulis semacam Cerpen, karena jangankan menulis Cerpen, membaca Cerpen pun aku jarang. Dalam bayanganku, untuk bisa menulis Cerpen itu tidaklah mudah. Ternyata setelah dijalani, tak serumit bayanganku sebelumnya. Hanya perlu inspirasi dan imajinasi untuk melakukan semua itu (dan yang pasti juga kemauan).
Kini, setelah lancar menulis Fiksi, ketika kemudian aku menulis Non Fiksi, maka bahasa tulisanku di Non Fiksi pun menjadi lebih lancar. Kini, aku ingin menulis apa saja. Apa saja yang menurutku menarik, maka akan kutulis. Sehingga kadang aku merasakan, bahwa setiap hembusan nafasku adalah kata-kata: kadang berdetak seirama dengan detakan jantung, kadang berdenyut bersama dengan denyutan nadi, dan terkadang juga mengalir seiring dengan aliran darah. Seorang sastrawan pernah mengatakan, bahwa karya-karyanya adalah anak rohaninya. Layaknya seorang anak, maka kita juga harus menyayangi anak-anak rohani yang telah kita lahirkan itu. [Hanafi Mohan]


Ciputat, Selasa – 26 Agustus 2008
Pukul 10.01 WIB



Rabu, 30 Juli 2008

Khayal dan Kenyataan yang Samar; Proses Kreatif Cerpen "Negeri Harapan"

Khayal dan Kenyataan yang Samar;
Proses Kreatif Cerpen "Negeri Harapan"
Oleh: Hanafi Mohan



Gaya penceritaan adalah suatu ciri khas setiap penulis cerpen ataupun novel. Layaknya seorang penari, maka seorang penulis cerita pun semestinya piawai untuk meliuk-liukkan ceritanya. Hambar sekali rasanya jika cerita ditulis hanya datar saja.

Pada cerpen "Negeri Harapan" (NH), merupakan pertama kalinya aku menemukan gaya yang seperti itu. Boleh dikatakan, bahwa "Negeri Harapan" adalah eksperimenku untuk menemukan gaya penceritaan yang menarik, yang kuharapkan gaya itu menjadi salah satu ciri tulisanku. Seperti layaknya eksperimen, maka kadang berhasil, atau lebih seringnya gagal. Tapi patut diakui, bahwa dari eksperimen lah kita menemukan penemuan-penemuan baru, yang mungkin orang lain belum menemukannya. Atau, kalaupun orang lain sudah menemukan hal yang serupa, maka kita cukup berpuas diri, karena sudah menemukan seperti yang ditemukan oleh orang lain, tapi dengan cara kita sendiri, tanpa harus kita meniru cara orang lain tersebut.

NH merupakan akumulasi dari pengalaman hidupku. Di situ ada khayal, juga ada kenyataan. Ada mimpi, ada juga sadar. Ada masa lalu, ada masa kini, dan ada juga masa akan datang. Khayal, kenyataan, mimpi, sadar, masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang, semuanya berkelindan menjadi satu, sehingga yang muncul adalah kesamaran di antaranya. Seakan-akan nyata, tapi tidak nyata. Seakan-akan tidak nyata, tapi nyata. Seakan-akan dekat, tapi jauh. Seakan-akan jauh, tapi dekat. Seakan-akan sedang bermimpi, tapi sebenarnya mimpi itu ada bersamaan dengan kesadaranku. Seakan-akan sedang sadar, tapi sebenarnya sadar itu menyelusup ke dalam relung-relung mimpiku.

Jika kuingat-ingat, ketika masa kecilku (atau mungkin masa remajaku), aku pernah bermimpi pada suatu malam. Di mimpi itu kuingat aku jalan-jalan ke "Negeri Harapan" menggunakan pesawat terbang. Indah …, indah sekali gambaranku akan "Negeri Harapan" ketika itu. "Negeri Harapan" yang kumaksud adalah Kota Jakarta, tempatku kini berada.

Ketika masih berada di kota kelahiranku (Kota Pontianak, yang di dalam cerpen NH kusebut sebaga Negeri Sungai), Kota Jakarta hanya menjadi khayalanku, hanya menjadi mimpiku. Kiranya, ketika itu aku tak pernah menduga bisa menjejakkan kaki ke Kota Jakarta. Bahkan tak pernah membayangkan, hingga kini sudah bertahun-tahun aku berada di Kota Metropolitan ini.

Jadi dapatlah dikatakan, bahwa kehidupanku kini adalah seperti khayalanku, seperti mimpiku di masa-masa lalu. Kini aku menjalani khayalan dan mimpi itu. Kadang kini aku merasa, bahwa kenyataan hidup yang sedang kualami ini tak lain adalah mimpi dan khayalanku. Dalam dunia yang nyata ini, seakan-akan aku merasakan hidup dalam dunia mimpi dan dunia khayalan. Aku sadar, bahwa aku kini sedang berada di dunia nyata. Tapi tak dapat kupungkiri, dunia nyata yang kujalani ini seperti khayalan dan mimpi.

Aku hidup di dunia nyata, tapi seakan-akan aku merasakan sedang berkhayal dan bermimpi.

Aku berkhayal dan bermimpi, tapi khayalan dan mimpi itu kulakoni dalam dunia sadar dan dunia nyataku.

Dari sini dapatlah tergambar, bahwa begitu alotnya cerpen NH ini untuk bisa dipahami oleh pembaca, seperti halnya yang sebenarnya dimaksudkan oleh penulisnya (yaitu aku). Setiap pembaca tentunya akan menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Mungkin ada yang mengira, bahwa tokoh di dalam cerpen NH ini sedang dalam keadaan sakit jiwa. Atau mungkin ada yang mengira, bahwa tokoh utama cerpen ini sedang dalam keadaan "koma". Dan mungkin saja ada penafsiran-penafsiran lainnya. Dan memang dari awal cerpen ini tidak kumaksudkan untuk ditafsirkan secara tunggal. Aku bahkan sangat menginginkan pembaca cerpen ini akan menafsirkan dengan aneka-ragam penafsiran. Bahkan lebih dari itu, aku ingin setiap pembacanya akan menafsirkan berbeda-beda pada setiap kali mereka membacanya. Pada saat pertamanya mungkin ia bisa menafsirkan A, pada saat yang lainnya mungkin ia bisa menafsirkan B, pada saat yang lain lagi, mungkin ia bisa menafsirkan C.

Plot cerpen ini juga begitu cepatnya berganti-ganti. Latar waktu dan latar tempatnya berubah secara cepat. Dari awal ceritanya (paragraf pertama), hal ini sudah dapat dirasakan. Bahkan perubahan plot itu bukan saja antar paragraf, bahkan dalam satu paragraf pun, latar waktunya pun bisa saling berganti-ganti. Perhatikanlah paragraph pertama (awala cerita) cerpen ini:


((( Malam itu di Negeri Sungai, aku terbangun. Baru saja aku memimpikan berada di negeri yang hutan belantaranya bukanlah pohon-pohon, namun adalah gedung-gedung yang menjulang tinggi. Jalan rayanya tak ubah seperti rimba raya. Ada juga jalan-jalan yang seperti kapsul. )))


Pada kalimat pertama menggambarkan masa lampau. Sedangkan pada kalimat kedua, menggambarkan masa kini. Sehingga wajarlah jika ada yang mengatakan, bahwa cerpen ini plotnya tidak konsisten. Jangankan plot, kata-katanya pun begitu banyak yang tidak konsisten (atau mungkin tidak pas).

Tapi, begitulah caraku untuk menarik pembaca. Keganjilan-keganjilan itu kugunakan agar pembaca bertanya-tanya, kemudian lambat-laun pembaca akan tertarik dengan sendirinya ke dalam cerita tersebut, seakan-akan dia sendirilah tokoh utama cerita tersebut. Tapi ini mungkin saja jauh dari harapanku. Karena boro-boro pembaca tertarik, ketika membaca paragraf pertamanya saja, mereka mungkin akan langsung membuang jauh-jauh cerpen ini. Mungkin saja mereka bingung akan ceritanya, akan plotnya, atau mungkin akan kata-katanya yang sedari awal sudah begitu membingungkan.

Jika cerita realis adalah cerita yang taat pada kekonsistenan plot, maka menurutku, cerita non realis (untuk tidak mengatakan surealis) adalah kebalikannya, yaitu tidak konsisten pada plot. Cerita realis berjalan secara linier, maka cerita yang tidak realis berjalan secara tidak linier.

Ketika menulis cerpen ini, aku merasakan menerjang-nerjang kelaziman yang ada. Sungguh begitu beresiko, tapi di situlah letak tantangannya menurutku. Bayangkan saja, secara total, cerpen ini hanya kutulis dalam waktu dua hari. Bahkan ide kasar dari cerpen ini terformulasi dalam beberapa saat saja, bagaikan aku sedang mendapatkan wahyu dari Tuhan. Andaikan aku seorang Nabi, maka mungkin yang kudapatkan itu adalah kitab suci. Tapi, aku hanya manusia biasa, sehingga yang kudapatkan itu hanyalah ilham berupa inspirasi sebuah cerita. [Aan]

Ciputat, Senin – 28 Juli 2008 Pukul 17.15 – 19.49 WIB

Minggu, 22 Juni 2008

[Cerpen] Panggilan dari Ibu


Begitu aku turun dari kapal penumpang, desauan angin Sungai Kapuas yang begitu lembut dan segarnya langsung menerpa wajahku. Kemudian mataku menyapu keadaan di Pelabuhan Pontianak. Ternyata masih seperti dahulu. Tak terlalu banyak perubahan yang kulihat. Keadaannya tak jauh berbeda dengan keadaan ketika bertahun-tahun yang lalu kutinggalkan pelabuhan ini untuk menuju ke Pelabuhan Tanjung Priok. Aku juga mencoba-coba mengedarkan pandanganku untuk melihat ke arah hulu, di mana terletak daerah Simpang Tiga yang bersejarah itu, yaitu simpang tiga pertemuan Sungai Kapuas dan Landak, yang tak jauh dari situ terdapat Masjid Jami’ Kesultanan Pontianak dan Kampong Beting.

Siang-siang seperti ini, tentunya Pontianak sedang panas-panasnya, benakku. Apalagi kulihat cuaca begitu cerahnya. Ya … cerah, cerah ala Kota Pontianak. Cerah dengan panas matahari yang begitu menyengat, karena memang kota ini pas dilalui oleh garis edar matahari (equator). Matahari itu bagaikan hanya beberapa jengkal saja di atas kepala ini. Itulah yang dulunya sering kurasakan ketika berada di Kota Khatulistiwa ini.

Sengaja aku tidak turun berdesak-desakan tadi. Sehingga suasana kini memang tidak terlalu ramai dengan penumpang yang sedang turun berdesak-desakan itu. Bentuk bangunan Pelabuhan Pontianak yang sangat khas Kalimantan Barat itu mengingatkanku ketika bertahun-tahun lalu kapal yang kutumpangi meninggalkan Kota Pontianak. Bentuk bangunan yang begitu khas itu kemudian terpatri di dalam ingatanku, karena memang di saat-saat yang sangat berat seperti itu, hal-hal seperti ini menjadi begitu berharganya. Rasanya diri ini ingin turun lagi dari kapal ketika itu. Melihat teman-teman dan saudara-saudaraku melambai-lambaikan tangannya di tepi pelabuhan. Seakan-akan itu adalah lambaian terakhir untukku. Sedangkan aku hanya terpaku membisu dengan segala remuk-redam di atas kapal melihat lambaian tersebut. Lambaian yang seakan-akan tak mau melepaskanku pergi, yang seakan-akan memanggil diriku untuk segera turun dari kapal yang kutumpangi itu. Namun apalah daya, pintu kapal sudah ditutup, juga tangga yang menghubungkan kapal dengan pelabuhan sudah ditarik dan dinaikkan kembali ke atas kapal. Aku hanya bisa memandang rombongan pengantarku itu dengan berbagai macam perasaan tak menentu. Sementara kapal yang kutumpangi sedikit demi sedikit merangkak meninggalkan pelabuhan.

Sebenarnya masih ada satu adegan dramatis yang kutunggu-tunggu hingga aku terus melihat rombongan pengantarku itu sambil harap-harap cemas, walaupun memang tekad kapal yang kutumpangi tak dapat ditahan-tahan untuk tidak beranjak dari pelabuhan. Adegan tersebut adalah hal yang paling menegangkan dan paling indah yang biasanya kulihat di film-film romantis. Ingin kulihat dari rombongan pengantarku itu ada seorang gadis yang berlari mengejar kapal yang kutumpangi, sambil ia berteriak, “Kandaaa … Kandaaa …, janganlah tinggalkan Dinda seorang diri di kota ini! Sampai hatikah Kanda meninggalkan kekasihmu ini merana dalam penantian?”

Jika adegan tersebut sempat terjadi ketika kapal yang kutumpangi belum terlalu jauh meninggalkan pelabuhan, maka aku sudah menyiapkan beberapa alternatif tindakan yang semuanya begitu dramatis jika kulakukan.

Alternatif pertama, aku akan segera meloncat dari kapal untuk menyongsong gadis tersebut. Jika alternatif ini yang kuambil, maka kemungkinan besar aku akan membatalkan keberangkatanku ke Pulau Jawa, untuk kemudian aku akan hidup dalam naungan kebahagiaan bersama gadis tersebut di kota kelahiranku.

Tapi setelah kupikir lagi, sepertinya tindakan tersebut tak lebih merupakan tindakan bodoh dari seorang laki-laki muda sepertiku yang masa depannya masih terbentang luas di depan. Kemungkinan laki-laki seperti ini adalah laki-laki yang tidak memiliki tingkat ketegaran yang tinggi, bukan laki-laki pejuang, namun tak lebih hanyalah seorang laki-laki pecundang yang tak berani mengejar masa depan dan mencapai cita-citanya, yang begitu berat untuk meninggalkan kota kelahirannya, keluarganya, dan gadis yang dicintainya.

Alternatif kedua, aku akan memohon kepada Kapten Kapal untuk merapat kembali ke pelabuhan demi masa depanku yang lain yang sedang menungguku di pelabuhan. Jika Kapten Kapal itu tidak mengindahkan permohonanku, maka aku akan memelas-melas memohon kepadanya demi masa depanku yang lain ini, sambil kukatakan kepadanya, “Sampai hatikah Tuan Kapten melihat kehancuran dua orang anak manusia yang sedang berada dalam kekalutan dan kegundahan cinta ini? Kehancuran tersebut tak lain disebabkan karena Tuan Kapten tidak bersedia merapat kembali ke pelabuhan hanya untuk beberapa menit.” Kemudian karena tindakanku juga didukung oleh para penumpang lainnya, maka aku semakin bertambah semangat, sedangkan Kapten Kapal menjadi luluh hatinya demi melihat usahaku yang tak pernah surut memperjuangkan cintaku.

Walaupun begitu, persetujuan Tuan Kapten untuk merapat kembali ke pelabuhan juga bukan tanpa garansi. Ia hanya memberiku waktu lima menit untuk menemui kekasihku yang menunggu di pelabuhan. Tidak lebih tidak kurang, kembali ia tegaskan ketika aku akan menuruni tangga kapal. Jika lewat dari waktu tersebut, maka tidak ada lagi tempat untukku di kapal. Dengan waktu yang tak terlalu lama itu, akupun segera bergegas dengan cepatnya menuruni tangga kapal. Tak kuhiraukan lagi apakah aku akan terpeleset ataupun terjatuh ketika menuruni tangga kapal tersebut.

“Hei anak muda, jangan terlalu tergesa-gesa! Akupun pernah mengalami apa yang kau alami kini. Karena itulah, Kapten yang baik hati ini akan memberimu injury time selama tiga menit. Perjuangkanlah cintamu!” terdengar teriakan seseorang dari atas kapal, kemungkinan adalah Tuan Kapten yang baik hati itu. Aku yang sudah ada di pelabuhan langsung disambut oleh seorang gadis muda yang tak lain adalah kekasih hatiku. Melihat sambutan yang penuh pengharapan itu, aku pun langsung menyanyikan lagu yang diciptakan oleh Allahyarham Tan Sri P. Ramlee, penyanyi legendaris Malaysia yang banyak sekali penggemarnya di Kotaku, termasuk aku. Lagu itu berjudul: “Hancor Badan Dikandong Tanah”. Begini bunyi baitnya:

Hancor badan kandong tanah
Budi baek dikenang juga
Biar alam hancor dan musnah
Cintaku tiada berubah


Lalu kekasihku itu juga bernyanyi dengan nyanyian yang sama, karena lagu ini aslinya memang dinyanyikan secara berduet antara laki-laki dan perempuan. Begini bait yang dinyanyikan kekasihku itu:

Dua tiga boleh cari
Mana sama abang seorang
Kalau janji sudah tepati
Tiada orang menghalang


Akupun kemudian melengkapi lagi nyanyian yang begitu indah dan syahdu itu:

Kalau sungguh kau berkata
Senang rasanya diriku


Kekasihku itu pun juga melengkapi dua baris lagi dari bait di atas:

Memang sungguh ku berkata
Janganlah ragu-ragu

Kemudian nyanyian cinta ini kami tutup dengan menyanyikan secara bersama-sama bait awal lagu, yang juga menjadi bait terakhir dari lagu ini:

Hancor badan kandong tanah
Budi baek dikenang juga
Biar alam hancor dan musnah
Cintaku tiada berubah

Ketika kami menyanyikan lagu tersebut, seakan-seakan seluruh alam ini menjadi musik pengiring bagi lagu cinta yang kami nyanyikan. Kami berpegangan tangan. Tangan kananku dengan tangan kirinya, dan tangan kiriku dengan tangan kanannya. Kami saling bertatapan dalam tatapan yang penuh kasih.

“Kanda, mengapakah Kanda harus pergi meninggalkan Dinda dalam kesendirian? Tentunya Dinda akan merindukan Kanda selalu di sini,” ucap kekasihku dengan matanya yang berkaca-kaca.

Akupun kemudian juga berkata, tapi mataku tak berkaca-kaca, mungkin tak ingin dikatakan sebagai lelaki yang cengeng, “Percayalah Dinda, cinta ini hanya untukmu seorang. Kanda pergi takkan lama. Nanti, Kanda akan kembali lagi merajut benang-benang cinta kita. Dinda, ikhlaskanlah kepergian Kanda ini!”

Suasana pun menjadi hening dan syahdu. Kulihat ada yang mengalir pelan dari sudut matanya, “Pergilah Kandaku sayang. Pergilah hai pejuang. Raihlah cita-citamu. Dinda akan bersabar menantimu.”

Hatiku membuncah mendengar perkataannya itu, melihat tangisannya yang melepas kepergianku.

“Waktumuuu tinggal sedikiiit, anak mudaaa,” terdengar suara dari atas kapal.

“Kanda pergi dahulu, Dinda,” semakin erat ia menggenggam tanganku, seakan tak ingin melepaskan diriku.

“Kanda, jangan pernah tinggalkan sembahyang, ya! Jagalah kesehatan Kanda selama di rantau orang!”

Perlahan ia melepaskan genggamannya di tanganku. Sementara air matanya masih mengalir pelan. Kulihat wajah itu dalam-dalam. Kulihat matanya yang bening itu. Kuhapus air matanya. Kemudian, perlahan tapi pasti, aku pun berlalu darinya dengan segala remuk-redam. Tak ada lagi kata yang dapat kuucapkan. Juga dirinya. Masih kudengar isak tangisnya ketika kakiku menaiki tangga kapal. Kulihat di atas kapal, orang-orang melihat adegan yang begitu dramatis ini. Seakan-akan mereka merestui cinta kami.

Saat-saat akan memasuki pintu kapal, masih kusempatkan melihat ke arah kekasihku di pelabuhan. Memang tidak kudengar lagi isak tangisnya. Dari kejauhan kulihat lambaian perpisahannya. Aku pun melambaikan tanda perpisahan yang sama. Hatiku menangis, tapi tidak mataku. Kucoba menguatkan hatiku. Diriku harus tegar. Di saat itu, aku memang tidak menangis seperti halnya kekasihku. Tapi di saat-saat yang lain, ketika kesendirian di negeri rantau, ketika mengingat orang-orang yang dicintainya, ketika memimpikan orang-orang yang menyayanginya, juga ketika membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an, ataupun setelah selesai sembahyang di tengah malam, lelaki yang lembut hatinya ini akan tersedu-sedan menangis.

Ah…, betapa cengengnya diriku.

Memang, cinta kadang membuat orang buta. Tak jarang pula orang kehilangan akal sehatnya, hanya karena urusan yang satu ini.

Setelah kutimbang-timbang, ternyata alternatif kedua begitu naifnya. Mungkin saja dilaksanakan, dan mungkin juga susah untuk dilakukan. Alternatif kedua ini muncul di benakku tak lain karena aku sering nonton film India. Ketika nonton film-film tersebut, aku merasa bahwa tokoh utama yang ada di dalam film itu adalah aku. Dan aku kadang membayangkan, seandainya suatu waktu aku mengalami adegan-adegan tersebut, tentu begitu indahnya, pikirku.

Karena naifnya itu, maka alternatif kedua ini aku urungkan. Kemudian aku masih memiliki alternatif ketiga, yang tak kalah dramatisnya, walaupun begitu menyakitkan.

Alternatif ketiga, aku hanya akan terdiam dengan segala remuk-redam melihat kekasihku berteriak-teriak memanggilku. Hal ini karena kapal yang kutumpangi sudah agak jauh bertolak dari pelabuhan, walaupun misalkan aku masih bisa melihat orang-orang yang mengantarku. Menurut perkiraanku, mungkin saja kapal bisa kusuruh untuk merapat lagi. Tapi apa gunanya bagi diriku melakukan perbuatan bodoh tersebut. Sehingga tindakan terbaik dan bijak yang mungkin kulakukan adalah hanya terdiam di pinggir kapal, melihat orang-orang yang mengantarku, melihat kekasihku yang berteriak-teriak memanggilku. Kejamkah sebenarnya diriku? Tentu tidak. Aku hanya mencoba untuk tegar dan menguatkan tekadku untuk mencapai cita-cita. Walaupun begitu, hatiku sebenarnya menangis, menangis sejadi-jadinya. Siapapun tak akan kuat dan tak akan tahan jika berada dalam keadaan seperti ini.

* * *

Lain yang kuharapkan, lain pula yang terjadi. Kulihat rombongan pengantarku sudah menghilang dari pelabuhan. Gadis yang kutunggu-tunggu tidak juga muncul. Sehari sebelum keberangkatanku, si gadis pujaanku hanya mengucapkan beberapa kata, “Semoga Abang selamat di perjalanan hingga sampai ke tujuan.” Tidak lebih dari itu. Dan aku hanya mengucapkan kata-kata pamit yang biasa-biasa saja, tanpa dibumbui kata-kata yang romantis. Dan yang patut kau ketahui kawan, bahwa selama aku mengenalnya, tak pernah satu kata cinta pun yang kuucapkan kepadanya, dan sebaliknya, tak pernah satu kata cintapun yang ia ucapkan untukku. Begitulah aku, laki-laki yang tak pernah mengatakan secara terus-terang perasaan cintanya kepada seorang perempuan. Begitulah aku, laki-laki yang mulutnya akan terkunci rapat-rapat ketika berhadapan dengan seorang perempuan. Karena sikapku yang tak mengasyikkan ini, suatu ketika di perantauan, ketika aku mulai ingin belajar untuk dekat secara serius dengan seorang perempuan, kemudian ditolak mentah-mentah oleh perempuan itu. Tragisnya, perempuan itu menolakku sebelum sempat aku mengungkapkan perasaan cintaku kepadanya. Itulah kisah cintaku yang membosankan, yang tak pernah cocok untuk dijadikan sebagai cerita drama romantis.

Sementara kapal sepertinya sedang bersiap-siap untuk berangkat, walaupun masih bertambat di pelabuhan. Saat-saat di mana perasaan hati ini campur aduk. Ada perasaan senangnya, ada perasaan sedihnya, dan berbagai macam perasaan lainnya. Senang, karena untuk pertama kalinya aku akan menjejakkan kakiku di kota metropolitan yang selama ini hanya menjadi mimpi dan khayalanku. Dan di antara pemuda sebaya di kampungku, akulah yang pertama kali menjejakkan kaki di kota metropolitan. Sedangkan aku sendiri tak lebih hanyalah seorang pemuda dari keluarga miskin. Sementara lebih banyak lagi pemuda yang sebaya denganku yang mereka itu berasal dari keluarga yang lebih kaya dariku yang lebih memungkinkan mereka untuk merantau ke Pulau Jawa. Itulah perasaan senangku, senang yang bercampur aduk. Lantas kemudian, mengapa aku juga harus memiliki perasaan sedih? Ini aku rasa wajar saja. Karena aku akan meninggalkan semua orang yang kucintai dan mencintaiku, meninggalkan tanah kelahiranku, meninggalkan semua kenangan-kenangan indah masa remajaku. Perasaan ini semakin mendalam ketika aku melihat ke arah hulu Sungai Kapuas, tempat beradanya Simpang Tiga Kapuas-Landak, tempat beradanya Masjid Jami’ Kesultanan, tempat beradanya Istana Kesultanan, tempat beradanya Jembatan Kapuas, tempat beradanya rumahku, tempat di mana kenangan-kenangan indah terukir di sana.

Saat yang membuat diriku sedih juga ketika kapal sudah berjalan menjauhi pelabuhan, menyusuri ke arah hilir Sungai Kapuas menuju ke muara, saat melintasi Tugu Khatulistiwa, melewati kawasan Batulayang, saat di mana Pontianak semakin menjauh dari pandangan, saat di mana sudah tak memungkinkan lagi diriku untuk mengatakan tidak terhadap keberangkatan tersebut, saat di mana air sungai dan air laut bertemu, yang pertemuan kedua air tersebut seakan-akan antara mau dan tidak mau, seakan-akan tidak ikhlas dan tidak rela. Ya …, rasa tidak ikhlas dan tidak rela untuk meninggalkan kota kelahiranku juga sempat muncul di saat-saat itu, saat-saat ketika perasaan ini hancur teraduk-aduk. Tapi apa mau dikata, kapal sudah semakin menjauh meninggalkan kotaku. Di depan sudah menunggu lautan yang begitu luas, yang di depannya lagi sudah menunggu harapan hidupku.

* * *

Tiba-tiba lamunanku dikejutkan oleh seseorang yang menawarkan jasa angkutan penyeberangan. Tanpa menimbang terlalu lama, aku pun mengiyakan tawaran tersebut. Akupun segera melaju dengan speedboat menyeberangi Sungai Kapuas. Tujuanku adalah Masjid Jami’ Kesultanan Pontianak. Aku ingin sujud syukur di masjid bersejarah tersebut.

Terlihat Alun-alun Kapuas yang tak jauh dari situ juga ada Kantor Walikota dan MAKOREM. Masih asri alun-alun tempat warga kotaku berkumpul itu. Sementara speedboat terus membawaku menyeberangi Sungai Kapuas. Terlihat dari kejauhan Simpang Tiga Kapuas-Landak. Aku ingin melewati Simpang Tiga itu, aku ingin merasakan saat-saat terindah menyeberangi dan melaluinya seakan-akan aku adalah Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri yang ketika 2 abad yang silam memutuskan untuk menjadikan daerah di dekat simpang tiga tersebut sebagai tempat pertama untuk mendirikan kota kelahiranku.

* * *

Senang rasanya hatiku sudah menunaikan nazar untuk shalat sunnat dan sujud syukur di Masjid Jami' Sultan Syarif 'Abdurrahman Al-Qadrie jika aku lulus kuliah. Dan nazar tersebut tidak kutunda-tunda ketika kedatanganku di kota tumpah darahku. Begitu turun dari kapal, aku langsung menuju Masjid Jami' Kesultanan Pontianak itu yang jaraknya memang tak terlalu jauh dari pelabuhan, hanya menyeberang beberapa menit. Tidak tanggung-tanggung, perjalanan menuju Masjid Jami' kulakukan dengan menaiki speedboat menyusuri Sungai Kapuas, melewati Simpang Tiga Kapuas-Landak, sambil melihat pesona pesisir Sungai Kapuas yang begitu unik. Perjalanan yang begitu indah, karena inilah Landmark Kota Pontianak dengan berbagai keunikannya.

Selesai menunaikan nazarku, rehat sebentar di pelataran Masjid Jami', kemudian aku mengitari halaman masjid, menikmati keindahan masjid tua itu. Beberapa saat kemudian, akupun langsung beranjak dari masjid, kemudian langsung menuju Istana Qadriyah yang tak terlalu jauh jaraknya dari Masjid Jami' Kesultanan. Istana Qadriyah adalah pusat pemerintahan Kesultanan Pontianak di masa silam. Dibandingkan dengan Masjid Jami', memang Istana Qadriah waktu pendiriannya lebih belakangan. Kedua bangunan ini menjadi saksi bisu sejarah bermulanya kotaku. Kata orang Pontianak, bagi orang-orang yang berkunjung ke Pontianak, jika belum menjejakkan kaki di kedua tempat ini, maka belumlah orang tersebut sampai di Kota Pontianak.

Sungai Kapuas juga punya ceritanya sendiri. Minumlah air Sungai Kapuas, niscaya kau akan kembali lagi ke Kota Pontianak. Begitulah yang dipercayai oleh masyarakat kotaku. Ini bukan takhayul, dan juga bukan khurafat. Aku lebih melihatnya sebagai bentuk penghormatan terhadap suatu tempat, dan itu tidak melebihi kewajaran, dan juga tidak syirik. Demi penghormatan dan rasa sayangku terhadap tanah tumpah darahku inilah, beberapa tahun yang lalu ketika akan meninggalkan Bumi Khatulistiwa menuju ke Pulau Jawa, akupun meminum air Sungai Kapuas yang katanya sudah tercemar limbah merkuri itu, yang ketika itu aku belum tahu jika air Sungai Kapuas sudah tercemar limbah yang berbahaya itu. Jika aku adalah "anak", maka kota kelahiranku adalah "ibu". Dan meminum air Sungai Kapuas adalah bentuk penghormatanku terhadap "ibu", sekaligus merupakan ucapan pamit, dengan tekad akan kembali lagi ke hadapan "ibu" jika aku sudah berhasil.

Kemudian aku kembali lagi ke hadapan ibu, ke pangkuan tanah tumpah darahku, memenuhi panggilan tanah kelahiranku, yang selama bertahun-tahun di perantauan, panggilan itu selalu terngiang-ngiang di telingaku. Suatu panggilan cinta dan kasih sayang yang tak ada tandingannya. Panggilan itu yang membuatku selalu kuat dan tabah menghadapi aral dan rintangan di rantau orang.

* * *

Begitu memasuki jalan gang yang menuju ke rumahku, sepertinya sepanjang jalan bertaburkan bunga menyambut kedatangan putra yang telah lama merantau ini. Setiap orang yang berpapasan denganku bagai mempersembahkan senyum penyambutan terhadapku. Seakan-akan terngiang-ngiang di telingaku bunyi suara Tar (rebana) yang dulu biasanya sering kumainkan bersama grup Hadrah yang dipimpin oleh pamanku. Juga sepertinya terdengar bunyi marwas yang berharmoni dengan gitar gambus, biola, dan akordion. Seakan-akan saling bersahut-sahutan antara syair-syair zikir hadrah, senandung melayu, lagu jepin, dondang, dan joget, juga lantunan syair, pantun, gurindam, dan ghazal. Seakan terlihat dari kejauhan tarian redat hadrah yang begitu takzim dan tarian jepin yang penuh semangat. Semuanya laksana mempersembahkan penyambutan terhadapku, bak pahlawan yang baru pulang dari peperangan.

Hatiku berdebar-debar ketika semakin mendekati rumahku. Terlihat orang-orang begitu ramai berkumpul di rumahku, di pelataran, di ruang tamu. Oh, inikah penyambutan yang dipersiapkan oleh keluargaku untuk putranya yang datang dari rantau? Semakin kumendekat ke rumah, semakin jelas begitu ramainya orang-orang berkumpul di rumahku. Tapi aku heran, seakan semuanya berada dalam aura kesedihan. Ada apakah ini gerangan? Mengapa tidak menyambutku dengan gembira? Terlihat orang-orang menangis, kakakku, abang-abangku, adikku, saudara-saudara sepupuku, pak mude-pak mudeku (paman-pamanku), mak mude-mak mudeku (bibi-bibiku), para sanak keluargaku, segenap keluarga besarku, semuanya terlihat berurai air mata. Ketika melihat kedatanganku, segenap keluargaku semakin bertambah sedih.

Mana ibuku? Aku segera bergegas ke dalam rumah menuju ke dapur tempat biasanya ibuku sedang berada, yang biasanya ia sedang masak. Tapi ibuku tak ada. Mungkinkah ibu sedang tidur? Akupun ke kamar ibuku. Mak …, Emak …, anakmu kini datang, Mak. Ketika aku masuk ke dalam kamar, kulihat sesosok tubuh terbujur kaku. Kudekati sosok yang tertutup oleh kain putih itu. Kulihat juga di sekeliling sosok itu, orang-orang sedang membaca Al-Qur'an. Ada apa ini? Aku semakin tak mengerti. Siapakah yang berselimut kain putih ini? Orang-orang memandangku dengan pandangan sedih. Tapi tak ada satupun yang menjawab kebingunganku. Seorang kerabat menuntunku ke sosok yang berselimut kain putih. Ia membukakan selimut putih itu. Lalu tersibaklah dan terlihat wajah yang kurindukan selama ini. Mak …?

Mak, anakmu sudah datang Mak. Bangunlah, Mak. Mulut ibuku menyiratkan senyuman, menghiasi wajahnya yang tegar dan sabar. Mungkin ibuku sedang letih setelah mengerjakan rutinitasnya, sehingga ia kini harus beristirahat. Mak, tak apalah kalau Emak masih letih. Anakmu ini akan menunggu di sini hingga Emak bangun.

Orang-orang yang berada di dalam kamar kulihat berderai air mata melihat perangaiku. Aku heran, mengapa mereka bersedih begitu rupa. Tak bolehkah ibuku tertidur sejenak melepaskan kepenatannya? Mak, mengapa orang-orang ini berlaku aneh?

Lalu seorang perempuan yang parasnya seperti ibuku, menghampiri. Dia adalah kakakku. "An, Emak sudah pergi," katanya kepadaku.

"Kak Ngah, Emak pergi? Lalu yang berselimut itu siapa?" tanyaku.

"Itulah Emak yang kita cintai," jawab kakakku.

"Kak Ngah mengatakan bahwa Emak pergi. Tapi yang sedang tertidur berselimut kain putih itu adalah Emak. Berarti Emak tidak pergi, kan?"

"Kau harus mengerti Adikku, bahwa Emak telah pergi untuk selamanya meninggalkan kita, dan meninggalkan dunia ini. Emak telah menghembuskan nafas terakhirnya beberapa waktu yang lalu. Emak sudah wafat, An."

Mengetahui hal itu, akulah yang kemudian tanpa sadar berurai air mata. Tak ada kata-kata yang dapat kuucapkan selain daripada bahasa air mata. Mengapakah keadaan yang sama ini harus kualami lagi? Beberapa tahun yang lalu ketika aku kelas tiga SMA, kejadian yang sama juga sudah kualami, yaitu wafatnya ayahku, yang ketika itu aku tak sempat melihatnya menghembuskan nafas terakhir. Ketika itu aku sedang tidak berada di rumah. Lantas kini, ketika aku kembali dari rantau, kiranya kelulusan kuliahku akan kupersembahkan kepada ibuku. Tapi kini, semuanya sudah tak berarti. Bertahun-tahun aku di rantau, menuntut ilmu, mencari pengalaman hidup, semuanya aku lakukan adalah untuk membahagiakan ibu. Kini, siapakah lagi yang akan kubahagiakan? Hatiku remuk-redam menghadapi kenyataan ini.

* * *

"An, mengapakah kau hanya berdiri terdiam membisu? Masuklah, Nak!" suara seseorang yang begitu kukenal dan sangat kurindu menyelusupi telingaku. Mataku ke kanan ke kiri mencari asal suara.

"Mak?" aku tergamam.

"Hei, seperti inikah anak emak yang baru pulang dari rantau? Kau laksana melihat hantu rupanya," suara itu berkata-kata kepadaku. Suara yang tak lain adalah suara ibuku.

Apakah sebenarnya yang telah kualami ini? Sudah begitu kacaukah pikiranku? Entahlah. Aku hanya ingin membahagiakan ibu. Dan kini, ibu sudah berada di depan mataku. Bukan seperti bayanganku sebelumnya, yaitu ibu berpulang ke rahmatullah di hari kedatanganku.

Ibu, aku hanya ingin membahagiakanmu. Ingin kukatakan kalimat itu, tapi semuanya menjadi kabur. Ternyata di hari kepulanganku, bukan akulah yang membahagiakan ibu, tapi ibulah yang telah membahagiakanku. Betapa tidak, bahwa kehadirannya telah menghapus kesedihanku, menghilangkan kelelahan jiwaku, dan membuat sirna remuk-redam selaksa gundah-gulanaku.

Ingin kubersimpuh di kakinya, mengucapkan terima kasih yang tak terhingga, dan entah ucapan-ucapan apa lagi yang memang semestinya kuucapkan.

* * *

Kulihat dari dalam rumahku ada seorang perempuan berkerudung. Benakku berujar, siapakah gerangan?

Perempuan itu membawakan minuman ke ruang tamu di mana kini kuberada. Wajahnya begitu teduh, sehingga mengusir kegerahan tubuhku yang dikarenakan panas terik matahari Kota Khatulistiwa.

Wajah perempuan itu mengingatkanku kepada seseorang. Perempuan yang selalu kurindukan siang dan malam. Perempuan yang menjadi fajar hidupku, yang selalu menerangi gelap-gulita hatiku.

* * *

Teringat aku bertahun-tahun yang lalu, di tepian Kapuas, di sebuah tangga tempat pemandian orang pesisir sungai dan juga sekaligus tempat mengambil air sembahyang (wudhu'), kami duduk di tangga itu melihat Kapuas dengan segala aktivitasnya. Kami menjuntaikan kaki di atas air, menyentuh-nyentuhkan ujung kaki di air. Ya, aku dan dia, hanya berdua saja. Begitu romantis bagiku ketika itu. Dan mungkin juga dia.

Kami saling mengucapkan kata. Ya, aku dan dia. Walaupun seringnya kata-kata kami ditingkahi oleh suara gemerisik gelombang, riuh rendah transportasi air, dan campuran-campuran suara lainnya. Senyumnya begitu manis bagiku bagaikan yang tergambar pada bait-bait lagu Azizah yang dinyanyikan Allahyarham Tan Sri P. Ramlee. Suaranya merdu bagaikan suara penyanyi Senandung Melayu. Alunan suaranya mendayu-dayu dengan logatnya yang begitu kental, membuatku sulit melupakannya hingga kapanpun.

Tidur malam terbayang, teringat kamu seorang, membikin hati pemuda, menjadi bimbang, oh Azizah.

Begitu indahnya Allahyarham Tan Sri P. Ramlee mencipta dan menyenandungkan lagu itu. Dan apa yang kualami ini bagaikan senandung Melayu itu. Sungguh indah tak terperikan.

Kini aku berada lagi di tempat yang sama, bersama seorang perempuan berkerudung. Dia menceritakan masa-masa ketika ditinggal wafat oleh ibunya. Kemudian ia lama-kelamaan merasa dekat kepada ibuku, seakan-akan ibuku adalah pengganti sosok ibunya. Dia menceritakan bagaimana seluruh keluargaku menerimanya, dia menceritakan bagaimana ibuku sudah menganggapnya bagai anak sendiri.

Suaranya mengalunkan logat Melayu Pontianak yang begitu khas dan penuh kesopanan. Seorang perempuan yang dididik dalam adat resam budaya Melayu, di Alam Melayu yang lembut yang telah melahirkan para pujangga ternama, para penyanyi dengan suara-suara merdu, para seniman, yang terlahir bukan dari sekolah seni, tapi dari Alam Melayu yang merupakan sekolah seni terbesar bagi bangsa Melayu.

Gadis Khuntien, aku takkan pernah melupakan pesona alami dari perempuan Kota Khatulistiwa yang lemah lembut dan penuh kesopanan.

Orang Melayu Pontianak memang tidak berbicara berpantun-pantun dan bersyair-syair. Tapi setiap kata-kata yang diucapkan adalah pantun dan syair yang bersenandung, yang berharmonisasi, dengan dinamik yang begitu indah.

Di tepi Sungai Kapuas, adalah tempat terindah bagi orang Pontianak. Desauan anginnya menepis panas terik mentari di khatulistiwa, menghadirkan kilasan-kilasan nostalgia terindah.

Tercetak jelas di pelupuk mataku budak-budak laot yang riang: Witri yang kudengar kini menjadi pelaut mengikuti pamannya, Denis yang terus berjuang menjadi musisi ternama di Jakarta, Izwardi yang sudah menikah dan menjadi pelopor pemuda di kampungku, dan aku yang kini duduk bersama seorang perempuan berkerudung, yang tak lain adalah gadis khuntien yang selalu menjadi kekuatan jiwaku dalam menempuh hari-hari terberat di perantauan.

Gadis khuntienku masih seteduh yang dulu, bahkan kini lebih teduh lagi dengan balutan kerudungnya, membuat hatiku semakin teduh, menjadikan jiwaku damai selalu setelah kembali dari pengembaraan mencari hikmah di negeri harapan yang begitu jauh dari negeri sungaiku.

Nostalgiaku terus mengalir laksana air Sungai Kapuas yang mengalir ke hilir, ke muara, dan ke laut. Kupandangi wajahnya yang teduh, ia hanya mempersembahkan senyumnya yang termanis – semanis Limau Sambas, yang dikenal orang Jakarta dengan sebutan Jeruk Pontianak. [Aan]


// Hanafi Mohan - Ciputat, 24 April 2008 – 25 Mei 2008 – 17 Juni 2008 //


Sumber Foto: http://firdaus45.wordpress.com/